83
Terjemahan: 49. Keempat puluh delapan, jangan sering bertengkar hanya untuk
mencari hasil saja. Memulai pertengkaran bersumpah serapah oleh orang banyak dinamakan penjahat. Akhirnya tersangkut akan
celaka.
51. Kelima puluh, jangan suka mengadu berkasak-kusuk, mengfitnah, dan berbicara tak karuan untuk menjual berita menyogok dengan
kebohongan, agar di eluk-elukan. Itulah kepandaian setan. Tiada tahan dan berbahaya.
52. Kelima puluh satu, jangan berkumpul mengundang orang tua dan anak-anak pada pagi, siang dan petang dan berbicara bisik-bisik
maupun keras. Jangan-jangan mereka digolongkana perampok, kemungkinan besar diperkirakan pemberontak. Jelas ini
mencemarkan dan membawa bencana.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa makna dari perilaku orang yang memiliki sifat tidak terpuji, setiap kata-katanya tidak disertai ketulusan. Dalam
hal ini diumpamakan licik merangkai bahasa dan menjual berita, makna dari ungkapan tersebut adalah dalam bertutur kata, seseorang haruslah tulus sesuai
kenyatan bukan sebaliknya yang licik serta pintar dalam merangkai bahasa yang membuat sebuah ketidaksesuaian antara yang dikatakan dengan maksud hati dan
kenyataan yang terjadi.
4.2.4 Panggilan Nama
Unsur yang hadir in praesentia dalam Serat Panitibaya dilambangkan dengan simbol panggilan nama si Dadap dan si Waru. Unsur yang tidak hadir
in absentia dalam simbol tersebut memiliki makna panggilan nama. Panggilan merupakan awal untuk menghubungkan memanggil nama sesama hidup dalam
sebuah perkenalan, sebagaimana pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Dengan demikian panggilan nama seseorang haruslah dilakukan sesuai dengan nama
84
seseorang tersebut agar tidak salah memanggil atau bahkan menyinggung hati orang tersebut. Nama merupakan pengharapan orang tua kepada si anak agar
kelak dikemudian hari dapat menjadi seperti yang diharapkan. Hal ini sangat penting untuk diketahui seperti disimbolkan “si Dadap atau si Waru” dalam
kutipan pupuh Pangkur bait 96 sebagai berikut: 96. Nawa dasa panca aja, angurangi mring asmaning dumadi, ngundanga
si dhadhap waru, kudu pepak saroja, away cangkiwingan sirah lawan buntut, menek runtik kang den undang, yen padha sura niwasi.
Terjemahan:
96. kesembilan puluh lima, janganlah memanggil nama sesama dengan
panggilan “si Dadap dan si Waru”, harus lengkap dengan nama rangkapnya. Jangan memamnggil hanya diambil depan dan ekornya
saja. Barangkali yang dipanggil menjadi marah, jika sama-sama berani mendatangkan bahaya.
4.2.5 Orang yang Tidak Berpendirian
Unsur yang hadir in praesentia dalam Serat Panitibaya dilambangkan dengan simbol orang yang tidak berpendirian gila. Unsur yang tidak hadir in
absentia dalam simbol tersebut memiliki makna cerminan perilaku manusia yang mudah terpengaruh oleh orang lain dan tidak mempunyai sebuah pendirian
yang menjadi pedoman kehidupan. Kutipan yang menerangkan hal tersebut dapat dilihat dalam pupuh
Pangkur bait 73 sebagai berikut. 73. Ping sapta dasa dwi aja, yen wong jamak jogged datanpa
dhangdhi, berag joget turut lurung, larut drajade sirna, tan papan lir wong edan edan guguyu, nadyan weh sukaning jalma, jer tan
patut niniwasi. Terjemahan:
73. Ketujuh puluh dua, janganlah orang yang senang menari tanpa mengetahui bentuk tarian, gembira ria menari sepanjang jalan,
85
hilanglah kewibawaannya tanpa mengenal tempat seperti orang gila, walaupun memberi kegembiraan orang banyak jika tak pantas
akan membuat cela.
Kutipan di atas menunjukkan makna dan simbol orang yang tidak mempunyai pendirian dalam melakukan sesuatu tidak dipikirkan terlebih
dahulu dan seringkali berbuat yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan orang kebanyakan. Pengarang memberikan simbol pada orang
yang tidak mempunyai pendirian tersebut seperti orang gila yang ditertawakan saja.
4.2.6 Simbol dan Makna Wanita