REDD + dan SLVK Landasan Teori .1 Konsep Strategi

2.3.3 REDD + dan SLVK Salah satu mekanisme untuk memberikan insentif bagi sesuatu pihak untuk turut serta menyelamatkan karbon yang terkandung dalam kayu green carbon adalah melalui skema REDD + Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation dalam Arya Hadi 2011. Pada intinya, REDD + memberikan insentif positif bagi pihak-pihak yang dengan sengaja menyelamatkan atau memperkaya kandungan stok karbon di suatu satuan wilayah kawasan hutan. Adalah sebuah kanyataan bila, kebijakan REDD + pada tataran nasional dan implementasinya di daerah masih dalam proses pemahaman bersama yang belum tuntas sehingga REDD + menjadi belum operasional atau tidak optimal dioperasionalkan di lapangan. Dengan kondisi ini, banyak daerah yang belum dapat mewujudkan REDD + demi penyelamatan karbon di bumi. Padahal, secara ideal bila REDD + dapat diimplementasikan, maka cita-cita sustainable forest management berupa hutan yang lestari dan masyarakat yang sejahtera secara sosial-ekonomi, sekaligus dapat diraih dan diwujudkan. Salah satu faktor yang menghambat implementasi REDD adalah tidak adanya “kekuatan pemaksa” yang memungkinkan para pihak tergiring kepada ide REDD + , dan secara rasional serta sukarela menerapkan ide tersebut di lapangan. Pertanyaannya kemudian adalah: adakah “kekuatan pemaksa” yang secara rasional dapat bekerja dan memberikan insentif positif bari pihak-pihak pemangku kepentingan hutan untuk melaksanakan REDD + , sehingga cita-cita sustainable forest management pengelolaan hutan lestari tercapai. Artinya, secara idealistik maupun secara operasional diantara kedua konsep SVLK dan REDD + , sesungguhnya memiliki tujuan yang seiring dan sejalan. Secara prinsipiil SVLK berupaya mencapai cita-cita sustainable forest management melalui arena intervensi pengusahaan kayu sertifikasi kayu. Sementara, REDD + berupaya mencapai cita-cita SFM melalui rute pengembangan “kawasan lestari” sebuah kawasan yang di dalamnya ditemukan berbagai macam konsesi pengelolaan dan pemanfaatan hutan seperti HPH, Hutan Rakyat, Hutan Lindung, Kawasan Konservasi, dan sebagainya. REDD + berusaha menyelamatkan karbon yang terkandung dalam kayu pada satuan wilayah. Sementara SVLK berusaha menyelamatkan hutan dari pembalakan liar yang memerosotkan cadangan karbon secara tidak langsung. Dengan demikian, secara ideologikal, sesungguhnya REDD + dan SVLK dapat saling mendukung. Keduanya merupakan skema penyelamatan kayu dan karbon serta sumberdaya hutan sekaligus. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana menyambungkan dua skema yang “berbeda arena permainan”nya yakni REDD + dan SVLK tersebut, dapat diimplementasikan untuk menyelamatkan hutan di Indonesia seraya memperbaiki kesejahteraan sosial- ekonomi masyarakatnya?

2.3 Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH

Pembentukan KPH diatur dalam Permenhut No. P.6Menhut-II2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH. KPH merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH merupakan areawilayah penutupannya didominasi oleh hutan dan mempunyai batas yang jelas, yang dikelola untuk memenuhi serangkaian tujuan yang ditetapkan secara eksplisit sesuai rencana pengelolaan jangka panjang. Keseluruhan wilayah KPH akan mempunyai batas yang jelas baik di lapangan maupun di dalam peta. Di samping tujuan-tujuan yang luas bagi keseluruhan unit KPH dalam sub – sub unit KPH dimungkinkan untuk dikelola dalam regime manajemen yang berbeda dan terpisah. Seluruh kawasan hutan Indonesia nantinya akan terbagi dalam wilayah- wilayah KPH serta akan menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan Nasional, Provinsi, KabupatenKota. KPH terdiri dari KPH Konservasi KPHK, KPH Lindung KPHL dan KPH Produksi KPHP. Terdapat 2 hal penting dalam pembangunan KPH yaitu pembentukan wilayah KPH dan penetapan kelembagaan KPH. Pembentukan KPH di setiap wilayah merupakan bentuk desentralisasi di bidang kehutanan menuju hutan lestari dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan secara nyata.