II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Eco City
Eco-city atau biasa juga disebut kota berkelanjutan adalah kota yang melibatkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya dari suatu kota. Kota
berkelanjutan yang dimaksud adalah kota mandiri yang mampu menopang kebutuhan masyarakat di dalamnya dengan memaksimalkan sumber daya lokal
yang dimiliki. Pemanfaatan kekayaan sumber daya lokal dapat meminimumkan bantuan kebutuan hidup dari kota sekitarnya, sehingga suatu kota mampu
bertahan hidup. Selain itu, kota mandiri yang berkelanjutan juga mempertimbangkan dampak-dampak lingkungan dengan melakukan penghematan
energi, pemakaian air, dan polusi. Sumber daya lokal perlu dilestarikan agar kualitas lingkungan pada wilayah tersebut tidak rusak. Selain itu, sumber daya
lokal juga dapat menjadi identitas kota dan kebanggaan masyarakat Arifin dan Nakagoshi, 2011
.
Definisi lain tentang kota berkelanjutan menambahkan aspek sosial dan budaya. Sebuah konsep kota berkelanjutan yang komprehensif juga
memasukkan unsur keseimbangan kesempatan, keindahan, mendorong kreativitas, meningkatkan akses komunikasi dan mobilitas, jarak yang lebih dekat, dan
keragaman budaya. Sehingga keberlanjutan berimplikasi kepada keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi antara manusia dan alam. Oleh karena itu
aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya harus terlibat dalam pelaksanaannya Arifin dan Nakagoshi, 2011.
Perkembangan kawasan bangunan yang tidak teratur akan menghancurkan kehidupan alam dan menciptakan kota yang tidak layak dihuni. Kota dan
pedalaman harus berinteraksi seperti jari yang disambungkan satu sama lain. Jika lahan berbukit-bukit, maka dataran dan lembah dimanfaatkan untuk pedesaan dan
pertanian, sedangkan lerengan merupakan perkotaan Frick dan Suskiyanto, 2007.
Setiap kawasan membutuhkan tata ruang berdasarkan pengaturan ruang, arti, dan maknanya. Suatu kawasankota yang tumbuh liar dan tidak teratur akan
kehilangan bagian yang sangat penting dari faktor keberlanjutannya. Lahan
penghijauan taman dan hutan kota yang hilang mengakibatkan kota tidak dapat bernapas lagi. Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 bahwa rencana
induk master plan kawasankota seharusnya mengandung minimal 30 luas tanah untuk dijadikan ruang terbuka hijau RTH. Perbandingan luas antara
lingkungan buatan dan lingkungan alam melewati ambang batas tertentu akan mempengaruhi iklim kota. Peningkatan suhu iklim kota tersebut rata-rata 1-2ºC
dan pada waktu malam dapat mencapai 6ºC, pencemaran meningkat dan tentu saja beban atas kesehatan meningkat pula Frick dan Suskiyanto, 2007. Maka dalam
hal ini, keberadaan ruang terbuka hijau sangat diperlukan dalam menyeimbangkan kondisi kota yang semakin dipadatkan oleh peningkatan pembangunan yang tidak
memperhatikan lingkungan sekitarnya. Permukiman juga seharusnya memiliki ruang terbuka hijau yang menjadi indikator dalam mempertahankan keberlanjutan