79
kanak-kanak hingga dewasa turut membentuk kepribadian dari seorang Martin Luther. Dalam diri Martin Luther, telah terbentuk watak seorang yang memiliki
kedisiplinan yang tinggi, sangat takut kepada Allah, dan karena ketakutan dan kekhawatiran dalam dirinya ia menjadi sangat taat dan patuh kepada Allah, dan
menjadi seseorang yang berani atas dasar kebenaran. Oleh karena keunggulan yang dimilikinya yaitu ingatan tajam, daya pikir yang kuat, dan imajinasi yang
kreatif membuat Martin Luther menjadi orang yang keras kepala, menjadi teliti, serta kritis dalam menanggapi persoalan kehidupan, terutama yang berkaitan
dengan kehidupan rohani. Keberanian dan sikap kritis yang dimiliki Martin Luther mendorongnya untuk
berani mengambil sikap untuk memprotes segala kemerosotan kehidupan rohani yang terjadi dalam Gereja Katolik. Keberaniannya ini pula yang menyebabkan diri
Martin Luther berani muncul di hadapan orang banyak sebagai pencetus pertama reformasi Gereja pada abad ke-16.
2. Faktor Eksternal
Pada Zaman Renaissance, Gereja berhasil merangkul tumbuhnya karya seni, memanfaatkan kecintaan akan keindahan, namun sangat disayangkan Gereja tidak
mampu menjaga keseimbangan. Mulai dengan Paus Nicholaslah, renaissance mendapat tempat khusus di dalam Gereja. Para humanis diundang ke Roma
untuk memulai Biblioteca Vaticana, mempercayakan restorasi kota Roma kepada para seniman bangunan, dan Basilika Santo Petrus sebagai pusat
Roma harus menjadi indah dan menjadi tahta yang layak bagi wakil Kristus. Paus dengan berkuasa atas Vatikan dan Roma secara langsung menjadi
80
pelindung gerakan renaissance. Seniman lukis, seniman pahat, dan seniman bangunan mampu mengekspresikan diri secara maksimal berkat dukungan
para Paus.
17
Roma pun menjadi pusat kebudayaan, tetapi bukan pusat jiwa Kristiani. Kepausan yang ingin mengembangkan renaissance tidak didukung oleh Injil yang
murni. Kepausan yang ada saat itu bukanlah kepausan yang sudah diperbarui. Dari sebab itu kedudukan Paus tidak mempunyai kekuatan rohani yang kuat untuk
menghentikan goncangan peradaban yang masih terombang ambing antara manusia dan Tuhan.
Hal-hal yang melatarbelakangi Martin Luther muncul sebagai reformator dalam reformasi Gereja pada tahun 1517 dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain faktor agama, faktor sosial ekonomi, dan faktor politik. Faktor agama yang menjadi latar belakang Martin Luther sebagai reformator dalam reformasi Gereja
pada tahun 1517 adalah penjualan surat indulgensia pada masa kepemimpinan Paus Leo X yang digunakan untuk pembangunan Gereja Basilika Santo Petrus
di Roma dan pelunasan hutang Uskup Agung Albercht dari Mainz. Seseorang yang memiliki surat indulgensia dengan cara membelinya, maka seseorang yang
telah mengaku dosanya di hadapan imam tidak dituntut lagi untuk membuktikan penyesalannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan para penjual surat indulgensia
melampaui batas-batas pemahaman teologis yang benar dengan mengatakan bahwa pada saat mata uang berdering di peti, jiwa akan melompat dari api
penyucian ke surga.
17
Fl. Hasto Rosariyanto, op.cit., hlm. 14.
81
Penjualan surat indulgensia hanyalah tanda yang kelihatan dari permasalahan yang fundamental. Masalah yang sebenarnya adalah sejauh manakah iman Kristen
secara langsung didasarkan pada Kitab Perjanjian Baru. Pemahaman teologis dalam Abad Pertengahan mengenal pembedaan hukuman. Di satu pihak, ada
hukuman yang tetap dan abadi bagi seseorang yang masuk neraka. Di lain pihak, ada hukuman setelah kematian di api penyucian bagi semua dosa yang telah
dilakukan seseorang semasa hidupnya. Inti dari pemahaman teologis ini adalah bahwa hukuman di api penyucian akan menjadi pemurnian sebelum seseorang
memasuki hidup abadi.
18
Manusia sejak lahir sudah membawa dosa asal yang dihapus melalui permandian, namun tidak dipungkiri bahwa manusia di dalam hidupnya berbuat
dosa lagi, yaitu dosa pribadi. Dosa-dosa pribadi manusia harus dinyatakan dalam pengakuan dan mendapat hukuman dari Allah, untuk memulihkan kebaikan bagi
para pendosa. Pemulihan itu terjadi di api penyucian yang membersihkan dan menghukum pendosa atas dosa-dosanya. Gereja Katolik Roma dalam hal ini
menyatakan dirinya memiliki kemampuan untuk mengampuni dosa-dosa, memulihkan kembali hubungan manusia dengan Allah.
Melalui keimanan yang tidak tahu apa-apa dan sangat korup, pimpinan Katolik Roma menciptakan dan membangun agamanya sendiri. Bila tradisi-tradisi
tidak lagi memenuhi target yang mereka inginkan, Gereja akan mengubahnya atau menambahkan peraturan-peraturan. Rasa bersalah dan ketakutan adalah dua emosi
utama yang ditanamkan Gereja untuk membuat umat tetap kembali ke Gereja.
18
Hans Peter Grosshans, op.cit., hlm. 35.
82
Untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan tentang kematian, neraka, surga, dan api penyucian
19
. Dalam hal ini, Paus dan hirarkinya membuat suatu sistem yang berfungsi untuk menstabilkan perekonomian Gereja dan meredakan rasa bersalah
umat.
20
Keselamatan yang dapat dibeli dengan uang lebih mudah didapatkan daripada keselamatan yang menuntut pertobatan, iman yang sungguh-sungguh untuk
menolak dan mengalahkan dosa. Pengajaran mengenai surat pengampunan dosa telah ditentang oleh kaum terpelajar dan orang-orang yang saleh di dalam Gereja
Roma. Martin Luther pun menganut pandangan yang sama dengan kaum terpelajar
dan orang-orang saleh di Roma. Meskipun Martin Luther masih menjadi pengikut Paus yang paling jujur dan saleh, tetapi ia sudah dipenuhi pikiran yang
mengerikan terhadap surat indulgensia. Martin Luther sebagai seorang imam, ia banyak didatangi oleh umat yang telah membeli surat indulgensia untuk mengakui
dosanya dan mengharapkan pengampunan, bukan karena mereka sudah bertobat dan menginginkan pembaruan, tetapi atas dasar surat indulgensia. Tentu saja
Martin Luther menolak memberikan pengampunan dan memberi peringatan kepada jemaatnya, kecuali mereka bertobat dan pemperbarui kehidupan mereka,
barulah Martin Luther mau memberikan pengampunan dosa. Faktor sosial ekonomi yang melatarbelakangi Martin Luther sebagai
reformator dalam reformasi Gereja pada tahun 1517 adalah pada saat ia melakukan perjalanan untuk berziarah ke Roma dan menginap di biara-biara
19
Api penyucian, tempat sementara bagi orang-orang yang tidak cukup baik untuk masuk ke surga, dan tidak cukup buruk untuk masuk neraka. lihat. Roberts Liardon, op.cit., hlm. 147.
20
Ibid.
83
sepanjang perjalanan, di salah satu biara di Italia, Martin Luther dipenuhi keheranan melihat kekayaan, keindahan, dan kemewahan. Para biarawan tinggal
di apartemen yang megah, dengan pendapatan yang memuaskan, berpakaian yang paling mewah dan paling mahal, dan memakan makanan yang mewah. Dengan
sangat ragu-ragu, Martin Luther membandingkan pemandangan ini dengan penyangkalan diri dari kesukaran yang dialami dalam hidupnya sendiri.
Pikirannya menjadi bingung. Pada zaman Martin Luther, kota Roma termasuk kota Abad Pertengahan yang
agung. Di Roma, Martin Luther melihat perbuatan jahat terjadi di antara semua golongan rohaniwan. Ia mendengar gurauan tidak senonoh dari para
petugas Gereja, dan ia dipenuhi kengerian ucapan-ucapan kotor yang hebat, bahkan sementara pada saat diadakan misa. Ketika Martin Luther bergaul
bersama para biarawan dan penduduk kota Roma, ia mendapati terjadinya pemborosan dan pesta pora. Kemana pun Martin Luther berpaling, di tempat
suci ia temukan perbuatan jahat. Martin Luther menulis, “Tak seorang pun dapat membayangkan dosa-dosa serta tindakan-tindakan aneh yang dilakukan
di Roma, semua itu harus disaksikan dan didengar sendiri, barulah dapat dipercaya. Dengan demikian mereka seakan telah terbiasa untuk
mengatakannya.”
21
Martin Luther juga merasa tersinggung oleh istana-istana para kardinal yang memamerkan kemewahan dan marah karena kisah-kisah tentang Paus
yang dibicarakan orang-orang Roma dengan penuh celaan dan tertawaan.
21
Dian, “Pemisahan Diri Luther dari Roma” dalam http:www.dianweb.orgbukulutherhtm., 8 September 2007, op.cit.
84
Kesalehan diabaikan di Roma, sedangkan uang menjadi penentu segala sesuatu. Kepercayaan masyarakat terhadap Allah merosot, sedangkan kepercayaan
terhadap takhayul semakin menjadi-jadi, sebab semakin banyak dukun dan ahli tenung memenuhi jalanan. Semua hal ini membuat Martin Luther kecewa
dan semakin menguatkan dirinya untuk mewujudkan keinginannya dalam melakukan pembaruan demi menuju ke arah kehidupan yang lebih baik.
Faktor politik yang melatarbelakangi Martin Luther sebagai reformator dalam reformasi Gereja pada tahun 1517-1546 adalah sikap absolutisme pimpinan
tertinggi Gereja Katolik Roma yang menyalahgunakan wewenang kekuasaannya, di mana ia memimpin umat Katolik bukan dengan mengedepankan dan
mengutamakan kekudusan hati, tetapi malah mengedepankan jiwa pedagang yang gila akan kehormatan.
Pada abad ke-16, tepatnya tahun 1513-1521, Gereja Katolik Roma dipimpin oleh Paus Leo X. Paus Leo X merupakan seseorang yang gila hormat. Ia ingin
menjadi Paus di bidang kesenian. Paus Leo X ingin melanjutkan pembangunan Basilika Santo Petrus yang semula sudah dirintis oleh Paus Jullius II. Paus Leo X
membutuhkan banyak uang, maka diadakan praktek penjualan surat indulgensia supaya ia dapat memperoleh uang jutaan banyaknya guna membiayai
pembangunan Gereja Basilika Santo Petrus. Jadi, pada saat Gereja membutuhkan seorang yang kudus dan bijaksana untuk memimpinnya, ternyata pemimpin yang
muncul justru seorang pedagang.
22
Sesungguhnya Martin Luther tidak banyak tahu mengenai latar belakang
22
W.L. Helwig, op.cit., hlm. 146.
85
politik dan finansial untuk praktek indulgensia di Jerman. Paus Leo X telah memberi hak istimewa kepada Albercht dari Bradenburg, yang sangat butuh
uang untuk membagikan indulgensia di wilayahnya. Albercht, yang kemudian menjadi Uskup Agung Magdeburg dan Halberstadt, juga berhasil dalam
memperoleh kedudukan Uskup Agung Mainz. Ia menjadi uskup tertinggi secara politis sekaligus spiritual di Jerman. Untuk hak istimewa dalam
memegang tiga keuskupan sekaligus, Abercht harus membayar upeti yang tinggi baik kepada Paus maupun kaisar. Paus Leo X membuat kesepakatan
dengan Albercht bahwa sebagai tambahan pada upeti Albercht, separuh dari hasil penjualan indulgensia harus dibayarkan pada Paus untuk membantu
menutup biaya pembangunan Gereja Basilika Santo Petrus di Roma.
23
Bagi Martin Luther, bukan latar belakang sosial ekonomi dan politis yang menjadi pendorong utama untuk menjadi reformator dalam reformasi Gereja
pada abad ke-16, tetapi masalah-masalah rohani dan teologis yang ditimbulkannya. Martin Luther melihat akibat yang mendatangkan permasalahan
baik secara material maupun psikologis dari praktek indulgensia bagi orang- orang awam.
C. Peranan Martin Luther dalam Reformasi Gereja Pada tahun 1517-1546