Ciri-ciri Remaja Awal Hakikat Siswa atau Peserta Didik

46 bahwa dirinya lebih mampu dan mereka berpandangan bahwa orang dewasa disekitarnya terlalu tua untuk dapat mengerti dan memahami perasaan, emosi, sikap, kemampuan pikir, dan status mereka. f. Masa remaja awal adalah masa yang kritis Masa remaja adalah masa yang kritis, di mana pada masa ini remaja dihadapkan dengan persoalan yang menuntutnya untuk berani menghadapi dan memecahkan masalahnya atau tidak. Keadaan remaja yang dapat menghadapi masalahnya dengan baik, menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah-masalah selanjutnya, sampai ia dewasa. Ketidakmampuan remaja dalam menghadapi masalahnya saat ini akan menjadikannya orang dewasa yang bergantung esok hari Mappiare, 1982: 32-35.

7. Perkembangan Moral Remaja

Perkembangan moral telah menjadi tujuan pendidikan moral dan karakter di sekolah. Pendidikan karakter berfokus pada penanaman sifat- sifat karakter yang mulia sebagai tujuan pendidikan. Pendidikan karakter adalah label atau istilah umum untuk berbagai pendekatan pada pendidikan moral Nucci, L.P. Narvaez, D., 2014: 139-140. Pengembangan pendidikan moral dan karakter tentu didasari oleh suatu teori yang erat kaitannya dengan perkembangan moral, yakni teori Kohlberg. Teori Kohlberg Desmita, 2009: 260-262 tentang perkembangan moral merupakan perluasan, modifikasi, dan redefinisi 47 atas teori Piaget. Teori ini didasarkan atas analisisnya terhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10 hingga 16 tahun yang dihadapkan pada suatu dilema moral, dimana mereka harus memilih antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan peraturan. Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan, yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap, sebagai berikut: 48 Tabel 2. Tingkat dan Tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlberg Tingkat Tahap 1. Prakonvensional Moralitas Pada level ini anak mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan hadiah atau menyakitkan hukuman. Anak tidak melanggar aturan karena takut akan ancaman hukuman dari otoritas. 2. Konvensional Suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok sebaya. 3. Pasca Konvensional Pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Anak mentaati aturan untuk menghindari hukuman kata hati. 1. Orientasi Kepatuhan dan Hukuman Pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh otoritas orientasi. Kepatuhan terhadap aturan adalah untuk menghindari hukuman dari otoritas. 2. Orientasi hedonistik-instrumental suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri. 3. Orientasi anak yang baik tindakan berorientasikan pada orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain. 4. Orientasi keteraturan dan otoritas perilaku yang dinilai baik adalah menunaikan kewajiban, menghormati, otoritas, dan memelihara ketertiban sosial. 5. Orientasi kontrol sosial-legalistik ada semacam antara dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 6. Orientasi kata hati kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat manusia. 49

C. Hakikat Evaluasi Hasil Program Pendidikan

1. Definisi Evaluasi Program

Ralph Tyler Arikunto, S. Jabar, C. P., 2014: 5 menyatakan bahwa evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasikan. Cronbach dan Stufflebeam Arikunto, S. Jabar, C. P., 2014: 5 mengemukakan bahwa evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.

2. Ciri-ciri dan Persyaratan Evaluasi Program

Sejalan dengan pengertian yang terkandung di dalam, maka evaluasi program memiliki ciri-ciri dan persyaratan sebagai berikut: a. Proses kegiatan penelitian tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku bagi penelitian pada umumnya. b. Dalam melaksanakan evaluasi, peneliti harus berpikir secara sistematis, yaitu memandang program yang diteliti sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari beberapa komponen atau unsur yang saling berkaitan satu sama lain dalam menunjang keberhasilan kinerja dari objek yang dievaluasi. c. Agar dapat mengetahui secara rinci kondisi dari objek yang dievaluasi, perlu adanya identifikasi komponen yang berkedudukan sebagai faktor penentu bagi keberhasilan program. 50 d. Menggunakan standar, kriteria, atau tolok ukur sebagai perbandingan dalam menentukan kondisi nyata dari data yang diperoleh dan untuk mengambil kesimpulan. e. Kesimpulan atau hasil penelitian digunakan sebagai masukan atau rekomendasi bagi sebuah kebijakan atau rencana program yang telah ditentukan. Dengan kata lain, dalam melakukan kegiatan evaluasi program, peneliti harus berkiblat pada tujuan program kegiatan sebagai standar, kriteria, atau tolok ukur. f. Agar informasi yang diperoleh dapat menggambarkan kondisi nyata secara rinci untuk mengetahui bagaimana dari program yang belum terlaksana, maka perlu ada identifikasi komponen yang dilanjutkan dengan identifikasi subkomponen, sampai pada indikator dari program yang dievaluasi. g. Standar kriteria, atau tolok ukur diterapkan pada indikator, yaitu bagian yang paling kecil dari program agar dapat dengan cermat diketahui letak kelemahan dari proses kegiatan. h. Dari hasil penelitian harus dapat disusun sebuah rekomendasi secara rinci dan akurat sehingga dapat ditentukan tindak lanjut secara tepat Arikunto, S. Jabar, C. P., 2014: 8-9.