49
Sumber : Data Primer 2011
Gambar 5. Karakteristik Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan
5.3. Gambaran Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi
Kasepuhan Sinar Resmi terletak di Desa Sirna Resmi, bersama dengan dua kasepuhan lainnya yakni Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Cipta Gelar
yang saling terkait dan masih dalam satu keturunan. Kasepuhan Sinar Resmi dibentuk oleh para leluhur karuhun yang merupakan laskar Kerajaan Padjajaran
yang mundur ke daerah Selatan karena kerajaan mereka berhasil dikuasai oleh Kasultanan Banten.
Kasepuhan Sinar Resmi selalu berpindah-pindah sebelum di Desa Sirna Resmi saat ini. Hal ini didasarkan pada wangsit dari para karuhun yang
disampaikan melalui Kepala Kasepuhan yaitu Abah untuk mencari lebak cawane lembah perawan yang diyakini akan memberikan kemakmuran bagi masyarakat
kasepuhan. Kasepuhan Sinar Resmi telah berpindah-pindah selama 29 generasi dimulai sejak tahun 611 M. Namun hanya delapan generasi terakhir saja yang
boleh diketahui oleh Incu Putu masyarakat adat, karena 21 generasi lainnya merupakan rahasia para leluhur yang tidak boleh diketahui oleh siapapun.
Perpindahan Kasepuhan Sinar Resmi diawali dari perpindahan kampung gede dari Lebak Selatan ke Sukabumi Selatan, di Kampung Bojongcisono oleh Ki
97 3
Pemilik Lahan Penggarap
50
Jasun. Abah Rusdi, putra dari Ki Jasun, memindahkan kampung gede ke Kampung Cicemet, Sukabumi Selatan. Putra Abah Rusdi, yaitu Abah Arjo
memindahkan kampung gede sebanyak tiga kali yaitu ke Kampung Waru, Cidadap dan Cisarua yang semuanya berada di Sukabumi Selatan. Sepeninggal
Abah Arjo, Kasepuhan dilimpahkan kepemimpinannya pada Abah Encup Sucipta Abah Anom. Beliau pindah ke Cipta Rasa selama 17 tahun. Pada tahun 1985
Kasepuhan terpecah menjadi dua yaitu Kasepuhan Cipta Rasa Abah Anom dan Kasepuhan Sinar Resmi Abah Udjat Sujati. Pada tahun 2000 Abah Anom pindah
ke Ciptagelar. Pada tahun 2007 Abah Anom meninggal dunia dan kasepuhan dilanjutkan oleh anaknya yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. Pada tahun 2002
Abah Udjat meninggal dunia dan kasepuhan dilanjutkan oleh anaknya yaitu Abah Asep Nugraha. Sejak tahun 2002 hingga akhir tahun 2010 kasepuhan yang ada di
Desa Sirna Resmi terbagi menjadi tiga yaitu Kasepuhan Cipta Gelar Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, Kasepuhan Sinar Resmi Abah Asep Nugraha dan
Kasepuhan Cipta Mulya Abah Hendrik. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi secara keseluruhan beragama Islam,
meskipun dalam beberapa hal masih mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib Animisme. Menurut Bapak UGS 64 tahun mereka mengikuti tata cara ibadah
yang dilakukan oleh Rasul, dengan istilah Slampangan dika Gusti Rasul. “Slampangan dika Gusti Rasul adalah kami beragama Islam,
mempercayai Nabi Muhammad sebag ai Rasul”.
Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sebagian besar merupakan Suku Sunda. Masyarakat mewariskan adat dari Kerajaan Padjajaran, salah satunya
Bahasa Sunda. Bahasa Sunda digunakan dalam percakapan sehari-hari dan
51
digunakan dalam ritual adat. Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki filosofi hidup yang satu jiwa pada diri masyarakat kasepuhan. Basis dari hukum
adat kasepuhan adalah filosofi hidup “ tilu sapamulu, dua sakarupa, hiji eta-eta
keneh ”. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber : Rimbawan Muda Indonesia 2004
Gambar 6. Konsep Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, dan Hiji Eta Keneh
Tekad, ucap dan lampah merupakan cerminan ucapan dan tingkah laku yang harus berlandaskan niat yang dapat dipertanggungjawabkan dan berjalan
selaras. Makhluk hidup berpakaian mengandung makna bahwa masyarakat kasepuhan memiliki kebudayaan tersendiri yang mereka lindungi. Sedangkan
aspek buhun kepercayaan adat, nagara negara dan syara agama merupakan peleburan yang menunjukkan bahwa terdapat pengakuan masyarakat kasepuhan
terhadap perubahan bernegara dari kerajaan menjadi negara Indonesia dan hadirnya keyakinan yang lain yaitu Islam.
Selain itu filosofi Ibu Bumi, bapak langit juga mengilhami kehidupan masyarakat kasepuhan. Bumi tanah dianalogikan sebagai ibu yang dapat
melahirkan sebuah kehidupan makanan untuk hidup manusia. Langit
Ucap Na
gara
Raga
Lampah Syara
Papakean Tekad
B uhun
N yawa
52
dianalogikan sebagai bapak yang dapat menurunkan hujan, dimana jika hujan turun ke bumi, maka akan menumbuhkan kehidupan baru.
Rumah penduduk merupakan rumah panggung yang bertujuan untuk menghindari dingin. Rumah panggung juga dipercaya oleh masyarakat bahwa
mereka sudah melaksanakan tilu sapamulu, yang mana siku penyangga rumah berbentuk segitiga. Waktu untuk pemilihan kayu dihitung berdasarkan hari dan
tanggal yang baik hal ini dikarenakan pada tanggal 1 Bulan Safar sampai 15 Bulan Maulid merupakan waktu yang dilarang untuk mengambil kayu. Atap
rumah berbentuk bulat dan segitiga yang terbuat dari ijuk. Arti dari segitiga merupakan kesatuan dari agama, negara, dan adat yang harus sejalan, sedangkan
bulat merupakan tanda bahwa manusia berasal dari lubang tanah dan akan kembali ke lubang tanah. Dinding rumah terbuat dari bilik bambu. Hal ini
bertujuan, apabila ingin pindah rumah, masyarakat tidak perlu membangun rumah kembali.
Selain aturan dalam membangun rumah, masyarakat kasepuhan juga memiliki tata cara berpakaian sendiri, khususnya ketika ada kegiatan-kegiatan
adat. Untuk laki-laki biasanya memakai baju koko dan ikat kepala yang terbuat dari kain batik. Sedangkan perempuan biasanya memakai baju kebaya dan kain
sarung. Semua aturan adat harus dijalankan oleh masyarakat, karena masyarakat percaya bahwa bila ada pelanggaran dari aturan adat ini maka akan terjadi sesuatu
yang buruk atau disebut dengan kabendon. Seseorang bisa lepas dari kabendon apabila ingat akan kesalahannya dan minta maaf kepada Abah selaku ketua adat
dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK TNGHS DI MASYARAKAT
KASEPUHAN SINAR RESMI 6.1.
Riwayat Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS merupakan kawasan hutan lindung dengan luas 39.941 ha selama periode 1924-1934 masa
pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935 mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi
cagar alam dengan nama Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan Jawa Barat Jabar. Pada tahun 1977 Gubernur Jabar
menyetujui usulan bahwa seluruh hutan lindung di wilayah Jabar diserahkan ke Direktorat Pelestaraian Hutan dan Perlindungan Alam PHPA di bawah
Departemen Kehutanan. Tahun 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani. Tahun 1979 PHPA juga mulai mengelola kawasan
ini yang sudah diperluas menjadi 40.000 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282Kpts-II1992
tanggal 28 Februari 1992 kawasan Cagar Alam Halimun ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun
TNGH dibawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP. Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan TNGH dipegang oleh Unit
Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, dan Departemen Kehutanan. Sumberdaya alam hutan dari waktu ke waktu semakin terancam
kelestariannya. Hal ini disebabkan oleh deforestasi yang tinggi akibat kegiatan produksi dan illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang tidak
bertanggung jawab. Oleh karena itu, atas dorongan pihak yang peduli akan