4.3.2 Perkembangan Karakter Siswa
Penilaian perkembangan karakter siswa termasuk dalam ranah hasil belajar afektif. Penilaian dilakukan menggunakan angket dan lembar observasi. Karakter
yang dikembangkan adalah rasa ingin tahu dan bersahabat komunikatif. 4.3.2.1
Rasa Ingin Tahu Penilaian dengan menggunakan lembar angket dilakukan sebelum dan
setelah siswa menerima perlakuan yang berupa pembelajaran dengan metode eksperimen. Hasil pengamatan menggunakan angket dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Hasil analisis angket perkembangan karakter rasa ingin tahu untuk kelas eksperimen sebelum perlakuan menunjukan perolehan persentase skor rata-rata
adalah 75,70 dengan kriteria mulai berkembang dan persentase ketuntasan klasikal mencapai 59,37. Sedangkan kelas kontrol memperoleh persentase skor
rata-rata sebesar 76,17 dengan kriteria mulai berkembang dan persentase ketuntasan klasikal mencapai 59,37. Setelah menerima perlakuan, perolehan
persentase skor rata-rata angket perkembangan karakter untuk kelas eksperimen adalah 81,95 dengan kriteria membudaya dan persentase ketuntasan klasikal
mencapai 87,5. Sedangkan kelas kontrol memperoleh skor rata-rata sebesar 79,69 dengan kriteria mulai berkembang dan persentase ketuntasan klasikal mencapai
81,25. Perolehan skor rata-rata karakter rasa ingin tahu kelas eksperimen yang
lebih baik dibandingkan kelas kontrol didukung oleh hasil analisis lembar observasi perkembangan karakter. Penilaian dengan metode observasi dilakukan
untuk setiap topik LKS dengan mengamati sikap atau perilaku siswa saat
melakukan pembelajaran. Hasil pengamatan menggunakan lembar observasi dapat dilihat pada Tabel 4.4. Perolehan persentase skor rata-rata karakter rasa ingin tahu
kelas eksperimen adalah 78,12 dengan kriteria mulai berkembang. Sedangkan persentase skor rata-rata kelas kontrol adalah 68,10 dengan kriteria mulai
berkembang. Perolehan skor rata-rata kedua kelas sampel mengalami kenaikan setelah
menerima perlakuan. Hal ini menunjukan telah terjadi perkembangan karakter rasa ingin tahu pada diri siswa, baik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
metode eksperimen menggunakan LKS maupun siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode eksperimen menggunakan LKS fisika terintegrasi
karakter berbasis pendekatan CTL yang dikembangkan. Skor rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hal ini menunjukan
penggunaan LKS fisika terintegrasi karakter berbasis pendekatan CTL yang dikembangkan lebih efektif dalam mengembangkan karakter siswa yang berupa
rasa ingin tahu. LKS fisika yang digunakan di kelas eksperimen disusun menggunakan pendekatan kontekstual yang melatih siswa untuk mengaitkan
konsep yang diperoleh dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ‘menduga’ pada LKS menampilkan permasalahan yang merangsang rasa ingin
tahu siswa dan membuat dugaan. Kemudian kegiatan ‘mengumpulkan data’ dan ‘menyimpulkan’ membimbing siswa untuk membuktikan dugaan mereka melalui
pengamatan pada suatu eksperimen. Selanjutnya pada kotak ‘sudah benarkah dugaanmu?’, siswa diminta menghubungkan konsep yang diperoleh dengan
permasalahan yang ditampilkan sebelumnya sehingga siswa merasa dapat
menjawab rasa ingin tahunya sendiri dengan benar. Oleh karena itu, siswa menjadi lebih tertarik dalam mengetahui suatu hal, karena rasa ingin tahu tersebut
mendatangkan manfaat terhadap dirinya sendiri berupa pengetahuan. Sesuai dengan pendapat Suryabrata 1998: 2-5, bekerja ilmiah biasanya dilandasi atas
keingintahuan seseorang terhadap suatu hal dan hasrat ingin tahu manusia terpuaskan apabila ia memperoleh pengetahuan yang benar mengenai hal yang ia
pertanyakan. LKS juga berisi ‘kotak pertanyaan’ yang berfungsi untuk menampung pertanyaan-pertanyaan yang mencerminkan rasa ingin tahu siswa,
khususnya memotivasi siswa yang masih merasa malu bertanya langsung pada guru agar tetap dapat mengembangkan rasa ingin tahu mereka. Siswa-siswa yang
tidak biasa bertanya bukan berarti tidak memiliki pertanyaan dalam benak mereka. Sesuai dengan pendapat Sardiman 2011: 75, peranan motivasi adalah
menumbuhkan gairah, perasaan senang dan semangat untuk belajar. Hasil belajar akan optimal jika ada motivasi yang tepat.
4.3.2.2 Bersahabat Komunikatif
Penilaian karakter bersahabat komunikatif meliputi lima indikator yaitu 1 bekerja sama dalam kelompok di kelas, 2 berbicara dengan teman sekelas,
3 bergaul dengan teman sekelas ketika istirahat, 4 bergaul dengan teman lain kelas, dan 5 berbicara dengan guru, kepala sekolah, dan personalia sekolah
lainnya. Penilaian dengan menggunakan lembar angket dilakukan sebelum dan
setelah siswa menerima perlakuan yang berupa pembelajaran dengan metode eksperimen. Hasil pengamatan menggunakan angket dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Hasil analisis angket perkembangan karakter bersahabat komunikatif untuk kelas eksperimen sebelum perlakuan menunjukan perolehan persentase skor rata-
rata adalah 84,14 dengan kriteria membudaya dan persentase ketuntasan klasikal mencapai 87,5. Sedangkan kelas kontrol memperoleh skor rata-rata sebesar 78,12
dengan kriteria mulai berkembang dan persentase ketuntasan klasikal mencapai 71,87. Setelah menerima perlakuan, skor rata-rata kelas eksperimen adalah 87,9
dengan kriteria membudaya dan persentase ketuntasan klasikal mencapai 93,75. Sedangkan skor rata-rata kelas kontrol adalah 83,83 dengan kriteria membudaya
dan persentase ketuntasan klasikal mencapai 87,5. Perolehan skor rata-rata karakter bersahabat komunikatif kelas
eksperimen yang lebih baik dibandingkan kelas kontrol didukung oleh hasil analisis lembar observasi perkembangan karakter. Penilaian dengan metode
observasi dilakukan untuk setiap topik LKS dengan mengamati sikap atau perilaku siswa saat melakukan pembelajaran. Hasil pengamatan menggunakan
lembar observasi dapat dilihat pada Tabel 4.8. Perolehan persentase skor rata-rata karakter bersahabat komunikatif kelas eksperimen adalah 78,18 dengan kriteria
mulai berkembang. Sedangkan skor rata-rata kelas kontrol adalah 69,66 dengan kriteria mulai berkembang.
Perolehan skor rata-rata kedua kelas sampel mengalami kenaikan setelah menerima perlakuan. Hal ini menunjukan telah terjadi perkembangan karakter
bersahabat komunikatif pada diri siswa, baik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode eksperimen menggunakan LKS maupun siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan metode eksperimen menggunakan LKS fisika
terintegrasi karakter berbasis pendekatan CTL yang dikembangkan. Skor rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hal ini menunjukan
penggunaan LKS fisika terintegrasi karakter berbasis pendekatan CTL yang dikembangkan lebih efektif dalam mengembangkan karakter siswa yang berupa
bersahabat komunikatif. Pendekatan kontekstual yang terkandung dalam LKS kelompok eksperimen menyajikan lebih banyak kegiatan untuk siswa dan melatih
siswa untuk bekerjasama dengan lebih baik antar anggota kelompok. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Yulianti et al. 2010: 84, hasil belajar afektif
kelas eksperimen berupa bekerja sama dalam kelompok meningkat setelah mengalami pembelajaran kontekstual jigsaw puzzle competition.
Selain itu, LKS fisika terintegrasi karakter juga berisi kalimat-kalimat kutipan dari para ilmuwan dan tokoh lainnya yang berisi motivasi untuk saling
bekerja sama. Menurut Alwisol 2009: 294, belajar melalui pengalaman menjadi lebih efektif jika pebelajar memiliki motivasi yang tinggi. Meskipun kegiatan
observasi memudahkan orang untuk menguasai tingkah laku tertentu, tetapi jika motivasi untuk itu tidak ada maka tidak akan terjadi proses belajar.
Secara keseluruhan, perolehan persentase skor rata-rata hasil belajar afektif berupa perkembangan karakter rasa ingin tahu dan bersahabat
komunikatif untuk kedua kelas mengalami kenaikan. Hal ini menunjukan telah terjadi perkembangan karakter baik di kelas kontrol maupun kelas eksperimen dan
perkembangan karakter kelas eksperimen yang menggunakan LKS fisika terintegrasi karakter berbasis pendekatan CTL lebih tinggi. Sesuai dengan
penelitian Yulianti et al. 2010: 84, minat dan hasil belajar siswa mengalami
peningkatan secara signifikan setelah mengalami fisika kontekstual berbantuan jigsaw puzzle competition.
4.3.3 Hasil Belajar Psikomotorik Siswa