63
6.3. Konflik Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan Pihak Taman
Nasional Gunung Halimun Salak Akibat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi menganggap bahwa sistem zonasi yang telah dibuat taman nasional sama artinya dengan pengelolaan hutan secara
adat terutama zona inti dan hutan tutupan Masyarakat Kasepuhan. Permasalahnnya adalah ketika talun, huma, sawah dan pemukiman masyarakat
dijadikan zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Masyarakat dilarang mengakses zona tersebut karena berfungsi untuk pemulihan ekosistem. Hal ini
disebabkan oleh adanya kasus Pondok Injuk Kampung Cimapag yang rusak parah akibat illegal logging. Pentingnya talun, huma dan sawah untuk memenuhi
kebutuhan hidup membuat Masyarakat Kasepuhan tetap berada di lahan garapan dan mengolah lahan seperti biasanya. Meskipun harus sembunyi-sembunyi karena
takut ditangkap oleh petugas TNGHS. Menurut
Masyarakat Kasepuhan,
pihak TNGHS
sengaja mengembangbiakkan babi hutan di lahan garapan masyarakat. Hal ini
menyebabkan hasil pertanian seperti panen pisang Masyarakat Kasepuhan mengalami kegagalan. Pihak TNGHS juga memasang papan pengumuman
mengenai pelarangan masuk ke dalam kawasan konservasi di berbagai titik, termasuk di depan rumah warga dan di kebun masyarakat.
Konflik yang terjadi antara Masyarakat Kasepuhan dengan TNGHS dikarenakan perbedaan persepsi atas sumberdaya hutan. Masyarakat menebang
kayu untuk keperluan kayu bakar dan membangun rumah di kebun mereka sendiri dianggap sebagai sebuah kesalahan oleh pihak TNGHS. Penebangan kayu di
wilayah TNGHS dianggap sebagai kegiatan illegal logging oleh TNGHS.
64
Tahun 2004 terjadi penangkapan terhadap Masyarakat Kasepuhan yang tinggal di Kampung Cimapag karena mengambil kayu dari kebun miliknya
sendiri, karena dianggap merusak kawasan taman nasional. Warga tersebut ditahan satu tahun penjara. Setelah itu, pada tahun 2007 warga Kampung Cimapag
kembali ditangkap karena mengambil kayu di kebun sendiri. Padahal sebelum adanya taman nasional, lahan kebun termasuk pohon yang didalamnya adalah
milik warga, karena sejak wilayah tersebut masih dimiliki pihak Perhutani, warga boleh menggarap lahan tersebut dan menanam kayu-kayuan dengan sistem
tumpang sari.Gambaran konflik antara Masyarakat Kasepuhan dengan TNGHS dapat dilihat di Lampiran 15.
Masyarakat Kasepuhan menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Kasepuhan terikat adat yang kuat
dalam pengelolaan hutan. Kawasan leuweung tutupan dan titipan merupakan warisan leluhur yang harus terjaga keutuhannya. Sumberdaya hutan yang berada
di kawasan Halimun, oleh Masyarakat Kasepuhan dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur mereka. Oleh karena itu,
mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini hingga generasi mendatang. Sebagai
lahan titipan para leluhur, seluruh sumberdaya hutan diklaim milik adat dan bersifat komunal. Sumberdaya hutan hanya boleh dipergunakan dan dimanfaatkan
untuk hidup, namun tidak boleh dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang
Abah sebagai pemimpin adat. Seperti yang diungkapakan oleh Bapak ASP 44 tahun, Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi.
65
“Sebelum Negara Indonesia berdiri, adat telah ada. Negara terbentuk dari adat. Asal muasal negara berasal dari adat istiadat. Peraturan
adat pun sudah ada sejak dulu, hutan tutupan, hutan titipan, lahan garapan, dan hutan awisan, sama dengan hutan taman nasional,
seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona lainnya. Hutan titipan tidak boleh dirusak, hutan tutupan untuk
memenuhi kebutuhan, hutan garapan untuk kegiatan pertanian, dan hutan awisan untuk pemukiman masa mendatang. Jadi tanah dan
hutan ini adalah milik adat ”.
Pihak taman nasional menganggap kawasan halimun sebagai milik negara karena berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Pemerintah
menganggap kawasan TNGHS sebagai milik Negara didasarkan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 4 Ayat 1 dan 2.
Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara bukan dimiliki, dan secara
tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah milik publik. Namun karena konsep publik lah, maka negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik
negara, yang pengelolaannya diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan sumberdaya hutan juga diatur oleh
pemerintah. Kawasan konservasi taman nasional ditetapkan berdasarkan UU No. 41
Tahun 1999 pasal 4 1 dan 2 disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai
66
oleh Negara dan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk, 1 mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan; 2 menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan 3 mengatur dan menetapkan
hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan- perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selain itu pengaturan pengelolaan Hutan
Halimun secara konservasi dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam berdasarkan SK. Menhut No. 175 tahun 2003. Hutan adalah
milik Taman Nasional diperkuat dengan SK. Menhut No. 175 tahun 2003.
6.4. Penyelesaian Konflik Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi dengan