Budaya berladang, bersawah, berkebun

Dayak Kenyah biasanya saat akan mengambil tumbuhan atau bahkan saat pertama masuk hutan pun mereka melakukan doa terlebih dahulu. Selain memanfaatkan umbut rotan, Suku Dayak Kenyah senang dengan memakan buah yang langsung diambil dari pohonnya. Spesies buah-buahan tersebut telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Buah-buahan tersebut biasanya dapat dinikmati hanya pada musim buah. Sehingga jika mereka ingin memakan buah tanpa harus masuk hutan, mereka memiliki budaya berkebun dengan tumbuhan yang ditanam kebanyakan adalah spesies buah-buahan baik dari hutan maupun dari luar daerah.

5.4.1.3 Budaya berladang, bersawah, berkebun

Budaya berladang, bersawah, dan berkebun dilakukan oleh Suku Dayak Kenyah secara turun-temurun. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa untuk bertahan hidup, Suku Dayak Kenyah melakukan budaya berladang, bersawah, dan berkebun. Sistem perladangan Suku Dayak Kenyah memiliki kearifan lokal tersendiri. Di balik sistem hilir balik ini Suku Dayak Kenyah dapat melestarikan hutan dengan memanfaatkan lahan yang ada tanpa dengan merusaknya. Sesuai dengan tiga asas konservasi yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan, Suku Dayak Kenyah ini melindungi hutan dengan aturan adat yang berlaku dalam mengambil sumberdaya hutan khususnya tumbuhan pangan. Pengawetan dan pemanfaatan dapat diwujudkan dengan menanam tanaman keras saat lahan ditinggalkan, pemanfaatan pestisida alami Derris montana, dan perladangan yang dilakukan di pinggir sungai sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada inti hutan. Ladang biasanya ditanamai padi gunung dan beberapa tanaman selingan agar tanah tetap produktif dan persediaan pangan mereka mencukupi. Seperti yang dikatakan Lahajir 2001, bahwa perladangan padi gunung merupakan aktivitas ekonomi subsisten utama di pedalaman Kalimantan. Tanaman-tanaman yang menghasilkan bahan pangan lainnya di tanam selang-seling di antara padi. Hal ini merupakan strategi adaptasi pertanian yang mengamankan persediaan makanan berkelanjutan sepanjang tahun. Budaya bersawah merupakan budaya baru setelah berladang. Menurut Uluk et al. 2001, membuat sawah merupakan pola perkembangan baru. Sejak Kepala Adat Besar Bahau Hulu, Apuy Njau, ayah dari Kepala Adat Besar Bahau Hulu sekarang Anyie Apuy pada zaman Belanda pulang dari Jawa kira-kira pada tahun 1925-an beliau mengajarkan cara membuat sawah di wilayah Adat Bahau Hulu sehingga perkembangannya makin banyak. Masyarakat percaya bahwa hasil padi sawah lebih baik. Sawah dapat dikerjakan lebih dari sepuluh tahun, namun beberapa orang selain memiliki sawah juga mengerjakan ladang agar padi yang dihasilkan pun makin banyak dan bervariasi.

5.4.1.4 Pengelolaan tumbuhan pangan