Krisis Rohani dan Merosotnya Semangat Keagamaan

57 perang terhadap sejumlah orang berkuasa di Italia, daripada berusaha meningkatkan kehidupan spiritual mereka. 15

B. Krisis Rohani dan Merosotnya Semangat Keagamaan

Zaman antara tahun 1300-1517, kehidupan masyarakatnya banyak dipengaruhi oleh pendapat-pendapat dan ide-ide yang tidak berasal dari latar belakang Kristiani. Hal itu menyebabkan orang-orang mulai berpikir secara sendiri-sendiri dan lebih bebas. Akibat-akibatnya bukan hanya kelihatan dalam bidang politik, melainkan juga dalam hidup rohani orang Kristiani 16 Menjelang akhir abad ke-13, iman umat Katolik betul-betul kuat dan Gereja sebagai lembaga sangat kuat. Tetapi, pada abad ke-15 semangat iman berkurang, karena Gereja menjadi kaya dan terlibat dalam banyak urusan duniawi. Selain itu, kerusuhan politik, sosial, dan ekonomi mengubah pola hidup masyarakat. Dengan demikian, hal tersebut turut menyebabkan semangat keagamaan merosot. Sejak puncak Abad Pertengahan, dua abad sebelumnya, Eropa telah terjatuh ke dalam masa-masa yang sulit. Inggris berperang dengan Perancis selama 100 tahun. Para bangsawan Inggris mengadakan komplotan dan saling berperang di negeri sendiri untuk memperebutkan mahkota kerajaan. Para petani di Perancis, Inggris, maupun Jerman berontak melawan tuannya untuk menuntut kebebasan yang lebih besar dan kehidupan yang lebih nyaman. Rakyat yang terikat kepada tanah dan tunduk kepada ulah tingkah alam selalu percaya kepada takhayul. Mereka cenderung untuk membujuk dewa-dewi yang tak dapat diduga 15 Eddy Kristiyanto, op.cit., hlm. 24. 16 Kleopas Laarhoven, op.cit., hlm. 73. 58 kemauannya dengan jampi-jampi dan mengusir setan jahat dengan kutukan. Ketakutan terjadi dimana-mana. 17 Kaum awam bersaing dengan kaum rohaniawan, untuk menarik diri dari pola theologis dan memperkembangkan menempuh arah menurut kodrat, dan mulailah renaissance. Akan tetapi, religiositas mereka agak kurang sehat dan tidak seimbang. Kehidupan pada waktu itu tidak mampu menghindarkan terjadinya keruntuhan yang mendalam di lapangan moral, baik dalam penghayatan perkawinan maupun dalam melaksanakan cinta kasih terhadap sesama, dalam segi cara hidup dan peradaban lahir. 18 Krisis rohani yang terjadi pada Abad Pertengahan sungguh memprihatikan. Devosi yang dilakukan pada akhir Abad Pertengahan cenderung untuk melepaskan diri dari ajaran iman, padahal iman merupakan yang menjadi dasar utama. Terjadi pula pemberontakan kehidupan politik melawan Paus dan pemberontakan akal budi melawan ajaran-ajaran iman, terutama terdapat pemberontakan perasaan melawan agama yang resmi yaitu Katolik. Banyak bentuk devosi, yang pertumbuhannya harus dilawan oleh Gereja sejak permulaan Abad Pertengahan, namun tidak dapat dikendalikan oleh Gereja. Devosi justru berkembang dengan cara yang kadang-kadang sangat mencolok, yang tidak jarang menyeret kepada hal-hal takhayul. Pemujaan orang-orang kudus adalah salah satu diantaranya. Penjualan barang-barang relikwi tumbuh menjadi perdagangan dunia. Toko-toko besar terdapat sampai Konstantinopel. Persembahan misa kudus tidak begitu menarik perhatian, kecuali pada hari- 17 Edith Simon, op.cit., hlm. 11. 18 W.L. Helwig, op.cit., hlm. 138. 59 hari raya di luar Gereja. 19 Kekrisisan rohani masih tetap berkelanjutan pada abad ke-16. Hal ini dikarenakan pada masa itu banyak terjadi bencana yang berlangsung terus menerus yaitu bencana perang, kelaparan, penyakit pes, dan pemerasan. Orang- orang pada abad ke-16 mulai mencari jalan keluar demi menyelesaikan bencana tersebut. Masyarakat bukannya memperkuat iman kepercayaan mereka kepada Allah dan berserah diri agar dilindungi dan diselamatkan dari bencana tersebut. Tetapi, masyarakat mulai meragukan kepercayaan akan iman, dan mempercayakan pada takhayul, ilmu tenung, dan ahli nujum. Hidup keagamaan dalam Gereja juga sangat dipengaruhi oleh gejala percaya kepada takhayul. Penghormatan orang kudus dipengaruhi oleh takhayul, relikwi- relikwi banyak dipakai sebagai jimat dan diperdagangkan. Cerita-cerita ganjil tentang orang kudus jauh lebih laku daripada isi dari Injil. Perayaan misa dihadiri hanya supaya tidak berbuat dosa yang berat. Lukisan-lukisan ngeri tentang orang mati dan neraka dianggap sebagai senjata terakhir supaya membuat orang bertobat. Kota Roma pada abad ke-16 terlihat sebagai kota yang megah dan memiliki keindahan tata kotanya. Di kota tersebut terdapat monumen-monumen orang suci dan martir, berpuluh-puluh Gereja dan beberapa makam orang suci. Pada abad ke-16, melakukan perjalanan ziarah merupakan pekerjaan yang melelahkan, karena menurut adat pada waktu itu orang mengunjungi ketujuh Gereja besar Roma dalam satu hari saja. Peziarah harus berpuasa agar dapat 19 Ibid., hlm. 140. 60 menerima Ekaristi pada akhir putaran perjalanannya. Ritual ini tidak menjadi masalah bagi peziarah yang berasal dari luar Roma, tetapi yang menjadi permasalahan kemegahan istana-istana para kardinal yang memamerkan kemewahan dan terlebih kehidupan para Paus yang lebih memikirkan masalah- masalah kenegaraan daripada hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan rohani. 20 Kehidupan orang-orang asli yang tinggal di Roma sama saja dengan kehidupan Pausnya yaitu lebih mementingkan hal-hal duniawi, dibandingkan kehidupan rohani mereka yang semakin merosot. Orang-orang tidak mempedulikan dan tidak tergerak oleh arti kudus kota Roma, mereka juga menertawakan kesalehan orang-orang di Eropa Utara, dan mereka juga mengolok- olok mengenai upacara-upacara Gereja. Sementara kesalehan diabaikan di Roma, uang menjadi penentu segala sesuatu di Roma. Pelacur, dukun, dan pengemis jalanan ramai memenuhi jalanan. Kelambanan daerah Selatan dan tata cara Latin tidak menghambat sang imam Italia itu untuk mempersembahkan misa tujuh kali dalam waktu yang diperlukan oleh seorang imam yang saleh untuk mempersembahkan misa satu kali, setiap misa menghasilkan imbalan uang. 21

C. Penyelewengan Wewenang Gereja