Sistem Perkandangan Domba Garut

27 a b Gambar 4 Suplemen perawatan domba Garut. a gayemi; b albenol-2 500 bolus Dalam penanganan penyakit domba Garut para peternak di Kecamatan Cikajang masih bersifat tradisional. Penyakit yang sering diderita adalah kudis, kembung, cacingan, dan mencret. Penyakit kudis bersifat menular yang berpindah melalui kontak dengan domba yang terinfeksi. Menurut Mulyono 2003, penyakit kudis disebabkan oleh Sarcoptes scabei, Psoroptes communis var. ovis, Choriopteso ovis. Untuk penyembuhan, peternak hanya memandikan domba secara rutin setiap hari menggunakan air hangat dan bagian kudis dioles oli bekas agar tidak gatal. Penyakit kembung pada domba Garut di Kecamatan Cikajang biasanya terjadi karena pola pemberian pakan hijauan yang tidak teratur. Menurut Mulyono 2003, penyakit kembung terjadi karena domba tidak mampu menghilangkan gas yang dihasilkan pada lambung pertama rumen. Gas timbul akibat domba terlalu banyak makan hijauan legum, pemberian pakan tidak teratur, domba terlalu lapar dan makan hijauan yang masih berembun. Peternak di kecamatan Cikajang dalam menangani penyakit kembung pada domba masih tradisional yaitu diberi minum air kelapa secara berkala sampai sembuh. Selain itu, cacingan dan mencret merupakan penyakit yang sering diderita domba Garut di Kecamatan Cikajang. Hal ini disebabkan peternak dalam pencarian pakan hijauan masih terlalu pagi sehingga rumput masih dalam keadaan berembun dan tercemar oleh telur-telur cacing. Untuk mengatasi cacingan dan mencret peternak memberi pakan hijauan berupa daun jambul kuda, daun kaliandra, pete cina, dan asem jawa sebagai obat tradisonal dan albenol-2 500 bolus sebagai obat komersil. Menurut Mulyono 2003, pencegahan penyakit 28 cacingan dan mencret yaitu hindari pakan hijauan yang telah tercemari oleh siput, hindari memotong hijauan yang masih berembun dan jangan meletakkan potongan rumput di atas tanah. a b Gambar 5 Pakan hijauan penawar cacingan dan mencret. a daun jambul kuda; b daun kaliandra

5.4.3 Sistem Perkawinan Domba Garut

Sistem perkawinan ternak domba Garut khususnya di Kecamatan Cikajang masih bersifat alami. Ketika domba betina birahi tetapi peternak tidak memiliki pejantan maka peternak akan meminjam pejantan dari peternak lain tanpa dipungut biaya. Pada kondisi baik, pejantan dalam satu minggu dapat mengawini 3 betina. Untuk menghasilkan bibit unggul, para peternak tidak sembarangan mengawinkan dombanya. Peternak harus melihat silsilah keturunan agar menghindari perkawinan sedarah atau imbreeding. Menurut Mulyono 2003, jangan mengawinkan antara induk dan pejantan yang masih ada hubungan darah kembaran, induk, ayah, adik, kakak, dan sebagainya karena akan menurunkan kualitas genetik atau depresi mnbreeding. Peternak domba Garut di Kecamatan Cikajang dalam mengawinkan domba Garut sudah terpola dengan baik. Hal ini terbukti setiap dua tahun domba Garut mampu 3 kali beranak. Pola perkawinan domba Garut yang telah diterapkan peternak domba Garut di Kecamatan Cikajang mulai mengawinkan hingga mengawinkan lagi membutuhkan waktu 8 bulan sehingga dalam waktu 2 tahun domba Garut dapat beranak sebanyak 3 kali. Pertama kali domba Garut dikawinkan sekitar usia 8-12 bulan setelah terlihat tanda-tanda birahi, siklus birahi terjadi selama 19 hari. Untuk menghindari