BioecologyAedesspp. Mosquitoes and the Detection of Chikungunya Virus inPasirKuda Village, West Bogor Dictrict

(1)

PASIR KUDA KECAMATAN BOGOR BARAT

YULIANA RADJA RIWU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

DenganinisayamenyatakanbahwatesisBioekologi Nyamuk Aedesspp. dan Deteksi Keberadaan Virus Chikungunya di Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Baratadalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Nopember 2011

Yuliana Radja Riwu B252090011


(3)

ABSTRACT

YULIANA RADJA RIWU. BioecologyAedesspp. Mosquitoes and the Detection of Chikungunya Virus inPasirKuda Village, West Bogor Dictrict.Under direction of UPIK KESUMAWATI HADI, and SURACHMI SETYANINGSIH.

Chikungunya disease was one of the community health problems at PasirKuda Village with an attack rate of 2.96‰ in 2010. This research was done to study the mosquitoe ecology and to detect the presence of chikungunya virus (CHIKV) in Aedes spp. mosquitoes. Field surveys were done from December 2010 until August 2011 to collect mosquitoes and conduct interview to identify community knowledge, attitudes and practices (KAP) on chikungunya, and then in the laboratory to detect chikungunya virus in mosquito samples using Polymerase Chain Reaction (PCR) technique. The resultsshowed that Ae. aegypti breeding place was not in the collecting and saving water container inside the house, but was in another container outside, Ae. albopictus prefer to breed in natural water container and was categorized in moderate density. Ae.aegypti tend to bite and rest inside the house, while Ae. albopictus tend to bite and rest outside the house. Chikungunya virus was successfully detected only in the female Ae. aegypti which was collected on December 2010. The society’s knowledge about chikungunya prevention was categorized as moderate, however, it was not in line with their actions.


(4)

YULIANA RADJA RIWU. Bioekologi Nyamuk Aedesspp. dan Deteksi Keberadaan Virus Chikungunya di Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat.Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI, dan SURACHMI SETYANINGSIH.

Chikungunya merupakan salah satu

Penelitian ini bertujuan mempelajari habitat perkembangbiakan, perilaku dan kepadatan nyamuk Aedes spp.;Mendeteksi virus chikungunya dalam tubuh nyamuk; Mempelajari pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap pencegahan chikungunya. Penelitian dilakukan di RW 03 dan RW 04 Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, bulan Desember 2010 hingga Agustus 2011. Rancangan penelitian merupakan survey lapangan selama 4 bulan yang dimulai dari jam 06.00 sampai jam 18.00 (dua kali dalam seminggu), kemudian dilanjutkan deteksi keberadaan virus dalam tubuh nyamuk di laboratorium. Kegiatan survey dilakukan pada 124 rumah penduduk yang bersedia diperiksa di lokasi penelitian, dengan beberapa tahapan kegiatanyaitu: 1) Pengumpulan telur nyamuk; 2) Pengumpulan larva; 3) Penangkapan nyamuk dewasa; 4) Wawancara dan observasi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat; 5) Deteksi virus chikungunya pada nyamuk.

Arbovirosis yang ditularkan oleh nyamuk genus Aedes dans erring menimbulkan Kejadian Luar Biasa(KLB) di berbagaidaerah.Khusus di Kota Bogor penyakit ini menyebar hampir di seluruh kecamatan, dengan Attack rate (AR) 1.35‰ (2008), 0.26‰ (2009) dan 0.33‰ (2010. Kasus chikungunya terakhir terjadi pada bulan September 2010 di Kelurahan Pasir Kuda dengan AR sebesar 2.96‰ (Dinkes Kota Bogor 2010). Penanggulangan yang paling efektif adalah pengendalian nyamuk vektor. Kegiatan pengendalian yang efektif harus berdasarkan pengetahuan yang benar tentang bioekologi nyamuk di alam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan ekologi di lokasi studi sangat mendukung perkembangbiakan nyamuk Ae.aegyptidan Ae. Albopictus sebagai vector chikungunya maupun DBD. Ketersediaan tempat penampungan air baik TPA, bukan TPA maupun tempat penampungan alamiah sebagai habitat larva nyamuk Aedes spp. Dan terdapat 591 wadah penampungan yang diamati dan terdapat 147 wadah yang positif terdapat larva. Secara umum ABJ masih dibawah nilai minimal yang ditolerir oleh Kementrian Kesehatan (95%). Rendahnya ABJ di lokasi penelitian berhubungan dengan keadaan curah hujan dan juga perilaku masyarakat dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk sehingga memungkinkan banyak peluang untuk proses transmisi virus.Indeks larva juga menunjukkan kepadatan yang sedang yang dilihat nilai HI dan BI di kelurahanPasirKudatermasukdalamskala 2-5, tetapijikadilihatdarinilai CI kepadatan larva nyamuk dikategorikan dalam kepadatan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk di lokasi penelitian masih mempunyai risiko tinggi untuk tertular penyakit baik chikungunya maupun DBD sehingga masyarakat harus tetap melakukan pemberantasan sarang nyamuk secara berkesinambungan.


(5)

nyamuk/orang/jam) sedangkan nyamuk Ae. albopictus lebih cenderung di luar rumah 07.00-08.00 (1.13 nyamuk/orang/jam) dan jam 15.00-16.00 (1.31 nyamuk/orang/jam). Perilaku beristirahat dari nyamuk Ae. aegypti juga lebih cenderung terjadi di dalam rumah (0.98 nyamuk/rumah) dibandingkan di luar rumah (0.01 nyamuk/rumah), sedangkan Ae. albopictus lebih cenderung beristirahat di luar rumah (0.03 nyamuk/rumah) daripada di dalam rumah (0.01 nyamuk/rumah). Dari hasil pemeriksaan PCR diketahui bahwa Ae. aegyptimerupakanvektorutamachikungunya di KelurahanPasirKuda. Pengetahuan, sikap masyarakat terhadap pencegahan chikungunya masih dikategorikan cukup baik (sedang) tetapi tidak sejalan dengan tindakan yang dilakukan.


(6)

© HakCiptaMilik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karyailmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karyatulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

BIOEKOLOGI NYAMUK

Aedes

spp. DAN DETEKSI

KEBERADAAN VIRUS CHIKUNGUNYA DI KELURAHAN

PASIR KUDA KECAMATAN BOGOR BARAT

YULIANA RADJA RIWU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

NRP : B252090011

Disetujui, KomisiPembimbing

Ketua

drh. UpikKesumawatiHadi, MS, Ph.D

Anggota

drh.SurachmiSetiyaningsih, Ph.D

Diketahui,

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

drh. UpikKesumawatiHadi, MS, Ph.D

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. DahrulSyah, M.Sc.Agr


(10)

AnugerahNya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulisan karya ilmiah yang berjudul “Bioekologi Nyamuk Aedesspp. dan Deteksi Keberadaan Virus Chikungunya di Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat” berhasil diselesaikan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D, sebagai ketua komisi pembimbing dan drh.Surachmi Setiyaningsih, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis serta Dr. drh. Susi Soviana, M.Si yang bersedia menjadi penguji luar komisi. Terimakasih kepada Prof. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc., Dr. drh Ahmad Arif Amin, MS., Dr. drh. D.J. Gunandini, MS., drh.Supriyono, serta seluruh staf pengajar dan pegawai laboratorium Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan kepada penulis selama penyelesaianstudi. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Gustaf Oematan, M.Si sertaseluruh staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana yang telah memberikan ijin melanjutkan studi kepada penulis. Ungkapanterimakasih juga disampaikan kepada Bapak Lurah Pasir Kuda beserta sta fkhususnya IbuEka, Ibu Omsiah yang telah memberikan ijin dan membantu selama pelaksanaan penelitian. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Direktur PSSP (Pusat Studi Satwa Primata-IPB) beserta staf yang telah memberikan bantuan ekstraksi RNA virus chikungunya sebagai control positif yang digunakan dalam penelitian ini. Terimakasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada teman-teman yang sangat membantu selama pelaksanaan penelitian ini (drh.Usamah, Oky, Yanti, Anita, Farah dan Merista serta drhAminah), tetap semangat dalam penyelesaian studi dan sukses buat semuanya.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada semua pihak, yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis baik secara moril maupun materiil yang turut berperan dalam penyelesaian karya ilmiah ini, terutama kepada kedua orang tua tercinta Bapak Daniel danIbu Juliana serta saudara terkasih K’ Okto, K’ Lina, Rut dan Rika, Bapak C.B Lisnahan, keluarga besar Lisnahan, keluarga besar Radja Riwu, keluarga besar Djami Raga, teman-temans eperjuangan (Yulidar, Samarang, Poppy, Suwardi dan Naswir), teman-teman Persekutuan Oikumene dan sahaba tpenulis yakni Emy, Alin, Kristin, Amel, Syul dan Diordia. Terimakasih dan penghargaan yang sangat mendalam kepada suami tercinta Fajar Lisnahan.STH dan anak tersayang Radianz Hazhael Lisnahan atas doa, kesabaran, dukungan dan pengorbanan bagi penulis selama menempuh pendidikan. Akhir kata penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun diharapkan bermanfaat bagi pembaca.

“Dalam kelemahanku kuasaMu menjadi sempurna” Tuhan memberkati. Bogor, Nopember 2011


(11)

Penulis dilahirkan di Raekore, NTT padatanggal 20 Juli 1982 dari Bapak Daniel Radja Riwu dan ibu Juliana Djami Raga, merupakan putrid ketig adari lima bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari Sekolah Perawat Kesehatan (SPK Kupang) dan pada tahun 2001 masuk perguruan tinggi negeri di Universitas Nusa Cendana. Penulis berhasil menyelesaikan jenjang Strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat dan mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM) tahun 2005.

Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Jurusan Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat- Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang NTT sejak tahun 2006 sampai sekarang. Tahun 2009 diterima menjadi mahasiswa Pascasarjana IPB pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan.


(12)

x Halaman

DAFTAR TABEL………….………... xi

DAFTAR GAMBAR….………..….... xii

DAFTAR LAMPIRAN………..…... xiv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Tujuan……….. 3

1.3 Manfaat ………... 3

1.4 Kerangka Konsep Penelitian……… 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Chikungunya………. 5

2.2 Virus Chikungunya………... 6

2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)………. 8

2.4 Vektor Chikungunya ………... 11

2.5 Perilaku Masyarakat……….... 16

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 18

3.2 Rancangan Penelitian………... 19

3.3 Analisis Data……… 24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Habitat dan Tempat Perkembangbiakan Nyamuk...…… …... 26

4.2 Kepadatan dan Perilaku Nyamuk………..…….. 40

4.3 Deteksi Virus chikungunya………... 52

4.4 Perilaku Masyarakat………... 54

4.5 Pembahasan Umum………. 57

5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan………...………... 60

5.2 Saran………...………... 60

DAFTAR PUSTAKA………... 62


(13)

xi Halaman 1 Kepadatan populasi larva nyamuk menurut WHO 1972………. 25 2 Kepadatan larva berdasarkan jenis wadah penampungan di

Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 29 3 Kepadatan larva berdasarkan bahan wadah penampungandi

Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 32 4 Kepadatan larva berdasarkan warna wadah penampungandi

Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 32 5 Kepadatanlarva berdasarkan letak wadah penampungandi

Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 33 6 Jumlah dan jenis nyamuk dewasa yang tertangkapdi Kelurahan

Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 41 7 Kepadatan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictusdi Kelurahan

Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 42 8 Kepadatan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictusistirahatdi

Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 49 9 Nyamuk yang diperiksa dengan PCRdi Kelurahan Pasir Kuda


(14)

xii Halaman

1 Skema struktur virus chikungunya……….. 6

2 Skema genom virus chikungunya prototype Afrika S27……….... 7

Lokasi penelitian………. 18

3 Comb scales larva Aedes aegypti dan Aedesalbopictus………... 26 Persentase jenis wadah yang diperiksa dan wadah positif larva

nyamuk Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember

2010 sampai Maret 2011... 27 4 Tanaman brimelia (wadah penampungan alamiah) yang positif

larva Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember

2010 sampai Maret 2011... 28 5 Angka Bebas Jentik (ABJ) bulananmasih dibawah nilai minimal

yang diperbolehkan oleh Kementerian Kesehatan yaitu 95%... 35 6 Indeks larva per bulandi Kelurahan Pasir Kuda periode

Desember 2010 sampai Maret 2011... 36

7 Bretau index dan indeks curah hujan per bulandi Kelurahan Pasir

Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 37 8 Jenis nyamuk dewasa yaitu Aedes aegyptigravid dan Aedes

albopictus unfeed yang tertangkapdi Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 41 9 Rataan kepadatan nyamuk umpan orang dan indeks curah

hujandi Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret

2011...

43

10 Rataan kepadatan nyamuk umpan orang dan kelembaban udaradi Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 44 11 Persentase nyamuk umpan orang di Kelurahan Pasir Kuda

periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 46 12 Aktivitas menghisap darah Aedes aegyptidi Kelurahan Pasir


(15)

xiii

14 Ovitrap indexAedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode

Desember 2010 sampai Maret 2011... 50 15 Telur yang tertangkap dengan menggunakan ovitrap... 51 16 Hasil elektroforesis pada nyamuk di Kelurahan Pasir Kuda


(16)

xiv Halaman 1 Kuesioner Perilaku masyarakat………... 68 2 Habitat larva nyamuk Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda……... 74 3 Pengumpulan nyamuk Aedes spp. di Kelurahan Pasir

Kuda... 75 4 Identifikasi nyamuk dan ekstraksi RNA Virus chikungunya……. 76

5 RT-PCR dan elektroforesis………. 77

6 Data nyamuk dewasa di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember

2010……… 78

7 Data nyamuk dewasa di Kelurahan Pasir Kuda periode Januari

2011……… 79

8 Data nyamuk dewasa di Kelurahan Pasir Kuda periode Februari

2011……… 80

9 Data nyamuk dewasa di Kelurahan Pasir Kuda periode Maret


(17)

1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Chikungunya merupakan satu diantara Arbovirosis (Arthropode borne viral

diseases) yang disebabkan oleh virus dari Genus Alphavirus, Famili

Togaviridae(Strauss 1994).Arthropodeyang dilaporkan sebagai vektor adalah

Aedes furcifer, Ae.taylori, Ae.luteocephalus di Afrika (Diallo et al. 1999),Ae.

aegyptidan Ae. albopictusdi Asia(Kaur et al. 2006; Pialoux 2007; WHO 2008;

Lee et al. 2009; Eapen et al. 2010).Di Indonesia terdapat3 jenis nyamuk genus

Aedes yang umumditemukan yaituAe. aegypti,Ae.albopictusdan Ae. scutelaris,

tetapi yang dilaporkan sebagai vektor chikungunya adalahAe. aegyptidan

Ae.albopictusyang dikenal juga sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue

(Hadi & Koesharto 2006).Penularan pada manusia terjadi bila nyamuk menghisap darah penderita chikungunya, kemudian nyamuk yang terinfeksi tersebut menghisap darah manusia yang sehat.

Penyakit ini bersifat self limiting disease (sembuh sendiri), belum pernah dilaporkan adanya kematian dan relatif kurang berbahaya serta tidak fatal dibandingkan dengan penyakit demam berdarah dengue. Akibat yang ditimbulkan cukup merugikan secara ekonomi karena penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan produktivitas. Gopalan et al. (2009) melaporkanbahwa kerugian yang disebabkan penyakit chikungunya di India berupakehilangan pendapatan rata-rata sebesar US $ 75 dengan hari kerja yang hilang sebanyak ±35 hari,serta biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan yaitu rata-rata US $ 83.3.

Gejala yang ditimbulkan pada penderita adalah demam, nyeri sendi (arthalgia) terutama sendi pergelangan tangan dan kaki, nyeri otot (myalgia) serta gejala lain seperti muntah, menggigil(Riyaz et al.

2010). Nyeri sendi bisa bersifat sementara selama beberapa minggu, lebih dari 6 bulan dan bahkan ada juga yang menetap (Karthikeyen & Deepa 2011).

Penyakitchikungunya diidentifikasi pertama kali di Tanzania (Afrika Timur) pada tahun 1952 (Ross 1954) dan terus menimbulkan epidemi ke seluruh wilayah Afrika, dan Asia (Lam et al. 2001). Tahun 2006 terjadi KLB antara bulan Februari sampai Agustus di India dengan jumlah kasus 1,38 juta orang (Kumar et


(18)

al. 2007), tahun berikutnya terdapat 56.365 kasus dilaporkan dari 14 negara bagian di India (

Penyakit chikungunya masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama di kota-kota besar.Khusus di Kota Bogor, penyakit ini juga merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat karena sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Berdasarkan data yang diperoleh, selama 3 tahun terakhir penyakit ini juga menyebar hampir di seluruh kecamatan. Attack rate setiap tahun berturut-turut yaitu 1.35‰ (1328 orang) tahun 2008, 0.26‰ (260 orang) tahun 2009 dan bulan Januari sampai Oktober tahun 2010 0.33‰ (331 orang). Kasus chikungunya terakhir terjadi pada bulan September 2010 di Kelurahan Pasir Kuda dengan jumlah kasus sebanyak 41 orang atau 2.96‰ (Dinkes Kota Bogor 2010).

WHO 2008). Di Indonesia penyakit ini dilaporkan pertama kali di Samarinda tahun 1973, kemudian tahun 1980 menyerang penduduk di Kuala Tungkal Jambi, tahun 1983 terjadi di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta. Penyakit ini muncul kembali tahun 2001 di Muara Enim, Sumatera Selatan, Aceh dan Bogor,selanjutnya pada tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Secara epidemiologis sejak tahun 2000-2007, hampir seluruh wilayah di Indonesia berpotensial terjadi KLB dan tercatat jumlah penderita 18.169 orang tanpa kematian (Depkes 2007).

Vaksin maupunobat untuk mencegah dan mengobati penyakit ini belum ditemukan, sehingga penanggulangan yang paling efektif adalah pengendalian nyamuk vektor. Strategi pengendalian vektor yang tepat harus dilakukan berdasarkan pengetahuan yang benar tentang jenis vektor, bioekologi nyamuk sebagai vektor yang meliputi perilaku berkembangbiak, istirahat dan menghisap darah. Tingkat kerawanan penyebaran penyakit chikungunya di suatu wilayah dapat diprediksi berdasarkan ketersediaan habitat dan kepadatan nyamuk Aedes

spp. Daerah yang mempunyai habitat potensial yang banyak, kepadatan populasi nyamuk akan besar dan kemungkinan kejadian kasus chikungunya akan tinggi. Kepadatan populasi nyamuk dialam tidak terlepas dari perilaku masyarakat berhubungan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).

Nyamuk Aedesspp.pada umumnya berkembangbiak pada air bersih yang tidak berhubungan langsung dengan tanah serta terlindung dari cahaya matahari. Penelitian sebelumnya mengindikasikan adanya kemungkinan perubahan perilaku


(19)

dari nyamuk Aedes spp. dan larva juga pernahditemukan di kolam yang berhubungan langsung dengan tanah (Sitorus 2004) dan air comberan (Sayono & Amalia 2009). Pengujian laboratorium juga ditemukan bahwa air terpolusi juga dapat menjadi tempat perindukan dan berkembangbiaknya nyamuk Ae. aegypti

(Hadi et al. 2006). Penelitian yang berhubungan dengan jenis vektor dan bioekologi nyamuk dialam khususnya nyamuk Aedes spp.di Kelurahan Pasir Kuda belum pernah dilakukan. Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul ”Bioekologi Nyamuk Aedes spp.dan Deteksi Keberadaan Virus Chikungunyadi Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat”.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari habitat perkembangbiakan, perilaku dan kepadatan nyamuk Aedes spp.;Mendeteksi virus chikungunya dalam tubuh nyamuk; Mempelajaripengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap pencegahan chikungunya.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasilpenelitian ini akan menjadi informasi dasar untuk perencanaan pengendalian vektor chikungunya, dan sebagai dasar sistem kewaspadaan dini untuk mencegah terjadinya KLB chikungunya.

1.4 Kerangka Konsep Penelitian

Pengendalian vektor chikungunya yang efektif harus didasarkan pada pemahaman yang benar tentang bioekologi nyamuk Aedes spp.sebagai tersangka vektor. Bioekologi vektor yang dimaksud meliputi habitat perkembangbiakan nyamuk, perilaku dan kepadatan nyamuk, serta mengetahui jenis nyamuk sebagai vektor dengan deteksi virus chikungunya dalam tubuh nyamuk. Keberadaan nyamuk di lapangan sangat berkaitan erat dengan perilaku masyarakat dalam mendukung upaya PSN, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit chikungunya di masyarakat.


(20)

Keterangan:

: diteliti : tidak diteliti

Bioekologi Nyamuk Aedes spp.: Tempat Perkembangbiakan:

• Jenis Wadah

• Bahan Wadah

• Warna Wadah

• Angka Jentik Perilaku Nyamuk:

• Perilaku Bertelur

• Perilaku Menghisap Darah

• Perilaku Istirahat

Perilaku Masyarakat:

• Pengetahuan

• Sikap

• Praktek/Tindakan

Deteksi Virus Chikungunya dari Nyamuk

Pengendalian Vektor Chikungunya


(21)

2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Chikungunya

Chikungunya merupakan satu di antara Arbovirosis (Arthrophode borne

viral diseases) yang disebabkan oleh virus dari Genus Alphavirus, Famili

Togaviridae.Awalnya virus ini merupakan jenis virus yang menyerang primata di

savana Afrika.Satwa primata yang bertindak sebagai inang definitifnya adalah

Papio sp. danCercopithecus sp. Siklus sylvatic di antara satwa primata tersebut

ditularkan oleh nyamuk Aedes spp.yaitu Ae.africanus, Ae. furcifer, Ae. taylori, Ae.

luteocephalus,Ae. cordelierri, Ae. opok. Selain menyerang primata, virus ini juga

menyerang jenis mamalia lain serta burung (Strauss 1994;Diallo et al 1999

Chikungunyaberasal dari bahasa Swahili berdasarkan gejala pada penderita, yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau melengkung, mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia). Nyamuk dapat mengandung virus chikungunya pada saat menggigit penderita yang sedang viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul. Virus tersebut berada di kelenjar liur nyamuk berkembangbiak selama 8-10 hari, kemudian ditularkan lagi kepada orang yang sehat melalui gigitan nyamuk Aedes

spp.yang mengandung virus tersebut. Gejala klinis yang ditimbulkan adalah demam mendadak yang muncul tiba-tiba bisa mencapai 39-40

).

o

Studiyang dilakukan pada 107 orang penderita chikungunya di India ditemukan bahwa 100% demam, 85.04% arthalgia, muntah 32.71%, edema 30.84%, myalgia 28.97%, menggigil 28.03%, nyeri punggung 20.56%, sakit C dan disertai dengan menggigil yang tidak berlangsung lama, nyeri pada persendian (terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang), nyeri otot pada otot bagian leher, bahu dan anggota gerak, ruam (kemerahan di kulit) bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk makulo-papular. Lokasi kemerahan di daerah muka, hidung dan sekiarnya, badan, abdomen, tangan, dan kaki, pada bayi sering juga ditemukan kelainan kulit yang berupa vesikel dan bullae (Riyaz et al

2010). Gejala tambahanadalah sakit kepala, kemerahan pada konjungtiva, pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher, mual, muntah, kadang-kadang gatal pada ruam (Zulkoni 2010).


(22)

kepala 19.62%, rash (kemerahan di kulit) 13.08%, luka di mulut 1.82%, pusing 3.75% dan diare 2.82%. Nyeri sendi bisa bersifat sementara selama beberapa minggu, lebih dari 6 bulan dan bahkan ada juga yang menetap (Karthikeyen & Deepa 2011).

2.2 Virus Chikungunya

Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV). Virus ini termasuk dalam genus Alphavirus atau “group A” antrophode borne viruses

CHIKV adalah virus RNA yang mempunyai selubung luar membran lipid

(envelope), berbentuk spherical dan pleomorphic, dengan diameter ± 70 nm

(Kelvin 2011).Pada permukaan envelope terdapat tonjolan-tonjolan glikoprotein, yang terdiri dari 2 glikoprotein berbentuk heterodimer (Gambar 1).Genom virus terdiri dari 1 molekul RNA untai tunggal sepanjang 11.805 nukleotida yang dibungkus oleh kapsid(Nucleocapsids)isometrik berdiameter 40 nm.Pada genomnya terdapat 2 buah Open Reading Frame (ORF) yang mengkode poliprotein nonstruktural dan struktural.

dari famili Togaviridae. Selain CHIKV terdapat juga anggota Alphavirus lainnya yang dapat menyebabkan demam, ruam, dan artralgia, yaitu virus O’nyong-nyong, Mayaro, Barmah Forest, Ross River, dan Sindbis, CHIKV paling dekat hubungannya dengan virus O’nyong-nyong, walaupun secara genetik berbeda.

Gambar 1 Skema struktur virus chikungunya

(ViralZone


(23)

Poliprotein nonstruktural berfungsi untuk replikasi virus yang terdiri dari nsP1, nsP2, nsP3, dan nsP4, sedangkan poliprotein struktural terdiri dari C

(capsid) dan E (envelope) E3, E2, 6K, E1. Kedua ORF tersebut diapit oleh

sebuah 5’ dan 3’ nontranslated region (NTR) pada kedua ujungnya (Khan et al. 2002; Akahata 2010). Gen protein nonstruktural (7425 nukleotida) yang diawali dengan start codon triplet (ATG) pada posisi 77-79 dan diakhiri dengan stop

codon triplet (TAG) pada posisi 7499-7501, sementara gen protein struktural

(3735 nukleotida) menempati posisi 7567-11301 genom seperti terlihat pada Gambar 2 (Khan et al. 2002).

CHIKV ditemukan dalam kelenjar tubuh nyamuk vektor seperti saluran pencernaan, ovari, jaringan syaraf, kemudian bermigrasi ke rongga tubuh lainnya dan masuk ke kelenjar ludah nyamuk. Virus akan keluar dari tubuh nyamuk atau dipindahkan ke dalam tubuh manusia pada saat nyamuk tersebut menghisap darah manusia. Kemampuan virus bereplikasi pada berbagai strain nyamuk sangat bervariasi, yakni antara 1046–1074 PFU setiap nyamuk. CHIKV di dalam tubuh manusia akan berkembang biak di jaringan kulit, kemudian menyebar ke hati, persendian, darah dan susunan saraf pusat (SSP). Virus dapat menyerang semua usia, baik anak-anak maupun dewasa. Di dalam tubuh manusia virus memerlukan masa inkubasi selama 2-4 hari sebelum menimbulkan gejala penyakit (Schwartz & Albert 2010).

Gambar 2Skema struktur genom virus chikungunya prototipe Afrika (CHIKV) S27 (Khan et al. 2002).


(24)

Penderita mengalami viremia yang tinggi dalam 2 hari pertama sakit, dengan jumlah virus 108 virus/ml darah.Viremia berkurang pada hari 3 atau

ke-4 demam, dan biasanya menghilang pada hari ke-5, tetapi dapat terjadi sampai beberapa bulan tergantung daya tahan tubuh penderita (Schwartz dan Albert 2010).Silent infection dapat terjadi walaupun sangat jarang yaitu penderita tidak menunjukkan gejala penyakit tetapi dapat menjadi sumber penularan (Schwartz dan Albert 2010).Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya, sehingga perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali.Infeksi akut ditandai dengan timbulnya IgM terhadap IgG antichikungunya yang diproduksi sekitar 2 minggu sesudah infeksi (Schwartz dan Albert 2010).

International Committee on Taxonomy

of Viruses (ICTV)2010sebagai berikut:

: Togavirales

Famili : Togaviridae

Subfamili : Togavirinae

Group: : Group IV [(+) SS RNA]

: Alphavirus

: Chikungunya Virus (CHIKV)

Pembuktian ilmiah yang meliputi isolasi dan identifikasi virus baru berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-1953.CHIKV pertama kali disolasi oleh Ross pada kejadian epidemik dengue di wilayah Newala, Tanzania pada tahun 1953. Strain Asia merupakan genotipe yang berbeda dengan virus asal Afrika. Pemeriksaanvirus dalam tubuh nyamuk antara lain dilakukan dengan mengisolasi virus chikungunya dengan biakan atau dengan teknik Polymerase

Chain Reaction (Depkes 2007).

2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1985, merupakan suatu prosedur yang efektif untuk pelipatgandaan (amplifikasi) DNA. Proses ini mirip


(25)

dengan proses replikasi DNA dalam sel, dan bisa menghasilkan lebih dari sejuta kali DNA asli. Hasil pelipatgandaan segmen DNA ini menyebabkan segmen DNA yang dilipatgandakan tersebut mudah dideteksi karena konsentrasinya tinggi.Pada dasarnya, PCR mampu mengenali dan memperbanyak (amplifikasi) segmen DNA sasaran walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah.Reaksi amplifikasi sangat bergantung dari keberadaan enzim polymerase sebagai katalisator, terutama yang tahan panas.Enzim yang paling terkenal dan paling banyak digunakan adalah polimerase DNA Taq (Taq polymerase) yang diisolasi dari bakteri tahan panas

thermus aquatic (Sudjadi 2008).

Proses pelipatgandaan DNA oleh PCR ini meliputi 3 tahapan yaitu: Pertama

melepaskan rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal DNA melalui proses denaturasi. Proses denaturasi DNA dilakukan dengan cara menaikkan suhu sampai 95°C, sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali dengan proses denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah sempurna menjadi rantai tunggal;Kedua adalah anneling atau pemasangan dua rantai primer pada kedua rantai DNA tersebut. Primer merupakan oligonukleotida yang berfungsi sebagai pemancing amplifikasi molekul DNA, yang terdiri atas dua macam yaitu

forward dan reverse. Primer forward mengawali amplifikasi cetakan DNA ke

arah kanan dengan arah sintesis dari ujung 5’P ke 3’OH, sebaliknya primer

reverse mengawali amplifikasi cetakan DNA ke arah kiri. Dengan adanya kedua

primer tersebut, maka gen target akan teramplifikasi sepanjang PCR berlangsung. Primer terdiri dari 18-24 deret basa nukleotida dan biasanya dapat dipasangkan dengan DNA yang akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan dideteksi ini membutuhkan suhu optimum sesuai dengan kebutuhan primer tersebut, dan dilakukan dengan cara menurunkan suhu antara 37-60°C;Ketigaadalahextension atau perpanjangan. Pada proses ini deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), yang sebelumnya telah ditambahkan dalam pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya 18-24 deret basa nukleotida akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang terdapat di dNTP dan kemudian menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan itu. Proses ini dibantu oleh adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja optimum pada suhu 72°C. dNTP merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida (A,G,C dan T) yang terikat


(26)

pada 3 gugus fosfat dan masing-masing berdiri bebas sampai enzim DNA polimerase mengkatalis pengikatannya pada primer. Setelah siklus PCR berakhir, proses final extension dilakukan selama 5-15 menit pada suhu yang lebih rendah dari ekstensi untuk menjamin semua rantai tunggal DNA telah terbentuk sepenuhnya. Ketiga proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan DNA sesuai kebutuhan (Sudjadi 2008).

2.4 Teknik PCR Untuk Mendeteksi Virus Chikungunya

Sampel yang digunakan pada PCR adalah DNA yang diekstrak dari sel atau jaringan. Amplifikasi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai

template atau cetakan, sehingga pada sampel RNA perlu dilakukan proses

transkripsi balik (reverse transcription) atau RT-PCR. Pada metode RT-PCR, pertama-tama RNA akan diubah menjadi DNA dengan menggunakan enzim

reverse transcriptase, menghasilkan komplemen DNA (cDNA). RNA virus dapat

di isolasai dari plasma, serum atau jaringan tubuh lainnya, dan nyamuk vektor.Pemeriksaan molekuler dengan menggunakan RT-PCR khususnya telah dikembangkan untuk mendeteksi beberapa Arbovirus termasuk virus chikungunya (Hasebe et al. 2002; Pastorino et al. 2005; Carletti et al. 2007). Pada saat terjadi wabah chikungunya tahun 2005-2006 di La Reunion, peneguhan diagnosa dilakukan menggunakan teknik RT-PCR yang menarget gen E1 dengan primer CHIKV forward, (5’ GCCTGGACACCTTTCGAC 3’) dan CHIKV reverse, (5’AATTCTAATACGACTCACTATAGGGGCTCTTACCGGGTTTGTTGC 3’) oleh Telles et al. (2009). Studi di Comoros oleh Sang et al. (2005) berhasil mendeteksi CHIKV pada pool nyamuk dewasa yang dipisahkan sesuai spesies, jenis kelamin dan tempat (10-15 nyamuk/pool) dengan teknik RT-PCR

menggunakan pasangan primer forward

(5’TGCGCGGCCTTCATCGGCGACTAC 3’) dan primer revese

(5’CCAGGTCACCACCGAGAGGG 3’), yang spesifik terhadap gen E1 berhasil mendeteksi CHIKV pada 7 pool nyamuk Ae. aegypti.Pada wabah di Thailand, Thavara et al. (2009) berhasil mendeteksi CHIKV menggunakan primer

forwardCHIK-F3 (5’ACGCAATTGAGCGAAGCAC 3’) dan primer revese


(27)

danAe. Albopictus. Rohani et al. (2005) menggunakan primer spesifik terhadap gen protein nonstruktural (nsp1) yaitu primer forward CHIKnsP1-S (5’ TAGAGCAGGAAATTGATCCC 3’) dan primer revese CHIKnsP1-C (5’ CTTTAATCGCCTGGTGGTAT 3’), berhasilmendeteksi CHIKV dari nyamuk

Ae. aegyptipada wabah di Malaysia.

2.5 Vektor Chikungunya

Vektor dominanpenyakit chikungunya pada umumnya adalah nyamuk

NyamukAedes spp.dewasa dapat dibedakan dari jenis nyamuk umum lainnya dengan melihat ujung abdomen (perut) meruncing, mempunyai sersi yang menonjol, lalu bagian lateral dadanya terdapat rambut postspicular dan tidak mempunyai rambut spikular.Klasifikasi ilmiah dari nyamuk Aedesmenurut Christopher 1960adalah:

Famili Culicidae Subfamili Culicinae, Genus Aedesyaitu Ae.furcifer, Ae. taylori,

Ae. luteocephalus di Afrika (Diallo et al. 1999), di Asia Ae. aegyptidan Ae.

albopictus (Kaur et al. 2006; Pialoux 2007; WHO 2008; Lee et al. 2009; Eapen et

al. 2010). Di Indonesia ada 3 jenis nyamuk genus Aedes yang umum ditemukan yaituAe. aegypti,Ae.albopictusdan Ae. scutelaris, tetapi yang dilaporkan sebagai vektor chikungunya adalah Ae. aegyptidan Ae.albopictusyang dikenal juga sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (Hadi & Koesharto 2006; Depkes 2007).

Subfamili

:Ae. aegypti&Ae. albopictus

2.5.1 MorfologiAe. aegyptidan Ae. albopictus

Secaramorfologis kedua spesies nyamuk tersebut sangat mirip, tubuhnya bercorak belang hitam putih pada thoraks, abdomen dan tungkai.Corak ini


(28)

merupakan sisik yang menempel di luar tubuh nyamuk. Perbedaan keduanya terletak pada strip putih yang terdapat di bagian skutumnya,Ae. aegyptiberwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sementara skutum Ae. albopictusyang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Demikian juga menurut Hadi& Koesharto (2006), corak putih pada dorsal dada atau punggung Ae.aegypti berbentuk seperti siku yang berhadapan (lyre-shaped), sedangkan pada Ae.albopictus berbentuk lurus ditengah-tengah punggung (median

stripe).

2.5.2 Bioekologi Aedes spp.

NyamukAe. aegypti dan Ae. albopictus hidup di lingkungan sekitar manusia. Ae.aegyptiterutama hidup di dalam dan sekitar rumah di daerah perkotaan (urban). Hal serupa juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Sudan oleh Abdalmagid& Alhusein (2008). Tempat perindukan (breeding place) dari nyamuk ini biasanya ada didalam atau sekitar rumah dalam radius 100 meter dari rumah.Kebiasaan hidup stadium pradewasa Ae.aegyptiadalah pada bejana buatan manusia yang berada di dalam maupun di luar rumah. Tempat perindukan yang disukai pada umumnya adalah air bersih, tempat yang tidak terkena cahaya matahari langsung dan tidak berhubungan langsung dengan tanah (Surtess 1967a), tetapi pada tahap penelitian laboratorium nyamuk ini juga dapat meletakkan telurnya pada pada air tercemar yaitu air sabun (Sudarmaja & Mardihusodo 2009). Tempat perindukan tersebut antara lain terdapat di bak mandi, guci tempat penyimpan air minum, kaleng bekas, pecahan botol,ban bekas, drum bekas, vas bunga, talang air dan lain-lain yang berisi genangan air jernih. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasyimi &Soekirno (2004) di dapatkan bahwa larva nyamuk Ae.aegyptipaling banyak ditemukan pada tempayan (66,7%), drum (32,6%), bak mandi sebesar 18,8% dan paling sedikit ember (5,4%). Selain itu penelitian terhadap nyamuk ini juga dilakukan di Sudan dan ditemukan juga bahwa larva nyamuk ini juga dapat hidup di lubang batu dan pot (Abdalmagid &Alhusein 2008).Ae.albopictus lebih menyukai tempat perindukan yang alami di luar rumah, di kebun dan di halaman rumah seperti kelopak daun keladi, daun


(29)

pisang, tunggul bambu kaleng, kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang rumah, bambu pagar, kulit buah seperti buah rambutan, tempurung kelapa, ban bekas dan semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih dan lain-lain (Sembel 2009).

Beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap perletakan telur nyamuk tersebut antara lain jenis wadah, warna wadah, air, suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan setempat. Hal yang sama juga dilaporkan oleh (Hadi & Koesharto 2006), nyamuk Ae.aegyptiberkembang biak dalam tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga dan barang bekas yang dapat menampung air hujan, demikian juga dengan nyamuk Ae.

albopictus, tetapi lebih banyak terdapat diluar rumah. Nyamuk Ae.

aegyptimemiliki organ kemoreseptor dan mekanoreseptor, sehingga dapat

mengetahui tempat untuk meletakkan telur, tempat makanan, mengenal sesama jenis, membedakan musuh atau menemukan lawan jenis. Dengan organ fotoreseptor yang ada pada mata majemuknya Ae.aegypti dapat membedakan warna.Dari beberapa kajian diketahui bahwa nyamuk Ae.aegypti, terutama yang betina lebih menyukai benda atau obyek yang berwarna gelap daripada yang terang, baik untuk beristirahat atau bertelur dari nyamuk betina, seperti yang dilaporkan oleh Sutrees (1967b).

Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. berupa genangan-genangan air yang tertampung di suatu wadah yang disebut kontainer dan bukan pada genangan-genangan air di tanah, yang terdiri dari; a)Tempat penampungan air (TPA), misalnya tangki air, bak besar, bak mandi, bak WC, drum, tempayan, ember dan jambangan; b) Bukan tempat penampungan air (Non TPA), yang terdiri atas barang-barang bekas (kaleng bekas, ban bekas, botol bekas, pecahan piring, pacahan gelas, pecahan mangkok, bekas aquarium, bekas kolam ikan dari semen, bekas TPA, bekas tempat mengaduk semen, tempat penadah air dispenser), saluran air (talang, saluran air hujan, got semen, saluran WC, lubang kran, bak meter) dan lain-lain (vas bunga, pot tanaman, helm, kolam di taman, patok besi/plastic dan perangkap semut); c) Kantainer alamiah, misalnya potongan bambu, tempurung kelapa, pelepah daun (pisang, keladi, bakung), daun yang


(30)

jatuh, kulit keong, lubang pada batu, sejenis tumbuhan kantong semar(Depkes 2007).

KepadatannyamukAedes spp.dapat diperoleh dengan mengumpulkan larva atau nyamuk dewasa. Pengumpulan larva diperoleh dengan melakukan survei jentik dengan metode single larva dan visual. Single larva dilakukan dengan mengambil satu larva di setiap tempat penampungan air yang ditemukan larva untuk diidentifikasi lebih lanjut, sedangkan caravisual yaitu dengan melihat ada atau tidaknya larva di setiap penampungan air tanpa mengambil larvanya. Kemudian dapat dihitung kepadatan larva Aedes spp. dengan melakukan pengukuran index larva(Depkes 2007)sebagai berikut: a) Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu persenrase rumah yang tidak ditemukan larva dibandingkan dengan seluruh rumah yang diperiksa; b) Angka rumah atau House index (HI) merupakan persentase rumah yang positif diperoleh adanya larva Aedes spp.;c) Container

index (CI) merupakan persentase tempat penampungan air atau kontainer yang

positif diperolehadanya larva; d) Breteau index (BI) yaitu jumlah wadah atau tempat perindukan yang positif dengan larva Aedes spp. yang ditemukan pada 100 rumah yang diperiksa.

NyamukAe. aegypti dan Ae.albopictusdewasa mempunyai perilaku makan yang sama yaitu menghisap nectar dan cairan tanaman sebagai sumber energinya. Selain energi, nyamuk betina juga membutuhkan pasokan protein untuk keperluan produksi dan proses pematangan telurnya yang diperoleh dari cairan darah inang. Di dalam proses memenuhi kebutuhan protein untuk proses pematangan telurnya ditentukan oleh frekuensi kontak antara vektor dengan inang. Ae.aegyptidiketahui bersifat antropofilik (Siriyasatien et al.2010). Hasil penelitian di Thailand menunjukkan bahwa Ae.aegyptihampir sepenuhnya (99%,) menghisap darah manusia, namun beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa

Ae. aegyptimempunyai inang selain manusia yaitu binatang peliharaan seperti

anjing, kucing, sapi dan kuda. Ae.albopictusyang dikenal sebagai vektor kedua virus DBD tersebut diasumsikan sebagai pemakan yang lebih umum dibandingkan dengan Ae. aegypti. Fakta lain menunjukkan bahwa di daerah tertentu nyamuk Ae. albopictushanya menjadikan manusia sebagai inang tunggalnya seperti yang dilaporkan oleh Ponlawat & Harington (2005).Kisaran


(31)

inang dan preferensi vektor terhadap inang tersebut menentukan status spesies tersebut sebagai vektor utama penyakit.

Nyamuk betina dewasa menghisap darah manusia (antropofilik) untuk mematangkan telur pada siang hari baik di dalam rumah maupun di luar rumah.Perilaku

PerilakunyamukAedes spp.sama

menghisap darah pada pagi hari sampai sore hari (lebih suka pada jam 08.00-12.00 dan jam 15.00-17.00). Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menghisap darah lebih dari satu orangdalam satu siklus gonotropik dengan jarak terbang sekitar 100 meter, tetapi dilaporkan juga kedua jenis nyamuk ini mampu terbang dengan mudah dan cepat dalam mencari tempat perindukan dengan radius 320 meter. Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu istirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telur (Agoes 2009).Kepadatan nyamuk dewasa dilakukan dengan menghitung: a) Biting atau

Landing Rate, yaitu angka yang menunjukkan jumlah nyamuk Aedes spp.betina

yang tertangkap dengan umpan orang per jam penangkapan per orang; b) Resting Rate yaitu angka yang menunjukkan jumlah nyamuk Aedes spp. yang tertangkap pada penangkapan nyamuk hinggap atau istirahat (Depkes 2007).

seperti perilaku nyamuk pada umumnya, mempunyai 2 cara beristirahat yaitu istirahat yang sebenarnya yaitu selama waktu menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara yaitu pada waktu sebelum dan sesudah mencari darah pada tempat lembab, teduh dan aman. Perilaku nyamuk berbeda tergantung jenisnya, ada nyamuk masuk ke rumah hanya untuk menghisap darah lalu keluar, ada pula sebelum maupun sesudah mengisap darah hinggap di dinding untuk beristirahat.Tempat yang lebih disukai

Ae.aegypti untuk beristirahat adalah di dalam rumah, yaitu yang mengantung dan

memiliki permukaan licin, seperti pakaian yang digantung, gorden atau alat-alat rumah tangga, tempat yang gelap, berbau dan lembab. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan di Panama yang menemukan bahwa nyamuk

Ae.aegyptiberistirahat di kamar tidur, ruang keluarga, dankamar mandi (Perich et

al. 2000). Nyamuk Ae.albopictus lebih memilih beristirahat di luar rumah, seperti rumput-rumputan dekat tempat perindukan yang tidak terpapar sinar matahari, tanaman hias di halaman rumah (Agoes 2009),pendapat ini juga didukung oleh penelitian di Brazil (Braks et al. 2003).


(32)

2.6 Perilaku Masyarakat

Perilakumanusiapada hakikatnya adalah tindakan aktivitas manusia itu sendiri yang dapat diamati langsung maupun tidak langsung oleh pihak luar. Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok atau masyarakat. Bloom (1974) membagi perilaku dalam 3 (tiga) domain (ranah) yakni : kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Notoatmodjo (2007), dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari :

1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt

behavior). Pengetahuan dibagi dalam 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2007): a) Tahu

(know), artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya; b) Memahami (comprehension), Memahami artinya suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar; c) Aplikasi (aplication), artinya kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya; d) Analisis (analysis), artinya suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktuk organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain; e) Sintesis (synthesis), artinya suatu kemampuan seseorang untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada; f) Evaluasi (evaluation), artinya kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2 Sikap

Menurut Notoatmodjo (2007) sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap belum merupakan suatu tindakan, akan tetapi


(33)

merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Sikap relatif konstan dan agak sukar berubah sehingga jika ada perubahan dalam sikap berarti adanya tekanan yang kuat. Pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yang berpengaruh, media massa, institusi pendidikan maupun lembaga agama. Dengan perkataan lain, sikap merupakan perubahan yang meniru perilaku orang lain karena orang lain tersebut dianggap sesuai dengan dirinya.

3 Praktik atau tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan.Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata dibutuhkan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas.Tindakan adalah niat yang sudah direalisasikan dalam bentuk tingkah laku yang tampak dan memerlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan.Dari pandangan biologis tindakan merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Tindakan mempunyai beberapa tingkatan: a) Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil; b) Respon terpimpin (guided response), yaitu tingkah laku yang dilakukan sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan yang telah dicontohkan; c) Mekanisme (mechanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan; d) Adopsi (adoption), yaitu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.


(34)

3METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitiandilakukan di RW 03 dan RW 04 Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, bulan Desember 2010 hingga Agustus 2011. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan sebaran kejadian chikungunyayang berpusat di dua RW yaitu RW III dan RW IV, dan masing-masing RW diambil 3 RT (Gambar 3). Wilayah penelitian memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan wilayahnya berbatasan dengan perkebunan karet, sehingga ada kemungkinan bahwa tempat perkembangbiakan nyamuk pada wadah bukan TPA maupun wadah alamiah yang terdapat pada perkebunan karet di dekat pemukiman penduduk.Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dan memanfaatkan lahan disekitar perkebunan untuk ditanami tanaman, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk terjadinya kontak dengan nyamuk.


(35)

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam bentuk survei lapangan selama4 bulan, kemudian dilanjutkan deteksi keberadaan virus dalam tubuh nyamuk di laboratorium.Kegiatan survei dilakukan pada rumah penduduk yang bersedia diperiksa di lokasi penelitian.Jumlahrumah minimalyang diperiksa dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

n = N

1 + N (d²) (Notoatmodjo 2002)

Keterangan :

N = Besar populasi n = Besar sampel

d = Tingkat kepercayaan yang diinginkan yaitu 0.05

Dari perhitungan tersebut diperoleh 124 rumah setiap bulan pengamatan. Semua nyamuk yang tertangkap dari 124 rumah tersebut dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini, dengan beberapa tahapan kegiatan yaitu: 1) Pengumpulan telur nyamuk; 2) Pengumpulan larva; 3) Penangkapan nyamuk dewasa; 4) Wawancara dan observasi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat; 5) Deteksi virus chikungunya pada nyamuk.

3.2.1 Bagan Alur Penelitian

Pengumpulan Telur

Pengumpulan Larva

Pengumpulan Nyamuk Dewasa PSP Masyarakat

Lapangan

Identifikasi Nyamuk

Deteksi CHIKV

PCR Laboratorium


(36)

3.2.2 Pengumpulan Telur Nyamuk

Telurdikumpulkan menggunakan ovitrap yaitu berupa kaleng kecil yang dicat warna hitam. Cara pemasangannya adalah mengisi kaleng ovitrap dengan air sampai ± setengah (250ml), lalu masukkan kertas saring mengelilingi kaleng

ovitrap, kemudian disimpan di tempat-tempat gelap yang diduga sebagai tempat

persembunyian nyamuk, misalnya bawah kolong tempat tidur, bawah meja, atas lemari dan sebagainya. Pengambilan ovitrap dilakukan 5 hari kemudian dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dihitung jumlah telurnya. Telur yang sudah di hitung tersebut tersebut ditetaskan di laboratorium dan dipelihara atau

rearing sampai dewasa. Dari data pengumpulan telur tersebut dapat dihitung

Ovitrap Index.Pemasangan ovitrap dilakukan 2 kali dalam seminggu pada rumah

penduduk yang tidak didapatkan larva maupun nyamuk dewasa.

3.2.3 Pengumpulan Larva Nyamuk

Pengumpulan larva nyamuk dilakukan dengan mengamati semua wadah atau tempat penampungan air yang berada di dalam maupun di luar rumah penduduk yang diperiksa. Tempat penampungan yang dimaksud berupa bak mandi dan WC, ember, drum, tempayan, kaleng dan ban bekas, kelopak daun dan lain-lain.Pengamatan ada atau tidaknya larva nyamuk dilakukan secara visual

dengan menggunakan alat bantu berupa senter dan pipet. Jika positif, maka larva tersebut diambil dengan menggunakan cidukan atau gayung dan dipindahkan ke dalam plastik dengan menggunakan pipet.Larva dari setiap wadah yang positif dipisahkan, diberi label dan dibawake laboratorium untuk diidentifikasi.Kemudian wadah positif tersebut dicatat jenis, bahan, dan warna.Kepadatan larvadari lapangandihitungIndex Larvayaitu Angka Bebas Jentik (ABJ), House index (HI),

Container index (CI)dan Breteau index (BI). Pengumpulan larva dilakukan 2kali

seminggu selama 4 bulan dari jam 06.00 sampai jam 18.00.

3.2.4 PengumpulanNyamuk Dewasa

Nyamuk dewasa diperoleh dengan cara penangkapan menggunakan metode

HumanLanding Collection (HLC)atau umpan orang dan Resting Collection (RC).


(37)

rumah dan 1 orang lagi menangkap di luar rumah.Penangkapan nyamuk dengan umpan orang dilakukan selama 20 menit per rumah dan 5 menit selanjutnya menangkap nyamuk yang sedang istirahat. Tiap penangkap duduk dengan celana digulung sampai lutut dan menunggu 20 menit untuk digigit nyamuk. Nyamuk yang hinggap langsung ditangkap dengan aspirator dan dimasukkan dalam gelas kertas atau paper cup dibedakan per rumah dan metode penangkapan, kemudian dibawa ke laboratorium dan dimasukkan freezer -20°C.Keragaman spesies dan kepadatan nyamuk yang tertangkap dihitung Landing Rate (LR), Man Biting Rate

(MBR), Resting Rate (RR).Pengumpulan nyamuk dewasa dilakukan 2 kali seminggu selama 4 bulan dari jam 06.00 sampai jam 18.00.

3.2.5 Identifikasi Nyamuk

Nyamuk yang telah dikumpulkan tersebut, diidentifikasi sesuai kunci identifikasi Depkes (2008).Nyamuk dipisahkan berdasarkan jenis, waktu, lokasi pengambilan dan dimasukkan kedalam tabung eppendorf sebanyak 5-25 ekor per tabung, laludimasukkan freezerdengan suhu -80°C sampai dilakukanRT-PCR.

3.2.6 Deteksi Virus Chikungunya Pada Nyamuk

Pemeriksaanvirus chikungunya dalam tubuh nyamuk di lakukan terhadap semua nyamuk hasil penangkapan dari lapangan dengan RT-PCR. Kegiatan yang dilakukan meliputi: 1) Ekstraksi RNA virus; 2) Pengujian RT-PCR

Ekstraksi RNA Virus

Ekstraksi RNA virus diawali dengan menggerus nyamuk menggunakan

pestle kemudian ditambahkan media (BA1) sesuai jumlah nyamuk. Sebanyak

10-25 nyamukditambahkan BA1 1ml; 5-10 nyamukditambahkan BA1 500 µl; dan bila kurang dari 5 nyamukditambahkan BA1 250µl. Gerusan diaduk sampai larut, setelah itu sentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 3 menit, kemudian 140 µl supernatan diambil untuk ekstraksi RNA virus dengan tahapan sebagai berikut: Pertama, sebanyak 560 lysis mix yang terdiri atas 560 µl AVL dan 5.6µl

RNA-carrierdimasukkan ke dalam tabung eppendorf1.5ml, lalu ditambahkan

sampel 140µl, kemudian vortexselama 15 detik, setelah itu di inkubasi dalam


(38)

tersebut ditambahkan ethanol sebanyak 560µl, lalu vortex selama 15 detik dan

sentrifuse 5 detik; Ketiga, sebanyak 630µl larutan tersebut dipindahkan ke dalam

spin column yang terpasang pada collection tube, dan sentrifuseselama 30 detik,

kemudian collection tube dibuang dan diganti dengan collection tubeyang baru (langkah tersebut diulangi sampai campuran habis);Keempat, selanjutnya ditambahkan 600µl AW1, lalusentrifuseselama 30 detik, dancollection tube

dibuang sertadiganti, kemudian ditambahkan lagi 600µl AW2, lalu

sentrifuseselama 30 detik, lalu collection tube dibuang dan diganti, setelah

itusentrifusedengan kecepatan maksimum 1 menit dengan tujuan untuk

mengeringkan, collection tube dibuang dan spin column dipindahkan ke eppendorf 1.5 ml.Kemudian ditambahkan buffer AVE 60µl (tepat ditengah tanpa menyentuh dinding atau filter),lalu didiamkan selama 3 menit

dansentrifusedengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.Hasil ekstraksi RNA

tersebut dapat langsung digunakan sebagai templateRT-PCR atau dapat simpan pada suhu -80°C bila tidak digunakan.

RT-PCR

DeteksiRNA virus chikungunya dengan menggunakan pasangan Primermenggunakan Primer forward CHIKnsP1-S dengan sekuens 5’-TAG-AGC-AGG-AAA-TTG-ATC-CC-3’ dan Primer reverse CHIKnsP1-C dengan sekuens 5’-CTT-TAA-TCG-CCT-GGT-GGT-AT-3’ (Rohani et al.

2005).Sebelum di lakukan RT- PCR, perlu disiapkan campuran PCR Master Mix

PCR di atas cold block dalam biosafety cabinetuntuk volume/reaksi 12.5µl, yang terdiri atas beberapa reagen sebagai berikut: dH20 1.25 µl, 2x buffer6.25 µl, Primer forward (200 pmole) 0.25 µl, Primer reverse (200 pmole) 0.25 µl, Enzyme

0.25 µl. Masukkan 8.5 µl campuran PCR kedalam masing-masing tabung PCR dan ditambahkan 4 µl template untuk setiap sampel.Tabung tersebut ditutup rapat dan disentrifuse, kemudian tempatkan pada mesin PCR untuk amplifikasi.Amplifikasi dilakukan pada total volume/reaksi 12.5 µl menggunakan

Superscript III one-step RT-PCR kit (Invitrogen) dengan 200 pmol primers dan 4

µl template RNA.Kondisi PCR diawali dengan tahapreverse traskripsi pada suhu

48°C selama 30 menit, yang diikuti dengan 35 siklus denaturasi pada 94°C selama 1 menit, Anneling pada 54°Cselama 90 detik dan ekstensi pada 72°Cselama 2


(39)

menit serta diakhiri ekstensi final pada 72°Cselama 7 menit (Rohani et al. 2005; Thavara et al. 2009).

Elektroforesis

Produk amplifikasi selanjutnya diseparasi pada 1% gel agarose. Gel agarose 1% dibuat dengan cara mencampurkan 1 gram agarose dengan 100ml TAE buffer, kemudian dipanaskan pada microwave sampai larut, diaduk rata dan didinginkan pada air mengalir sampai hangat. Selanjutnya ditambahkan 5 µl etidium bromida (0.5 µl/10 ml agarosa) kemudian diaduk rata. Gel tersebut dimasukkan ke dalam cetakan, dibiarkan dingin dan mengeras (±30 menit). Setelah agarose mengeras, dimasukkan ke dalam tangki (chamber) elektroforesis yang berisi buffer TAE.Berikutnya disiapkan 1 µl loading dye (6x), ditambahkan produk PCR 5 µl dan diaduk sampai merata di atas kertasparafilm, kemudian dimasukkan ke dalam sumuran pada gel agarose, lalu masukkan pula berturut-turut5 µl Ladder DNA 1 kb diletakkan sesuai kebutuhan,5 µl kontrol negatif dan 5 µl kontrol positif pada sumur-sumur berikutnya.Kontrol positif adalah hasil amplifikasi PCR yang berisi

master mix yang dicampur dengan RNA virus chikungunya yang diperoleh dari

Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor (PSSP-IPB).Kontrol negatif adalah hasil amplifikasi PCR yang berisi master mix yang dicampur dengan

RNAase-free water. Elektroforesis dengan arus listrik 120 Vselama 45 menit,

DNA akan bergerak dari kutup negatif ke kutub positif.

Visualisasi

Setelah dielektroforesis, gel agarose diletakkandi atas transluminator ultra

violetuntuk melihat hasil amplifikasi. Pita molekul yang terlihat pada gel agarose

menandakan adanya segmen DNA. Pita DNA tersebut kemudian dibandingkan dengan pita yang ada pada kontrol positif dan Ladder atau marker.

3.2.7 Survai Perilaku Masyarakat

Kegiatansurvaipengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam melakukan pencegahan terhadap penyakit chikungunya diperoleh dengan cara wawancara terhadap penduduk dengan panduan kuesioner terstruktur (Depkes 2007). Penduduk yang diwawancarai sebanyak 124 orang yang (satu rumah


(40)

diwakili oleh satu orang) berusia lebih dari 15 tahun dan bersedia untuk diwawancarai.

3.3Analisis Data

Semua data yang diperoleh baik data bioekologi maupun hasil pemeriksaan keberadaan virus dianalisis secara deskriptif dan analitik serta disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik dengan program exel dan SPSS.

Parameterukuran laju populasi nyamuk larva Aedesspp.dengan menghitung indeks larva yaitu ABJ, HI, CI, BI.ABJ (Angka Bebas Jentik) adalah persentase rumah penduduk yang tidak ditemukan larva nyamuk. HI (House Index) adalah persentase rumah yang ditemukan larva dari seluruh rumah yang diperiksa. CI

(Container Index) adalah persentase wadah yang ditemukan jentik dari seluruh

wadah yang diperiksa.BI(Bretau Index) adalah jumlah wadah yang ditemukan larva nyamuk dalam 100 rumah yang diamati.

Rumus :

ABJ = Jumlah rumah yang tidak diperoleh larva

X 100 Jumlah rumah yang diperiksa

HI = Jumlah rumah positif larva

X 100 Jumlah rumah yang diperiksa

CI = Jumlah wadahpositif larva

X 100 Jumlah wadah yang diperiksa

BI = Jumlah wadahpositif larva

X 100 Jumlah rumah yang diperiksa

Kepadatan populasi nyamuk (Density Figure, DF) diperoleh dari gabungan dari HI, CI dan BI dinyatakan dalam skala 1-9 (Tabel 1), dengan 3 kategori yaitu DF=1: kepadatan rendah, DF= 2-5: kepadatan sedang dan DF= 6-9:kepadatan tinggi (WHO 1972).


(41)

Tabel 1 Kepadatan populasi larva nyamuk menurut WHO 1972

Tingkat Kepadatan

House Index(HI)

Container Index(CI)

Breeteau Index(BI)

1 1–3 1–2 1–4

2 4–7 3–5 5–9

3 8–17 6–9 10–19

4 18–28 10–14 20–34

5 29–37 15–20 35–49

6 38–49 21–27 50–74

7 50–59 28–31 75–99

8 60–76 32–40 100–199

9 77 + 41 + 200 +

Kepadatan nyamuk dewasa dihitung dengan indeks nyamuk yaitu Landing Rate (LR), Man Biting Rate(MBR), dan Resting Rate (RR).LR adalahkepadatan nyamuk Aedes spp. yang tertangkap sedang menghisap darah manusia sebagai umpan. MBR adalah kepadatan nyamuk umpan orang per hari. RR adalah kepadatan nyamuk yang sedang istirahat pada setiap rumah yang dikunjungi.Kepadatan telur nyamuk dapat dilihat dengan menghitung Ovitrap

Index (OI) dan Jumlah telur nyamuk per ovitrap.Data pengetahuan, sikap dan

perilaku masyarakat di nilai berdasarkan jumlah jawaban yang benar dari hasil wawancara dengan kategorikan menjadi 3 kategori yaitu: 1) Baik: >70; 2) Cukup atau sedang: 40-70; 3) Kurang: <40.

Rumus :

LR = Jumlah nyamuk Aedes spp.tertangkap umpan orang Jumlah penangkap x jam penangkapan

MBR = Jumlah nyamuk Aedes spp.tertangkap umpan orang Jumlah hari x jumlah umpan orang

RR=

Jumlah nyamuk Aedes spp.tertangkap pada penangkapan nyamuk hinggap Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan OI = Jumlah ovitrappositif telur

X 100 Jumlah ovitrapyang diperiksa

Kepadatan telur = Jumlah telur


(42)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Habitat dan Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes spp.

Wadah yang diamati selama penelitian berlangsung sebanyak 591 wadah dari 483 rumah yang diperiksa. Sebagian besar (92.96%) rumah yang diperiksa mempunyai minimal 1 (satu) tempat penampungan dan hanya 7.04% rumah yang tidak memiliki tempat penampungan air. Penduduk yang tidak memiliki tempat penampungan ini menggunakan air langsung dari sumur di dalam rumah sehingga tidak tidak memiliki tempat penampungan air. Keberadaan tempat perindukan sangat berperan dalam kepadatan nyamuk Aedes spp., karena semakin banyak tempat perindukan yang sesuai maka populasi nyamuk Aedes spp. semakin padat sehingga peluang nyamuk untuk kontak dengan manusia dan menularkan berbagai penyakit lebih besar. Faktor yang mempengaruhi peletakan telur nyamuk tersebut antara lain jenis wadah, warna wadah, bahan dasar wadah, letak wadah, dan kondisi lingkungan (ketersediaan habitat potensial, curah hujan, pH air, suhu dan kelembaban udara).

Hasil identifikasi dari seluruh larva nyamuk yang ditemukan pada semua wadah yang diperiksa di lapangan ada 2 spesies nyamuk Aedes yaitu Ae. aegypti

dan Ae. albopictus. Kedua larva nyamuk tersebut secara morfologi dapat

dibedakan dari bentuk comb scales. Larva Ae.aegypti mempunyai comb scales

yang tajam dan bergerigi berbentuk trisula, sedangkan larva Ae. albopictus dengan gerigi yang halus atau fringe (Gambar 4).

Gambar 4Comb scales larva Ae. aegypti berbentuk trisula (1) dan Ae. albopictus

dengan gerigi yang halus atau fringe (2).


(43)

4.1.1 Jenis Wadah

Wadahatautempat penampungan yang dimiliki oleh masyarakat di lokasi penelitian dibagi menjadi 3 kategori wadah yaitu Tempat Penampungan Air (TPA), bukan TPA dan Penampungan Alamiah. TPA merupakan wadah buatan manusia yang digunakan penduduk menampung air untuk keperluan sehari-hari.Bukan TPA yaitu wadah produktif buatan manusia yang berpotensi besar untuk tempat perindukan nyamuk tetapi wadah tersebut tidak digunakan oleh penduduk untuk keperluan sehari-hari.Tempat penampungan alamiah yaitu tempat alamiah yang bisa dimanfaatkan oleh nyamuk sebagai tempat meletakkan telurnya, misalnya kelopak daun, lubang pohon dan sebagainya.Beragamnya tempat penampungan air sangat berpotensi bagi nyamuk Aedes spp.untuk berkembangbiak.

Gambar5menunjukkan bahwa jenis wadah yang paling banyak ditemukan yaitu TPA sebesar 541 buah (91.54%), bukan TPA sebanyak 47 buah (7.95%) dan tempat penampungan alamiah sebanyak 3 buah (0.51%). Kepadatan larva paling tinggi ditemukan pada tempat penampungan alamiah (100%), diikuti oleh wadah bukan TPA (89.36%) dan yang paling rendah adalah wadah TPA yaitu (18.85%).Keberadaan wadah penampungan alamiah dan wadah bukan TPA sangatberpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk nyamuk Aedes spp.

Gambar 5 Persentase jenis wadah yang diperiksa dan wadah positif larva nyamuk Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011.

541 47 3 18,85 89,36 100 0 20 40 60 80 100 120 0 100 200 300 400 500 600

TPA Bukan TPA Alamiah

C on tai n er I n de x (% ) Ju m lah Wad ah Jenis Wadah


(44)

Gambar 6 Tanaman Bromelia (wadah penampungan alamiah) yang positif larva

Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai

Maret 2011.

Wadah alamiah yang ditemukan di lapangan yaitu pada tanaman di halaman rumah penduduk. Semua tanaman yang ada diamati, tetapi hanya 3 tanaman dari jenis tanaman yang sama (bunga bromelia) yang terdapat air pada kelopak daunnya dan ketiga tanaman tersebut yang positif diperoleh larva nyamuk (Gambar 6).Walaupun jumlah tanaman yang ditemukan positif hanya 3 tanaman tetapi setiap kelopak daun pada tanaman tersebut didapatkan positif larva nyamuk

Aedes spp. sehingga wadah alamiah di lokasi penelitian merupakan wadah

potensial untuk perkembangbiakan larva nyamuk.Setelah diidentifikasi di laboratorium larva nyamuk yang di peroleh dari tamanan tersebut semuanya larva

Ae.albopictus.

Tabel 2menunjukkan KepadatanlarvaAe.aegypti paling tinggi yaitu pada wadah bukan TPA (40.43%), wadah TPA (14,97%) sedangkan pada wadah alamiah tidak diperoleh selama penelitian. Kepadatan larva Ae.albopictus paling tinggi yaitu pada wadah alamiah (100%), kemudian wadah bukan TPA (40.43%) dan yang paling rendah yaitu pada wadah TPA (3.51%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tempat yang paling berpotensi untuk perkembangbiakan larva nyamuk Ae.aegyptidi Kelurahan Pasir Kuda adalah pada wadah bukan TPA, sedangkan tempat perkembangbiakan larva Ae. albopictus pada wadah alamiah. Demikian juga denganpenelitiandi Singapura yang pernah dilaporkan oleh Chan et al. (1971) bahwa di daerah perkotaan habitat nyamuk Ae. aegyptidan Ae.


(45)

Tabel 2 Kepadatan larva nyamuk berdasarkan jenis wadah penampungan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011

Jenis Wadah

Jumlah Wadah

Σ

Wadah %

Container Indeks (%)

Ae.aegypti Ae.albopictus Campuran Total TPA

Bak mandi/WC 333 56.35 16.52 2.10 0 18.62

Ember 182 30.80 9.34 4.40 1.10 14.84

Drum 11 1.86 27.27 18.18 0 45.45

Tempayan 15 2.54 40 13.33 0 53.33

Σ TPA 541 91.54 14.97 3.51 0.37 18.85

Bukan TPA

Barang bekas 14 2.37 35.71 64.29 0 100

Vas Bunga 11 1.86 36.36 54.55 9.09 100

Aquarium 6 1.02 33.33 0 16.67 50

Kubangan 3 0.51 33.33 0 66.67 100

dispenser 2 0.34 100 0 0 100

Tempat minum burung 2 0.34 50 50 0 100

Tempat siram bunga 2 0.34 50 50 0 100

Talang air 2 0.34 50 50 0 100

Penutup Sumur 2 0.34 100 0 0 100

Kolam 3 0.51 0 33.33 0 33.33

Σ bukan TPA 47 7.95 40.43 40.43 8.51 89.36

Alamiah

Kelopak daun (bunga) 3 0.51 0 100 0 100

Σ Alamiah 3 0.51 0 100 0 100

Total 591 100 16.92 6.94 1.02 24.87

Wadah TPA yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah bak mandi/WC (56.36%), namun kepadatanlarva paling tinggi pada tempayan (53.33%), drum (36.36%), bak mandi/WC (18.62%).Ketiga jenis wadah ini merupakan wadah yang potensial untuk memfasilitasi perkembangan nyamuk

Aedes spp. menjadi dewasa. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan

penelitian Ishak et al. (2009) di Sulawesi Selatan yang menemukan bahwa tempayan atau gentong merupakan wadah TPA yang dominan ditemukan larva. Namun berbeda dengan hasil penelitian Hadi et al. (2006) di desa Cikarawang juga menemukan bahwa wadah yang dominan ditemukan larva Aedes adalah tangki air (33.3%). Perbedaan ini disebabkan karena masyarakat dikedua lokasi mempunyai kebiasaan yang berbeda dalam menampung air dan sumber air yang digunakan. Sebagian besar mayarakat di lokasi penelitian menggunakan air dari PDAM dan juga menggunakan air sumur sehingga masyarakat tidak memerlukan


(46)

tempat penampungan air yang besar. Pada umumnya jenis wadah yang paling banyak digunakan merupakan wadah yang menampung air dalam volume yang sedang sehingga tidak sulit untuk mengganti air, tetapi kenyataannya bahwa masyarakat tidak membersihkan tempat penampungan air sesuai yang seharusnya sehingga tempat penampungan yang ada dimanfaatkan oleh nyamuk untuk berkembangbiak.

Jenis wadahbukan TPA yang ditemukan sebanyak 7.59% dari seluruh wadah yang diperiksa dan sebagian besar wadah tersebut ditemukan positif mengandung larva nyamuk (89.36%).Kedua nyamuk tersebut mempunyai potensi yang sama untuk memanfaatkan wadah bukan TPA sebagai tempat perkembangbiakan yaitu sebanyak 40.43%. Wadah bukan TPA yang paling dominan ditemukan adalah barang bekas yang terdiri atas kaleng bekas, botol bekas dan ban bekas sebanyak 14 buah (2.37%) dari seluruh wadah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya tidak memperhatikan cara pengelolaan barang-barang bekas dengan benar sehingga menjadi tepat yang potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. Kebiasaan masyarakat yang seringkali membuang barang-barang bekas disembarang tempat (disekitar rumah), sehingga menjadi wadah yang produktif menampung air hujan dan dimanfaatkan oleh nyamuk untuk berkembangbiak. Masyarakat tidak menyadari bahwa barang bekas di sekitar rumah tersebut menjadi tempat yang optimal bagi nyamuk untuk meletakkan telur.Pengamatan dilapangan juga ditemukan kolam sebagai salah satu wadah yang positif dengan angka container index sebesar 33.33%. Kolam tersebut sebelumnya digunakan untuk memelihara ikan tetapi pada saat penelitian berlangsung tidak berisi ikan sehingga nyamuk dapat berkembangbiak dengan baik.Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Sitorus (2004).Hal ini menunjukkan bahwa larva Aedes juga mampu beradaptasi dengan sangat baik pada lingkungan yang tidak optimal.

Wadah alamiah yang ditemukan yaitu kelopak daun dari bunga bromelia yang terisi air hujan di halaman rumah penduduk dan larva yang ditemukan yaitu

Ae.albopictus. Jumlah wadah alamiah yang ditemukan hanya 3 wadah, tetapi

mempunyai risiko yang besar untuk perkembangbiakan nyamuk dengan CI 100% artinya semua wadah alamiah potensial ditemukan positif larva.Dari satu bunga


(47)

ditemukan banyak kelopak bunga yang positif mengandung larva nyamuk.Hal ini disebabkan karena Ae.albopictus dapat berkembang biak di habitat perkebunan terutama pada lubang pohon atau pangkal bambu yang sudah dipotong yang biasanya jarang terpantau di lapangan.Kondisi itu dimungkinkan karena larva nyamuk tersebut dapat berkembangbiak denganbaik pada air dengan volume minimum 0.5 sentimeter atau setara dengan dengan satu sendok teh(Judarwanto 2007).

4.1.2 Bahan Wadah

Tabel 3menunjukkan bahwa sebagian besar wadah yang ditemukan di wilayah penelitian terbuat dari bahan dasar plastik yaitu 275 wadah (46.51%), namun persentase larva Aedes spp. paling banyak di temukan pada wadah dengan bahan dasar dari tanaman, karet dan tanah yaitu masing-masing 100% dan yang paling sedikit pada wadah dengan bahan dasar keramik yaitu 19.76%. Hasil penelitianini berbeda dengan penelitian Hasyimi & Soekirno (2004) yang menemukan bahwa larva nyamuk Aedes spp. paling banyak menempati wadah yang terbuat dari logam yaitu 42.5%. Keberadaan larva Aedes spp.di suatu wadah sangat berhubungan dengan makanan larva yang tersedia.Hal tersebut didukung oleh Cahyati & Suharyo (2006) berpendapat bahwa larva Aedeshidup pada air yang jernih dan tenang serta mengandung bahan organik.Larva nyamuk akan lebih mudah berkembangbiak pada wadah yang terbuat dari semen karena mikroorganisme (bakteri dan spora jamur) yang menjadi makanan larva lebih mudah berkembangbiak pada wadah yang memiliki dinding yang kasar. Perkembangbiakan larva menjadi dewasa memerlukan waktu ±7-12 hari sehingga jika dalam waktu tersebut wadah penampungan tidak dibersihkan dengan baik maka mikroorganisme makanan larvapun akan tumbuh dengan baik

Hasil penelitianini membuktikan bahwa ketersediaan makanan larva pada wadah penampungan air bukan hanya ditentukan oleh jenis bahan wadah tetapi juga waktu atau lamanya suatu wadah tidak dibersihkan.Walaupun bahan dasar wadah terbuat dari plastik atau bahan dasar yang licin tetapi mikroorganisme yang menjadi makanan larvapun dapat tumbuh dengan sangat baik sehingga larva tersebut dapat melanjutkan siklus hidupnya.


(48)

Tabel 3 Kepadatan larva nyamuk berdasarkan bahan wadah penampungan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011

Bahan

Wadah Diperiksa %

Container Indeks (%) Ae.

aegypti

Ae.

albopictus Campuran

Semen 131 22.17 19.08 3.82 1.53 24.43

Plastik 275 46.53 14.55 8.73 1.09 24.36

Keramik 167 28.26 16.77 2.99 0 19.76

Kaca 7 1.18 28.57 28.57 14.29 71.43

Tanaman 3 0.51 0 100.00 0 100.00

Alumanium 4 0.68 50.00 25.00 0 75.00

Karet 2 0.34 100.00 0 0 100.00

Tanah 2 0.34 50.00 50.00 0 100.00

∑ 591 100.00 16.92 6.94 1.02 24.87

4.1.3 Warna Wadah

Faktor yang mempengaruhi perletakan telur nyamuk tersebut antara lain jenis wadah, warna wadah, air, suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan. Pada umumnya nyamuk betina akan memilih wadah yang berwarna gelap untuk bertelur. Dari beberapa kajian diketahui bahwa nyamuk Ae.aegypti, terutama yang betina lebih menyukai benda atau obyek yang berwarna gelap daripada yang terang, baik untuk beristirahat atau meletakkan telur seperti yang dilaporkan oleh Sutrees (1967b).

Tabel 4 Kepadatan larva nyamuk berdasarkan warna wadah penampungan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011

Warna Wadah

Jumlah Wadah Container Indeks (%)

Diperiksa % Ae.aegypti Ae.albopictus Campuran Total

Biru 125 21.15 29.60 8.00 0.80 38.40

Abu 118 19.97 17.80 3.39 1.69 22.88

Putih 115 19.46 12.17 9.57 1.74 23.48

Merah 79 13.37 8.86 2.53 0 11.39

Coklat 60 10.15 18.33 16.67 1.67 36.67

Hitam 49 8.29 12.24 0 0 12.24

Hijau 45 7.61 8.89 8.89 0 17.78


(49)

Tabel4 menunjukkan bahwa wadah yang paling banyak diamati di lokasi penelitian yaitu wadah berwarna biru. Demikian juga densitas larva paling tinggi pada wadah berwarna biru (38.40%) dan diikuti wadah berwarna coklat (36.67%) dan densitas larva yang paling rendah adalah wadah berwarna merah (11.39%). Penelitian ini serupa dengan penelitian Novelani (2007) juga menemukan bahwa wadah yang paling banyak ditemukan larva nyamuk Aedes adalah wadah berwarna biru (41.7%).Nyamuk Aedes spp.memiliki organ kemoreseptor dan mekanoreseptor, sehingga dapat mengetahui tempat untuk meletakkan telur, tempat makanan, mengenal sesama jenis, membedakan musuh atau menemukan lawan jenis. Dengan organ fotoreseptor yang ada pada mata majemuknya

Ae.aegypti dapat membedakan warna (Sutrees 1967b).

4.1.3 Letak wadah

Sebanyak 522 wadah (88.32%) dari seluruh wadah yang diamati di lapangan terletak di dalam rumah dan sebanyak 69 wadah (11.68%) di luar rumah. Hal tersebut berhubungan dengan keadaan rumah penduduk di lokasi penelitian yang mempunyai kepadatan tinggi dimana rumah penduduk sangat berdekatan satu dengan yang lainnya sehingga penduduk lebih banyak mempunyai wadah penampungan air di dalam rumah. Selain itu ada penduduk yang tinggal di dalam satu rumah besar dan membuat rumah di dalam rumah tersebut sehingga tidak mempunyai halaman, dan wadah tersebut dikelompokkan pada wadah dalam rumah.Wadah yang positif mengandung larva 72.46% berada di luar rumah

(outdoor) sedangkan wadah yang terletak di dalam rumah (indoor) hanya 18.58%.

Kepadatan larva di luar rumah lebih tinggi daripada di dalam rumah karena wadah yang diamati di luar rumah lebih sedikit dibanding dengan wadah di dalam rumah.

Tabel 5 Kepadatan larva nyamuk berdasarkan letak wadah penampungan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011

Letak Wadah

Wadah diperiksa

Wadah Positif

Ae. aegypti Ae. albopictus Campuran Total

Σ CI Σ CI Σ CI Σ CI

Indoor 522 82 5.71 13 2.49 2 0.38 97 18.58

Outdoor 69 18 26.09 28 40.58 4 5.80 50 72.46

Total 591 100 16.92 41 6.94 6 1.02 147 24.87


(50)

Tabel 5 menunjukkan bahwa kepadatan larva secara umum didominasi pada wadah yang berada diluar rumah baik Ae. aegypti maupun Ae. albopictus masing-masing 26.09% dan 40.58%. NyamukAe. aegyptiterutama hidup di dalam dan sekitar rumah di daerah perkotaan (urban). Hal serupa juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Sudan oleh Abdalmagid& Alhusein (2008).

Hasil menunjukkan bahwa wadah yang terletak diluar rumah lebih berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan larva nyamuk Ae.aegypti maupun

Ae. albopictusdibandingkan dengan wadah yang terletak di dalam rumah. Hal

tersebut dimungkinkan karena selama studi ini berlangsung bertepatan dengan musim hujan sehingga semua wadah yang berpotensi untuk perkembangbiakan larva terisi air hujan dan dimanfaatkan oleh nyamuk betina untuk meletakkan telurnya.Selain itu wadah yang terletak di dalam rumah lebih diperhatikan kebersihannya oleh masyarakat tetapi wadah yang dibiarkan diluar rumah kurang diperhatikan karena dianggap sebagai barang-barang bekas yang tidak bermanfaat lagi.Hal ini didukung oleh pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat yang sedang dalam mendukung upaya pemberantasan sarang nyamuk.Tempat perindukan (breeding place) dari nyamuk ini biasanya ada didalam atau sekitar rumah dalam radius 100 meter dari rumah.Kebiasaan hidup stadium pradewasa

Ae.aegyptiadalah pada bejana buatan manusia yang berada di dalam maupun di

luar rumah.

Tempat perindukan yang disukai adalah air bersih, tempat yang tidak terkena cahaya matahari langsung dan tidak berhubungan langsung dengan tanah (Surtees 1976b;Gosh et al. 2011),sedangkan Ae. albopictus lebih menyukai tempat di luar rumah untuk berkembangbiak. Demikian pula dengan penelitian Eapen et al. (2010) di India yang menemukan bahwa Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di luar rumah yaitu pada perkebunan karet. Habitatnya yang ditemukan sebagian besar adalah kelopak daun nanas (80.8%), diikuti oleh kelopak tanaman berbunga (7.8%), 5% pada pinus dan kelapa sawit serta 1.45% pada kelopak daun pisang. Nyamuk ini sering dikenal sebagai ”tiger mosquitos” atau nyamuk hutan, karena nyamuk ini lebih senang berkembangbiak pada wadah yang di luar rumah dan terlindung dari cahaya matahari.


(1)

76

Lampiran 5

Kegiatan PCR nyamuk dan Elektroforesis

a

b Keterangan:

• RT-PCR (a)


(2)

Lampiran 6

NyamukDewasa di KelurahanPasirKuda, Desember 2010

RW RT

JenisNyamuk

TOTAL Aeaegypti Aealbopictus Cx. qiunquifasciatus Arm subalbatus Cxtritaeniorhinchus

DR LR

B J DR LR B J DR LR B J DR LR B J DR LR B J

L R L R L R L R L R L R L R L R L R L R

III

RT 2 1 15 2 1 6 2 4 1 2 2 1 RT 3 4 3 1 2 1 4 1 1 5 6 6 1 RT 6 4 40 24 1 2 5 2 1 1 JUMLAH 9 58 1 40 28 4 15 2 17 4 2 1 1 4 1 7 8 14 6 1 1 0 112

IV

RT 1 5 18 8 13 3 9 3 2 1 1 1 RT 2 5 18 9 2 10 1 3 RT 4 2 31 18 1 2 1 1 JUMLAH 12 67 44 35 1 1 15 3 11 9 15 1 12 4 3 1 1 4 1 120 Keterangan: DR: DalamRumah; LR: LuarRumah; B: Betina; J: Jantan


(3)

Lampiran 7

NyamukDewasa di KelurahanPasirKuda, Januari 2011

RW RT JenisNyamuk TOTAL

Aeaegypti Aealbopictus Cx. qiunquifasciatus Arm subalbatus Cxtritaeniorhinchus

DR LR B J DR LR B J DR LR B J DR LR B J DR LR B J

L R L R L R L R L R L R L R L R L R L R

III

RT 2 5 37 10 1 8 4 RT 3 3 32 4 14 1 10 1 2 RT 6 2 34 14 1 47 5 5 JUMLAH 10 103 4 79 38 2 2 0 1 65 5 61 10 2 2 0 192

IV

RT 1 7 39 1 25 5 1 10 3 4 RT 2 17 5 24 2 1 RT 4 4 22 4 13 1 7 6 5 17 3

JUMLAH 11 78 1 4 51 43 1 12 6 13 6 51 43 8 4 4 0 1 1 0 169

Keterangan: DR: DalamRumah; LR: LuarRumah; B: Betina; J: Jantan


(4)

Lampiran 8

NyamukDewasa di KelurahanPasirKuda, Februari 2011

RW RT

JenisNyamuk

TOTAL Aeaegypti Aealbopictus Cx. qiunquifasciatus Arm subalbatus Cxtritaeniorhinchus

DR LR B J DR LR B J DR LR B J DR LR B J DR LR B J

L R L R L R L R L R L R L R L R L R L R

III

RT 2 24 9 9 3 10 4 RT 3 7 42 2 26 1 1 148 16 1 1 RT 6 3 2 31 5 JUMLAH 7 69 2 78 41 37 9 1 7 3 1 189 165 25 1 1 0 1 1 0 280

IV

RT 1 2 9 5 1 5 1 12 1 RT 2 58 119 74 1 1 24 1 3 RT

4 2 1 13 3 JUMLAH 60 130 190 110 80 2 5 6 1 1 49 1 44 7 248


(5)

Keterangan: DR: DalamRumah; LR: LuarRumah; B: Betina; J: Jantan

Lampiran 9

NyamukDewasa di KelurahanPasirKuda, Maret 2011

RW RT

JenisNyamuk

TOTAL Aeaegypti Aealbopictus Cx. qiunquifasciatus Arm subalbatus Cxtritaeniorhinchus

DR LR B J DR LR B J DR LR B J DR LR B J DR LR B J

L R L R L R L R L R L R L R L R L R L R

III

RT 2 4 9 13 3 73 14 2 RT 3 2 8 6 64 2 3 RT 6 1 13 4 1 3 218 28 JUMLAH 7 30 27 10 1 13 11 3 3 355 314 44 2 2 0 3 3 0 414

IV

RT 1 2 29 1 16 1 25 5 1 RT 2 8 2 54 1 3 RT 4 3 2 3 JUMLAH 2 40 1 43 23 20 1 1 0 82 1 75 8 1 1 0 128


(6)