16
kondisi rawan pangan dapat bersifat intelektual, biologifisik maupun material yang dapat digunakan sebagai alat tukar exchange properties sebagai upaya mendapatkan
pangan food entitlement.
2.2. Teori Ekonomi Rumahtangga Pertanian
Hingga saat ini penelitian perilaku rumahtangga petani dalam mengkonsumsi pangan ataupun dalam memproduksi telah banyak dilakukan, namun sebagian besar
dari penelitian tersebut dilakukan secara partial yaitu melihat rumahtangga petani sebagai unit konsumen murni atau produsen murni. Hasil penelitian Rachman dan
Suryana 1988, menganggap rumahtangga tani sebagai konsumen murni. Subsidi input, tingkat upah, luas tanah pertanian, dan kapital tidak pernah dikaitkan memiliki
pengaruh langsung pada konsumsi rumahtangga pedesaan. Penelitian mengenai perilaku rumahtangga petani dilakukan oleh Barnum dan
Squire 1978 dalam Ellis 1988 dengan menggunakan model ekonometrika mencoba mengkaitkan perilaku produksi usahatani, konsumsi, dan suplai tenaga kerja
untuk menelaah pertanian semi komersial pada situasi pasar tenaga kerja yang bersaing. Tujuannya menganalisis dampak migrasi, intervensi harga, dan perubahan
teknologi sektor pertanian. Kesimpulan penting penelitian ini, adanya saling keterkaitan yang erat antara keputusan produksi dan konsumsi dalam rumahtangga
petani. Hardono 2002, menggunakan model ekonomi rumahtangga untuk
menganalisis ketahanan pangan rumahtangga pertanian di pedesaan. Penelitiannya lebih difokuskan pada perilaku rumahtangga pertanian dalam memanfaatkan
sumberdaya yang dimiliki dan merespon berbagai perubahan faktor ekonomi. Data yang dipergunakan adalah data Patanas Panel Petani Nasional tahun 1999. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor- faktor yang menentukan ketahanan pangan
17
rumahtangga adalah indikator- indikator: produksi usahatani, pendapatan, ketersediaan dan pengeluaran pangan. Hasil penelitian ini menunjukakan bahwa ketersediaan
pangan akan meningkat seiring dengan kenaikan harga padi dan pendapatan yang semakin tinggi. Sedangkan kenaikan harga pupuk dan upah buruh tani akan
menurunkan ketahanan pangan.
2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas dan Efisiensi Usahatani
Ishikawa 1975 dalam Ellis 1988, menyatakan bahwa rendahnya tingkat upah dan produktivitas sektor pertanian antara lain disebabkan terbatasnya
penguasaan lahan dan terbatasnya kesempatan kerja diluar sektor pertanian. Dalam sejarah pertumbuhan ekonomi, perkembangan yang cepat berasal dari sektor non
pertanian dan peningkatan penguasaan aset produktif pertanian per tenaga kerja. Kondisi ini akan meningkatkan efisiensi sistem produksi pertanian. Dengan demikian
pendapatan dan kualitas hidup masyarakat pedesaan akan meningkat secara berimbang. Peningkatan pendapatan dan kualitas hidup tenaga kerja pertanian
ditentukan oleh: 1 kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diluar sektor pertanian, 2 kepadatan agraris, 3 pertambahan penduduk, 4 tingkat
perkembangan teknologi, 5 produktivitas lahan, 6 distribusi penguasaan lahan, serta 7 intensitas pola tanam. Selama upah tenaga kerja pedesaan relatif rendah,
maka petani berlahan sempit akan berusaha meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahataninya dibandingkan dengan petani berlahan luas, melalui proses transformasi
struktural tenaga kerja pedesaan. Tingkat upah di pedesaan meningkat seiring dengan tercapainya tingkat full employment di pedesaan, maka penggunaan tenaga kerja,
tabungan, modal dan intensif teknologi dapat meningkatkan efisiensi usahatani.
18
2.4. Konsep Produksi Ekonomi Rumahtangga