Hidup Membiara dalam Gereja

1. Hidup Membiara dalam Gereja

Suparno 2016:171 mengatakan Dasar hidup bersama dalam membiara bukan karena kesatuan suku, budaya, kesamaan hobi, asal tempat tinggal, status ekonomi, sifat dan karier yang sama, tetapi karena masing-masing dari orang dipanggil oleh Tuhan yang sama. Dalam Mrk 3:-13-19 dikisahkan sebagaimana para murid dari latar belakang yang berbeda-beda disatukan oleh Yesus dalam satu panggilan dan perutusan. Demikian juga orang-orang yang berbeda-beda disatukan oleh Yesus dalam satu panggilan dan perutusan. Orang masing-masing tetap pribadi lain, yang berbeda-beda dengan segala kekhasan, sifat watak, kelebihan serta kekurangan masing-masing. Dasar panggilan orang adalah Tuhan. Maka panggilan itulah yang menyatukan orang dengan Dia dan sesama. Itulah sebabnya hubungan pribadi masing-masing dengan Tuhan menjadi dasar yang kuat untuk hidup berkomunitas, hidup doa, hidup karya dan hidup dalam persaudaraan. Orang masuk biara sering dikatakan orang meninggalkan kehidupan dunia. Maka sering digambarkan bahwa biara adalah tempat yang aman tanpa banyak persoalan dan penuh kedamaian. Hal itu dapat dimengerti sebab manusia sendiri merindukan kedamaian tanpa ada konflik-konfik seperti yang terdapat dan terjadi di kancah kehidupan dunia Darminta, 1997:49. Hidup membiara sebagai alternatif panggilan hidup harus “berkompetisi” dengan pilihan panggilan hidup lannya. Hidup membiara adalah cara hidup yang berani menolak tawaran-tawaran yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan kaul hidup membiara. Namun tawaran-tawaran atau godaan-godaan dari dunia modern saat ini, sering begitu lihai merayu para kaum religius. Seolah-olah bila menolak godaan itu, maka orang telah merasa sangat bersalah karena begitu saja melepaskan kesempatan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berharga. Tetapi sesungguhnya, menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan cara dan jalan hidup orang sebagai kaum religius tidaklah rugi. Sebab dengan menolak suatu kesempatan tersebut, orang telah memilih kesempatan yang jauh lebih berharga daripada itu. Kesempatan yang orang perjuangkan jauh lebih mahal, sebab sifatnya kekal abadi dan surgawi. Sayangnya, mata ini kurang mampu melihat dengan jelas terhadap sesuatu yang jauh lebih luhur dan penting untuk diperjuangkan. Hidup membiara memang harus ditentukan pada suatu pilihan. Dengan hidup atas dasar pilihan maka orang akan mampu untuk ber kata “tidak” pada beberapa tawaran dan kesempatan yang menggoda, merintangi serta menghambat cara dan jalan hidup mereka sebagai seorang religius. Hidup membiara dengan penghayatan ketiga kaul: keperawanan, kemiskinan, dan ketaatan, oleh Gereja diharapkan menjadi tanda eskatologis akan kerajaan Allah mendatang. Secara sederhana, dengan hidup tidak menikah sebagai perawan, kaum biarawan-biarawati dapat memberikan kesadaran atau menimbulkan pertayaan kepada orang lain akan adanya hidup lain selain hidup berkeluarga. Dan itulah yang kiranya akan terjadi dengan hidup dimasa depan, yaitu tidak kawin dan dikawinkan. Dengan kaul kemiskinan, kita pun menjadi tanda akan perjalanan kemasa depan Suparno, 2007:67. Hidup membiara dengan ketiga kaul, secara sederhana, ingin meniru hidup kasih yang dialami oleh Tritunggal Mahakudus. Orang ingin menyatukan diri dan mendapatkan semangat kasih Allah Tritunggal tersebut. Orang ingin menimba semangat kasih itu sehingga dapat mewujudkan kasih dalam tarekat dan juga di tengah masyarakat. Orang ingin menjadi tanda hidup mendatang yang dipenuhi oleh kasih. Ciri utama hidup mendatang, persatuan akrab dengan Allah Tritunggal, adalah kasih, orang diajak untuk dapat menjadi tanda hidup dalam kasih persaudaraan ini. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Hal itu pertama-tama harus tampak dalam semangat persaudaraan dalam komunitas, tarekat, Gereja sehingga orang lain dapat merasakan bahwa para biarawan-biarawati hidup dalam kasih persaudaraan. Orang juga diajak untuk terlibat membangun hidup persaudaraan dengan masyarakat sekitar, di sekolah, di rumah sakit, dan di tempat kerja masing-masing. Suparno 2007:67 mengatakan bahwa ”Dengan kaul kemiskinan orang pun akan menjadi tanda akan perjalanan kemasa depan. Hidup orang bukan hanya berhenti pada dunia ini, tetapi sebagai musafir yang berjalan menuju kepada kerajaan Allah yang akan data ng”. Kaul kemiskinan menjadi lambang bahwa orang tidak terikat pada harta dunia ini, karena hidup sebagai religius mengarah kepada hidup yang akan datang. Yakni hidup abadi bersama dengan Yesus Kristus dalam kerajaan surga.

2. Kaul Sebagai Persembahan Diri dalam Melayani