54
pati pada beras ketan pada produk 30, dimana beras ketan diketahui memiliki kandungan amilopektin yang tinggi sehingga memiliki daya lekat yang tinggi
Haryadi 2008 serta kandungan protein Meullenet et al. 2000.
7.3 Keasaman pH
Keasaman pH merupakan parameter utama yang sangat diperhatikan pada produk-produk pengalengan dan sangat erat kaitanya dengan nilai keawetan.
Parameter pH ini berhubungan langsung dengan total mikroba dan digunakan sebagai pembatas pertumbuhan mikroba tertentu dalam konsep pengawetan
makanan Hariyadi et al. 2006. Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan pH- meter, dapat diketahui bahwa pH buras terpilih yang telah disimpan pada suhu ruang
selama 25 hari adalah 6.38. Rekapitulasi data hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini menunjukkan bahwa EFP buras tergolong bahan pangan
berasam rendah. Seperti sudah dijelaskan pada sub-bab awal, komposisi utama EFP buras ini adalah daging ayam dan nasi, nilai pH ini kemungkinan besar berasal dari
kontribusi daging ayam mengingat pH nasi cenderung netral pH=7.00. Menurut Kusnandar et al. 2009, bahan pangan berasam rendah adalah bahan pangan yang
memiliki nilai pH ≥ 4.60. Proses termal yang harus diaplikasikan pada bahan pangan
berasam rendah adalah sterilisasi karena mikroba targetnya adalah C. botulinum yang tahan panas dan dapat membentuk spora. Dengan demikian, proses termal
yang dilakukan dalam penelitian ini sterilisasi tepat diaplikasikan pada buras steril dalam kemasan retort pouch.
7.4 Aktivitas Air a
w
Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan pangan terhadap serangan mikroba, yang dinyatakan dengan a
w
, yaitu jumlah air bebas yang dapat dipergunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya atau untuk reaksi
kimiawi. Berbagai mikroorganisme memiliki a
w
minimum agar dapat tumbuh dengan baik. Namun, nilai a
w
juga dapat mempengaruhi berbagai reaksi yang terjadi dalam pangan seperti oksidasi lipid, pencoklatan non-enzimatik, reaksi hidrolitik,
dan aktivitas enzim. Nilai a
w
menjadi suatu hal yang penting dalam menentukan tingkat keawetan suatu produk pangan. Nilai a
w
EFP buras terpilih adalah 0.908 pada suhu rata-rata 30
C Lampiran 10. Nilai a
w
ini tergolong nilai a
w
pangan sangat basah sehingga memungkinkan mikroorganisme terutama bakteri untuk
tumbuh dan berkembang dengan baik sedangkan jamur tidak akan tumbuh Simon et al. 2004.
7.5 Total Plate Count TPC
Analisis mikrobiologi yang dilakukan adalah Total Plate Count TPC. Karena EFP buras ini merupakan produk sterilisasi dengan suhu mencapai 116.7
C maka pada EFP ini tidak dilakukan analisis total kapang-khamir karena kapang dan
khamir dipastikan mati pada suhu sterilisasi tersebut. Selain itu, produk juga dikemas dalam kemasan tertutup rapat yang kedap udara serta cahaya yaitu retort
55
pouch. Hal itu memungkinkan kapang dan khamir jika ada tidak dapat atau sangat lambat pertumbuhannya.
Media yang digunakan untuk TPC adalah Plate Count Agar PCA. Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10
-1
sampai 10
-4
. Hasil pemupukan untuk PCA diinkubasi pada suhu 37
C selama 2 sampai 3 hari. Hasil perhitungan menunjukkan nilai TPC sebesar 9.3 x 10
2
total kolonigram atau 2.96 log cfugram Lampiran 11. Menurut Wilson 1981 batas maksimal total mikroba produk
pengalengan daging ayam ditetapkan tidak boleh melebihi 1.0 x 10
3
kolonigram 3.00 log cfugram untuk kategori masih diterima secara sensori. Namun, sebagai
pangan hasil sterilisasi, EFP buras seharusnya dalam kondisi bebas sel mikroba steril dan hanya diperbolehkan mengandung spora dalam kondisi dorman tidak
aktif tumbuh pada penyimpanan suhu ruang. Tumbuhnya mikroba pada EFP buras ini harus diketahui berbagai kemungkinan penyebabnya karena hal tersebut sangat
penting dalam rangka perbaikan proses dan quality improvement of product pada penelitian selanjutnya. Perhitungan kontaminasi mikroba pada EFP buras juga
sangat perlu dilakukan, karena menurut Zoumas et al. 2002 salah satu karakteristik dasar EFP adalah keamanan produk food safety.
Faktor yang diduga menyebabkan masih tumbuhnya mikroba pada EFP buras adalah dalam proses pengolahannya masih dilakukan secara batch manual. Selain
itu pada praktik pengolahan EFP buras belum diterapkan dan dikendalikan dengan baik standar sanitasi dan hygiene, Good Manufacturing Practices GMP dan
Hazard Analysis of Critical Control Point HACCP serta standar-standar lain yang dapat mempengaruhi kualitas produk. Padahal, seharusnya standar-standar tersebut
harus diterapkan apalagi dalam pengalengan pangan Winarno 2006. Akibatnya, kemungkinkan kontaminasi silang tinggi yang menyebabkan total mikroba awal
TPC juga tinggi. Total mikroba yang tinggi menyebabkan target sterilisasi 12D tetap belum tercukupi untuk mencapai kondisi keamanan pangan sterilisasi
komersial. Persyaratan keamanan pangan sterilisasi komersial adalah bahwa peluang ditemukannya spora C.botulinum yang masih aktif capable to growing dalam
produk pangan hasil sterilisasi adalah sebesar 10
-9
, atau dengan kata lain telah terjadi pengurangan populasi C. Botulinum sebesar 12 siklus log, dengan asumsi jika dan
hanya jika jumlah awal spora per kemasan dipenuhi yaitu ≤10
3
Hariyadi et al. 2006. Maksud dari peluang adanya sel mikroba C. botulinum sebesar 10
-9
yaitu dalam proses sterilisasi pangan hanya boleh ditemukan 1 sel C. botulinum dalam
satu kemasan pada produksi 1 Miliyar kemasan Winarno 2006. Persyaratan tersebut target 12D tidak akan berlaku dan terpenuhi jika total mikroba awalnya
tinggi 10
3
. Total mikroba pada EFP buras juga sangat erat kaitannya dengan nilai a
w
dan pH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan total mikroba berbanding
positif dengan penurunan nilai pH pada santan terpasteurisasi Jusup 1984 dan a
w
untuk pangan kaleng berbasis beras FDA 2010. EFP buras ini memiliki kadar air 62.85bb dan aktivitas air a
w
yang tinggi yaitu sebesar 0.908. Pangan yang memiliki kadar air dan a
w
tinggi diketahui memang mudah rusak. Fennema 1985 memaparkan adanya hubungan yang erat antara kadar air dan daya awet suatu bahan
pangan. Kadar air yang tinggi akan mempercepat berlangsungnya kerusakan kimiawi dan mikrobiologis. Pada a
w
lebih tinggi dari 0.900 memungkinkan berbagai
56
macam bakteri patogen dan pembusuk optimum pertumbuhannya Fennema 1985. Selain itu, pada a
w
yang tinggi juga reaksi oksidasi lemak, reaksi enzimatis, dan pencoklatan non enzimatis berlangsung cepat Fennema 1985 sedangkan pada
kadar air yang tinggi akan mempercepat kerusakan produk pangan oleh bakteri pembusuk. Oleh sebab itu, apabila terjadi kontaminasi silang, mikroba sangat mudah
tumbuh pada EFP buras ini. Selain itu, Penyebab adanya mikroba bakteri pada produk juga diduga karena
kebocoran kemasan setelah sterilisasi. Kebocoran disebabkan oleh tekanan diluar kemasan pada saat sterilisasi yang lebih tinggi dibandingkan tekanan dalam
kemasan. Retort yang digunakan pada penelitian sesungguhnya adalah retort untuk sterilisasi pangan produk dalam kemasan kaleng dengan menggunakan steam uap
panas sebagai media pemanas. Akibatnya, retort tersebut tidak compatible untuk kemasan retort pouch karena tidak dilengkapi external pressure. Masalah kebocoran
pada kemasan retort pouch ini akan teratasi dan minimal jika retort dilengkapi external pressure atau penggantian media dari steam menjadi air. Namun, media
pemanas air untuk sterilisasi juga memiliki kelemahan yaitu tidak efektif terkait waktu proses yang lebih lama dan biaya produksi yang lebih tinggi serta panas yang
dihasilkan tidak stabil. Masalah kebocoran ini menjadi hal yang penting diperhatikan pada pengemasan mengunakan retort pouch. Salah satu kelemahan
retort pouch yaitu mudahnya mengalami kebocoran dan sulitnya mendeteksi kebocoran setelah sterilisasi karena kemasan retort pouch bersifat sangat fleksibel
Blakiestone 2003 apalagi jika kelim untuk pouch yang digunakan masih manual. Akibatnya, kontaminasi silang atau penetrasi mikroba saat sterilisasi dalam retort
dan selama penyimpanan produk sangat mungkin terjadi Muchtadi 1995; Hariyadi et al. 2006; Winarno 2006.
8. Hasil Uji Peyimpanan EFP Buras Terpilih