Karakteristik Tanah Curah Hujan

telah lalu, dan zona patahan Hardiyatmo, 2006. Menurut Barus 1999, bahan sedimen tersier dari kombinasi pasir dan liat memberikan intensitas longsoran paling tinggi, diikuti oleh bahan piroklastik lepas. Hal itu disebabkan batuan tersebut umumnya kurang kuat dan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan sehingga rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal Hardiyatmo, 2006. Surono 2012 berpendapat bahwa batuan dasar clay stone atau batuan lempung bersifat keras apabila kering tapi begitu terkena air cepat menjadi licin sehingga memudahkan tanah yang ada atasnya untuk bergerak, Umur geologi menurut Sampurno 1976 dalam Suranto 2008, juga dapat menentukan proses longsor karena daerah gerakan tanah sering terjadi pada daerah longsoran karena adanya perbedaan permeabilitas dan konsistensi antara tanah penutup dengan batuan dasarnya; umumnya terdapat pada batas antara batuan tufa gunung api “muda” dengan batuan sedimen “tersier”, atau pada daerah yang mempunyai endapan sedimen tersier yang kurang konsisten, dan terlipat kuat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa umur geologi berpengaruh terhadap bahaya longsor, karena proses pelapukan batuan yang sudah lama dan sangat intensif terutama di negara-negara yang memiliki iklim tropis basah seperti Indonesia.

2.3.3 Karakteristik Tanah

Faktor tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap longsor yang berbeda- beda. Kepekaan tanah terhadap longsor menggambarkan mudah atau tidaknya tanah bergerak atau longsor, sehingga kepekaan tanah terhadap longsor adalah fungsi dari berbagai interaksi sifat-sifat fisik atau kimia tanah. Adapun sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan longsor adalah a tekstur, b struktur, c bahan organik, d kedalaman, e, dan sifat lapisan Arifin et al 2006. Hasil penelitian Barus 1999 menunjukan bahwa tingkat perkembangan tanah juga berpengaruh nyata terhadap longsoran. Tanah yang sudah berkembang atau sedang berkembang seperti typic hapludults dan typic hapludalfs memberikan longsoran yang tinggi, sedangkan pada tanah yang muda sedikit dijumpai terjadinya longsoran. Terkait dengan tekstur tanah lapisan yang terdiri dari tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi setelah tanah jenuh air akan bertindak sebagai peluncuran Arsyad, 1989. Hal tersebut diperlihatkan juga oleh Subowo 2003 bahwa jenis tanah dengan tektur lempung atau liat dengan ketebalan lebih dari 2,5m dan mempunyai sudut lereng lebih dari 22º maka berpotensi untuk longsor terutama bila terjadi hujan karena tanah menjadi lembek.

2.3.4 Curah Hujan

Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada musim hujan karena terjadi peningkatan intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan-retakan dan merekahnya tanah di permukaan. Ketika hujan maka air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, biasanya intensitas hujan yang tinggi sering terjadi sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral Subowo, 2003. Daerah beriklim basah, seperti Indonesia, faktor iklim yang mempengaruhi longsor adalah hujan. Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan besarnya longsoran Barus, 1999. Disamping itu akibat hujan dengan intensitas yang tinggi dan hujan deras dalam waktu yang lama terjadi peningkatan kadar air tanah, akibatnya menurunkan ketahanan material tanahbatuan dan peningkatan intensitas hujan menyebabkan terbentuknya bidang gelincir sebagai pemicu tanah longsor Suryaatmojo dan Seodjoko, 2008.

2.3.5 Penggunaan Lahan dan Vegetasi

Dokumen yang terkait

Extension of Farmers in Marginal Land The Innovation Adoption Case Study on Integrated Dry Land Farming in Cianjur and Garut Regencies, West Java Province

1 20 286

The Method of Economic Valuation of Environmental Damage Caused by Land and Forest Fires (A Case Study in Sintang Regency, West Kalimantan)

3 56 279

Examination of Land Degradation based on Erosion Potential using Revised Universal Soil Loss Equation (A Study Case of Bandung Regency, West Java, Indonesia)

0 9 200

Land Use Classification with Back Propagation Neural Network and The Maximum Likelihood Method: A Case Study in Ciliwung Watershed, West Java, Indonesia.

0 13 228

The Method of Economic Valuation of Environmental Damage Caused by Land and Forest Fires (A Case Study in Sintang Regency, West Kalimantan)

1 34 272

Extension of Farmers in Marginal Land: The Innovation Adoption Case Study on Integrated Dry-Land Farming in Cianjur and Garut Regencies, West Java Province

0 14 556

Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).

0 7 313

An Analysis of Potential Hazard and Risk for Flood and Landslide (Case Study in West Java Province)

2 19 308

Spatial Landuse Planning of Soybean Plantation as Analyzed by Land Evaluation and Dynamic System: a Case Study of Karawang Regency, West Java, Indonesia

0 7 5

Access to land in Sundanese Community : Case Study of Upland Peasant Hausehold in Kemang Village, West Java Indonesia

0 3 6