Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Teori

m. Diketahuinya apakah faktor gaji berhubungan stres kerja pada dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2013. n. Diketahuinya apakah faktor lingkungan kerja fisik berhubungan stres kerja pada dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2013. o. Diketahuinya apakah faktor lingkungan kerja sosial berhubungan stres kerja pada dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2013.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang stres kerja dan faktor yang berhubungan stres kerja dan sebagai bahan masukaninformasi untuk menjadi tolak ukur dalam mengetahui stres kerja pada dosen, serta meningkatkan kinerja, kualitas dan produktivitas kerja dosen demi membangkitkan citra institusi. 1.5.2 Bagi dosen Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi dosen stres kerja yang dialami agar dapat melakukan pencegahan dan memanajemen strategi coping stres demi meningkatkan produktivitas kerjanya. 1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi atau referensi bagi mahasiswa Kesehatan Masyarakat khususnya peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja K3 mengenai stres kerja pada dosen. 1.5.4 Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi atau referensi bagi peneliti lain yang akan atau sedang meneliti terkait stres kerja.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir Peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada bulan Mei - Juni 2013 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stres kerja dan hubungannya dengan karakteristik pekerja, kondisi pekerjaan, dan lingkungan kerja pada dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2013. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan pendekatan cross sectional study. Populasi penelitian ini adalah dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner yaitu karakteristik pekerja, kondisi pekerjaan, dan lingkungan kerja serta stres kerja. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres Kerja

2.1.1. Pengertian Stres Kerja

Setiap aktivitas normal akan menghasilkan stres, dan stres tak dapat dihindari. Stres dapat ditoleransi hanya dalam waktu yang terbatas. Tidak pernah ada dua orang yang identik, maka stres yang sama akan berpengaruh secara berbeda terhadap masing-masing individu, serta berat ringannya juga sangat bervariasi Harrianto, 2005. Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu dan perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stresfull. Sehingga respon terhadap stresor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu Widyasari, 2007. Menurut Sarafino 1990 yang dikutip oleh Smet 1994, stres adalah suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Sedangkan menurut Anoraga 2005 secara sederhana stres sebenarnya merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Menurut Soewondo 1993 stres kerja adalah suatu kondisi dimana satu atau beberapa faktor di tempat kerja berinteraksi dengan pekerja sedemikian rupa sehingga mengganggu keseimbangan fisiologik dan psikologik. Faktor- faktor tersebut misalnya beban kerja yang terlalu berat, pekerjaan yang terlalu sedikit, hubungan atasan bawahan yang kurang serasi dan peran yang tidak jelas. Stres kerja adalah respon dari bahaya fisik dan emosional yang terjadi ketika persyaratan ataupun tuntutan kerja tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya, atau kebutuhan dari pekerja NIOSH, 1998. Lebih jauh Selye 1983 membedakan bentuk stres menjadi dua, yaitu : Eustres dan Distres. Eustres adalah respon positif dari suatu kejadian yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan, menantang dan menghasilkan prestasi yang tinggi. Sedangkan distres adalah respon negatif dari suatu kejadian yang dipersepsikan sebagi sesuatu yang merugikan atau yang menyakitkan.

2.1.2. Tahapan Stres Kerja

Gejala – gejala stres pada diri seseorang sering kali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara lamban. Baru dirasakan bila tahapan stres sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupan di rumah, di tempat kerja ataupun di lingkungan sosial lainnya. Menurut hasil penelitian Amberg dalam Hawari 2001 bahwa tahapan stres terbagi menjadi beberapa tahapan berikut ini : 1. Stres Tahap I Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya disertai dengan perasaan – perasaan sebagai berikut : a. Merasakan gangguan dengan perutnya. b. Merasa diluar kendali serta berlebihan dalam semua kegiatan. c. Semangat bekerja besar, berlebihan over acting. d. Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya. e. Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya; namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan all out disertai rasa gugup yang berlebihan. 2. Stres Tahap II T ahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan” mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut: a. Sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman serta meningkatnya nafsu makan. b. Tidak bisa santai melamun, suka merokok, dan merasa resah. c. Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa segar. d. Merasa mudah lelah sesudah makan siang. e. Detakan jantung lebih keras dari biasanya berdebar-debar. f. Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang 3. Stres Tahap III Stres tahap III akan menunjukkkan keluhan-keluhan yaitu : a. Koordinasi tubuh terganggu badan serasa mau pingsan, pusing dan sering merasakan sakit kepala. b. Gangguan lambung dan usus semakin nyata ; misalnya keluhan “maag” gastritis, buang air besar tidak teratur diare. c. Ketegangan otot-otot semakin terasa. d. Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat. e. Gangguan pola tidur insomnia, misalnya sukar untuk mulai masuk tidur early insomnia, atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur middle insomnia, atau bangun terlalu pagidini hari dan tidak dapat kembali tidur late insomnia. 4. Stres Tahap IV Gejala stres tahap IV, yaitu: a. Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan serta sering mengkonsumsi kafein. b. Merasa jengkel, pesimis, turunnya rasa percaya diri, kurang berkoordinasi, dan suka menggigit kuku. c. Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit. d. Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai adequate. e. Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari. f. Seringkali menolak ajakan negativism karena tiada semangat dan kegairahan. g. Daya konsentrasi dan daya ingat menurun. h. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya 5. Stres Tahap V Stres tahap V ditandai dengan hal-hal berikut : a. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana serta selalu mengambil inisiatif terlebih dahulu. b. Gangguan sistem pencernaan semakin berat gastro-intestinal disorder dan sembelit. c. Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam physical and psychological exhaustion. d. Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik, merasa cemburuan, curiga, gelisah, serta kurangnya motivasi. 6. Stres Tahap VI Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik panic attack dan perasaan takut mati. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut : a. Sukar mengambil keputusan. b. Debaran jantung teramat keras. c. Susah bernafas sesak. d. Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran. e. Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan. f. Pingsan atau kolaps collapse. g. Rambut rontok dan mengalami iritasi pada tenggorokan. h. Suka mengkonsumsi obat.

2.1.3. Dampak Stres Kerja

Stres kerja dapat merugikan diri sendiri, pekerjaan, perusahaan serta masyarakat. Stres kerja yang berlebihan akan menurunkan produktivitas seseorang dalam bekerja. Jika banyak pekerja yang mengalami stres kerja, maka produktivitas tempat kerja akan menurun juga. Widyasari 2007, menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Handoyo 2001 membagi empat jenis konsekuensi yang dapat ditimbulkan stres kerja yaitu : 1. Pengaruh psikoligis, yang berupa kegelisahan, agresif, kelesuan, kebosanan, depresi, kelelahan, kekecewaan, kehilangan kesabaran, harga diri yang rendah. 2. Pengaruh perilaku, yang berupa peningkatan konsumsi alkohol, tidak nafsu makan atau nafsu makan yang berlebihan, penyalahgunaan obat – obatan, menurunnya semangat untuk berolahraga yang berakibat timbulnya beberapa penyakit. Pada saat stres juga terjadi peningkatan intensitas kesalahan dan kecelakaan kerja baik di rumah, di tempat kerja ataupun di jalan. 3. Pengaruh kognitif, yaitu ketidakmampuan mengambil keputusan, kurangnya konsentrasi, dan peka terhadap ancaman. 4. Pengaruh fisiologis, yaitu menyebabkan gangguan pada kesehatan fisik yang berupa penyakit yang sudah diderita sebelumnya atau memicu timbulnya penyakit tertentu. Sedangkan menurut Lubis 2006, stres kerja dapat mengakibatkan hal – hal sebagai berikut : 1. Penyakit fisik yang diinduksi oleh stres seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, tukak lambung, asma, gangguang menstruasi, dan lain – lain. 2. Kecelakaan kerja, terutama pekerjaan yang menuntut kinerja yang tinggi, serta bekerja secara bergilir. 3. Absensi kerja. 4. Lesu kerja, pegawai kehilangan motivasi kerja. 5. Gangguan jiwa, mulai dari gangguan ringan sampai ketidakmampuan yang berat. Gangguan jiwa yang ringan misalnya mudah gugup, tegang, marah – marah, apatis, dan kurang konsentrasi. Gangguan yang lebih jelas lagi dapat berupa depresi, gangguan kecemasan.

2.1.4. Indikator Stres Kerja

Stres mengandung unsur – unsur fisik, psikologis, dan emosional. Pengaruh stres terhadap setiap orang berbeda – beda, dan tidak ada petunjuk yang tepat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi stres pada orang lain Williams, 1997. Berikut pendapat tentang indikator stres kerja, yaitu : No. Pernyataan Tidak Pernah Jarang Kadang – Kadang Sering Setiap Hari 1. Hilang nafsu makan 2. Memeriksa pekerjaan secara berlebihan 3. Gugup 4. Perut merasa kosong 5. Menurunkan berat badan 6. Perut mulas 7. Tidak dapat mengontrol diri 8. Jantung berdebar 9. Sakit perut 10. Lesu 11. Sakit pada bagian punggung 12. Merasa lelah ketika bangun tidur 13. Magh 14. Merasa lelah terus menerus 15. Meningkatnya nafsu makaningin ngemil 16. Resahgelisah 17. Merokok 18. Suka melamun 19. Tidak bisa tidur, terbangun saat tidur 20. Rentan terhadap penyakit 21. Sensitifmudah tersinggung 22. Diare 23. Merasa bingung terhadap pekerjaan 24. Cepat frustasi 25. Sakit kepala 26. Migrainesakit kepala sebelah 27. Tidur yang berlebihan 28. Menggunakan obat tidur 29. Percaya diri yang menurun 30. Merasa jengkel 31. Suka murung 32. Gangguan konsentrasi 33. Mimpi buruk 34. Gangguan koordinasi 35. Pesimis 36. Hilang rasa humor 37. Mudah kaget 38. Menggigit kuku 39. Peningkatan konsumsi kafein teh, kopi 40. Menunda pekerjaan 41. Lupa 42. Ragu – ragu 43. Bersikap curiga 44. Merasa kewalahan dengan pekerjaan banyak 45. Merasa panik 46. Mengurangi produktivitas kerja 47. Sembelit 48. Cemburu 49. Kurang motivasi 50. Sering mengerdipkan mata 51. Suka mengambil inisiatif terlebih dahulu 52. Membuang – buang waktu pekerjaan 53. Gemetar 54. Keringat berlebihan 55. Sulit bernafas 56. Menggertakkan gigi pada saat tidur 57. Merasa ingin bunuh diri 58. Depresi 59. Rambut rontok 60. Iritasi pada tenggorokan 61. Mulut kering 62. Mengkonsumsi obat stres Sumber : http:bfec.kenyon.eduHealthy_Kenyonstress_psymptoms.pdf

2.1.5. Cara Pengukuran Stres Kerja

Teknik pengukuran stres yang banyak studi di Amerika menurut Karoley dalam Hawari 2001 dapat digolongkan kedalam 4 cara, yaitu : 1. Self Report Measure Cara ini menggunakan kuesioner untuk mengukur stres yaitu dengan menyatakan intensitas pengalaman psikologis, fisiologis dan perubahan fisik yang dialami dalam peristiwa kehidupan seseorang. Cara ini juga dikenal sebagai “Life Event Scale” yang berisi beberapa pertanyaan sebagai indikator dalam menentukan stres kerja. Metode ini digunakan karena metode ini cukup mewakili berbagai peristiwa yang dialami seseorang yang stres. Metode ini juga dapat dengan mudah dan cepat untuk diisi. Berdasarkan pertanyaan pada daftar pertanyaan metode Life Event Scale setiap pertanyaan bernilai 0-4. Untuk melakukan penilaian indikator stres kerja, dapat dilakukan penilaian sendiri self assesment. Sistem penilaian yang digunakan sebagai indikator untuk masing-masing kelompok adalah nilai 71 termasuk kategori stres ringan, untuk nilai ≥71 termasuk kategori stres berat. Pertanyaan yang digunakan tidak bersifat mutlak, artinya pertanyaan dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Sehingga penilaian dan pengelompokannya juga dapat disesuaikan Karoley,1985 dalam Hawari, 2001. 2. Performance Measure Cara ini mengukur stres dengan melihat atau mengobservasi perubahan- perubahan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang. Contohnya, penurunan prestasi kerja terlihat dari gejala - gejala seperti cenderung berbuat salah, cepat lupa, kurang perhatian terhadap hal yang detail dan menjadi lamban dalam bereaksi. 3. Physiological Measure Pengukuran ini berusaha untuk melihat perubahan yang terjadi pada fisik seseorang akibat stres, seperti perubahan tekanan darah, ketegangan pada otot bahu, leher dan pundak, dan sebagainya. Cara ini sering dianggap paling tinggi reabilitasnya, namun sangat tergantung si pengukur sendiri dan pada alat yang digunakan pada saat pengukuran. 4. Biochemical Measure Teknik pengukuran ini melihat stres melalui respon biokimia individu berupa perubahan kadar hormon katekolamin dan kortikosteroid setelah pemberian suatu stimulus. Reabilitas dari cara ini tergolong paling tinggi namun hasil pengukurannya dapat berubah bila subjek penelitiannya adalah perokok, peminum alkohol dan kopi. Hal ini karena rokok, kopi dan alkohol dapat meningkatkan kadar kedua hormon tersebut dalam tubuh. Dari keempat cara tersebut, yang paling sering digunakan dalam penelitian stres adalah life event scale, karena metode ini cukup mewakili berbagai peristiwa yang dialami seseorang yang stres. Metode ini juga dapat dengan mudah dan cepat untuk diisi, paling mudah diatur, manageable, dan membutuhkan biaya yang relatif lebih murah walaupun ada beberapa kelemahan, misalnya : a. Terjadi pemalsuan jawaban. Responden dapat dengan sengaja memalsukan jawabannya yaitu memberikan jawaban yang menguntungkan dirinya. Pemalsuan itu dapat ke arah baik faking good atau dapat pula kearah buruk faking bad. b. Terdapat perbedaan pemahaman kusioner antar responden. Perbedaan karakteristik individu antar responden akan mengakibatkan perbedaan pandangan yang dimunculkan responden. c. Responden memberikan jawaban menurut cara yang biasa dilakukannya. Ada individu – individu yang cenderung untuk menjawab dengan jawaban “ya”, sebaliknya ada juga yang cenderung untuk menjawab “tidak” terlepas dari isi kuesioner yang dihadapinya. Pada kuesioner yang menyajikan alternatif jawaban lebih dari dua, sementara orang cenderung untuk memberikan jawaban yang berkisar di sekitar alternatif yang ada ditengah, dan menghindarkan diri dari jawaban yang ekstrim.

2.1.6. Faktor Penyebab Stres Kerja

Konsep stres di tempat kerja beserta faktor yang berpengaruh di dalamnya, secara komprehensif diuraikan oleh Cooper dan Davidson 1987. Menurutnya stres di tempat kerja dapat bersumber dari beberapa hal, yaitu : 1. Work area, yaitu suatu stressor yang bersumber dari situasi dan kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan, misalnya beban kerja, jam kerja, jenis pekerjaan, hubungan interpersonal, dan lain – lain. 2. Home area, yaitu stressor yang bersumber dari kehidupan rumah, misalnya perubahan sosial atau teknologi, keluarga, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, keadaan tempat tinggal atau komunitas, dan lain – lain. 3. Sosial area, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat atau diluar rumah dan pekerjaan, misalnya lokasi kerja, sarana dan fasilitas kerja, lingkungan kerja. 4. Individual area, yaitu karakteristik yang melekat pada individu itu sendiri, misalnya umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan lain –lain. Semua faktor tersebut saling terkait dan mempengaruhi sehingga menghasilkan suatu gejala – gejala dalam ruang lingkup manifestasi stres manifestation area. Model kejadian stres kerja menurut Cooper dan Davidson 1987 The Work Arena Number of working years, position, duty, assingment, supervisory responsibilities. Factors Interinsic to the Job : PersonEnvirentment fit and Job satisfaction, Equipment, Training, Shift work, Work over-load, Work underload, Physical danger, Work related self esteem. Role in the organization : Role ambiguity, Role conflict, Responsibility for people, organizational boundaries. Career development : Overunder promption, lack of Job security, Job future ambiguity, Status congruency, Satisfaction with pay Relationshipsosial support : Colleagues, supervisors, subordinates Organizational stucture and climate : Politics, consultationcommunication, Participation in decesing making, Restriction on behavior, Rigidity of departemental policis, Significan others. The Individual Arena Genetics traitss, history demographigs e.g.: agem education, religion, nationality, Stress, Copping ability, Type A personality, Extraversion versus Introversion, Neuorosis, Life Events, Significant others. The Manifestation Arena : Stress Outcome Job dissatisfaction, Work-related self esteem, Alcohol consumption, Cigarette smoking, Marital dissafaction, Divorce or separation, Drug use, Obesity or diet, Coronary heart disease, Hypertention, Migraine, Asthma, Mental illness, Total mental and physocal illness, Level of performance, Accidents, Physiological measures. The Social Arena Allenation and anomy, Climate, diet etc, Frequent moving, Driving, |Urban versus rural living, Exercise, Sport, Hobbies, Social contact and activities. The Home Arena Family dinamics, Marital relations, General social supports from spouseclosest friend of opposite sex, Relations with children, Famili concern for safety, Living environment, Financial concern, Development phase. a. Karakteristik Individu Setiap individu memiliki ambanag stres yang berbeda – beda. Karakteristik seseorang akan mempengaruhi kadar stres yang dialaminya. Menurut pandangan interaktif tentang stres, dikatakan bahwa stres itu sendiri dapat ditentukan oleh individunya sendiri, semua tergantung sejauh mana individu itu melihat situasi sebagai stres. Menurut Evayanti 2003 tidak semua orang yang menghadapi sumber stres yang sama akan mengalami stres kerja karena adanya perbedaan karakteristik individu. Karakteristik individu yang merupakan faktor internal terdiri dari beberapa faktor, seperti usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, masa kerja, dan lain – lain. 1 Usia Peranan faktor usia pada individu dalam bereaksi dalam situasi yang potensial menimbulkan stres juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain. Individu yang telah berusia 50 tahun menurut Rustika 1997, akan mengalami kemunduran pada jaringan tubuh yang diantaranya jaringan otak menyusut karena atropi, jaringan paru menjadi kurang elastik, jantung mulai melemah, gerakan yang sering kuat dan kurang terkoordinasi. Levi 1984 mengatakan bahwa mereka yang berusia diatas 50 tahun telah mengalami penurunan kemampuan fisik sehingga tidak lagi dapat mengerjakan pekerjaan –pekerjaan dengan beban kerja yang lebih berat dan mereka sering merasakan gejala –gejala stres seperti badan letih dan lemah, serta merasa tidak bertenaga. Hubungan antara usia dengan stres kerja memiliki kesamaan dengan hubungan antara masa kerja dengan stres kerja. Namun, tidak selamanya usia dengan stres kerja dapat dihubungkan dengan masa kerja. Ada beberapa jenis pekerjaan yang sangat berpengaruh dengan usia, terutama yang berhubungan dengan sistem indra dan kekuatan fisik. Namun dalam beberapa pekerjaan lain, faktor usia yang lebih tua biasanya memiliki pengalaman dan pemahanan bekerja yang lebih banyak, sehingga pada jenis pekerjaan tertentu usia dapat menjadi kendala dan dapat pula menjadi pemicu terjadinya stres kerja Munandar, 2001. Menurut European Commision for Employment and Social Affair 1999 dalam Hidayat 2012, pada usia 20 – 29 tahun individu berusaha untuk menempatkan diri pada lingkungan sosial yang berubah dengan cepat, adanya konflik, kebimbangan, dan nilai sosial, individu pada usia ini juga mulai memasuki masa bekerja secara formal dan tentulah mereka mempunyai harapan – harapan yang besar di dalam karirnya, namun apabila dirasakan ketidaksesuaiaan dengan kondisi pekerjaan yang dimilikinya saat ini, maka individu akan merasa tidak puas dan cenderung mengalami stres kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Sugijanto 1999 diketahui bahwa usia ≥40 tahun memiliki tingkat stres yang tinggi sebesar 55,2 dibandingkan dengan usia 40 tahun yang hanya 48,6. Namun berdasarkan uji statistik tidak diketahui adanya hubungan yang bermakna antara usia dengan stres kerja dengan p value 0,236. Menurut Desy 2002 menyatakan bahwa pekerja yang telah berusia 35 tahun lebih kebanyakan telah mempunyai pengalaman kerja yang lama, sehingga dapat bertindak lebih bijaksana dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri yang lebih baik terhadap perubahan – perubahan di sekitar lingkungan kerjanya dan karena sudah bekerja lama, maka pekerja tersebut sudah lebih mengenal dan mampu beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Menurut Schultz 1998, pekerja muda dilaporkan mempunyai kepuasan dalam bekerja yang rendah, terutama sewatu mereka bekerja untuk pertama kali. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya pengalaman serta tanggung jawab terhadap pekerjaan serta ingin mencari pekerjaan yang lebih menantang. Sedangkan pekerja dewasa mempunyai pilihan yang lebih baik untuk mencari pemenuhan aktualisasi diri dalam pekerjaannya. Pada umumnya usia dan pengalaman bekerja lebih meningkatkan keyakinan, kemampuan, penghargaan, dan tanggung jawab bekerja. Menurut penelitian Undari 2006 berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia dengan stres kerja dengan p value 0,001. 2 Pendidikan Menurut Effendi dalam Jurnal Pendidikan dan Kebidayaan No. 043 2003 yang dikutip oleh Adas 2006 baik disadari atau tidak pendidikan mempunyai pengaruh dalam stres kerja, hal ini disebabkan seseorang pekerja harus memiliki kualifikasi sebagai gambaran keserasian seseorang dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya, yang secara internal dipengaruhi oleh kemampuan, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki. Pada umumnya pendidikan yang lebih tinggi menggambarkan tingkat profesional dan tanggung jawab yang lebih besar, serta kedudukan yang memerlukan otoritas yang “lebih” dibandingkan level pendidikan yang berada dibawahnya. Sedangkan menurut Anderson dalam Suhartini 2004, karyawan baru dengan harapan tinggi dengan latar belakang pendidikan yang tidak menunjang pekerjaan akan sering mengalami stres kerja. Berdasarkan hasil penelitian Lelyana 2003 diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan stres kerja dengan p value 0,002.Namun kondisi berbeda didapatkan dari hasil penelitian Utami 2009 yang diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian stres kerja dengan p value 0,585. 3 Status pernikahan Menurut European Commision for Employment and Social Affair 1999 mereka yang berstatus pernah menikah duda, mereka yang menjadi orang tua tunggal pernah menikah dan memiliki anak merupakan kelompok yang lebih rentan mengalami stres sebab mereka dihadapkan pada masalah sosial dan emosional dari lingkungan dan anggota keluarga. Evayanti 2003 mengatakan bahwa bagi pekerja yang berstatus menikah, keadaan keluarga bisa jadi penghambat, mempercepat atau menjadi penangkal pross terjadinya stres. Bila seseorang mempunyai masalah gawat di rumah kecenderungan untuk mendapatkan stres di tempat kerja akan lebih besar. Sebaliknya bila rumah tangga dirasakan aman, nyaman, dan menyenangkan maka masalah – masalah ditempat kerja dapat dihadapi dengan lebih baik. Menurut Apelbaum 1981 menyatakan jika seorang pekerja mendapatkan dukungan dalam karir dari istri maka ia akan mendapatkan kepuasan kerja, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu hubungan pernikahan yang baik membantu pekerja untuk mencegah atau mengurangi stres kerja. Seseorang yang belum menikah memiliki kebebasan yang lebih besar serta rasa tanggung jawab yang lebih ringan, namun dengan tidak adanya pendamping hidup maka membuat stressor sulit untuk dikendalikan. Jika seseorang telah menikah meski memiliki tanggung jawab yang besar namun karena adanya pendamping hal ini dimungkinkan akan membuat beban yang dirasakan menjadi lebih ringan karena adanya tempat berbagi dan dirasakan menjadi lebih dapat ditoleransi Gita, 2009. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Utami 2009, menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna anatar status pernikahan dengan stres kerja deng p value 0,031. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Vierdelina 2008 yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa responden yang berstatus sudah menikah dan mengalami stres kerja sedang yaitu sebanyak 55,8. Hal ini diduga karena tanggung jawab kelangsungan hidup keluarga yang dipikul oleh responden yang sudah menikah semakin berat, apalagi dengan meningkatnya harga kebutuhan yang tentu akan mempengaruhi meningkatnya pengeluaran keluarga, namun tidak didukung dengan peningkatan pendapatan responden. 4 Masa kerja Masa kerja merupakan akumulasi waktu dimana pekerja telah menjalani pekerjaan tersebut. Semakin banyak informasi yang kita simpan, semakin banyak keterampilan yang kita pelajari, maka akan semakin banyak hal yang kita kerjakan Malcom, 1998. Menurut Munandar 2001, baik masa kerja yang sebentar maupun yang lama dapat memicu terjadinya stres dan diperberat dengan adanya beban kerja yang besar. Namun masa kerja yang lama mempengaruhi pekerja karena menimbulkan kebosanan, disertai dengan lingkungan kerja yang terbatas membuat pekerja menjadi jenuh. Pekerja yang telah bekerja diatas 5 tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi daripada pekerja yang baru bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat menyebabkan stres dalam bekerja. Hasil penelitian Gautama 2008 diketahui ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan stres kerja dengan p value 0,000. Namun tidak demikian dengan hasil penelitian Diah 2009, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan stres kerja dengan p value 0,795. 5 Kepribadian Ketika berbicara tentang stres kerja pada pekerja, maka kita akan melihat bagaimana seseorang memandang stres sebagai suatu gangguan, sehingga stres sangat bergantung pada kepribadian individu yang terkena stres tersebut. Orang dengan tipe kepribadian A lebih mudah stres dibandingkan dengan tipe kepribadian B, orang dengan tipe kepribadian introvert lebih mudah stres daripada tipe kepribadian extrovert. Pengalaman hidup orang yang pernah mengalami kegagalan di masa lampau akan mudah membuatnya menilai kegagalan sebagai hal yang sudah biasa. Orang yang belum dewasa dalam menghadapi perkara akan mudah goyah dalam sikap, pendirian, dan arah hidupnya dibandingkan orang yang berkepribadian matang Nasution, 2000. Seyle 1983 mengemukakan bahwa individu tipe A identik dengan sangat kompetitif, brusaha keras untuk memperoleh penghargaan, agresif, tidak sabaran, tergesa- gesa, mudah gelisah, sangat waspada, suka berbicara meledak –ledak, dan berada pada suatu tekanan waktu. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang dengan tipe A lebih sering menaruh perhatian lebih pada pekerjaan, sedangkan aspek kehidupan lainnya sering diabaikan. Dalam hal ini, orang yang berkepribadian tipe A biasanya dapat diketahuidisembuhkan oleh orang yang ahli dalam bidangnya. 6 Nilai dan kebutuhan Setiap organisasi dan perusahaan atau instansi memiliki budaya dan nilai masing –masing. Para tenaga kerja diharapkan dapat mengikuti nilai budaya yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Proses sosialisasi pekerja dalam mengikuti nilai dan budaya tidak sepenuhnya berhasil. Bagi pekerja yang gagal biasanya akan mengundurkan diri, dan bila ada yang tidak mengundurkan diri karena tidak adanya pekerjaan lain atau karena sebab lain maka tenaga kerja tersebut akan mengalami stres Munandar, 2001. 7 Kecakapan Kecakapan merupakan variabel yang ikut menentukan stres sesorang. Jika seorang pekerja mengalami masalah yang ia rasakan tak mampu ia pecahkan, maka ia akan mengalami stres dan menimbulkan ketidakberdayaan disstress, sebaliknya jika ia merasa mampu maka ia merasa tertantang dan motivasinya meningkat eustress. Ketidakmampuan individu menyelesaikan masalah sehingga menyebabkan terjadinya stres berkaitan dengan kecakapan dan kemampuan masing – masing individu Munandar, 2001. b. Kondisi Pekerjaan Sebagian besar dari waktu manusia digunakan untuk bekerja, maka lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja Munandar, 2001. Setiap pekerjaan mempunyai faktor penyebab stres yang berbeda – beda, sesuai dengan kondisi pekerjaan dan lingkungan kerjanya. 1 Divisi Divisi merupakan organlembagaunit yang melaksanakan hukum dengan tujuan utamanya yaitu pencapaian sesuai dengan keahliannya Koeswadji, 2002. Divisi pada suatu pekerjaan akan mengakibatkan perbedaan tingkat stres karena adanya perbedaan tanggung jawab dan beban kerja. Divisi pada suatu institusi pendidikan seperti fakultas dapat dikenal dengan istilah jururanprogram studi. Jurusan dapat diartikan sebagai unit pelaksana akademik yang melaksanakan pendidikan dalam satu cabang ilmu pengetahuan. Masing – masing jurusan memiliki karakteristik yang berbeda – beda sesuai dengan bidang keilmuannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nordin, dkk 2009 diketahui ada perbedaan yang signifikan antara kesehatan mental dengan jenis jurusan yang diambil oleh mahasiswa. Hal ini diperkirakan adanya perbedaan materi dan sifat pembelajaran pada tiap jurusan. Namun berdasarkan hasil penelitian Sayiner 2006 diketahui tidak adanya hubungan yang bermakna antara jenis jurusan dengan tingkat stres. 2 Beban kerja Dengan melakukan aktivitas pekerjaan, tubuh akan menerima beban dari luar tubuhnya. Dengan kata lain, bahwa setiap pekerjaan merupakan beban bagi pekerjanya. Beban tersebut dapat berupa beban kerja fisik dan mental Tarwaka, et al, 2004. Menurut Schlutz 1998, beban kerja terbagi atas dua macam yaitu beban kerja yang berlebihan over load dan beban kerja yang kurang under load. Pada beban kerja yang berlebihan dapat dilihat melalui kondisi dari banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan dengan waktu yang terbatasditentukan atau suatu pekerjaan yang sangat sulit untuk dikerjakan karena kurangnya kemampuan. Sedangkan beban kerja yang kurang under load diakibatkan adanya pekerjaan yang dilakukan secara rutinitasmonoton yang pada akhirnya mengakibatkan kebosanan pada pekerja. Everly dan Giordano 1980 dalam Munandar 2001 berpendapat bahwa faktor – faktor yang menjadi penyebab beban kerja berat atau tidak yaitu : a Tugas yang diemban terlalu besar sementara waktu terbatas. b Rutinitaspekerjaan monoton. c Adanya fluktuasi dalam beban kerja, seperti pada jangka waktu tertentu beban kerja ringan namun di lain waktu beban kerja berat. d Tingginya kemajemukan pekerjaan sebagai dampak dari peningkatan dari jumlah informasi yang harus digunakan dan sebagai alternatif dari perluasan metode pekerjaan. e Adanya over laping pekerjaan membuat beban kerja semakin besar dan menimbulkan stres pada pekerja. Lebih lanjut menurut Munandar 2001 beban kerja dibedakan menjadi beban kerja kuantitatif dan beban kerja kualititif. Beban kerja kuantitatif yaitu beban kerja yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang diberikan harus diselesaikan dalam waktu tertentu. Sedangkan beban kerja kualitatif yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas atau tugas tidak menggunakan keterampilan atau potensi dari tenaga kerja. Beban kerja kuantitatif dan kualitatif yang berlebih dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak, maka sumber terjadinya stres akan lebih banyak. French dan Caplan 1973 yang dikutip oleh Pratiwi 2002, mengemukakan adanya perbedaan antara kelebihan secara kuantitatif dengan kualitatif. Kuantitatif berarti mempunyai „banyak hal yang dapat dilakukan’, sedangkan kelebihan secara kualitatif yang melibatkan pekerjaan adalah „terlalu sulit’. Orang yang menerima banyak telpon, menerima banyak tamu kantor, dan pertemuan setiap jam kerja ditemukan lebih banyak merokok daripada orang yang jarang mempunyai perjanjian. Pada penelitian 100 orang penderita jantung koroner, Russek dan Zohman 1958 menemukan bahwa 25 memiliki dua pekerjaan, dan 45 bekerja pada pekerjaan yang memerlukan berkewajiban untuk bekerja overload 60 jam atau lebih. Jumlah dan tingkat kesulitan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan bisa menyebabkan orang menjadi stres. Bekerja dengan beban kerja secara kuantitatif yang berlebihan telah menjadi fokus banyak penelitian, karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya berkaitan dengan fisiologis seseorang tetapi juga psikologinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipertensi tinggi atau tekanan darah tinggi terkait dengan beban kerja yang tinggi diikuti dengan tingginya kegelisahan dan frustasi. Spector et al , 1988 dalam Anugrah, 2009. Jones et all 1988 dalam Anugrah 2009 menemukan bahwa pekerja yang dituntut bekerja cepat dan mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan having too much work mempunyai resiko mengalami tekanan kerja 4,5 kali lebih besar dibandingkan pekerja biasa. Penelitian yang dilakukan oleh ahli jantung Meyer Friedmen dan Ray Resenmen 1974 dalam Anugrah 2009 menunjukkan bahwa desakan waktu kronis tampaknya memberi pengaruh yang tidak baik terhadap sistem kardiovaskular, yang hasilnya secara khusus adalah serangan jantung prematur dan tekanan darah tinggi. Beban kerja berlebih secara fisik maupun mental seperti harus melakukan banyak hal merupakan kemungkinan sumber stres pekerjaan. Banyak atau sedikitnya, berat atau ringannya beban kerja yang diterima seorang tenaga kerja dapat digunakan untuk menentukan berapa lama seseorang dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sesuai dengan kemampuan atau kapasitas kerja yang bersangkutan tanpa mengalami kelelahan. Dimana semakin berat beban kerja sehingga melampaui kapasitas kerja akan menurunkan efisiensi dan produktivitas kerja bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pekerja Tarwaka et al, 2010. Selain beban berlebih, yang menjadi stresor lain, salah satunya adalah desakan waktu yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan teratur. Pada saat-saat tertentu, deadline justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun bila desakan waktu justru menyebabkan timbulnya banyak keasalahan atau menyebabakan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka hal ini cerminan adanya beban berlebihan kuantitatif Anugrah, 2009. Beban kerja dihitung dengan menggunakan rumus estimating metabolic heat production rates by task analysis, seperti yang tertera pada tabel berikut ini : Tabel 2.1 Penilaian Pekerjaan

A. Posisi dan Pergerakan Badan Kcalmin

Sitting 0,3 Standing 0,6 Walking 2,0 – 3,0 Walking Uphill Add 0,8 for every meter yard rise For a “standart” worker of 70 kg body weight 154 lbs and 1,8m 2 body surface 19,4 ft 2 . Sumber : ACGIH, 1992 dalam Dowell, 2007

B. Type of Work Average Kcalmin

Range Kcalmin Hand Work Light 0,4 0,2 – 1,2 Heavy 0,9 Work : One Arm Light 1,0 0,7 – 2,5 Heavy 1,7 Work : Both Arm Light 1,5 1,0 – 3,5 Heavy 2,5 Work : Whole Body Light 3,5 2,5 – 15,0 Moderate 5,0 Heavy 7,0 Very Heavy 9,0

C. Basal Metabolism 1,0

1,0 Adapun klasifikasi beban kerja berdasarkan jumlah kalori yang dikeluarkan dalam emalakukan pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.2 Kategori beban kerja berdasarkan jumlah kalori yang dikeluarkan dalam melakukan pekerjaan Kategori Kcaljam Pekerjaan Ringan Sampai dengan 200 Kcaljam Pekerjaan Sedang 200 – 350 Kcaljam Pekerjaan Berat 350 Kcaljam Sumber : ACGIH, 1992 dalam Dowell, 2007 Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Siswanti 2004 mengatakan bahwa dari 170 responden yang diteliti, 75 diantaranya menyatakan bahwa beban kerja mereka sangat berat sehingga menyebabkan stres. Kemudian menurut Bida 1995 dari 56,3 yang diteliti menyatakan bahwa beban kerja mereka berat sehingga menyebabkan stres dan 38,1 mengalami stres walaupun beban kerja mereka cenderung normal. Hasil uji statistiknya menyatakan p value 0,01007 yang artinya ada hubungan antara beban kerja dengan stres kerja. Namun hasil lain dari penelitian Desy 2002 diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat beban kerja dengan stres kerja. Begitu pula hasil penelitian Desy 2002 yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat beban kerja dengan stres kerja di PT. Unilever Indonesia dengan p value 0,125. 3 Waktu kerja Waktu kerja menunjukkan efisiensi dan produktivitas seseorang.Umumnya seseorang dapat bekerja baik yaitu pada 6 – 8 jam perhari atau 40 – 50 jam seminggu. Pekerjaan yang biasa tidak terlalu berat atau ringan, produktivitasnya akan mulai menurun setelah 4 jam bekerja. Keadaan ini sejalan dengan menurunnya kadar gula dalam darah. Sehingga perlu istirahat dan kesempatan untuk makan guna meningkatkan kembali kadar gula darah Suma’mur, 1997. Penambahan jam kerja diluar standar dapat meningkatkan usaha adaptasi pekerja, yang kemudian dapat meningkatkan ekskresi katoholamin yaitu hormon adrenalin dan non-adrenalin Munandar, 2001. Menurut beberapa penelitian, kerja lembur yang terlalu sering apalagi tanpa kontrol dan jumlah jam kerja yang berlebihan ternyata tidak hanya mengurangi kuantitas dan kualitas hasil kerja akan tetapi juga seringkali meningkatkan kuantitas absen dengan alasan sakit atau kecelakaan kerja Chairin, 2006. Menurut penelitian Noer 2004 diketahui bahwa 87,5 responden yang bekerja 12 jam menunjukkan gejala stres sedang. Hal ini diperkuat dengan hasil uji statistik yang menunjukkan p value sebesar 0,002 yang artinya ada kecenderungan hubungan yang bermakna anatar jam kerja dengan stres kerja. Penelitian lain yang berhubungan dengan jam kerja berlebihan yang dilakukan oleh Margolis dkk yang dikuti oleh Suprapto 2008 pada penduduk Amerika secara nasional yang diwakili oleh 1.496 pekerja. Mereka menemukan bahwa kelebihan jam kerja secara signifikan berhubungan dengan beberapa gejala atau indikator stres kerja, seperti minum minuman berakohol, ketidakhadiran dalam bekerja, motivasi yang rendah untuk bekerja, kepercayaan diri yang rendah untuk bekerja, kepercayaan diri yang rendah serta adanya saran untuk tidak masuk dalam berkerja. Sedangkan menurut Desy 2002 hasil penelitiannya menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara waktu bekerja dengan stres kerja dengan p value 0,752. 4 Shift kerja Menurut ILO 2000, kerja shift adalah kerja yang dilakukan di luar jam kerja normal. Kerja shift ini dapat berupa kerja malam secara permanen, kerja sore secara permanen atau dapat pula bergilirberotasi sesuai dengan pola shift yang diambil oleh suatu perusahaan. Ciri khas kerja shift adalah adanya kontinuitas, pergantian gilirrotasi dan jadwal kerja yang khusus. Bagi pekerja shift, jadwal kerja dianggap baik bila waktu istirahat adekuat. Pekerja yang tidak cukup mendapat waktu libur dapat menderita karena masalah psikososial yang sama kompleksnya dengan masalah fisiologik. Jadwal kerja yang dibuat kualitas, kuantitas dan waktu istirahat yang fleksibel akan mampu memecahkan sebagian masalah Suma’mur, 1997. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sofrina 2005 diketahui bahwa ada hubungan anatar kerja shift dengan kejadian stres kerja dengan p value 0,01. Sedangkan menurut hasil penelitian Vierdelina 2008 didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna anatar shift kerja dengan stres kerja dengan p value 1,000. 5 Rutinitas kerja Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilaksanakan dengan gerakan anggota badan yang berulang-ulang secara monoton, yang kadang- kadang pula disertai posisi kerja yang sulit atau sambil membawa beban atau menahan beban seringkali sangat memberatkan individu pekerja Harrianto, 2005. Menurut Walsh dkk 2005 dalam Harrianto 2005 menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa pekerjaan yang banyak menggerakkan tangan berulang dan membosankan seperti pada para pekerja penggergajian kayu lebih banyak menimbulkan penyakit- penyakit psikosomatik dan gejala-gejala stres mental lainnya sehingga meningkatkan frekuensi cuti sakit. Pada pekerjaan yang sederhana dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan dan rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan dapat menghasilkan berkurangnya perhatian. Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat. Kebosanan ditemukan sebagai sumber stres yang nyata pada operator kran Cooper dan Kelly, 1984 dalam Munandar, 2001. Menurut penelitian Siswanti 2004 diperoleh bahwa 83 responden yang mengalami stres, menyatakan bahwa rutinitas yang mereka lakukan monoton. Selain itu 44 responden lainnya mengalami stres walaupun rutinitas mereka tidak monoton. Hasil statistik menyatakan p value sebesar 0,015 yang artinya ada hubungan yang bermakna antara rutinitas kerja yang monoton dengan stres kerja. Selain itu hasil penelitian Nugrahaeni 2008 berdasarkan uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara rutinitas pekerjaan dengan kejadian stres kerja dengan p value 0,001. Tetapi hal itu tidak sejalan dengan sahil penelitian Soebakti 2006 dan Adas 2006 yang masing – masing menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna anatar rutinitas dengan timbulnya kejadian stres kerja. 6 Struktur dan iklim organisasi Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasan dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami sumber- sumber stres potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi : kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi. Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dan pada support social. Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku yang negatif, misalnya menjadi perokok berat. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan unjuk-kerja dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik Munandar, 2001. Sumber stres kerja yang potensial adalah iklim dan struktur organisasi yang hanya terjadi dalam suatu organisasi, yang dapat mengancam pada kebebasan individu, otonomi dan identitas sikapnya. Pendapat-pendapat lainnya, seperti terlalu sedikittidak ada partisipasi terlibat dalam proses pengambilan keputusan, tidak mempunyai rasa memiliki, kurang efektifnya konsultasi dan komunikasi, pembatasan tingkah laku dan politik di kantor merupakan hal yang sering terjadi pada sumber stres ini Novendra, 1994. Struktur dan iklim organisasi yang tidak baik dan kurang mendukung karyawan biasanya dapat menimbulkan ketidakpuasan dalam bekerja, yang akhirnya dapat menyebabkan stres Cooper, 1989 dalam Munandar 2001. Struktur dan iklim tersebut meliputi : a Kebijakan perusahaan yang terlalu ketat b Administrasi dan manajemen perusahaan yang terlalu birokratis c Peraturan-peraturan perusahaan yang terlalu mengikat pekerja Menurut Gibson dkk 2006, stresor berupa struktur organisasi jarang dipelajari. Satu studi tentang tenaga penjual di bidang perdagangan menguji akibat dari organisasi yang strukturnya panjang struktur birokratis, medium dan pendek terhadap kepuasan kerja, stres dan penampilan. Para peneliti mendapatkan bahwa tenaga penjual di dalam organisasi yang strukturnya paling kurang birokratis mengalami stres yang kecil dan kepuasan kerja lebih besar dan berperan lebih efektif daripada tenaga penjual di dalam organisasi struktur medium dan panjang. Para peneliti telah mempertimbangkan hanya sampel kecil dari sejumlah besar riset medis dan perilaku terhadap stresor, stres dan kaitan akibatnya. Informasi yang terhimpun, seperti riset organisasi lainnya, mengandung kontradiksi dalam beberapa kasus. Meskipun demikian, riset yang bisa digunakan mengandung hal-hal penting : a Stresor pada pekerja berkaitan dengan perubahan fisik, psikologis dan emosional di dalam individu. b Tanggapan penyesuaian terhadap stresor pada pekerjaan telah ditentukan dengan mengukur diri self-rating, penampilan prestasi dan pengujian biokimia. c Tidak ada daftar stresor yang dapat diterima secara universal. Setiap organisasi memiliki penetapan sendiri yang unik. d Perbedaan-perbedaan individual menjelaskan mengapa suatu stresor yang mengganggu dan menggocang bagi seseorang berubah pada orang yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Putri 1998 menyatakan bahwa terdapat hubungan antara struktur dan iklim organisasi dengan stres kerja. Namun, menurut Nugroho 2004 diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara struktur dan iklim organisasi dengan stres kerja. 7 Peran dalam organisasi Sumber utama stres kerja lainnya adalah yang berhubungan dengan peranan seseorang di tempat kerja. Para peneliti di bidang ini bersepakat untuk memfokuskan pada peranan yang mempunyai dua makna role ambiguity dan peranan yang mempunyai dua makna yang saling bertentangan role conflict Munandar, 2001. a Role Ambiguity Hal ini terjadi ketika seseorang mempunyai informasi yang tidak selaras tentang peranan pekerjaannya, dimana terdapat kekurang- jelasan tentang tujuan yang akan dihasilkan dari suatu pekerjaan yang dipengaruhi oleh peraturan, tentang ruang lingkup dan tanggung jawab dari suatu pekerjaan dan tentang harapan rekan-rekan kerja dari peranan kerjanya. Kahn et al 1964 dalam Munandar 2001 menyatakan bahwa seseorang yang mengalami role ambiguity yang berlebihan akan mengalami kepuasan kerja yang rendah, meningkatnya ketegangan yang berhubungan dengan pekerjaan, kepercayaan terhadap diri sendiri yang semakin rendah dan kesia- siaan yang bertambah besar. Indikator stres kerja yang berhubungan dengan role ambiguity adalah mengalami keadaan yang tertekan, ketidakpuasan pada kehidupannya, ketidakpuasan pada pekerjaan, rendahnya motivasi kerja, keinginan untuk meninggalkan pekerjaan dan rasa menghargai diri sendiri yang semakin rendah. b Role Conflict Hal ini terjadi ketika seseorang berada dalam situasi peranan kerja tertentu yang berlawanan dengan tuntutan pekerjaan menghadapi masalah oleh keharusan melaksanakan suatu pekerjaan yang sebenarnya tidak ingin dilakukan oleh orang tersebut. Sebagian besar frekuensi manifestasi dari role conflict adalah ketika seseorang dihadapkan pada dua kelompok orang yang menginginkan perbedaan perilaku atau mengharapkan bahwa pekerjaan seharusnya menghasilkan fungsi yang berbeda-beda. Kahn et al 1964 dalam Munandar 2001 mengatakan bahwa seseorang yang mengalami role conflict yang berlebihan akan mengalami kepuasan kerja yang rendah, meningkatnya ketegangan yang berhubungan dengan pekerjaan. Apabila seorang karyawan tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan dirinya, maka hal tersebut dapat menyebabkan karyawan tersebut menjadi tidak betah dalam bekerja. Dari hasil penelitian diketahui bahwa seorang pekerja yang diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, memiliki hasil kerja yang lebih baik dan mengurangi tekanan dalam bekerja yang dapat menyebabkan stres Frenh dan Chaplan, 1970 dalam Munandar, 2001. Miles dan Perreault 1976 yang dikutip oleh Munandar 2001 jenis konflik peran dibedakan menjdai empat, yaitu : 1 Konflik peran-pribadi : tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda dari yang disarankan dalam uraian pekerjaannya. 2 Konflik Intrasender : tenaga kerja menerima penugasan tanpa memiliki tenaga kerja yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil. 3 Konflik Intersender : tenaga kerja diminta untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga ada orang merasa puas dengan hasilnya, sedangkan orang lain tidak. 4 Peran dengan beban berlebih : tenaga kerja mendapat penugasan kerja yang terlalu banyak dan tidak dapat ia tangani secara efektif. Kiev dan Kohn 1979 yang dikutip oleh Munandar 2001 menyatkan bahwa dalam penelitian mereka menemukan bahwa konflik peran juga merupakan salah satu sumber stres utama pada para manajer puncak dan menengah. Hasil penelitian tidak jelas menunjukkan bahwa konflik peran merupakan pembangkit stres pada para pekerja pabrik. Menurut Sutherland dan Cooper 1988 yang dikutip oleh Munandar 2001, bahwa mungkin para pekerja pabrik lebih merasakan konflik ”intersender” sebagai pembangkit stres. Menurut Cooper dan Marshall 1978 dalam Munandar 2001 konflik peran lebih dirasakan sebagai pembangkit stres oleh mereka yang bekerja pada batas-batas organisasi organizational boundaries, seperti para manajer menengah pada umumnya. 8 Pengembangan karir Pengembangan karir seperti promosi tentu saja sangat diharapkan oleh setiap pekerja atau pegawai. Karena dengan pengembangan karir ini akan mendapat hak – hak yang lebih baik dari apa yang diperoleh sebelumnya, baik secara materi maupun non materi. Dalam hal pengembangan karir seperti yang diungkapkan Handoko 1992, pengembangan karir adalah peningkatan – peningkatan pribadi yang dilakukan seseorang untuk mencapai suatu rencana karir. a Job insecurity Job insecurity adalah pandangan individu terhadap situasi yang ada dalam organisasi tempatnya bekerja yang menimbulkan ketidaknyamanan akan kelanjutan pekerjaannya, dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak berdaya. Komponen – komponen job insecurity yaitu : 1 Keparahan ancaman severity of threat Keparahan ancaman meliputi seberapa besar individu mempersepsikan adanya ancaman terhadap aspek – aspek dalam pekerjaannya secara keseluruhan. 2 Ancaman terhadap aspek – aspek dalam pekerjaan Aspek – aspek yang berkaitan dengan pekerjaan, meliputi kesempatan untuk promosi, kebebasan menentukan jadwal pekerjaan, dll. Persepsi seseorang mengenai besarnya ancaman aspek – aspek itu dirasakan penting dan seberapa besar kemungkinan individu akan kehilangan aspek – aspek tersebut. Semakin penting dan semakin tinggi aspek – aspek tersebut dipersepsikan mungkin hilang, maka semakin tinggi tingkat ancaman aspek – aspek dalam pekerjaan yang dirasakan individu tersebut. 3 Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan merupakan persepsi seseorang mengenai adanya kejadian – kejadian negative yang dapat mempengaruhi pekerjaannya, seperti diberhentikan untuk sementara waktu. Ancaman tersebut dapat diketahui melalui seberapa penting dan seberapa mungkin kejadian – kejadian tersebut dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaannya secara keseluruhan. b Promosi Promosi merupakan salah satu usaha perusahaan dalam meningkatkan kemampuan pekerjanya. Peluang pekerja untuk mendapatkan promosi berbeda – beda tergantung kepada kebutuhan perusahaan Munandar, 2001. Bentuk promosi pada pekerja bermacam – macam, seperti kenaikan jabatanpangkat, mendapatkan pendidikan atau pelatihan, mengikuti seminar atau symposium, dan lain – lain. Menurut Averly dan Girdano dalam Munandar 2001 menyatakan adanya promosi untuk menghasilkan kepuasan kerja dan mencegah timbulnya frustasi pada tenaga kerja yang bertujuan mengurangi turn over pekerja. Dengan promosi kerja, mereka tidak hanya mencari peningkatan pendapatan, tetapi juga mencari peningkatan status dan tantangan yang ada dari pekerjaan yang baru Munandar, 2001. Menurut penelitian yang dilakukan Gautama 2008, terdapat hubungan yang signifikan antara promosi jabatan dengan stres kerja perawat. Dari hasil uji korelasi didapatkan angka korelasi sebesar 0,386 dengan angka p value = 0,009. Rata – rata perawat mengalami stres kerja sedang. Berdasarkan presentase total sampel didapatkan, sebagian besar perawat yang merasakan ketidakpuasan ringan dalam promosi jabatan akan mengalami tingkat stres kerja ringan pula 11,1, sebagian perawat yang merasakan ketidakpuasan sedang dalam hal promosi jabatan akan mengalami tingkat stres kerja sedang pula 46,7, begitupun dengan yang merasakan ketidakpuanan berat dalam promosi jabatan juga akan mengalami tingkat stres kerja berat 11,1. 9 Kepuasan gaji Gaji merupakan kompensasi yang diterima oleh pekerjan apabila ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Menurut Schultz 1998 salah satu penyebab tingginya turn over pekerja disebabkan gaji yang mereka terima sewaktu bekerja tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Selain itu gaji dapat mempengaruhi motivasi pekerja. Berdasarkan teori dua faktor oleh Heizberg 1990 menyatakan kepuasan bekerja sangat menetukan motivasi untuk bekerja, salah satu komponennya adalah upah. Berdasarkan penelitian pada masyarakat di AS diketahui adanya diskriminasi dalam pemberian upah seperti pekerja golongan minoritas atau pekerja wanita mendapatkan gaji sedikit lebih rendah dari pada pekerja golongan mayoritas atau pekerja laki – laki Schultz, 1998. Menurut penelitian Nugrahaeni 2008 menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepuasan gaji dengan kejadian stres kerja dengan p value = 0,018. c. Lingkungan kerja 1. Lingkungan kerja fisik a Kebisingan Kebisingan Noise adalah suara yang tidak dikehendaki. Menurut Wall 1979 dalam Setiawan 2007, kebisingan adalah suara yang menganggu. Sedangkan menurut Permenakertrans Per.13MenX2011 Tahun 2011, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi danatau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Bila sumber kebisingan dilihat dari sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu Wisnu, 1996 dalam Setiawan, 2007 : 1 Sumber kebisingan statis : pabrik, mesin, tape, dan lainnya. 2 Sumber kebisingan dinamis : mobil, pesawat terbang, kapal laut, dan lainnya. Pengaruh pemaparan kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi dua yang didasarkan pada tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi di atas NAB dan kedua, pengaruh kebisingan intensitas rendah di bawah NAB Sanders McCormick, 1987; Pulat, 1992 dan WHS,1993 dalam Tarwaka, 2004. 1 Pengaruh kebisingan intensitas tinggi Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi di atas NAB adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan penurunan daya dengan baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen atau ketulian. Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti, meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung, resiko serangan jantung meningkat, gangguan pencernaan. 2 Pengaruh kebisingan intensitas rendah Intensitas kebisingan yang masih di bawah NAB secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab stress dan gangguan kesehatan lainnya. Stress yang disebabkan karena pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan, dan depresi. Secara spesifik stress karena kebisingan tersebut dapat menyebabkan antara lain: a Stress menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur. b Gangguan reaksi psikomotor. c Kehilangan konsentrasi. d Gangguan komunikasi antara lawan bicara. e Penurunan performansi kerja yang kesemuanya itu akan bermuara pada kehilangan efisiensi dan produktifitas kerja Tarwaka, 2004. Hasil penelitian Suprapto 2008 menyatakan bahwa responden yang merasa bising di tempat kerja sebesar 50,9 sdangkan yang merasa tidak bising ditempat kerja sebesar 59,1. Namun kebisingan tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna terhadap kejadian stres kerja. b Pencahayaan Menurut Grandjean 1993 dalam Tarwaka 2004 penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dari penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan : 1 Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja. 2 Kelelahan mental. 3 Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata. 4 Kerusakan indera mata, dll. Standar penerangan yang ada di Indonesia telah ditetapkan seperti tersebut dalam Peraturan Menteri Perburuhan PMP No. 7 Tahun 1964, Tentang syarat – syarat kesehatan, kebersihan dan penerangan di tempat kerja pasal 14. Secara ringkas intensitas penerangan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1 Penerangan untuk halaman dan jalan – jalan di lingkungan perusahaan harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 20 lux. 2 Penerangan untuk pekerjaan – pekerjaan yang hanya membedakan barang kasar dan besar paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 50 lux. 3 Penerangan yang cukup untuk pekerjaan yang hanya membedakan barang – barang kecil secara sepintas lalu paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 100 lux. 4 Penerangan untuk pekerjaan yang membeda – bedakan barang kecil agak teliti paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 200 lux. 5 Penerangan untuk pekerjaan yang membedakan dengan teliti dari barang – barang yang kecil dan halus, paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 300 lux. 6 Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda – bedakan barang halus dengan kontras yang sedang dalam waktu lama, harus mempunyai paling sedikit intensitas penerangan 500 – 1.000 lux. 7 Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda – bedakan barang sangat halus dengan kontras yang kurang dan dalam waktu yang lama, harus mempunyai paling sedikit intensitas penerangan 2.000 lux. Terlalu kuatnya cahaya penerangan dapat menimbulkan dampak psikologis pada pekerja, seperti kelelahan dan pusing. Bahkan dapat menimbulkan kecelakaan kerja akibat silaunya penerangan di ruang kerja, begitu pula sebaliknya dengan penerangan yang suram Munandar, 2001. Pencahayaan yang kurang atau terlalu berlebihan di tempat kerja menyulitkan pekerja untuk bekerja secara optimal. Sehingga apabila hal ini terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan seorang pekerja mengalami stres dan ketidaknyamanan dalam bekerja Sarlito, 1992. c Radiasi Sumber daya radiasi adalah sinar gamma, yaitu gelombang elektormagnet yang mampu menembus permukaan kulit tanpa terlihat oleh mata. Energi itu mampu merusak sel – sel hidup. Pemaparan radiasi tergantung dari dosis, waktu pemaparan, dan jarak sumber ke pekerja. Selain memberi pengaruh buruk, radiasi juga menyebabkan rasa kurang aman bagi pekerja yang bekerja di tempat yang mengandung radiasi. Apabila hal ini tidak diperhatikan, maka dalam waktu –waktu tertentu hal tersebut tidak hanya berbahaya bagi pekerja, namun dapat menimbulkan keresahan dan stres dalam bekerja Munandar, 2001. d Suhu Pada suhu panas dan dingin, dapat menyebabkan pekerja mudah terkena kelelahan disamping pengaruh kesehatan lainnya. Efek suhu tempat kerja terhadap pekerja tergantung pada berat pekerjaan, lokasi kerja di dalam atau di luar ruangan, status kesehatan pekerja, kelembaban, kecepatan aliran udara, jenis pakaian yang digunakan dan lama pemaparan. Keadaan ini bila terjadi berlarut –larut menyebabkan pekerja tidak mampu bekerja dengan baik karena menurunnya gairah bekerja, atau bila dipaksakan maka akan mengakibatkan stres Munandar, 2001. Menurut penelitian Siswanti 2004 yang dilakukan di PT. Pandu Dayatama Patria, dilaporkan bahwa 70 responden menyatakan bermasalah dengan panas, sehingga menyebabkan stres dan 39 menyatakan stres walaupun tidak mempermasalahkan panas. Hasil uji statistik menyatakan p value sebesar 0,039 yang berati ada hubungan yang bermakna antara suhu panas dengan stres kerja. Begitu pula dengan hasil penelitian Suprapto 2008 yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara suhu panas dengan stres kerja dengan p value 0,454. 2. Lingkungan kerja sosial Munandar 2001 mengatakan bahwa hidup dengan orang lain merupakan salah satu aspek dari kehidupan yang penuh stres. Hubungan yang baik antara anggota dari satu kelompok kerja sianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam berorganisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan role embiguity yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribasi yang tidak sesuai antara para tenaga kerja dan ketegangan psikososial dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan dan rasa diancam oleh atasan dan rekan –rekan kerjanya. Contoh hubungan interpersonal, seperti atasan yang menyebalkan, kurang apresiasi dari pimpinan, keputusan atasan yang berubah – ubah, tidak cocok dengan teman sekerja, serta kurang terbuka antara atasan dengan bawahan, dapat mungkin bisa mengakibatkan seseorang dalam tekanan sehingga dapat memicu terjadinya stres kerja Hidayat, 2012. Penelitian yang dilakukan oleh Bida 1995 menyatakan bahwa terdapat hubungan antara hubungan interpersonal dalam pekerjaan dengan stres kerja.Namun menurut hasil penelitian Desy 2002 diketahui tidak ada hubungan yang bermakna antara hubungan interpersonal dengan stres kerja.

2.2 Dosen

2.2.1 Pengertian Dosen

Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat UU No. 14 Tahun 2005. 2.2.2 Kedudukan, Fungsi, Dan Tujuan Dosen Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab UU No. 14 Tahun 2005.

2.2.3 Beban Kerja Dosen

Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat. Beban kerja sekurang-kurangnya sepadan dengan 12 dua belas satuan kredit semester dan sebanyak-banyaknya 16 enam belas satuan kredit semester. Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja dosen diatur oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan UU No. 14 Tahun 2005.

2.2.4 Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik

Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian UU No. 14 Tahun 2005. Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum yang diantaranya yaitu : a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen. Kompetensi tenaga pendidik, khususnya dosen, diartikan sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai dan diwujudkan oleh dosen dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional Dirjen Dikti, 2012. Kompetensi dosen menentukan kualitas pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi sebagaimana yang ditunjukkan dalam kegiatan profesional dosen. Dosen yang kompeten untuk melaksanakan tugasnya secara profesional adalah dosen yang memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial yang diperlukan dalam praktek pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat Dirjen Dikti, 2012. Kualifikasi akademik dan unjuk kerja, tingkat penguasaan kompetensi sebagaimana yang dinilai orang lain dan diri sendiri, dan pernyataan kontribusi dari diri sendiri, secara bersama-sama, akan mengindikasikan profesionalisme dosen. Profesionalisme seorang dosen dan kewenangan mengajarnya dinyatakan melalui pemberian sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik untuk dosen diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 dua tahun; b. memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli; dan c. lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah UU No. 14 Tahun 2005. Sertifikasi dosen adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk dosen. Sertifikasi dosen bertujuan untuk : a. menilai profesionalisme dosen guna menentukan kelayakan dosen dalam melaksanakan tugas, b. melindungi profesi dosen sebagai agen pembelajaran di perguruan tinggi, c. meningkatkan proses dan hasil pendidikan, d. mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional, dan e. meningkatkan kesadaran dosen terhadap kewajiban menjunjung tinggi kejujuran dan etika akademik terutama larangan untuk melakukan plagiasi Dirjen Dikti, 2012. Gambar 2.1. Peta Konsep Sertifikasi

2.2.5 Hak dan Kewajiban Dosen

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; e. memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan; f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan g. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesiorganisasi profesi keilmuan UU No. 14 Tahun 2005. Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban: a. melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; c. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; d. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran; e. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan f. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa UU No. 14 Tahun 2005.

2.2.6 Stres Kerja Dosen

Dosen perguruan tinggi mempunyai peran strategis ditinjau dari sisi pembinaan akademik dan mahasiswa. Dosen merupakan tenaga profesional yang menetapkan apa yang terbaik untuk mahasiswanya berdasarkan pertimbangan profesional. Banyak pengakuan yang menyatakan bahwa pengembangan mutu pendidikan dapat ditempuh melalui pengembangan mutu para dosennya. Hal ini tampak dari temuan penelitian sebelumnya bahwa dalam pendidikan berlaku “the man behind the system”, manusia merupakan faktor kunci yang menentukan kekuatan pendidikan Miller, 1980:76, pendidikan sebagai industri jasa merupakan “front line provider and determine the quality of service delivery system”, dosen berada pada garis terdepan dalam menentukan kualitas pelayanan Sallis, 1993 Selain faktor lingkungan pekerjaan didalam organisasi konsekuensi dari sebuah pekerjaan akan menambah tanggung jawab yang akan ditanggung individu. Dalam mencapai tujuan organisasi dosen dan rekan-rekan kerja berkerja sama dalam mewujudkan misi dan visi tersebut, tidak jarang adanya perselisihan antara dosen dan rekan kerja dalam menjalankan tugas, beda pendapat dan perbedaan karakter individu juga dapat menimbulkan konflik dalam suatu pekerjaan diorganisasi, didalam organisasi terdapatnya perselisihan antar dosen, beda pendapat merupakan suatu hal yang sangat wajar. Apabila perbedaan pendapat ini dibiarkan berlarutlarut maka dapat terjadinya konflik antar pribadi dosen yang tidak diinginkan, semakin kecil konflik antar pribadi yang muncul antar rekan-rekan kerja dapat disimpulkan semakin kecil tingkat stress yang akan terjadi didalam organisasi tersebut Lianita, 2011 Faktor lain yang dapat menimbulkan tingkat stres yang berbeda dalam organisasi adalah beban pekerjaan. Beban pekerjaan yang dialami oleh dosen memiliki kerakteristik yang berbeda-beda dalam setiap pekerjaan. bagi dosen yang selalu dituntut untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik akan beradaptsi dengan peralatan yang semakin modern teknologi, dll, ini merupakan salah satu beban yang dipikul oleh dosen, selain perbedaan tugas, perbedaan tangung jawab, dan perbedaan wewenang dosen juga harus selalu update dengan perkembangan teknologi yang setiap saat dapat berubah-ubah untuk mendukung produktifitas pekerjaan. Dosen tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai dosen tetapi juga merangkap dalam memegang jabatan yang diberikan oleh organisasi, terkadang dosen juga memiliki dua jabatan sekaligus dalam satu periode, dengan adanya perbedaan jabatan yang dipegang oleh dosen maka tangung jawab dan beban pekerjaan yang ada semakin besar sehingga dapat diperkirakan stress yang akan dialami oleh dosen memiliki tingkat stres yang berbeda-beda pula. Sedangkan faktor kompetensi memiliki nilai tersendiri dalam terjadinya stres, dosen yang memiliki kompetensi harus dapat memiliki pengetahuan, keterampilan, kecakapan ataupun kemampuan sebagai dosen dalam menentukan atau memutuskan sesuatu dalam proses pembelajaran ataupun dalam proses pekerjaan Lianita, 2011. Faktor kompetensi merupakan faktor yang menuntut para dosen untuk dapat memberikan produktifitas yang lebih baik antar sesama rekan, mahasiswa dan untuk organisasi, secara langsung kompetensi ini akan menimbulkan terjadinya persaingan antar dosen untuk dapat membuktikan bahwa dia lebih baik dari pada rekan kerjannya, tugas-tugas yang diberikan kepadanya akan selesai tepat waktu, keterampilan dia lebih baik dari pada rekan kerja yang lain. Dosen yang tidak memiliki kompetensi tersebuat akan merasa dirinya lebih rendah dibandingkan dengan dosen yang memiliki kompetensi, ini akan berdampak pada stres yang akan dialaminya Lianita, 2011. Halpin 1985 dalam Faulina 2011 menemukan bahwa pengendalian diri locus of control menjadi karakteristik yang berkorelasi kuat dengan stres dosen. Dosen yang mempunyai pengendalian diri eksternal lebih baik telah ditemukan lebih berpengalaman mengatasi stres daripada dengan sebuah pengendalian diri internal. Self-esteem harga diri, sebagai sebuah karakteristik internal telah dilaporkan berhubungan dengan stres kerja. Seseorang yang memiliki self esteem rendah cenderung lebih peka terhadap stres daripada mereka yang mempunyai self esteem tinggi. Dosen yang mempunyai self-esteem tinggi cenderung mampu menghadapi stressor dan lebih produktif dalam bekerja. Banyaknya tuntutan peran dan tugas yang harus dijalankan oleh seseorang akan berdampak pada kondisi-kondisi seperti tertekan, depresi, produktifitas menurun, tugas yang diberikan tidak tepat waktu, menyendiri, dll. Ini merupakan gejala-gejala terjadinya stres dalam organisasi.

2.3 Kerangka Teori

Teori yang digunakan dalam kerangka teori ini yaitu mengacu kepada teori yang dikemukakan oleh Cooper dan Davidson 1987 dan didukung teori Hurrel,dkk Munandar, 2001. Gabungan dari teori tersebut digambarkan dalam bagan di bawah ini : Sumber : Cooper dan Davidson 1987, Hurrel, dkk Munandar, 2001 Karakteristik Pekerja : - Usia - Tingkat Pendidikan - Status Perkawinan - Masa Kerja - Kepribadian - Nilai dan Kebutuhan - Kecakapan Kondisi Pekerjaan : - JurusanProgram Studi - Beban kerja - Waktu kerja - Shift Kerja - RutinitasPekerjaan yang monoton - Struktur dan iklim organisasi - Peran dalam organisasi - Pengembangan karir sistem promosi - Gaji Stres Kerja Lingkungan Kerja : - Lingkungan fisik : o Kebisingan o Pencahayaan o Suhu - Lingkungan sosialhubungan interpersonal dengan rekan kerja 69 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep