Teori Ekonomi Privatisasi TINJAUAN PUSTAKA

2 Kualitas, yaitu air bersih yang didistribusikan kepada para pelanggan tersebut harus memenuhi standar –standar kesehatan yang berlaku baik dari segi kimiawi maupun dari segi fisiknya, serta tidak berbau dan berwarna. 3 Kuantitas, yaitu jumlah yang didistribusikan tersebut sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tesebut akan air bersihnya sehari-hari, dimana dalam standar PAM Jaya disebutkan bahwa kebutuhan akan air bersih sekitar 140-200 ldt untuk setiap keluarga ∗ Bakara, 2001.

2.3. Teori Ekonomi Privatisasi

Syarat utama agar pembangunan ekonomi bisa terus berjalan berkesinambungan adalah dengan menciptakan kondisi ”stabilitas politik” yang mantap. Dalam konteks ini intervensi pemerintah menjadi sangat menonjol sehingga kekuasaan pemerintah relatif besar sehingga rawan terhadap penyelewengan wewenang Yustika, 2009. Pelaksanaan privatisasi diberbagai negara dipandang sebagai penguatan pasar dalam struktur perekonomian negara tersebut. Privatisasi merupakan upaya mengembalikan aktivitas perekonomian kepada sektor swasta dengan memperkecil campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Namun pada kenyataannya, penetapan privatisasi diberbagai negara ini tidak menuai hasil yang heterogen dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Terdapat perbedaan besar antara privatisasi yang dilakukan di negara maju dan negara berkembang. Dalam privatisasi di negara maju, hak kontrol tetap berada ditangan pemerintah, artinya walaupun banyak aset BUMN yang dijual ke swasta, hak kontrol pemerintah pada perusahaan masih tergolong besar atau disebut dengan fenomena reluctant privatization 6 . Ini terjadi karena pemerintah menjadi shareholders utama sekalipun bukan pemegang 100 saham kepemilikan perusahaan. Pemerintah memiliki hak veto atau kuasa khusus ∗ satu keluarga terdiri dari 2 orang dewasa dan 2 anak kecil 6 Bortolotti dan Faccio 2004 dalam Hadi et al 2007 30 atas kepemilikan yang disebut sebagai “golden shares” atau pemegang saham istimewa. Maraknya fenomena ini mengindikasikan bahwa privatisasi di negara-negara maju bercirikan transfer kepemilikan dari pemerintah terhadap swasta tanpa mengurangi fungsi kontrol pemerintah atas kinerja BUMN tersebut corresponding transfer of control rights . Pada negara-negara berkembang, fenomena ini diterapkan begitu saja tanpa melihat kekhususan atau keunikan yang terjadi pada masing-masing negara. Bagi negara berkembang yang sedang berada dalam proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju demokrasi, privatisasi umumnya justru sarat dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme untuk kepentingan tertentu di tingkat domestik. Ini dimungkinkan karena masih lemahnya fungsi regulasi pendukung iklim kompetisi dan aturan yang jelas tentang privatisasi. Sementara itu pada tingkat global, adanya agenda privatisasi adalah sebagai desakan dari internasional, karena desakan ini merupakan upaya mengintegrasikan perekonomian domestik negara berkembang kedalam sistem pasar global, atau mengikuti kehendak negara-negara maju Hadi, 2007. Secara umum, privatisasi pada negara maju membuat BUMN menjadi semakin efisien dan barangjasa bisa tersedia dengan harga murah bagi publik, sedangkan pada negara berkembang privatisasi merupakan salah satu program dari agenda liberalisasi ekonomi dan terjadi hal sebaliknya, salah satunya yaitu privatisasi air. Perbedaan privatisasi antara negara maju dan negara berkembang ini menimbulkan beberapa kontroversi 7 , yaitu tingginya harga barang publik, tidak adanya aturan jelas yang mengatur privatisasi, hilangnya akses masyarakat miskin untuk mengkonsumsi barang publik, hilangnya kontrol publik atas aset-aset negara, dan mengundang korupsi bentuk baru dalam tata kelolaan aset-aset negara. 7 Miller 1997 dalam Hadi et al 2007 31 Kelima hal diatas mengindikasikan bahwa air sebagai barang publik tidak lagi didapatkan dengan mudah dan murah oleh masyarakat. Secara ekonomi, masyarakat harus membayar mahal untuk mendapat air bersih padahal ketersediaan air bersih di DKI Jakarta semakin menipis. Sementara itu aturan yang tidak jelas memperburuk keadaan. Peraturan tentang privatisasi yang baru dikeluarkannya tahun 2001 Keputusan Presiden Republik Indonesia No 112 tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara jauh setelah perjanjian privatisasi dilakukan tahun 1998, yang artinya privatisasi yang sudah dilakukan pemerintah tidak dilandasi dasar hukum serta mungkin ekonomi-politik yang jelas 8 , sehingga pemerintah tidak memegang kekuasaan dan peran sentral serta lebih banyak dikendalikan oleh keinginan asing. Secara teknis, proses privatisasi yang dijalankan Indonesia saat ini masih sangat mempertimbangkan aspek pendapatan income earning dari penjualan perusahaan publik tersebut. Jika privatisasi ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara, maka sebenarnya sumbangan privatisasi terhdap APBN sangat kecil dibandingkan dengan laba bank BUMN Yustika, 2009. Privatisasi yang terjadi di Portugal digunakan untuk mengubah dasar-dasar makro perekonomian dan tidak hanya sekedar menambah pendapatan negara lewat penjualan perusahaan publik. Faktor ini yang terlupakan oleh pemerintah Indonesia akan berimbas pada jebakan dalam privatisasi ini. Pertama, jebakan munculnya monopoli baru yang semula dipegang negara kemudian pindah ke sektor swasta. Kedua, jebakan kelembagaan yang dibuat tidak bersandarkan pada penguasaan teknis dan obyektif yang memadai Yustika, 2009. Privatisasi air yang terjadi di Filipina merupakan fakta nyata liberalisasi yang merambah ke sektor publik. Privatisasi tersebut merupakan salah satu persyaratan IMF 8 Hadi et al 2007 32 dan Bank Dunia untuk memberikan pinjaman ke negara tersebut. Pelayanan air yang diserahkan pada OndeoSuez Lyonnaise des Eaux pada awalnya memberikan dampak positif dengan dibangunnya jaringan untuk satu juta pelanggan pada 1997-2003. Akan tetapi, ternyata harga naik sampai 425 persen, sehingga kaum miskin tidak dapat mengakses pelayanan air tersebut. Kebocoran pun lebih tinggi saat harga dinaikan. Pada Desember 2002, pelayanan air dihentikan di barat Metro Manila sehingga 6,5 Juta masyarakat tidak dapat mengakses air. Lebih parah lagi, perusahaan tersebut menuntut ganti rugi kepada pemerintah sebanyak 303 juta dollar AS kepada pemerintah Filipina 9 . Cerita dari Manila memperlihatkan ada hubungan kebutuhan ekonomi politik antar negara. Istilah ekonomi politik political economy pertama kali diperkenalkan oleh penulis Perancis, Antony de Montchètien 1575-1621 dalam bukunya yang bertajuk Treatise on Political Economy . Penggunaan istilah ekonomi politik dalam bahasa Inggris terjadi pada 1767 lewat publikasi Sir James Steuart 1712-1789 berjudul Inequiry into the Principles of Political Economy Yustika, 2009. Menurut Myerson 2007 dalam Yustika 2009, bagi ahli ekonomi politik problem serius dalam perekonomian tidak hanya resource constraints tapi juga insentif. Maksud insentif disini adalah tersedianya informasi yang lengkap sehingga dapat diakses oleh semua pelaku ekonomi. Tidak tercapainya insentif ini mengakibatkan kegagalan pasar. Hal ini menyebabkan di satu sisi terjadi kelangkaan informasi dan di sisi lain diperlukan kemampuan untuk mencari model kompensasi atas ketidaksempurnaan pasar. Terdapat tiga teori ekonomi politik yang populer. Pertama, teori pilihan publik. Teori ini menganggap negarapemerintah, politisi atau birokrat sebagai agen yang memiliki kepentingan sendiri, yang berusaha mengkaji tindakan rasional dari aktor-aktor 9 Anindito, L. 2008. Akibat Liberalisasi Pendidikan di Indonesia. 28 November 2008. http:maslaksocenter.blogspot.com200811akibat-liberalisasi-pendidikan-di.html diakses 190808 33 politik, baik di parlemen, lembaga pemerintah, lembaga kepresidenan, masyarakat pemilih, pencinta lingkungan hidup, dan lainnya Mitchell dalam Rachbini, 2002. Kedua, teori rent-seeking . Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Krueger 1974, kemudian dikembangkan oleh Bhagwati 1982 dan Srinivasan 1991 Yustika, 2009. Menurut Prasad 2003 dalam Yustika 2009, rent-seeking merupakan proses dimana individu memperoleh pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas atau malah mengurangi produkstivitas tersebut. Teori terakhir, teori redistributive combines dan keadilan. Menurut Stigler dalam Yustika 2009, teori memusatkan perhatiannya untuk menerangkan siapa yang mendapat manfaat dan siapa yang menanggung beban akibat adanya suatu regulasi atau aturan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah ataupun yang terjadi karena institusionalisasi yang terjadi di masyarakat.

2.4. Kualitas Pelayanan Jasa terhadap Kepuasan Pelanggan