60
menerima Ekaristi pada akhir putaran perjalanannya. Ritual ini tidak menjadi masalah bagi peziarah yang berasal dari luar Roma, tetapi yang menjadi
permasalahan kemegahan istana-istana para kardinal yang memamerkan kemewahan dan terlebih kehidupan para Paus yang lebih memikirkan masalah-
masalah kenegaraan daripada hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan rohani.
20
Kehidupan orang-orang asli yang tinggal di Roma sama saja dengan kehidupan Pausnya yaitu lebih mementingkan hal-hal duniawi, dibandingkan
kehidupan rohani mereka yang semakin merosot. Orang-orang tidak mempedulikan dan tidak tergerak oleh arti kudus kota Roma, mereka juga
menertawakan kesalehan orang-orang di Eropa Utara, dan mereka juga mengolok- olok mengenai upacara-upacara Gereja.
Sementara kesalehan diabaikan di Roma, uang menjadi penentu segala sesuatu di Roma. Pelacur, dukun, dan pengemis jalanan ramai memenuhi jalanan.
Kelambanan daerah Selatan dan tata cara Latin tidak menghambat sang imam Italia itu untuk mempersembahkan misa tujuh kali dalam waktu yang diperlukan
oleh seorang imam yang saleh untuk mempersembahkan misa satu kali, setiap misa menghasilkan imbalan uang.
21
C. Penyelewengan Wewenang Gereja
Kemunduran kehidupan rohani dan merosotnya semangat keagamaan menunjukkan kegagalan kaum rohaniwan, sebab kaum rohaniwan biasanya
terpandang di masyarakat dan menjadi teladan bagi masyarakat umum.
20
Edith Simon, op.cit., hlm. 18.
21
Ibid., hlm. 19.
61
Kegagalan kaum rohaniwan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1.
Jumlah para rohaniwan yang terlalu banyak, sehingga kegiatan mereka menjadi kurang.
Sudah menjadi hal yang umum bila kaum rohaniwan adalah orang-orang yang terpandang di dalam masyarakat. Jubah juga memberikan jaminan material
yang tidak dapat dipungkiri. Maka tidaklah mengherankan bila di antara para imam dan religius yang sangat banyak jumlahnya itu, terdapat orang yang
memilih jalan hidup sebagai rohaniwan bukan karena berdasarkan panggilan hati.
22
Banyak orang pada waktu itu suka menjadi rohaniwan, bukan karena cita-cita yang murni, melainkan hanya untuk mendapatkan pangkat dengan
segala keuntungan ekonomis yang menguntungkan diri mereka sendiri. 2.
Kurangnya pendidikan dan pengetahuan para rohaniwan. Pendidikan para rohaniwan pada umumnya sangat menyedihkan, sehingga
pengetahuan mereka sangat kurang. Dengan sendirinya mereka tidak mempunyai dasar yang kuat, baik untuk hidup rohani maupun untuk
melaksanakan tugas kerohanian mereka.
23
Hal ini turut mempengaruhi semangat keagamaan para rohaniwan.
Jumlah para rohaniwan yang banyak dan kurangnya pendidikan kaum rohaniwan, nantinya menimbulkan penyelewengan-penyelewengan wewenang di
dalam gereja. Kemewahan duniawi telah membawa para rohaniwan ini ke dalam urusan duniawi di mana mereka lebih mementingkan masalah keduniawian
Bukan masalah peningkatan kepercayaan iman mereka kepada Allah. Di mata
22
W.L. Helwig, op.cit., hlm. 140.
23
Kleopas Laarhoven, op.cit., hlm. 74.
62
masyarakat, martabat mereka telah turun. Kebanyakan kaum rohaniwan dipandang sebagai orang yang tidak baik, yang hidupnya boros atas pembiayaan
orang awam. Walaupun tidak memiliki wilayah yang pasti, Gereja pada abad ke-16
merupakan negara. Rajanya adalah Sri Paus, pangeran-pangerannya adalah para pejabat tinggi kegerejaan dan rakyatnya seluruh umat Kristiani di Barat. Gereja
juga memiliki dewan ekumenis sebagai persidangan legislatif, hukum Gereja sebagai undang-undang dasar dan Kuria
24
sebagai lembaga pengadilan serta keuangannya. Gereja juga berperang, membuat perjanjian dan memungut pajak.
25
Banyak anak para bangsawan menjadi rohaniwan dengan harapan bahwa mereka mendapat jabatan yang tinggi di dalam Gereja. Para anak bangsawan itu
tidak segan-segan mengejar beberapa pangkat dan jawatan Gereja supaya mereka cepat kaya. Namun, dalam pelaksanaan tugas jawatan itu, para bangsawan itu
menyuruh orang lain dengan memberi gaji yang rendah. Dengan demikian simonia penjualan jabatan Gereja kepada orang awam dan korupsi merajalela.
Sejak para raja mengembangkan kekuasaannya atas Gereja, maka jabatan- jabatan tinggi Gereja lambat laun menjadi perhatian politik juga. Para pejabat
tinggi rohaniwan melakukan banyak penyelewengan, misalnya absentisme yaitu gejala uskup jarang atau tidak pernah tinggal di wilayahnya sendiri, sedangkan
karya kerasulan sesungguhnya diserahkan kepada tenaga pembantu bayaran saja.
24
Curia, adalah kependekan dari Curia Romana, pusat pemerintahan gerejawi di Roma. Maka dengan curia yang dimaksud adalah paus, sebagai pimpinan tertinggi gereja dan Negara
kepausan, beserta para cardinal beserta para pembantunya.lihat. Fl. Hasto Rosariyanto,op.cit., hlm 4.
25
Edith Simon, op.cit., hlm. 35.
63
Hal tersebut menyebabkan disiplin di dalam biara-biara menjadi mundur.
26
Penyelewengan lain ialah penumpukan jabatan, yaitu seseorang memangku jabatan lebih dari satu sekaligus. Penumpukan jabatan itu membuat penghasilan
para pejabat Gereja menjadi besar dan memperkaya mereka. Maka tidak heran bila simonia menjadi hal yang biasa di kalangan kaum rohaniwan.
Para pejabat tinggi Gereja tidak peka terhadap keinginan masyarakat yang menginginkan pembaharuan di dalam Gereja. Mereka malah sibuk mengejar
kepentingan duniawi, memajukan kesenian dan sastra, serta memikirkan sanak saudara mereka agar dapat menduduki jabatan di dalam Gereja. Peristiwa Skisma
Barat di mana pada waktu itu terdapat tiga Paus sekaligus yang memimpin menunjukkan penyelewengan wewenang di dalam Gereja. Pemilihan Paus
yang tidak pantas, seperti Paus Alexander VI 1492-1503 dan Leo X 1513-1521 yang banyak melakukan korupsi serta perdagangan jabatan gerejani. Banyak
pejabat Gereja menjadi pangeran duniawi namun melalaikan tugas rohani mereka, sehingga imam-imam paroki tidak terdidik, hidup dengan istri gelap, dan tidak
mampu berkotbah dan mengajar umat.
27
Keluhan-keluhan terhadap Gereja cukup banyak, namun yang menjadi keluhan terpenting dari rakyat adalah keluhan yang menyangkut kekayaan Gereja.
Tiap tahun Gereja menuntut upeti dari para raja. Gereja meminta bayaran dari para uskup pada waktu mereka diangkat menjadi uskup. Gereja memungut pajak
tersendiri bagi pembangunan gereja, bagi peperangan yang dilakukan terutama pada masa Perang Salib, dan pelaksanaan berbagai pekerjaan lain.
26
W.L. Helwig., op.cit., hlm. 141.
27
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid VII, op.cit. hlm.107.
64
Salah satu sumber Gereja yang sangat menguntungkan dan yang nantinya menjadi permasalahan yang besar adalah indulgensi. Indulgensia meniadakan
hukuman akibat dosa, dan sebagai imbalannya orang yang bertobat itu memberikan sumbangan uang tunai kepada Gereja.
Pengampunan Tuhan tergantung dari pengakuan, penyesalan, dan denda dosa. Selama Abad Pertengahan denda dosa itu sungguh berat, denda tersebut terdiri
dari tindakan-tindakan seperti misalnya berpuasa selama tujuh tahun tanpa terputus dengan hanya makan roti dan minum air, atau melakukan perjalanan
ziarah yang jauh dan berat. Namun, dalam perjalanan waktu selama berabad-abad, indulgensi telah berkembang menjadi suatu alat pengganti di mana dengan
membayar uang menggantikan pelaksanaan perbuatan yang seharusnya menjadi denda dosa.
28
Indulgensi telah berkembang menjadi suatu alat pengganti dengan membayar uang tunai, ketika Paus Leo X sebagai pengganti Paus Julius II melanjutkan
pembangunan Basilika Santo Petrus pada tahun 1516. Pembangunan Basilika Santo Petrus membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga perlu dikeluarkan
penjualan surat indulgensi untuk pembiayaan pembangunan Basilika. Surat Indulgensia pada masa pemerintahan Paus Leo X selain untuk biaya
pembangunan gedung Basilika Santo Petrus di Roma, digunakan pula untuk pelunasan hutang Uskup Agung Albercht dari Mainz. Dengan memiliki surat
indulgensia, dengan cara membelinya, seseorang yang telah mengaku dosanya di hadapan imam tidak dituntut lagi untuk membuktikan penyesalannya dengan
28
Edith Simon, op.cit. hlm. 36.
65
sungguh-sungguh. Bahkan para penjual surat indulgensia melampaui batas-batas pemahaman teologis yang benar dengan mengatakan bahwa pada saat mata uang
berdering di peti, jiwa akan melompat dari api penyucian menuju surga, bahkan dikatakan juga bahwa surat indulgensia itu dapat menghapuskan dosa.
29
Di seluruh Eropa terdapat banyak pengkotbah indulgensia, namun yang paling terkenal ialah Yohanes Tetzel, seorang rahib Dominikan. Ia benar-benar penjual
surat indulgensia yang ulung. Ia juga merupakan pengumpul uang yang hebat bagi Roma, tetapi banyak orang-orang saleh dan yang kuat iman membenci dirinya.
Pada bulan April 1517, Yohanes Tetzel mendirikan sebuah mimbar yang di pinggiran kota Wittenberg. Tetzel selain bekerja bagi Paus Leo X, ia juga bekerja
bagi keluarga kepangeranan Hohenzollern, yang salah seorang keturunannya menjadi Uskup Halberstadt dan Uskup Agung Magdeburg serta Mainz.
Ketika jabatan Uskup Agung Mainz terjadi kekosongan, beberapa orang kaya menginginkan jabatan tersebut. Jabatan tersebut dimenangkan oleh Albert dari
Hohenzollern dan menawar tertinggi bagi Roma. Albert dalam mengumpulkan uang meminjam pada Bank Fugger di Ausburg. Dengan demikian, Albert
menduduki jabatan Uskup Agung Mainz dengan hutang yang besar. Pada saat Paus Leo X mengumumkan pembaharuan surat indulgensia Santo
Petrus tersebut, para penguasa di seluruh Eropa memprotesnya dengan alasan bahwa perekonomian nasional mereka tidak akan dapat bertahan bila uang mereka
terus mengalir ke Roma. Tetapi Tahta Suci sebagai penguasa politik, memiliki cara jitu untuk mengatasi permasalahan tersebut. Paus Leo X memperkenankan
29
F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta, BPK. Gunung Mulia, 1993, hlm. 171.
66
Henry VIII untuk memasukkan seperempat hasil indulgensia Santo Petrus yang terkumpul di Inggris ke bendahara kerajaan, dan Francois I juga boleh mengambil
beberapa persen dari uang yang telah masuk di Perancis. Dari penerimaan dari Spanyol, Paus Leo X meminjamkan sebagian kepada Raja Carlos I. Kepada
Albert dari Hohenzollern, Paus Leo X memberikan hak kepangeranan untuk memungut setengah uang yang terkumpul di wilayahnya guna melunasi
hutangnya kepada Bank Fugger.
30
Dengan demikian, secara tidak langsung Paus Leo X sudah menjamin lunasnya hutang uang yang harus dibayarkan Albert.
30
Edith Simon, op.cit., hlm. 39.
67
BAB III MARTIN LUTHER SEBAGAI REFORMATOR DALAM REFORMASI
GEREJA PADA ABAD KE-16 1517-1546
Martin Luther
1
adalah seorang pengkhotbah dan guru yang mendasarkan teologi dan pemahaman kristianitasnya pada apa yang diyakininya sebagai
kebenaran Kitab Suci. Selama berabad-abad, pengaruhnya merasuk dalam kebudayaan, politik, dan Gereja. Ia mengubah dunia bukan dengan cara-cara
politik, melainkan dengan kata-kata dan gagasannya. Martin Luther membawa warta yang menggemparkan dan mengguncang hati dan pikiran banyak orang
pada jamannya. Warta yang dibawa Martin Luther, bersama dengan gagasan para tokoh reformis lainnya, sepert John Calvin di Jenewa dan Huldrych Zwingli di
Zurich, membawa perubahan-perubahan di dalam sejarah Gereja, yang dikenal sebagai reformasi Gereja.
2
Martin Luther sebagai seorang beriman yang saleh dapat merasakan dengan sangat apa arti dosa dan kehampaan sebagai manusia di hadapan Allah. Kesalehan
dan spiritualitas yang dimiliki Martin Luther membawa dirinya ke dalam hidup membiara, namun kesalehan dan spiritualitas itu pula yang kemudian mendorong
Martin Luther mengkritik Gereja dan meninggalkan biara untuk hidup sebagai seorang Kristen awam. Dengan demikian, Martin Luther merupakan salah satu
sosok pribadi yang mewakili umat beriman pada jamannya dalam melawan persoalan-persoalan kehidupan dengan menanggung segala konsekuensinya.
1
Gambar Martin Luther, lihat lampiran 1, hlm. 175.
2
Hans Peter Grosshans, Luther, Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 2001, hlm. 13.