Hubungan Reinforcing Factor terhadap Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan

menimbulkan hilangnya harga diri dan perasaan berdosa 94, meraba bagian tubuh pasangan dapat meningkatkan gairah hingga tahap hubungan seksual sehingga harus dihindari 93, melakukan hubungan seks berganti pasangan menyebabkan terjangkitnya PMS sehingga harus dihindari 91, dan berciuman bibir dapat mendorong pasangan pria untuk meraba daerah sensitif wanita sehingga harus dihindari 91. Dalam hal ini dapat diartikan jika siswi mempunyai sikap positif terhadap berbagai jenis perilaku seksual maka potensi untuk berperilaku positif cukup besar pula . Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku Notoadmodjo, 2007. Sikap merupakan respon tertutup yang manifestasinya tidak dapat dilihat langsung dan merupakan predisposisi tingkah laku. Dalam hal ini dapat diartikan jika remaja mempunyai sikap positif terhadap berbagai jenis perilaku seksual maka potensi untuk berperilaku positif cukup besar pula Nursal, 2008.

3. Hubungan Reinforcing Factor terhadap Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan

Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual siswi di SMA Negeri 17 Medan berdasarkan reinforcing factor dapat dilihat dari peran orang tua, guru dan teman sebaya. Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan peran orang tua terhadap perilaku seksual siswi, dari hasil uji chi square diperoleh OR = 3,1 dan nilai p sebesar 0,04 hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan peran orang tua dengan perilaku seksual siswi. Dimana persentase responden yang berperilaku seksual positif 84,3 terdapat pada responden Universitas Sumatera Utara dengan peran orang tua kategori mendukung dan 63,3 terdapat pada responden dengan peran orang tua kategori tidak mendukung. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Prastana 2005 dalam Nursal, 2008 adanya analisa WHO pada berbagai literatur kesehatan reproduksi dari seluruh dunia yang menyatakan bahwa pola asuh adalah merupakan faktor risiko perilaku seksual risiko berat. Berbagai interaksi antara remaja dengan orang tua menunda bahkan mengurangi perilaku hubungan seksual pada remaja. Tidak adanya pengawasan dari orang tua akan mempercepat remaja melakukan hubungan seksual. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Mesche 1998 dalam Nursal 2008 juga menyatakan bahwa remaja yang diawasi oleh orang tuanya, remaja dengan pola asuh otoriter, remaja yang berasal dari keluarga yang konservatif dan memegang kuat tradisi dan remaja mempunyai hubungan akrab dengan orang tuanya akan menunda umur pertama melakukan hubungan seksual. Hal ini terlihat dari adanya peran orang tua dimana responden menyatakan orang tua menasehati anak agar dalam berpacaran bisa menjaga diri sehingga tidak terjadinya hubungan seksual 89, melarang anak berpelukan saat berpacaran 88, dan melarang anak berpacaran di tempat sepi untuk menghindari aktivitas seksual yang tidak diinginkan 85 sehingga dalam hal ini responden akan cenderung berperilaku seksual positif. Hal ini karena komunikasi orang tua dengan anak memegang peran yang sangat penting dalam membina hubungan keduanya. Orang tua yang kurang bisa berkomunikasi dengan anaknya akan menimbulkan konflik hubungan sehingga dapat berdampak pada perilaku seksual remaja. Permasalahan yang sering muncul adalah bahwa sebagian orang tua dan Universitas Sumatera Utara lingkungan masih menganggap tabu untuk membicarakan masalah seks karena adanya anggapan bahwa membicarakan tentang kesehatan seksual adalah hal yang memalukan dan tabu bagi keluarga dan masyarakat sehingga remaja yang haus akan informasi berusaha sendiri mencari informasi. Informasi yang didapatkan remaja menjadi setengah-setengah yang justru membahayakan remaja karena akan mendorong remaja untuk mencoba-coba disamping menimbulkan salah persepsi Syah, 2011. Hal yang sama dikemukakan oleh Prihatin 2007 dalam Syah, 2011 hubungan komunikasi yang lancar dan terbuka sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja harus tetap dijaga. Orang tua harus dapat menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak remaja di rumah. Sehubungan dengan itu menurut BKKBN 2002 dalam Kurniawan, 2008 bahwa orang tua perlu memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan kesehatan reproduksi baik pengetahuan untuk diri sendiri maupun pengetahuan untuk anak remajanya. Orang tua perlu memahami kondisi anak remajanya yang sedang mengalami perubahan- perubahan pada dirinya, yang menyangkut proses reproduksi. Orang tua harus mempunyai kemampuan memberikan pengetahuan kesehatan reproduksi kepada anak remajanya, agar memilki informasi proses reproduksi yang benar. Dilihat dari aspek peran guru terhadap perilaku seksual siswi, dari hasil uji chi square diperoleh OR= 22,6 dan nilai p = 0,002 hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan peran guru dengan perilaku seksual siswi di SMA Negeri 17 Medan. Dimana persentase responden yang berperilaku seksual positif 81,9 terdapat pada responden dengan peran guru Universitas Sumatera Utara kategori mendukung dan 16,7 terdapat pada responden dengan peran guru kategori tidak mendukung. Hal ini sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan dan sarana informasi melakukan berbagai tindakan preventif terhadap kecenderungan remaja terutama remaja putri terhadap perilaku seksual. Dimana dalam hal ini adanya keikutsertaan guru berperan dalam memberikan informasi berkala dan terus-menerus mengenai pentingnya menjaga pergaulan agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas, memaksimalkan tugas wali kelas dalam mengenal siapa peserta didiknya dan meningkatkan hubungan baik dengan peserta didik dan adanya kegiatan intra sekolah yang diadakan untuk memanfaatkan waktu luang peserta didik ke arah kegiatan yang positif Sinn, 2013. Hal yang sama dikemukakan oleh Syaodih 2004 dalam Vitaloka, 2012 yang menyatakan bahwa sekolah merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi konsep diri dimana sekolah sebagai tempat kedua setelah lingkungan keluarga yang dapat memberi pengalaman baru sebab dengan bersekolah anak dapat mengembangkan lingkungan fisik dan sosialnya. Apabila sekolah mempunyai fungsi sebagai wadah untuk mewujudkan seluruh kemampuan siswa dan merupakan lingkungan yang dapat memberi pengalaman baru kepada siswa, maka sekolah mempunyai peranan penting dalam mengembangkan konsep diri siswa. Dengan demikian, sekolah dituntut untuk dapat menciptakan lingkungan belajar yang memberi pengalaman baru yang dapat mengubah sikap atau pandangan siswa menjadi lebih positif. Peranan guru artinya keseluruhan perilaku yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai Universitas Sumatera Utara guru. Guru mempunyai peranan yang luas baik di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat. Hal yang sama dikemukakan oleh Azwar 2009 dalam Kusumastuti 2010 yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dalam hasil penelitian ini terlihat bahwa berkaitan dengan guru mayoritas responden menyatakan bahwa adanya peran guru dalam memberikan materi mengenai dampak melakukan hubungan seksual yaitu terjangkitnya penyakit kelamin dan HIVAIDS 99, menasehati siswi agar tidak melakukan hubungan seksual dalam berpacaran karena dapat merusak masa depan siswi 96, dan memberikan layanan konseling apabila mengalami masalah khususnya saat siswi kedapatan berciuman di sekolah 94. Sehingga dengan adanya materi yang disampaikan guru salah satunya mengenai dampak buruk hubungan seksual menjadi dasar bagi siswi dalam menambah pengetahuan siswi dan membentuk sikap untuk menghindari diri dari perbuatan negatif ini. Dilihat dari aspek peran teman sebaya terhadap perilaku seksual siswi, hasil uji chi square diperoleh OR=4,5 dan nilai p = 0,02 hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan peran teman sebaya dengan perilaku seksual siswi di SMA Negeri 17 Medan. Dimana persentase responden yang berperilaku seksual positif 81,8 terdapat pada Universitas Sumatera Utara responden dengan peran teman sebaya mendukung dan 50 terdapat pada responden dengan peran teman sebaya tidak mendukung. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa dalam kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung kepada teman dan kedekatannya dengan teman sebaya begitu kuat Santrock, 2003. Menurut Prihatin 2007 dalam Syah, 2011 teman sebaya dalam pergaulan kadang kala menjadi salah satu sumber informasi yang cukup signifikan dalam membentuk pengetahuan seksual di kalangan remaja, bahkan informasi teman sebaya bisa menimbulkan dampak negatif karena informasi yang mereka peroleh hanya melalui tayangan media massa seperti: film, VCD, televisi maupun pengalaman diri sendiri. Hal yang sama dikemukakan oleh Collins dan Loursen dalam Prihatin, 2007 dalam Syah, 2011 remaja cenderung lebih terbuka dalam menyelesaikan masalah dengan kelompoknya, hal ini karena adanya konflik atau perbedaan nilai yang dianut remaja dengan keluarga sehingga peran teman sebaya sangatlah berarti bagi kalangan remaja. Berdasarkan peran teman sebaya mayoritas responden berbincang dengan teman yang menyatakan bila hanya duduk dan berbincang saja bukan dikatakan berpacaran 91, menegur teman apabila berpacaran di tempat sepi 90, dan berbincang dengan teman tentang dampak perilaku seksual pada remaja putri kehamilan yang tidak dikehendaki dan terjangkit penyakit kelamin 90. Berdasarkan mayoritas pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa banyak remaja yang menganggap bahwa tidaklah cukup kegiatan berpacaran itu hanya sekedar duduk dan berbincang saja tetapi ada kegiatan lain yang lebih mengarah ke perilaku yang negatif baik itu kegiatan Universitas Sumatera Utara berciuman, berpelukan sampai pada tahap melakukan hubungan seks barulah dikatakan berpacaran. Inilah yang membuat banyak siswi terjerumus ke perilaku seksual negatif yang sangat merugikan bagi diri remaja. hal ini didukung oleh referensi yang menyatakan bahwa pola komunikasi dalam lingkungan teman sebaya di sekolah maupun di luar sekolah seperti berbagi pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi remaja dapat menentukan atau mendorong pembentukan perilaku remaja dalam kehidupannya sehari-hari dalam hal kesehatan reproduksi Harahap, 2004.

4. Hubungan Enabling Factor terhadap Perilaku Seksual Siswi di SMA Negeri 17 Medan