3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli dan Agustus 2009, dengan pengumpulan data awal dilakukan sejak awal Mei 2009. Lokasi penelitian di
BAPEPAM-LK dan Bursa Efek Indonesia BEI, Jakarta.
3.3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui database investor pemegang Reksadana Pendapatan Tetap di Bursa Efek Indonesia,
BAPEPAM-LK, www.bi.go.id, e-bursa.com, idx.com, Yahoo Finance, observasi, dan kajian literatur, antara lain journal economic review, majalah-majalah seperti
info Bank, Info Bisnis, jurnal dan surat kabar yang beredar di Indonesia dan internasional. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif kualitatif dan analisis
kuantitatif tentang profitabilitas Reksadana Pendapatan Tetap. Penelitian ini difokuskan pada penelitian efisiensi Reksadana Pendapatan
Tetap untuk jangka waktu tahun 2006 - 2008. Data peubah-peubah penelitian dapat diperoleh dari laporan keuangan yang ada dan informasi yang tersaji,
maupun data harian NAB yang tersedia di BAPEPAM-LK. Data laporan keuangan Reksadana Pendapatan Tetap diperoleh dari BAPEPAM-LK dan e-
bursa.com. Data yang dikumpulkan berasal dari database investor yang disediakan
oleh BAPEPAM-LK dan tidak melakukan penelitian berdasarkan hasil wawancara dengan responden, maka jenis data yang dikumpulkan dikategorikan
sebagai data sekunder. Data yang digunakan adalah seluruh Reksadana
pendapatan tetap yang listing di BEI mulai tahun 2006 – 2008, yaitu 134 perusahaan Reksadana.
3.4. Pengolahan dan Analisis Data
3.4.1. Metode Pengukuran Profitabilitas Reksadana
Beberapa metode pengukuran kinerja menggunakan ukuran tertentu yang sudah disesuaikan dengan tingkat risikonya risk adjusted performance
evaluation telah dikembangkan oleh para ahli ekonomi. Pengukuran kinerja Reksadana juga dapat diturunkan dari capital asset pricing model CAPM yang
dikembangkan oleh Sharpe 1966. Tobin 1958 menjelaskan bahwa tujuan utama dari pengukuran kinerja performance measurement adalah meningkatkan
berbagai macam hal yang terkait dengan efisiensi. Sementara Webster 1992 menunjukkan bahwa pengukuran kinerja digunakan sebagai alat kontrol dalam
suatu organisasi untuk mencapai tujuannya.
Sharpe’s Measure
Sharpe’s Measure 1966 dapat mengukur kinerja Reksadana dengan mengukur expected return agen penjual untuk setiap unit risiko. Pengukuran oleh
Sharpe diturunkan dengan model CAPM dan CML yang dikembangkannya, metode penilaian kinerja portofolio dirumuskan sebagai fungsi dari risk premium
relatif terhadap simpangan baku. Risiko yang digunakan dalam indeks ini adalah risiko total
σ
2
. Penentuan nilai dari Sharpe’s measure dilakukan dengan persamaan :
p f
p
R R
Measure s
Sharpe σ
− =
3.1
dimana:
f p
R R
− =
selisih average return portofolio terhadap risk free
σ
p
= simpangan baku Penggunaan simpangan baku sebagai faktor pembagi menunjukkan bahwa
risiko yang diperhitungkan dalam metode ini adalah total risiko yang merupakan gabungan antara risiko yang didiversifikasi unsystematic risk dan risiko yang
tidak didiversifikasi systematic risk, yang berarti bahwa unsur diversifikasi portofolio mempengaruhi kinerja portofolio.
Treynor’s Measure
Sama seperti
Sharpe’s measure, Treynor’s measure 1965 juga mengukur expected return untuk setiap unit risiko. Treynor’s measure akan digunakan untuk
membandingkan antara excess return portfolio dengan risiko sistematis. Penentuan dari Treynor’s measure ini dapat dilakukan berdasarkan persamaan :
p f
p
R R
Measure s
Treynor β
− =
3.2
dimana:
f p
R R
− =
selisih average return portofolio terhadap risk free
β
p
= beta Reksadana pendapatan tetap Pada saat Treynor’s measure bernilai positif berarti Reksadana tersebut
mampu menghasilkan return yang lebih tinggi daripada risiko yang harus ditanggungnya. Perbedaannya dengan Sharpe’s measure adalah pada definisi
risiko yang digunakan. Treynor’s measure menggunakan risiko sistematik β, karena diasumsikan investor sudah mendiversifikasi unsystematic risk. Dari
pengukuran ini terlihat bahwa Reksadana dengan kinerja lebih tinggi untuk setiap unit risiko adalah Reksadana yang dikelola dengan baik, sedangkan Reksadana
dengan kinerja lebih rendah untuk setiap unit risiko adalah Reksadana yang tidak dikelola dengan baik.
Jensen’s Measure
Seperti dalam
Treynor’s measure, Jensen 1968 mengasumsikan bahwa investor mendiversifikasi unsystematic risk dan oleh karenanya hanya systematic
risk yang dimasukkan dalam mengukur kinerja Reksadana. Αlpha α dalam
formula Jensen merupakan intersep dari proses regresi antara excess return Reksadana terhadap excess return dari benchmark dalam penelitian ini digunakan
SBI sebagai proxy dari risk free asset. Dengan demikian diperoleh model regresi berikut :
f m
p f
p
R R
R R
− +
= −
β α
3.3 Berdasarkan pengamatan terhadap data nilai
α dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
[ ]
f m
p f
p p
R R
R R
− +
− =
β α
3.4 dimana R
p
– R
f
: selisih return portfolio terhadap risk free R
m
– R
f
: selisih
return market terhadap risk free β
: beta Reksadana pendapatan tetap Dalam hasil regresi terdapat unsur intercept, yang kemudian dimasukkan
kedalam rumus tersebut dengan notasi α alpha. Intercept diterjemahkan sebagai
imbal hasil tetap suatu portofolio yang tidak terpengaruh kondisi pasar. Apabila intercept positif, maka portofolio tersebut lebih superior dari pada portofolio
pasar, karena menghasilkan imbal hasil diatas imbal hasil pasar, sedangkan bila intercept negatif, maka portofolio tersebut lebih inferior dari pada portofolio
pasar. Pada persamaan regresi sederhana, intercept positif digambarkan sebagai titik potok garis persamaan pada sumbu Y yang berada diatas titik nol, sementara
negatif berada di bawah nol.
3.4.2. Mengukur Efisiensi Reksadana
Pada awalnya, evaluasi kinerja efisiensi dan produktivitas diukur menggunakan rasio keuangan. Tetapi menurut beberapa pakar Oral and Yolalan,
1990; Berger and Humphrey, 1992, penilaian efisiensi tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi secara penuh dengan memperhitungkan seluruh output dan
seluruh input. Pendekatan lain dalam menentukan input dan output mendasarkan pada Critical Success Factor CSF dari suatu bank. McDonell and Rubin 1991
mengidentifikasikan 4 CSF untuk bank, yaitu service delivery and quality, sales, expense dan loss control.
Berdasarkan pendapat di atas, pengukuran kinerja efisiensi dan produktivitas dapat digunakan dengan analisa parametrik salah satu contohnya
adalah Stochastic Frontier Analysis SFA yang paling popular diantara analisa parametrik lainnya dan non parametrik, yaitu DEA. SFA analisa parametrik
diperkenalkan pertama kali oleh Aigner, et. al. 1977. Sedangkan DEA adalah analisa non parametrik yang merupakan pengembangan dari matematika linear
programming yang diperkenalkan pertama kali oleh Charnes, et. al. 1978. Meskipun menggunakan peubah input dan output yang lama, terdapat perbedaan
antara DEA dan SFA, karena pendekatan SFA memasukkan galat pada frontier, sementara pendekatan DEA tidak memasukkan galat. Sebagai konsekuensinya
pendekatan DEA tidak dapat memperhitungkan faktor-faktor peubah makro seperti perbedaan besar kecilnya suatu aset perbankan ataupun peraturan-
peraturan yang mempengaruhi tingkat efisiensi suatu bank. Perbedaan ini kadangkala menyebabkan hasil yang diperoleh menjadi
berbeda Berger and Humphrey, 1997. Beberapa pakar lain mengatakan bahwa
hasil paper, baik oleh DEA maupun SFA relatif konsisten Lee, 2005; Abidin and Cabanda, 2006. Kelebihan DEA adalah mengidentifikasi input atau output suatu
bank yang digunakan sebagai referensi untuk membantu mencari penyebab dan jalan keluar dari sumber ketidakefisienan suatu bank. Dapat dikatakan bahwa
DEA dapat mengukur tingkat efisiensi bank secara umum. Beberapa kelebihan menggunakan metode DEA menurut pendapat beberapa
ahli adalah : a.
Tidak menggunakan asumsi dasar mengenai bentuk fungsional dari suatu fungsi produksi Al Faraj et. al, 1993.
b. Bebas dalam menentukan inputoutput, DEA memperbolehkan analis dalam
memilih input dan output didasarkan pada fokus dari manajerial Avkiran, 1999.
c. Fleksibel dalam pemilihan data Nyhan and Martin, 1999.
d. Input dan output dapat kontinu, ordinal atau peubah kategori Reksadana
Pendapatan Tetap Banker et. al, 1984. e.
Unit ukuran dari input dan output DEA dapat berbeda-beda seperti rupiah, orang, waktu, dan lain-lain. Nyhan and Martin, 1999
f. DEA dapat menggunakan contoh kecil Freixas and Rochet, 1999.
g. DEA dapat digunakan untuk membantu menilai efisiensi, mutu, efektifitas dan
kombinasinya Dyson, 2001. Kelemahan atau keterbatasan DEA :
a. Mengasumsikan data harus bebas dari kesalahan pengukuran Avkiran, 1999.
b. Sensitif terhadap ketidaktersediaan data Avkiran, 1999.
c. Efisiensi suatu DMU hanya dalam himpunannya Avkiran, 1999.
d. Tidak ada indikator statistik untuk mengukur kesalahan Nyhan and Martin,
1999. e.
Tidak dapat digunakan untuk menguji hipotesis Nyhan and Martin, 1999. Tiap-tiap pendekatan memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-
masing. Pendekatan dengan metode SFA atau dapat dikatakan pendekatan ekonometrik, termasuk metode stokastik dan parametrik yang berusaha untuk
membedakan efek dari noise terhadap efek ketidakefisienan suatu spesifikasi bentuk fungsi a priori. Pendekatan dengan metode DEA atau pendekatan
pemrograman matematik merupakan metode nonparametrik yang tidak membutuhkan spesifikasi bentuk fungsi, sehingga membuatnya menjadi kurang
sensitif terhadap tipe-tipe kesalahan spesifikasi yang terkait dengan metode ekonometrik. Metodologi yang dikenal sebagai DEA menggunakan pendekatan
pemrograman matematik dan dalam bentuk stokastik maupun non-stokastik.
Model DEA yang paling populer adalah model CCR yang dibangun oleh Charnes, Cooper dan Rhodes 1978, serta model BCC yang dibangun oleh
Banker, Charnes dan Cooper 1984. Model DEA merupakan teknik programming yang digunakan untuk mengevaluasi efisiensi unit-unit produksi
dan dapat mengakomodasi multi input dan multi output. Model ini mendefisikan ukuran efisiensi suatu decision making unit DMU relatif terhadap efficient
frontier yang menunjukkan kinerja terbaik diantara kelompok DMU yang diamati. Berikut ini dijelaskan bagaimana teknis model DEA, terutama dua model DEA
yang paling popular, yaitu model CCR dan BCC.
a. Model CCR
Charnes, et. al. 1978 memperkenalkan suatu ukuran efisiensi untuk masing-masing DMU yang merupakan rasio yang maksimum antara output yang
terbobot dengan input terbobot. Masing-masing nilai bobot yang digunakan dalam rasio tersebut ditentukan dengan batasan bahwa rasio yang sama untuk tiap DMU,
yaitu harus memiliki nilai kurang dari atau sama dengan satu. Dengan demikian hal ini mereduksi multiple inputs dan outputs ke dalam satu ‘virtual’ input dan
output tanpa membutuhkan penentuan awal nilai bobot. Oleh karena itu, ukuran efisiensi merupakan suatu fungsi nilai bobot dari kombinasi virtual input dan
output. Ukuran efisiensi DMU dapat dihitung dengan menyelesaikan permasalahan programming matematika berikut :
∑ ∑
= =
=
s i
i i
s r
r r
v u
x v
y u
v u
h
1 1
,
, max
subject to 1
1 1
≤
∑ ∑
= =
s i
ij i
s r
rj r
x v
y u
, n
j j
,..., ...,
3 ,
2 ,
1 =
≥
r
u ,
s r
,..., 2
, 1
=
≥
i
v ,
m i
,..., 2
, 1
=
3.5
dengan adalah nilai input yang diamati dengan tipe ke- dari DMU ke-
ij
x i
j dan untuk
dan
ij
x m
i ,...,
2 ,
1 =
n j
,..., 2
, 1
=
. Demikian dengan adalah nilai
output yang diamati dengan tipe ke-
i
dari DMU ke-
ij
y
j dan untuk
dan .
ij
y m
i ,...,
2 ,
1 =
n j
,..., 2
, 1
=
Peubah dan
adalah nilai bobot untuk menentukan permasalahan programming diatas. Namun permasalahan ini memiliki solusi yang tidak terbatas
karena jika adalah optimal, maka untuk tiap
r
u
i
v
, v
u
α ,
, v
u
α α
juga
optimal. Dengan mengikuti transformasi Charnes-Cooper, dapat dipilih solusi representatif dengan kondisi berikut :
, v
u
∑
=
=
m i
i i
x v
1
1
3.6
sehingga diperoleh linear programming LP yang ekuivalen dengan permasalahan linear fractional programming. Dengan demikian, pembagi dalam
ukuran efisiensi di atas dibuat menjadi sama dengan satu dan permasalahan linear yang telah ditranformasikan dapat ditulis berikut :
∑
=
=
s r
r r
y u
z
1
max
subject to ,
∑ ∑
= =
≤ −
m r
m i
ij i
rj r
x v
y u
1 1
n j
,..., 3
, 2
, 1
=
∑
=
=
m i
i i
x v
1
1
≥
r
u ,
s r
,..., 2
, 1
=
≥
i
v ,
m i
,..., 2
, 1
=
3.7
Permasalahan LP di atas disebut model CCR dengan input-output oriented, dim
ana maksimalisasi dilakukan dengan memilih ‘virtual’ multiplier nilai-nilai bobot u dan yang menghasilkan laju terbesar ‘virtual’ output per
unit ‘virtual’ input. Permasalahan tersebut dapat ditulis untuk tiap DMU v
berikut :
min Θ
= z
λ
subject to ,
∑
=
≥
n j
r rj
j
y y
1
λ
s r
,..., 2
, 1
=
∑
=
≥ −
n j
rj j
i
x x
1
λ Θ
,
m i
,..., 2
, 1
=
3.8
≥
j
λ ,
n j
,..., 2
, 1
=
Permasalahan LP di atas memperoleh solusi optimal , yang merupakan
nilai efisiensi, disebut juga nilai efisiensi teknis atau efisiensi CCR, untuk DMU
Θ
tertentu. Untuk memperoleh nilai efisiensi seluruh DMU diperoleh dengan mengulangi proses di atas pada tiap DMU
j
,
n j
,..., 2
, 1
=
. Nilai Θ selalu lebih
kecil atau sama dengan satu. Bagi DMU yang memperoleh nilai dapat
disebut relatif tidak efisien dan bagi DMU yang memperoleh nilai disebut
relatif efisien, dimana kombinasi ‘virtual’ input-output terletak pada efficient frontier.
1 Θ
1 =
Θ
b. Model BCC