Lokasi dan Waktu Penelitian Perilaku Menghisap Darah

3METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitiandilakukan di RW 03 dan RW 04 Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, bulan Desember 2010 hingga Agustus 2011. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan sebaran kejadian chikungunyayang berpusat di dua RW yaitu RW III dan RW IV, dan masing- masing RW diambil 3 RT Gambar 3. Wilayah penelitian memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan wilayahnya berbatasan dengan perkebunan karet, sehingga ada kemungkinan bahwa tempat perkembangbiakan nyamuk pada wadah bukan TPA maupun wadah alamiah yang terdapat pada perkebunan karet di dekat pemukiman penduduk.Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dan memanfaatkan lahan disekitar perkebunan untuk ditanami tanaman, sehingga memberikan peluang yang lebih besar untuk terjadinya kontak dengan nyamuk. Gambar 3 Lokasi penelitian.

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam bentuk survei lapangan selama4 bulan, kemudian dilanjutkan deteksi keberadaan virus dalam tubuh nyamuk di laboratorium.Kegiatan survei dilakukan pada rumah penduduk yang bersedia diperiksa di lokasi penelitian.Jumlahrumah minimalyang diperiksa dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: n = N 1 + N d² Notoatmodjo 2002 Keterangan : N = Besar populasi n = Besar sampel d = Tingkat kepercayaan yang diinginkan yaitu 0.05 Dari perhitungan tersebut diperoleh 124 rumah setiap bulan pengamatan. Semua nyamuk yang tertangkap dari 124 rumah tersebut dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini, dengan beberapa tahapan kegiatan yaitu: 1 Pengumpulan telur nyamuk; 2 Pengumpulan larva; 3 Penangkapan nyamuk dewasa; 4 Wawancara dan observasi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat; 5 Deteksi virus chikungunya pada nyamuk.

3.2.1 Bagan Alur Penelitian

Pengumpulan Telur Pengumpulan Larva Pengumpulan Nyamuk Dewasa PSP Masyarakat Lapangan Identifikasi Nyamuk Deteksi CHIKV PCR Laboratorium

3.2.2 Pengumpulan Telur Nyamuk

Telurdikumpulkan menggunakan ovitrap yaitu berupa kaleng kecil yang dicat warna hitam. Cara pemasangannya adalah mengisi kaleng ovitrap dengan air sampai ± setengah 250ml, lalu masukkan kertas saring mengelilingi kaleng ovitrap , kemudian disimpan di tempat-tempat gelap yang diduga sebagai tempat persembunyian nyamuk, misalnya bawah kolong tempat tidur, bawah meja, atas lemari dan sebagainya. Pengambilan ovitrap dilakukan 5 hari kemudian dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dihitung jumlah telurnya. Telur yang sudah di hitung tersebut tersebut ditetaskan di laboratorium dan dipelihara atau rearing sampai dewasa. Dari data pengumpulan telur tersebut dapat dihitung Ovitrap Index .Pemasangan ovitrap dilakukan 2 kali dalam seminggu pada rumah penduduk yang tidak didapatkan larva maupun nyamuk dewasa.

3.2.3 Pengumpulan Larva Nyamuk

Pengumpulan larva nyamuk dilakukan dengan mengamati semua wadah atau tempat penampungan air yang berada di dalam maupun di luar rumah penduduk yang diperiksa. Tempat penampungan yang dimaksud berupa bak mandi dan WC, ember, drum, tempayan, kaleng dan ban bekas, kelopak daun dan lain-lain.Pengamatan ada atau tidaknya larva nyamuk dilakukan secara visual dengan menggunakan alat bantu berupa senter dan pipet. Jika positif, maka larva tersebut diambil dengan menggunakan cidukan atau gayung dan dipindahkan ke dalam plastik dengan menggunakan pipet.Larva dari setiap wadah yang positif dipisahkan, diberi label dan dibawake laboratorium untuk diidentifikasi.Kemudian wadah positif tersebut dicatat jenis, bahan, dan warna.Kepadatan larvadari lapangandihitungIndex Larvayaitu Angka Bebas Jentik ABJ, House index HI, Container index CIdan Breteau index BI. Pengumpulan larva dilakukan 2kali seminggu selama 4 bulan dari jam 06.00 sampai jam 18.00.

3.2.4 PengumpulanNyamuk Dewasa

Nyamuk dewasa diperoleh dengan cara penangkapan menggunakan metode HumanLanding Collection HLC atau umpan orang dan Resting Collection RC. Setiap rumah terdapat 2 orang penangkap, 1 orang menangkap nyamuk di dalam rumah dan 1 orang lagi menangkap di luar rumah.Penangkapan nyamuk dengan umpan orang dilakukan selama 20 menit per rumah dan 5 menit selanjutnya menangkap nyamuk yang sedang istirahat. Tiap penangkap duduk dengan celana digulung sampai lutut dan menunggu 20 menit untuk digigit nyamuk. Nyamuk yang hinggap langsung ditangkap dengan aspirator dan dimasukkan dalam gelas kertas atau paper cup dibedakan per rumah dan metode penangkapan, kemudian dibawa ke laboratorium dan dimasukkan freezer -20°C.Keragaman spesies dan kepadatan nyamuk yang tertangkap dihitung Landing Rate LR, Man Biting Rate MBR, Resting Rate RR.Pengumpulan nyamuk dewasa dilakukan 2 kali seminggu selama 4 bulan dari jam 06.00 sampai jam 18.00.

3.2.5 Identifikasi Nyamuk

Nyamuk yang telah dikumpulkan tersebut, diidentifikasi sesuai kunci identifikasi Depkes 2008.Nyamuk dipisahkan berdasarkan jenis, waktu, lokasi pengambilan dan dimasukkan kedalam tabung eppendorf sebanyak 5-25 ekor per tabung, laludimasukkan freezerdengan suhu -80°C sampai dilakukanRT-PCR.

3.2.6 Deteksi Virus Chikungunya Pada Nyamuk

Pemeriksaanvirus chikungunya dalam tubuh nyamuk di lakukan terhadap semua nyamuk hasil penangkapan dari lapangan dengan RT-PCR . Kegiatan yang dilakukan meliputi: 1 Ekstraksi RNA virus; 2 Pengujian RT-PCR Ekstraksi RNA Virus Ekstraksi RNA virus diawali dengan menggerus nyamuk menggunakan pestle kemudian ditambahkan media BA1 sesuai jumlah nyamuk. Sebanyak 10- 25 nyamukditambahkan BA1 1ml; 5-10 nyamukditambahkan BA1 500 µl; dan bila kurang dari 5 nyamukditambahkan BA1 250µl. Gerusan diaduk sampai larut, setelah itu sentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 3 menit, kemudian 140 µl supernatan diambil untuk ekstraksi RNA virus dengan tahapan sebagai berikut: Pertama, sebanyak 560 lysis mix yang terdiri atas 560 µl AVL dan 5.6µl RNA-carrier dimasukkan ke dalam tabung eppendorf1.5ml, lalu ditambahkan sampel 140µl, kemudian vortexselama 15 detik, setelah itu di inkubasi dalam room temperature RT selama10 menit;Kedua, selanjutnya langkah pertama tersebut ditambahkan ethanol sebanyak 560µl, lalu vortex selama 15 detik dan sentrifuse 5 detik; Ketiga, sebanyak 630µl larutan tersebut dipindahkan ke dalam spin column yang terpasang pada collection tube, dan sentrifuseselama 30 detik, kemudian collection tube dibuang dan diganti dengan collection tubeyang baru langkah tersebut diulangi sampai campuran habis;Keempat, selanjutnya ditambahkan 600µl AW1, lalusentrifuseselama 30 detik, dancollection tube dibuang sertadiganti, kemudian ditambahkan lagi 600µl AW2, lalu sentrifuse selama 30 detik, lalu collection tube dibuang dan diganti, setelah itusentrifusedengan kecepatan maksimum 1 menit dengan tujuan untuk mengeringkan, collection tube dibuang dan spin column dipindahkan ke eppendorf 1.5 ml.Kemudian ditambahkan buffer AVE 60µl tepat ditengah tanpa menyentuh dinding atau filter,lalu didiamkan selama 3 menit dansentrifusedengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.Hasil ekstraksi RNA tersebut dapat langsung digunakan sebagai template RT-PCR atau dapat simpan pada suhu -80°C bila tidak digunakan. RT-PCR DeteksiRNA virus chikungunya dengan menggunakan pasangan Primermenggunakan Primer forward CHIKnsP1-S dengan sekuens 5’-TAG- AGC-AGG-AAA-TTG-ATC-CC-3’ dan Primer reverse CHIKnsP1-C dengan sekuens 5’-CTT-TAA-TCG-CCT-GGT-GGT-AT-3’ Rohani et al. 2005.Sebelum di lakukan RT- PCR, perlu disiapkan campuran PCR Master Mix PCR di atas cold block dalam biosafety cabinetuntuk volumereaksi 12.5µl, yang terdiri atas beberapa reagen sebagai berikut: dH20 1.25 µl, 2x buffer6.25 µl, Primer forward 200 pmole 0.25 µl, Primer reverse 200 pmole 0.25 µl, Enzyme 0.25 µl. Masukkan 8.5 µl campuran PCR kedalam masing-masing tabung PCR dan ditambahkan 4 µl template untuk setiap sampel.Tabung tersebut ditutup rapat dan disentrifuse, kemudian tempatkan pada mesin PCR untuk amplifikasi.Amplifikasi dilakukan pada total volumereaksi 12.5 µl menggunakan Superscript III one-step RT-PCR kit Invitrogen dengan 200 pmol primers dan 4 µl template RNA.Kondisi PCR diawali dengan tahapreverse traskripsi pada suhu 48°C selama 30 menit, yang diikuti dengan 35 siklus denaturasi pada 94°C selama 1 menit, Anneling pada 54°Cselama 90 detik dan ekstensi pada 72°Cselama 2 menit serta diakhiri ekstensi final pada 72°Cselama 7 menit Rohani et al. 2005; Thavara et al. 2009. Elektroforesis Produk amplifikasi selanjutnya diseparasi pada 1 gel agarose. Gel agarose 1 dibuat dengan cara mencampurkan 1 gram agarose dengan 100ml TAE buffer, kemudian dipanaskan pada microwave sampai larut, diaduk rata dan didinginkan pada air mengalir sampai hangat. Selanjutnya ditambahkan 5 µl etidium bromida 0.5 µl10 ml agarosa kemudian diaduk rata. Gel tersebut dimasukkan ke dalam cetakan, dibiarkan dingin dan mengeras ±30 menit. Setelah agarose mengeras, dimasukkan ke dalam tangki chamber elektroforesis yang berisi buffer TAE.Berikutnya disiapkan 1 µl loading dye 6x, ditambahkan produk PCR 5 µl dan diaduk sampai merata di atas kertasparafilm, kemudian dimasukkan ke dalam sumuran pada gel agarose, lalu masukkan pula berturut-turut5 µl Ladder DNA 1 kb diletakkan sesuai kebutuhan,5 µl kontrol negatif dan 5 µl kontrol positif pada sumur-sumur berikutnya.Kontrol positif adalah hasil amplifikasi PCR yang berisi master mix yang dicampur dengan RNA virus chikungunya yang diperoleh dari Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor PSSP-IPB.Kontrol negatif adalah hasil amplifikasi PCR yang berisi master mix yang dicampur dengan RNAase-free water. Elektroforesis dengan arus listrik 120 Vselama 45 menit, DNA akan bergerak dari kutup negatif ke kutub positif. Visualisasi Setelah dielektroforesis, gel agarose diletakkandi atas transluminator ultra violet untuk melihat hasil amplifikasi. Pita molekul yang terlihat pada gel agarose menandakan adanya segmen DNA. Pita DNA tersebut kemudian dibandingkan dengan pita yang ada pada kontrol positif dan Ladder atau marker.

3.2.7 Survai Perilaku Masyarakat

Kegiatansurvaipengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam melakukan pencegahan terhadap penyakit chikungunya diperoleh dengan cara wawancara terhadap penduduk dengan panduan kuesioner terstruktur Depkes 2007. Penduduk yang diwawancarai sebanyak 124 orang yang satu rumah diwakili oleh satu orang berusia lebih dari 15 tahun dan bersedia untuk diwawancarai. 3.3Analisis Data Semua data yang diperoleh baik data bioekologi maupun hasil pemeriksaan keberadaan virus dianalisis secara deskriptif dan analitik serta disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik dengan program exel dan SPSS. Parameterukuran laju populasi nyamuk larva Aedesspp.dengan menghitung indeks larva yaitu ABJ, HI, CI, BI.ABJ Angka Bebas Jentik adalah persentase rumah penduduk yang tidak ditemukan larva nyamuk. HI House Index adalah persentase rumah yang ditemukan larva dari seluruh rumah yang diperiksa. CI Container Index adalah persentase wadah yang ditemukan jentik dari seluruh wadah yang diperiksa.BIBretau Index adalah jumlah wadah yang ditemukan larva nyamuk dalam 100 rumah yang diamati. Rumus : ABJ = Jumlah rumah yang tidak diperoleh larva X 100 Jumlah rumah yang diperiksa HI = Jumlah rumah positif larva X 100 Jumlah rumah yang diperiksa CI = Jumlah wadahpositif larva X 100 Jumlah wadah yang diperiksa BI = Jumlah wadahpositif larva X 100 Jumlah rumah yang diperiksa Kepadatan populasi nyamuk Density Figure, DF diperoleh dari gabungan dari HI, CI dan BI dinyatakan dalam skala 1-9 Tabel 1, dengan 3 kategori yaitu DF=1: kepadatan rendah, DF= 2-5: kepadatan sedang dan DF= 6-9:kepadatan tinggi WHO 1972. Tabel 1 Kepadatan populasi larva nyamuk menurut WHO 1972 Tingkat Kepadatan House Index HI Container Index CI Breeteau Index BI 1 1–3 1–2 1–4 2 4–7 3–5 5–9 3 8–17 6–9 10–19 4 18–28 10–14 20–34 5 29–37 15–20 35–49 6 38–49 21–27 50–74 7 50–59 28–31 75–99 8 60–76 32–40 100–199 9 77 + 41 + 200 + Kepadatan nyamuk dewasa dihitung dengan indeks nyamuk yaitu Landing Rate LR, Man Biting RateMBR, dan Resting Rate RR.LR adalahkepadatan nyamuk Aedes spp. yang tertangkap sedang menghisap darah manusia sebagai umpan. MBR adalah kepadatan nyamuk umpan orang per hari. RR adalah kepadatan nyamuk yang sedang istirahat pada setiap rumah yang dikunjungi.Kepadatan telur nyamuk dapat dilihat dengan menghitung Ovitrap Index OI dan Jumlah telur nyamuk per ovitrap.Data pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di nilai berdasarkan jumlah jawaban yang benar dari hasil wawancara dengan kategorikan menjadi 3 kategori yaitu: 1 Baik: 70; 2 Cukup atau sedang: 40-70; 3 Kurang: 40. Rumus : LR = Jumlah nyamuk Aedes spp.tertangkap umpan orang Jumlah penangkap x jam penangkapan MBR = Jumlah nyamuk Aedes spp.tertangkap umpan orang Jumlah hari x jumlah umpan orang RR= Jumlah nyamuk Aedes spp.tertangkap pada penangkapan nyamuk hinggap Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan OI = Jumlah ovitrappositif telur X 100 Jumlah ovitrapyang diperiksa Kepadatan telur = Jumlah telur Jumlah ovitrapyang diperiksa 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Habitat dan Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes spp.

Wadah yang diamati selama penelitian berlangsung sebanyak 591 wadah dari 483 rumah yang diperiksa. Sebagian besar 92.96 rumah yang diperiksa mempunyai minimal 1 satu tempat penampungan dan hanya 7.04 rumah yang tidak memiliki tempat penampungan air. Penduduk yang tidak memiliki tempat penampungan ini menggunakan air langsung dari sumur di dalam rumah sehingga tidak tidak memiliki tempat penampungan air. Keberadaan tempat perindukan sangat berperan dalam kepadatan nyamuk Aedes spp., karena semakin banyak tempat perindukan yang sesuai maka populasi nyamuk Aedes spp. semakin padat sehingga peluang nyamuk untuk kontak dengan manusia dan menularkan berbagai penyakit lebih besar. Faktor yang mempengaruhi peletakan telur nyamuk tersebut antara lain jenis wadah, warna wadah, bahan dasar wadah, letak wadah, dan kondisi lingkungan ketersediaan habitat potensial, curah hujan, pH air, suhu dan kelembaban udara. Hasil identifikasi dari seluruh larva nyamuk yang ditemukan pada semua wadah yang diperiksa di lapangan ada 2 spesies nyamuk Aedes yaitu Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Kedua larva nyamuk tersebut secara morfologi dapat dibedakan dari bentuk comb scales. Larva Ae.aegypti mempunyai comb scales yang tajam dan bergerigi berbentuk trisula, sedangkan larva Ae. albopictus dengan gerigi yang halus atau fringe Gambar 4. Gambar 4Comb scales larva Ae. aegypti berbentuk trisula 1 dan Ae. albopictus dengan gerigi yang halus atau fringe 2. 1 2

4.1.1 Jenis Wadah

Wadahatautempat penampungan yang dimiliki oleh masyarakat di lokasi penelitian dibagi menjadi 3 kategori wadah yaitu Tempat Penampungan Air TPA, bukan TPA dan Penampungan Alamiah. TPA merupakan wadah buatan manusia yang digunakan penduduk menampung air untuk keperluan sehari- hari.Bukan TPA yaitu wadah produktif buatan manusia yang berpotensi besar untuk tempat perindukan nyamuk tetapi wadah tersebut tidak digunakan oleh penduduk untuk keperluan sehari-hari.Tempat penampungan alamiah yaitu tempat alamiah yang bisa dimanfaatkan oleh nyamuk sebagai tempat meletakkan telurnya, misalnya kelopak daun, lubang pohon dan sebagainya.Beragamnya tempat penampungan air sangat berpotensi bagi nyamuk Aedes spp.untuk berkembangbiak. Gambar5menunjukkan bahwa jenis wadah yang paling banyak ditemukan yaitu TPA sebesar 541 buah 91.54, bukan TPA sebanyak 47 buah 7.95 dan tempat penampungan alamiah sebanyak 3 buah 0.51. Kepadatan larva paling tinggi ditemukan pada tempat penampungan alamiah 100, diikuti oleh wadah bukan TPA 89.36 dan yang paling rendah adalah wadah TPA yaitu 18.85.Keberadaan wadah penampungan alamiah dan wadah bukan TPA sangatberpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk nyamuk Aedes spp. Gambar 5 Persentase jenis wadah yang diperiksa dan wadah positif larva nyamuk Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. 541 47 3 18,85 89,36 100 20 40 60 80 100 120 100 200 300 400 500 600 TPA Bukan TPA Alamiah C on tai n er I n de x Ju m lah Wad ah Jenis Wadah Wadah diperiksa Wadah Positif Gambar 6 Tanaman Bromelia wadah penampungan alamiah yang positif larva Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. Wadah alamiah yang ditemukan di lapangan yaitu pada tanaman di halaman rumah penduduk. Semua tanaman yang ada diamati, tetapi hanya 3 tanaman dari jenis tanaman yang sama bunga bromelia yang terdapat air pada kelopak daunnya dan ketiga tanaman tersebut yang positif diperoleh larva nyamuk Gambar 6.Walaupun jumlah tanaman yang ditemukan positif hanya 3 tanaman tetapi setiap kelopak daun pada tanaman tersebut didapatkan positif larva nyamuk Aedes spp. sehingga wadah alamiah di lokasi penelitian merupakan wadah potensial untuk perkembangbiakan larva nyamuk.Setelah diidentifikasi di laboratorium larva nyamuk yang di peroleh dari tamanan tersebut semuanya larva Ae.albopictus . Tabel 2menunjukkan KepadatanlarvaAe.aegypti paling tinggi yaitu pada wadah bukan TPA 40.43, wadah TPA 14,97 sedangkan pada wadah alamiah tidak diperoleh selama penelitian. Kepadatan larva Ae.albopictus paling tinggi yaitu pada wadah alamiah 100, kemudian wadah bukan TPA 40.43 dan yang paling rendah yaitu pada wadah TPA 3.51. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tempat yang paling berpotensi untuk perkembangbiakan larva nyamuk Ae.aegyptidi Kelurahan Pasir Kuda adalah pada wadah bukan TPA, sedangkan tempat perkembangbiakan larva Ae. albopictus pada wadah alamiah. Demikian juga denganpenelitiandi Singapura yang pernah dilaporkan oleh Chan et al. 1971 bahwa di daerah perkotaan habitat nyamuk Ae. aegyptidan Ae. albopictus sangat bervariasi, tetapi 90 adalah wadah buatan manusia. Tabel 2 Kepadatan larva nyamuk berdasarkan jenis wadah penampungan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011 Jenis Wadah Jumlah Wadah Σ Wadah Container Indeks Ae.aegypti Ae.albopictus Campuran Total TPA Bak mandiWC 333 56.35 16.52 2.10 18.62 Ember 182 30.80 9.34 4.40 1.10 14.84 Drum 11 1.86 27.27 18.18 45.45 Tempayan 15 2.54 40 13.33 53.33 Σ TPA 541 91.54 14.97 3.51 0.37 18.85 Bukan TPA Barang bekas 14 2.37 35.71 64.29 100 Vas Bunga 11 1.86 36.36 54.55 9.09 100 Aquarium 6 1.02 33.33 16.67 50 Kubangan 3 0.51 33.33 66.67 100 dispenser 2 0.34 100 100 Tempat minum burung 2 0.34 50 50 100 Tempat siram bunga 2 0.34 50 50 100 Talang air 2 0.34 50 50 100 Penutup Sumur 2 0.34 100 100 Kolam 3 0.51 33.33 33.33 Σ bukan TPA 47 7.95 40.43 40.43 8.51 89.36 Alamiah Kelopak daun bunga 3 0.51 100 100 Σ Alamiah 3 0.51 100 100 Total 591 100 16.92 6.94 1.02 24.87 Wadah TPA yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah bak mandiWC 56.36, namun kepadatanlarva paling tinggi pada tempayan 53.33, drum 36.36, bak mandiWC 18.62.Ketiga jenis wadah ini merupakan wadah yang potensial untuk memfasilitasi perkembangan nyamuk Aedes spp. menjadi dewasa. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Ishak et al. 2009 di Sulawesi Selatan yang menemukan bahwa tempayan atau gentong merupakan wadah TPA yang dominan ditemukan larva. Namun berbeda dengan hasil penelitian Hadi et al. 2006 di desa Cikarawang juga menemukan bahwa wadah yang dominan ditemukan larva Aedes adalah tangki air 33.3. Perbedaan ini disebabkan karena masyarakat dikedua lokasi mempunyai kebiasaan yang berbeda dalam menampung air dan sumber air yang digunakan. Sebagian besar mayarakat di lokasi penelitian menggunakan air dari PDAM dan juga menggunakan air sumur sehingga masyarakat tidak memerlukan tempat penampungan air yang besar. Pada umumnya jenis wadah yang paling banyak digunakan merupakan wadah yang menampung air dalam volume yang sedang sehingga tidak sulit untuk mengganti air, tetapi kenyataannya bahwa masyarakat tidak membersihkan tempat penampungan air sesuai yang seharusnya sehingga tempat penampungan yang ada dimanfaatkan oleh nyamuk untuk berkembangbiak. Jenis wadahbukan TPA yang ditemukan sebanyak 7.59 dari seluruh wadah yang diperiksa dan sebagian besar wadah tersebut ditemukan positif mengandung larva nyamuk 89.36.Kedua nyamuk tersebut mempunyai potensi yang sama untuk memanfaatkan wadah bukan TPA sebagai tempat perkembangbiakan yaitu sebanyak 40.43. Wadah bukan TPA yang paling dominan ditemukan adalah barang bekas yang terdiri atas kaleng bekas, botol bekas dan ban bekas sebanyak 14 buah 2.37 dari seluruh wadah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya tidak memperhatikan cara pengelolaan barang-barang bekas dengan benar sehingga menjadi tepat yang potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. Kebiasaan masyarakat yang seringkali membuang barang-barang bekas disembarang tempat disekitar rumah, sehingga menjadi wadah yang produktif menampung air hujan dan dimanfaatkan oleh nyamuk untuk berkembangbiak. Masyarakat tidak menyadari bahwa barang bekas di sekitar rumah tersebut menjadi tempat yang optimal bagi nyamuk untuk meletakkan telur.Pengamatan dilapangan juga ditemukan kolam sebagai salah satu wadah yang positif dengan angka container index sebesar 33.33. Kolam tersebut sebelumnya digunakan untuk memelihara ikan tetapi pada saat penelitian berlangsung tidak berisi ikan sehingga nyamuk dapat berkembangbiak dengan baik.Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Sitorus 2004.Hal ini menunjukkan bahwa larva Aedes juga mampu beradaptasi dengan sangat baik pada lingkungan yang tidak optimal. Wadah alamiah yang ditemukan yaitu kelopak daun dari bunga bromelia yang terisi air hujan di halaman rumah penduduk dan larva yang ditemukan yaitu Ae.albopictus. Jumlah wadah alamiah yang ditemukan hanya 3 wadah, tetapi mempunyai risiko yang besar untuk perkembangbiakan nyamuk dengan CI 100 artinya semua wadah alamiah potensial ditemukan positif larva.Dari satu bunga ditemukan banyak kelopak bunga yang positif mengandung larva nyamuk.Hal ini disebabkan karena Ae.albopictus dapat berkembang biak di habitat perkebunan terutama pada lubang pohon atau pangkal bambu yang sudah dipotong yang biasanya jarang terpantau di lapangan.Kondisi itu dimungkinkan karena larva nyamuk tersebut dapat berkembangbiak denganbaik pada air dengan volume minimum 0.5 sentimeter atau setara dengan dengan satu sendok tehJudarwanto 2007.

4.1.2 Bahan Wadah

Tabel 3menunjukkan bahwa sebagian besar wadah yang ditemukan di wilayah penelitian terbuat dari bahan dasar plastik yaitu 275 wadah 46.51, namun persentase larva Aedes spp. paling banyak di temukan pada wadah dengan bahan dasar dari tanaman, karet dan tanah yaitu masing-masing 100 dan yang paling sedikit pada wadah dengan bahan dasar keramik yaitu 19.76. Hasil penelitianini berbeda dengan penelitian Hasyimi Soekirno 2004 yang menemukan bahwa larva nyamuk Aedes spp. paling banyak menempati wadah yang terbuat dari logam yaitu 42.5. Keberadaan larva Aedes spp.di suatu wadah sangat berhubungan dengan makanan larva yang tersedia.Hal tersebut didukung oleh Cahyati Suharyo 2006 berpendapat bahwa larva Aedeshidup pada air yang jernih dan tenang serta mengandung bahan organik.Larva nyamuk akan lebih mudah berkembangbiak pada wadah yang terbuat dari semen karena mikroorganisme bakteri dan spora jamur yang menjadi makanan larva lebih mudah berkembangbiak pada wadah yang memiliki dinding yang kasar. Perkembangbiakan larva menjadi dewasa memerlukan waktu ±7-12 hari sehingga jika dalam waktu tersebut wadah penampungan tidak dibersihkan dengan baik maka mikroorganisme makanan larvapun akan tumbuh dengan baik Hasil penelitianini membuktikan bahwa ketersediaan makanan larva pada wadah penampungan air bukan hanya ditentukan oleh jenis bahan wadah tetapi juga waktu atau lamanya suatu wadah tidak dibersihkan.Walaupun bahan dasar wadah terbuat dari plastik atau bahan dasar yang licin tetapi mikroorganisme yang menjadi makanan larvapun dapat tumbuh dengan sangat baik sehingga larva tersebut dapat melanjutkan siklus hidupnya. Tabel 3 Kepadatan larva nyamuk berdasarkan bahan wadah penampungan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011 Bahan Wadah Diperiksa Container Indeks Ae. aegypti Ae. albopictus Campuran ∑ Semen 131 22.17 19.08 3.82 1.53 24.43 Plastik 275 46.53 14.55 8.73 1.09 24.36 Keramik 167 28.26 16.77 2.99 19.76 Kaca 7 1.18 28.57 28.57 14.29 71.43 Tanaman 3 0.51 100.00 100.00 Alumanium 4 0.68 50.00 25.00 75.00 Karet 2 0.34 100.00 100.00 Tanah 2 0.34 50.00 50.00 100.00 ∑ 591 100.00 16.92 6.94 1.02 24.87

4.1.3 Warna Wadah

Faktor yang mempengaruhi perletakan telur nyamuk tersebut antara lain jenis wadah, warna wadah, air, suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan. Pada umumnya nyamuk betina akan memilih wadah yang berwarna gelap untuk bertelur. Dari beberapa kajian diketahui bahwa nyamuk Ae. aegypti , terutama yang betina lebih menyukai benda atau obyek yang berwarna gelap daripada yang terang, baik untuk beristirahat atau meletakkan telur seperti yang dilaporkan oleh Sutrees 1967b. Tabel 4 Kepadatan larva nyamuk berdasarkan warna wadah penampungan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011 Warna Wadah Jumlah Wadah Container Indeks Diperiksa Ae.aegypti Ae.albopictus Campuran Total Biru 125 21.15 29.60 8.00 0.80 38.40 Abu 118 19.97 17.80 3.39 1.69 22.88 Putih 115 19.46 12.17 9.57 1.74 23.48 Merah 79 13.37 8.86 2.53 11.39 Coklat 60 10.15 18.33 16.67 1.67 36.67 Hitam 49 8.29 12.24 12.24 Hijau 45 7.61 8.89 8.89 17.78 Total 591 100.00 16.92 6.94 1.02 24.87 Tabel4 menunjukkan bahwa wadah yang paling banyak diamati di lokasi penelitian yaitu wadah berwarna biru. Demikian juga densitas larva paling tinggi pada wadah berwarna biru 38.40 dan diikuti wadah berwarna coklat 36.67 dan densitas larva yang paling rendah adalah wadah berwarna merah 11.39. Penelitian ini serupa dengan penelitian Novelani 2007 juga menemukan bahwa wadah yang paling banyak ditemukan larva nyamuk Aedes adalah wadah berwarna biru 41.7.Nyamuk Aedes spp.memiliki organ kemoreseptor dan mekanoreseptor, sehingga dapat mengetahui tempat untuk meletakkan telur, tempat makanan, mengenal sesama jenis, membedakan musuh atau menemukan lawan jenis. Dengan organ fotoreseptor yang ada pada mata majemuknya Ae. aegypti dapat membedakan warna Sutrees 1967b.

4.1.3 Letak wadah

Sebanyak 522 wadah 88.32 dari seluruh wadah yang diamati di lapangan terletak di dalam rumah dan sebanyak 69 wadah 11.68 di luar rumah. Hal tersebut berhubungan dengan keadaan rumah penduduk di lokasi penelitian yang mempunyai kepadatan tinggi dimana rumah penduduk sangat berdekatan satu dengan yang lainnya sehingga penduduk lebih banyak mempunyai wadah penampungan air di dalam rumah. Selain itu ada penduduk yang tinggal di dalam satu rumah besar dan membuat rumah di dalam rumah tersebut sehingga tidak mempunyai halaman, dan wadah tersebut dikelompokkan pada wadah dalam rumah.Wadah yang positif mengandung larva 72.46 berada di luar rumah outdoor sedangkan wadah yang terletak di dalam rumah indoor hanya 18.58. Kepadatan larva di luar rumah lebih tinggi daripada di dalam rumah karena wadah yang diamati di luar rumah lebih sedikit dibanding dengan wadah di dalam rumah. Tabel 5 Kepadatan larva nyamuk berdasarkan letak wadah penampungan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011 Letak Wadah Wadah diperiksa Wadah Positif Ae. aegypti Ae. albopictus Campuran Total Σ CI Σ CI Σ CI Σ CI Indoor 522 82 5.71 13 2.49 2 0.38 97 18.58 Outdoor 69 18 26.09 28 40.58 4 5.80 50 72.46 Total 591 100 16.92 41 6.94 6 1.02 147 24.87 Keterangan: Σ: jumlah wadah positif, CI=Container index . Tabel 5 menunjukkan bahwa kepadatan larva secara umum didominasi pada wadah yang berada diluar rumah baik Ae. aegypti maupun Ae. albopictusmasing- masing 26.09 dan 40.58. NyamukAe. aegyptiterutama hidup di dalam dan sekitar rumah di daerah perkotaan urban. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Sudan oleh Abdalmagid Alhusein 2008. Hasil menunjukkan bahwa wadah yang terletak diluar rumah lebih berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan larva nyamuk Ae.aegypti maupun Ae. albopictus dibandingkan dengan wadah yang terletak di dalam rumah. Hal tersebut dimungkinkan karena selama studi ini berlangsung bertepatan dengan musim hujan sehingga semua wadah yang berpotensi untuk perkembangbiakan larva terisi air hujan dan dimanfaatkan oleh nyamuk betina untuk meletakkan telurnya.Selain itu wadah yang terletak di dalam rumah lebih diperhatikan kebersihannya oleh masyarakat tetapi wadah yang dibiarkan diluar rumah kurang diperhatikan karena dianggap sebagai barang-barang bekas yang tidak bermanfaat lagi.Hal ini didukung oleh pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat yang sedang dalam mendukung upaya pemberantasan sarang nyamuk.Tempat perindukan breeding place dari nyamuk ini biasanya ada didalam atau sekitar rumah dalam radius 100 meter dari rumah.Kebiasaan hidup stadium pradewasa Ae.aegypti adalah pada bejana buatan manusia yang berada di dalam maupun di luar rumah. Tempat perindukan yang disukai adalah air bersih, tempat yang tidak terkena cahaya matahari langsung dan tidak berhubungan langsung dengan tanah Surtees 1976b;Gosh et al. 2011,sedangkan Ae. albopictus lebih menyukai tempat di luar rumah untuk berkembangbiak. Demikian pula dengan penelitian Eapen et al. 2010 di India yang menemukan bahwa Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di luar rumah yaitu pada perkebunan karet. Habitatnya yang ditemukan sebagian besar adalah kelopak daun nanas 80.8, diikuti oleh kelopak tanaman berbunga 7.8, 5 pada pinus dan kelapa sawit serta 1.45 pada kelopak daun pisang. Nyamuk ini sering dikenal sebagai ”tiger mosquitos” atau nyamuk hutan, karena nyamuk ini lebih senang berkembangbiak pada wadah yang di luar rumah dan terlindung dari cahaya matahari. Fakta lain juga ditemukan bahwa sebanyak 585 wadah 99.98 dalam keadaan tanpa penutup. Hal ini menunjukkan bahwa wadah yang ada di rumah penduduk sangat menunjang untuk perkembangbiakan larva nyamuk Aedes spp. Selain itudidapatkan juga wadah yang tertutup ditemukan positif didapatkan larva nyamuk. Wadah yang tertutup tersebut menampung air yang akan digunakan untuk keperluan sehari-hari, sehingga pada saat masyarakat membuka penutup tersebut nyamuk masuk meletakkan telurnya dan berkembangbiak. Selain itu ada pula wadah tempayan yang mempunyai penutup tetapi bagian atasnya terdapat lubang kecil sehingga nyamuk dengan mudah untuk masuk ke dalam wadah untuk bertelur. Hal disebabkan karena masyarakat tidak memahami tentang perkembangbiakan nyamuk dengan baik.

4.1.4 Indeks Larva

Indekslarvamenggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah.Indeks larva di lokasi penelitian bervariasi setiap bulan pengamatan, baik ABJ persentase rumah penduduk yang tidak ditemukan larva nyamuk, HI persentase rumah yang ditemukan larva nyamuk, CI persentase wadah yang ditemukan larva nyamuk dan BI jumlah wadah yang ditemukan larva nyamuk dalam 100 rumah yang diamati. Gambar 7Angka Bebas Jentik ABJ bulanan secara umum masih dibawah nilai minimal yang dibolehkan oleh Kementrian Kesehatan yaitu 95. 69,83 69,92 81,75 82,41 75,78 95 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Desember Januari Februari Maret Total In d ex l ar va Waktu Pengamatan ABJ Standard Depkes Gambar 7menunjukkan bahwa ABJ yang tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu 82.41 dan yang terendah pada bulan Desember yaitu 69.83. Secara umum selama penelitian yaitu 75.78, artinya bahwa dari 100 rumah yang diperiksa rata-rata hanya 76 rumah yang tidak ditemukan larva nyamuk. Secara umum ABJ masih nilai minimal yang ditolerir oleh Kementrian Kesehatan 95. Rendahnya ABJ dilokasi penelitian berhubungan dengan keadaan curah hujan dan juga perilaku masyarakat dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk.Rendahnya ABJ ini memungkinkan banyak peluang untuk proses transmisi virus Hasyimi et al. 2004. Gambar 8menunjukkan indeks larva bervariasi setiap bulan penangkapan. Angka tertinggi HI 30.17, CI 33.86 terjadi pada bulan Desember dan terendah masing-masing 17.59 dan 15.94 pada bulan Maret, sedangkan angka BI tertinggi pada bulan Januari 42.86 dan terendah pada bulan Februari 19.84. Angka rata-rata HI 24.22 artinya adalah dari 100 rumah yang diperiksa terdapat 24 rumah yang positif ditemukan larva nyamuk. Angka tersebut masih tergolong rendah karena berada dibawah angka yang masih ditolerir oleh Kementerian Kesehatan yaitu ≤5. Rata-rata CI sebesar 24,83 artinya bahwa dari 100 wadah atau kontainer yang diperiksa rata-rata terdapat 25 wadah yang mengandung larva nyamuk.Angka rata-rata BI adalah 30.43 artinya bahwa dari 100 rumah penduduk yang diamati terdapat rata-rata 30 wadah yang ditemukan larva nyamuk. Gambar 8 Indeks larva per bulan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. 33,86 24,87 30,17 17,59 24,22 42,86 19,84 30,43 10 20 30 40 50 Desember Januari Februari Maret Rata-rata In d ek s La rv a Waktu Pengamatan CI HI BI Kepadatan populasi nyamuk Density Figure merupakan gabungan dari index larva dan dinyatakan dalam skala 1-9 dengan 3 kategori WHO 1972. Nilai HI dan BI di kelurahan Pasir Kuda termasuk dalam skala 2-5 dikategorikan dalam kepadatan sedang, tetapi jika dilihat dari nilai CI, kepadatan larva nyamuk dikategorikan dalam kepadatan tinggi.Hal ini menunjukkan bahwa penduduk di lokasi penelitian masih mempunyai risiko tinggi untuk tertular penyakit baik chikungunya maupun DBD sehingga masyarakat harus tetap melakukan pemberantasan sarang nyamuk secara berkesinambungan. Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan di desa Cikarawang yaitu ABJ 86.6 dan HI 13.21 Hadiet al. 2006. Penelitian di Kelurahan Utan Kayu juga menemukan ABJ dan HI yang tidak jauh berbeda dengan di Cikarawang yaitu 88.5 dan 21.5 Novelani 2007. BI merupakan angka prioritas terbaik dari semua indeks larva yang digunakan untuk memperkirakan densitas larva karena sudah mengkombinasikan keduanya baik rumah maupun wadah yang positif Chan et al. 1971.Gambar 9menunjukkan bahwa indeks curah hujan dan angka BI berfluktuasi setiap bulan pengamatan. Adanya kecenderungan bahwa saat curah hujan tinggi disertai juga dengan peningkatan BI, demikian juga sebaliknya pada saat indeks curah hujan menurun, BI juga mengalami penurunan. Hal tersebut dimungkinkan karena pada saat curah hujan tinggi maka tempat yang berpotensi untuk perkembangbiakan nyamuk akan bertambah. Setiap 1 mm curah hujan menambah kepadatan nyamuk 1 ekor, akan tetapi apabila curah hujan dalam seminggu sebesar 140 mm, maka larva akan hanyut dan mati Cahyati Suharyo 2006 . Gambar 9Bretau Index dan Indeks Curah Hujan per bulan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. 37,07 42,86 19,84 20,37 60,39 51,97 48,75 49,68 10 20 30 40 50 60 70 10 20 30 40 50 Desember Januari Februari Maret Inde k s C ur a h H uj a n mm B re ta u I nde k s Waktu Pengamatan BI ICH Tempat yang berpotensi perkembangbiakan larva nyamuk Aedes spp.yang pada musim kemarau tidak terisi air tetapi pada musim hujan akan terisi air.Pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah dan tempat produktif lainnya yang bukan TPA yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. Telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas karena wadah terisi air hujan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah wadah non TPA yang positif sebanyak 78,57 dikumpulkan pada bulan Desember dan Januari pada saat curah hujan tinggi. Populasi nyamuk pada musim hujan cenderung lebih banyak yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan risiko tertular penyakit chikungunya maupun DBD. Selain ketersediaan tempat-tempat perindukan nyamuk tersebut, perilaku masyarakat juga sangat penting dalam menunjang ketersediaan tempat perindukan akan meningkatkan kepadatan larva nyamuk Aedes spp.sebagai vektor penyakit. Karena rendahnya pengetahuan serta nilai kebersihan, maka bak penampungan air menjadi tempat perindukan nyamuk. Berdasarkan analisis korelasi antara ICH dengan BI, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.800 dengan angka signifikansi sebesar 0.200 p 0.05.Angka signifikansi sebesar 0.387 atau lebih besar dari 0.05 berarti hubungan tersebut tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95. Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa antara variabel BI dengan ICH mempunyai hubungan yang tidak signifikan, karena kepadatan larva nyamuk tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja, tetapi saling melengkapi dengan faktor lain seperti kelembaban udara, suhu maupun karakteristik habitat larva. Suhu udara dan curah hujan mempengaruhi keadaan suhu mikro di dalam wadah.Suhu air pada wadah yang positif di lokasi penelitian bervariasi antara 23°C-26°C.Suhu tersebut lebih rendah dari suhu yang optimum 25-27ºC untuk perkembangbiakan larva nyamuk. Dalam kondisi optimal waktu yangdibutuhkan sejak telur menetashingga menjadi nyamuk dewasaadalah 7-10 hari, sedangkan pada suhurendah, dibutuhkan waktu beberapaminggu.Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi kelangsungan hidup serta populasi nyamuk di lingkungan. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C WHO 1972. Selain suhu udara, kelembaban udara juga merupakan salah satu kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan jentik nyamuk Ae.aegypti. Menurut Mardihusodo 1988 disebutkan bahwa kelembaban udara yang berkisar 81.5-89.5 merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk. Yudhastuti Vidiyani 2005 juga menemukan ada hubungan yang bermakna antara kelembaban udara dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes di Kelurahan Wonokusumo. Hasil penelitian ini baik suhu maupun kelembaban udara berada dibawah keadaan yang optimal untuk perkembangbiakan larva, namun larva dapat hidup dengan baik karena pada saat pengumpulan larva dari lapangan diperoleh semua stadium larva sampai pupa, sehingga diasumsikan bahwa larva dapat bertahan hidup pada keadaan yang tidak optimal. Dan kemungkinan waktu yang diperlukan larva untuk berkembang menjadi dewasa memerlukan waktu yang lebih lama dari yang seharusnya.Dalam penelitian ini tidak bisa dilihat berapa lama waktu yang diperlukan larva untuk berkembang menjadi pupa maupun dewasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup larva nyamuk yaitu tingkat keasaman atau pH air.Perbedaan sifat kimiawi air berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva Ae.aegypti. Larva Aedes dapat hidup pada air dengan pH antara 5.8-8.6 Chan et al. 1971.Demikian juga dengan penelitian Hidayat et al. 1997 menemukan bahwa larva nyamuk dapat hidup pada pH 5.0-9.0, tetapi lebih banyak diperoleh pada air dengan pH netral 7 dibanding dengan pada pH asam atau basa. Semakin rendah pH air asam atau semakin tinggi pH basa semakin sedikit pula larva nyamuk yang diperoleh dan jumlah larva nyamuk diperoleh paling sedikit pada pH 5. Hasil pengukuran derajat keasaman air pada wadah positif di lokasi penelitian berkisar pada pH 4.0-6.0.Hasil ini berbeda dengan penelitian Umar Don-Pedro 2008 bahwa kelangsungan hidup maksimal dari larva nyamuk Ae.aegypti yaitu pada pH 6.5-8.0.Pada pH yang lebih rendah ataupun lebih tinggi akan mempengaruhi proses fisiologi larva yaitu transportasi oksigen terganggu sehingga meningkatkan mortalitas angka kematian dalam waktu 24 jam setelah menetas. Keadaan tersebut erat kaitannya dengan pembentukan enzim sitokrom oksidase di dalam tubuh larva yang berfungsi dalam proses metabolisme. Tinggi rendahnya kadar oksigen terlarut dalam air akan berpengaruh terhadap proses pembentukan enzim tersebut. Pada pH rendah keadaan asamkadar oksigen terlarut lebih tinggi daripada pH tinggi keadaan basa. Dalam suasana asam pertumbuhan mikroba makin tinggi sehingga kebutuhan oksigen makin meningkat, akibatnya kadar oksigen terlarut akan berkurang, sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva nyamuk. Hal ini menunjukkan bahwa larva nyamuk Aedes di lokasi penelitian mampu beradaptasi pada kondisi air dengan pH dibawah normal, karena stadium larva yang ditemukan di lapangan berbeda-beda setiap wadah mulai dari larva instar 1 sampai dengan stadium pupa.

4.2 Kepadatan dan Perilaku Nyamuk

4.2.1 Jenis Nyamuk yang tertangkap

Jenis nyamukdewasa yang tertangkap dengan menggunakan metode landing collection umpan orang dan resting collection selama penelitian diidentifikasi di laboratorium PEK FKH dengan menggunakan kunci identifikasi dari Kementerian Kesehatan RI. Jumlah nyamuk yang dikumpulkan selama penelitian adalah 1663 nyamuk, sebanyak 230 nyamuk 13,83 dikumpulkan dengan metode landing collection dan 1433 nyamuk87.77 dengan resting collection. Tabel 6 menunjukkan bahwa nyamuk yang dikumpulkan dari lokasi penelitian terdiri atas3 genus yaitu Aedes, Culex dan Armigeres. Nyamuk yang paling dominan dikumpulkan adalah Culex quinquifasciatus yaitu 49.43, dan yang palingrendah adalah Culex tritaeniorynchus yaitu 0.36.Nyamuk Aedes spp. yang tertangkap sebanyak 800 nyamuk yang terdiri atasAe. aegypti 706 nyamuk 42.45 dan Ae. albopictus 94 nyamuk 5.65. Secara umum sebagian besar nyamuk Aedes spp. tersebut dikumpulkan dengan metode resting collection sebanyak 601 nyamuk 75.13 dan 199 nyamuk24.88 dikumpulkan dengan metode landing collection. Tabel 6 Jenis dan jumlah nyamuk dewasa yang tertangkap selama periode pengamatan dan hasil tangkapan didominasi oleh Cx. quinquifasciatus dan Ae. aegypti. Jenis Nyamuk Jumlah nyamuk yang tertangkap Total Desember Januari Pebruari Maret Ae. aegypti 147 211 268 80 706 42.45 Ae. albopictus 41 21 17 15 94 5.65 Cx. quinquifasciatus 18 122 241 441 822 49.43 Cx. tritaeniorinchus 1 1 1 3 6 0.36 Armigeres subalbatus 25 6 1 3 35 2.11 Σ 232 361 528 542 1663 100.00 Keterangan: Σ= Jumlah nyamuk Gambar 10menunjukkan nyamuk Aedes yang ditemukan di lapangan yaitu Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Kedua nyamuk ini berperan di dalam penularan penyakit DBD dan Chikungunya. Secara morfologis kedua spesies nyamuk tersebut sangat mirip, perbedaan keduanya terletak pada strip putih yang terdapat di bagian skutumnya,Ae. aegyptiberwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sementara skutum Ae. albopictusyang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Gambar 10 Jenis nyamuk nyamuk dewasa yaitu Ae. aegypti gravid 1 dan Ae. albopictus unfeed 2 yang tertangkap di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011.

4.2.2 Kepadatan Nyamuk

1 2 Kepadatan nyamuk Aedes spp.yang tertangkap dilokasi penelitian dapat diketahui dengan melihat nilai indeks nyamuk yaitu Landing Rate LR, Man Biting Rate MBR dan Resting Rate RR. LR dan MBR untuk melihat kepadatan nyamuk Aedes spp. yang tertangkap menghisap darah manusia sebagai umpan, sedangkan RR untuk melihat kepadatan nyamuk yang sedang istirahat pada setiap rumah yang dikunjungi. Tabel 7menunjukkan kepadatan nyamuk Aedes yang tertangkap didominasi oleh Ae.aegyptibaik yang menghisap darah 3.05 nyamukoranghari maupun yang isirahat 1.21 nyamukrumah. Kepadatan nyamuk setiap bulan pengangkapan berfluktuasi selama penelitian. Kepadatan nyamuk Ae.aegypti yang tertangkap sedang menghisap darah tertinggi pada bulan Februari, sedangkan Ae. albopictus mempunyai kepadatan tertinggi pada bulan Desember. Kepadatan nyamuk Ae.aegyptiyang tertangkap sedang beristirahat tertinggi pada bulan Januari, sedangkan Ae. albopictus mempunyai kepadatan yang sama tingginya pada bulan Desember dan Januari dan pada bulan Maret sama sekali tidak tertangkap. Perbedaan tersebut tidak terlepas dari keadaan cuaca, suhu dan kelembaban udara. Kondisi curah hujan pada suatu lokasi sangat berhubungan dengan ketersediaan lingkungan atau tempat yang optimal untuk perkembangbiakan nyamuk. Keadaan indeks curah hujan selama penelitian di Kelurahan Pasir Kuda sangat berfluktuasi. Indeks curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember dan terendah pada bulan Maret. Tabel 7 Kepadatan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011 Bulan LR nyamuk oranghari RR nyamuk rumah Ae. aegypti Ae. albopictus Ae. aegypti Ae. albopictus Desember 2.1 3.1 1 0.08 Januari 2.2 1.5 1.69 0.08 Februari 6.9 1.6 1.5 0.01 Maret 1 1.5 0.64 Rata-rata 3.05 1.93 1.21 0.04 Penurunan curah hujan dan hari hujan mengurangi jumlah tempat penampungan air bersih TPA alamiah dan artifisial yang tersebar di sekitar pemukiman. Kondisi ini merupakan proses pengendalian populasi nyamuk secara alamiah. Dapat dilihat juga bahwa pada bulan Februari juga terjadi penurunan densitas larva Aedes spp. Fenomena ini terjadi penelitian ini dilakukan pada perubahan musim penghujan ke musim kemarau sehingga secara alamiah populasi nyamuk Aedes spp.berkurang akibat berkurangnya tempat perindukan. Gambar 11 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa ICH mempengaruhi kepadatan nyamuk yang menghisap darah khususnya nyamuk Ae. albopictus. ICH yang tinggi diikuti pula dengan kepadatan nyamuk yang tinggi dan ketika ICH rendah kepadatan nyamuk tersebut juga rendah, sedangkan sebaliknya dengan Ae. aegypti pada saat ICH rendah, kepadatan nyamuk tinggi dan pada saat ICH tinggi kepadatan nyamuk tinggi. Hal ini disebabkan oleh nyamuk Ae. albopictus lebih suka atau dominan berkembangbiak di luar rumah sehingga ketika ICH tinggi maka wadah yang berpotensi untuk perkembangbiakan nyamuk yang berada di luar rumah akan terisi air hujan dan nyamuk akan memanfaatkannya untuk berkembangbiak. Keberadaan Ae. aegypti lebih dipengaruhi oleh perilaku masyarakat yang tidak memperhatikan kebersihan wadah penampungan air yang terletak di dalam rumah. Gambar 11 Rataan kepadatan nyamuk umpan orang dan indeks curah hujan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. Berdasarkan analisis korelasi antara ICH dengan kepadatan menghisap darah dari Ae. albopictus, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,316 dengan angka signifikansi sebesar 0,684 p 0,05. Angka signifikansi sebesar 0,684 atau lebih 10 20 30 40 50 60 70 1 2 3 4 5 6 7 8 Desember Januari Februari Maret Inde k s C ur a h huj a n m m K e pa da ta n ny a m uk e k o r o ra n g h a ri Bulan Penangkapan Ae. aegypti Ae. albopictus ICH besar dari 0,05 berarti hubungan tersebut tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95. Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa antara variabel kepadatan menghisap darah dari nyamuk Ae.albopictus dengan ICH mempunyai hubungan yang tidak signifikan, karena kepadatan nyamuk tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja, tetapi saling melengkapi dengan faktor cuaca lain seperti kelembaban dan suhu . Kelembaban nisbi udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam . Kelembaban udara sangat mendukung dalam kelangsungan hidup nyamuk mulai dari telur, larva, pupa hingga dewasa. Kelembaban yang sesuai adalah sekitar 70-89 Jumar, 2000. Batas terendah kelembaban udara untuk nyamuk dapat bertahan hidup adalah 60 WHO 1975. Gambar12 menunjukkan adanya kecenderungan kelembaban udara mempengaruhi kepadatan nyamuk khususnya Ae.aegypti, walaupun berdasarkan analisis korelasi tidak signifikan, karena diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.211 dengan angka signifikansi 0.789 p0.05. Pada saat kelembaban udara tinggi, kepadatan nyamuk umpan orang rendah, sebaliknya bila kelembaban udara rendah kepadatan nyamuk umpan orang tinggi. Gambar 12 Rataan kepadatan nyamuk umpan orang dan kelembaban udara di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat dari Cahyati dan Suharyo 2006 bahwa kelembaban udara tinggi akan meningkatkan kepadatan nyamuk. Jika udara kekurangan uap air yang besar maka daya penguapannya juga besar.Sistem pernapasan nyamuk menggunakan pipa udara trachea dengan 77 78 79 80 81 82 83 84 1 2 3 4 5 6 7 8 Desember Januari Februari Maret K e le m ba ba n U da ra K e pa da ta n ny a m uk e k o r o ra n g h a ri Bulan Penangkapan Ae. aegypti Ae. albopictus Kelembaban lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk spiracle yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturannya. Pada saat kelembaban rendah menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh sehingga menyebabkan keringnya cairan tubuh. Kelembaban mempengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembangbiak, kebiasaan menggigit, istirahat dan lain-lain.Pada waktu terbang, nyamuk memerlukan oksigen lebih hanyak sehingga trachea terbuka. Dengan demikian penguapan dari dalam tubuh nyamuk akan lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air dalam tubuh nyamuk, maka jarak terbang nyamuk terbatas atau nyamuk akan lebih memilih beristirahat daripada terbang mencari mangsa. Perbedaan ini terjadi karena pada saat suhu udara tinggi dan kelembaban udara rendah, waktu hidup nyamuk Aedes menjadi lebih panjang dan siklus gonotropik juga lebih cepat sehingga nyamuk betina akan lebih sering menghisap darah untuk mematangkan telurnya.Hal ini didukung oleh Mintarsih et al. 1996 yang berpendapat bahwa pada suhu 29.41°C dan kelembaban udara 75.07 mempunyai siklus gonotropik yang lebih cepat 3-4hari dibandingkan dengan pada suhu 23.56°C dan kelembaban 85.37 nyamuk mempunyai siklus gonotropik yang lebih panjang 3-7 hari.

4.2.3 Perilaku Nyamuk

a. Perilaku Menghisap Darah

Jumlah nyamuk Aedes spp. yang tertangkap dengan metode umpan orang sebanyak 199 nyamuk yang terdiri dari 122 nyamuk 61.31 Ae. aegyptidan 77 nyamuk 38.69 Ae. albopictus. Gambar 13 menunjukkan bahwa sebagian besar 62.31 tertangkap di dalam rumah dan 37.69 tertangkap di luar rumah. Nyamuk Ae. aegyptitertangkap di dalam rumah 96.72 dan hanya 3.28 yang tertangkap di luar rumah, sebaliknya nyamuk Ae. albopictus92.21 tertangkap di luar rumah dan hanya 7.79 yang tertangkap di dalam rumah. Gambar 13 Persentase nyamuk umpan orang di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. Nyamuk Aedes spp. mempunyai kebiasaan aktif menghisap darah inang pada siang hari diurnal dan mempunyai waktu menghisap darah pada jam tertentu yaitu pagi hari jam 08.00-12.00 dan sore hari jam 15.00-17.00. Selain itu nyamuk ini juga dikenal bersifat multiple bitter karena dapat menghisap darah pada beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Selain itu nyamuk Aedes spp. juga dikenal dengan yang mempunyai jarak terbang yang tidak jauh, Ae.aegypti hanya mampu terbang dengan radius ±100-200 meter sedangkan Ae. albopictus lebih aktif dengan jarak terbang ± 400-600 meter sehingga daerah penularannya juga hanya terbatas pada wilayah tertentu saja Schwartz Albert 2010. Wilayah penelitian merupakan wilayah perkotaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi sehingga nyamuk yang tertangkap didominasi oleh Ae. aegypti. Hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko meningkatkan penularan penyakit chikungunya dan DBD di masyarakat. Gambar 14 menunjukkan aktivitas nyamuk Ae.aegypti menghisap darah yang terlihat berfluktuasi sepanjang hari yang dimulai dari jam 06.00-18.00. Nyamuk ini mempunyai aktivitas menghisap darah sepanjang hari di dalam rumah dengan dua puncak aktivitas menghisap darah yaitu pada jam 11.00-12.00 6.81 nyamukorangjam dan jam 14.00-15.00 6.50 nyamukorangjam, sedangkan yang tertangkap di luar rumah hanya pada jam tertentu saja dan jumlahnya sangat kecil yaitu jam 08.00-09.00 0.13 nyamukorangjam, jam 10.00-11.00 0.25 nyamukorangjam, jam 15.00-16.00 0.13 nyamukorangjam. Hal tersebut disebabkan karena nyamuk Ae. aegyptilebih bersifat endofagik menghisap darah di dalam rumah dan endofilik istirahat di dalam rumah, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menghisap darah dan istirahat di luar rumah. 96,72 7,79 62,31 3,28 92,21 37,69 20 40 60 80 100 120 Ae. aegypti Ae. albopictus ∑ N yam u k T er tan gk ap Jenis Nyamuk Indoor Outdoor Gambar 14 Aktivitas menghisap darah Ae. aegypti di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. Gambar15 menunjukkan aktivitas menghisap darah dari nyamuk Ae. albopictus yang juga mempunyai aktivitas menghisap darah hampir sepanjang hari di luar rumah dengan dua puncak aktivitas menghisap darah yaitu pada jam 07.00- 08.00 1.13 nyamukorangjam dan jam 15.00-16.00 1.31 nyamukorangjam,sedangkan di dalam rumah tertangkap hanya pada jam tertentu dan jumlah yang diperoleh sangat kecil yaitu jam 07.00-08.00, 09.00- 10.00, 13.00-14.00, 15.00-17.00 0.13-0.25 nyamukorangjam. Hal tersebut disebabkan karena nyamuk Ae. albopictuslebih bersifat eksofagik menghisap darah di luar rumah dan eksofilik istirahat di luar rumah, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk menghisap darah dan istirahat di dalam rumah. Gambar 15 Aktivitas menghisap darah Ae. albopictusdi Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. 0,38 6,81 0,44 5,88 6,50 2 4 6 8 10 12 14 16 K ep ad at an N yam u k n yam u k or an g jam Waktu Penangkapan UOD UOL Rataan 1,13 0,69 0,06 1,31 0,5 1 1,5 2 2,5 K ep ad at an N yam u k n yam u k or an g jam Waktu Penangkapan UOD UOL Rataan Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang berpendapat bahwa nyamuk Ae.aegyptimerupakan nyamuk yang sering ditemukan didaerah perkotaan dan pinggiran kota pada wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi Braks et al. 2003; Lima-Camara et al. 2006. Selain itu nyamuk ini juga lebih bersifat endofilik menghisap darah di dalam rumah dan juga antropofilik lebih menyukai darah manusia Lima-Camara et al. 2006. Nyamuk Ae. albopictus merupakan nyamuk daerah pedesaan yang banyak tempat perindukan alamiah dan pada wilayah yang kepadatan penduduknya masih rendah Braks et al . 2003;Lima-Camara et al. 2006.

b. Perilaku Istirahat