Hubungan Kemiringan Lereng dengan Longsor a. Persebaran Titik Longsor dan Kemiringan Lereng

Gambar 19. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Lereng 40

b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Kemiringan Lereng

Berdasarkan analisis yang dilakukan antara jumlah titik longsor terhadap luasan masing-masing kelas lereng didapatkan beberapa kelas kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 10, adapun secara grafis kerapatan titik longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 10. Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas Lereng Luasha Luas Jumlah Titik Longsor Kerapatan titik100km² 0-8 55.160 18 0,0 8-45 251.554 81,5 42 1,7 45 1.533 0,5 1 6,5 Gambar 20. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 20 tersebut terlihat bahwa besarnya nilai kerapatan mengikuti besarnya kelas lereng, yaitu untuk kelas lereng 45 mempunyai kerapatan 6,5, untuk kelas 8-45 sebesar 1,7 dan untuk kelas 0-8 tidak ada titik longsor. Besarnya angka kerapatan titik longsor pada lereng 45 lebih banyak disebabkan oleh kecilnya luas kelas kemiringan tersebut di lokasi penelitian, sehingga nilai kerapatan ini dapat menjadi lebih besar lagi jika ditemukan titik-titik longsor yang lain pada wilayah kelas lereng 45. Hal ini menggambarkan suatu peluang kejadian longsor yang cukup besar pada kelas kemiringan lereng ini. 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 0-8 8-45 45 Ti ti k 10 0k m ² Kelas Lereng Density

c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Kemiringan Lereng

Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan informasi bahwa pada setiap titik longsor atau di sekitarnya dapat terjadi lebih dari satu kali kejadian yang dalam penelitian ini disebut kejadian ulang. Dengan demikian frekuensi kejadian longsor dapat dihitung dalam suatu kurun waktu dalam penelitian ini kurun waktu = 12 tahun. Frekuensi ini digunakan untuk melihat suatu peluang terhadap kejadian ulang longsor di waktu yang akan datang. Gambaran besarnya nilai frekuensi pada setiap titik longsor disajikan pada Tabel 11 dan gambaran grafisnya pada Gambar 21. Berdasarkan hasil analisis frekuensi longsor terhadap kemiringan lereng ini diperoleh hasil bahwa pola kejadian yang terjadi mirip dengan hasil analisis pada kerapatan titik longsor, dimana besarnya nilai kerapatan frekuensi longsor mengikuti besarnya kemiringan lereng, sehingga dapat disimpulkan di sini bahwa semakin besar kemiringan lereng akan mempunyai peluang yang besar terhadap terjadinya proses longsor dan terulangnya kejadian tersebut. Tabel 11. Total Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas Lereng Luasha Luas Total Frekuensi Longsor Kerapatan kejadian100km² 0-8 55.160 18 0,0 8-25 251.554 81,5 98 3,9 45 1.533 0,5 4 26,1 Gambar 21. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 0-8 8-45 45 K e jad ian 100k m ² Kelas Lereng Density

5.2.2 Hubungan Elevasi dengan Longsor a. Persebaran titik longsor dengan elevasi

Dalam penelitian ini elevasi topografi dibedakan menjadi 5 kelas dengan interval 500 meter. Besarnya interval ini dipilih mengingat bahwa morfologi di daerah penelitian lebih didominasi oleh relief perbukitan dan pegunungan, sehingga diharapkan dengan interval ini dapat dilihat lebih baik pengaruh elevasi terhadap longsor. Selama melakukan observasi lapangan, elevasi titik longsor diukur atau ditentukan dengan menggunakan alat GPS Garmin 60Csx, sedangkan hasilnya berupa jumlah titik longsor pada setiap kelas elevasi disajikan pada Tabel 12 dan untuk persebaran spasial disajikan pada Gambar 22. Tabel 12. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Elevasi Titik Lokasi Longsor Total Kejadian Longsor 0-500m 6 13 500-1000m 29 69 1000-1500m 7 16 1500-2000m 2000m 1 4 Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa persebaran titik longsor terbesar terdapat pada elevasi 500-1000 meter, sedangkan jumlah titik longsor yang besar berikutnya pada elevasi 1000-1500 meter dan 0-500 meter. Untuk elevasi 1500- 2000 tidak ditemukan titik longsor, sedangkan pada elevasi 2000 m terdapat 1 titik longsor. Berdasarkan Gambar 22 dan Gambar 12 terlihat bahwa persebaran elevasi 1500-2000 meter berada di lereng tengah gunungapi yang pada umumnya mempunyai penutupan lahan hutan, sehingga sangat wajar jika kejadian longsor jarang terjadi atau tidak ditemukan dalam penelitian ini. Untuk elevasi 2000 m ditemukan 1 titik longsor yang berada pada lereng atas atau puncak Gunungapi Papandayan dengan penutup lahan berupa lahan terbuka. Kondisi yang demikian sering menyebabkan terjadinya longsor.

Dokumen yang terkait

Extension of Farmers in Marginal Land The Innovation Adoption Case Study on Integrated Dry Land Farming in Cianjur and Garut Regencies, West Java Province

1 20 286

The Method of Economic Valuation of Environmental Damage Caused by Land and Forest Fires (A Case Study in Sintang Regency, West Kalimantan)

3 56 279

Examination of Land Degradation based on Erosion Potential using Revised Universal Soil Loss Equation (A Study Case of Bandung Regency, West Java, Indonesia)

0 9 200

Land Use Classification with Back Propagation Neural Network and The Maximum Likelihood Method: A Case Study in Ciliwung Watershed, West Java, Indonesia.

0 13 228

The Method of Economic Valuation of Environmental Damage Caused by Land and Forest Fires (A Case Study in Sintang Regency, West Kalimantan)

1 34 272

Extension of Farmers in Marginal Land: The Innovation Adoption Case Study on Integrated Dry-Land Farming in Cianjur and Garut Regencies, West Java Province

0 14 556

Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).

0 7 313

An Analysis of Potential Hazard and Risk for Flood and Landslide (Case Study in West Java Province)

2 19 308

Spatial Landuse Planning of Soybean Plantation as Analyzed by Land Evaluation and Dynamic System: a Case Study of Karawang Regency, West Java, Indonesia

0 7 5

Access to land in Sundanese Community : Case Study of Upland Peasant Hausehold in Kemang Village, West Java Indonesia

0 3 6