Pengembangan Pertanian Lahan Kering

39 3. Bidang penempatan transmigran antara lain berupa kegiatan pembuatan Surat Perintah Pemberangkatan SPP, penampungan di transito, pemberangkatan dengan moda angkutan darat, laut, dan atau udara, penampungan sementara di unit pemukiman transmigrasi UPT, serta penempatan dan pembagian lahan pekarangan yang di atasnya telah dibangun rumah transmigran dan Lahan Usaha I LU-I dan Lahan Usaha II LU-II. 4. Bidang pembinaan, tahapan ini dilaksanakan mulai tahun pertama penempatan transmigran yang juga merupakan tahun pertama pemberdayaan masyarakat transmigran dan pemberdayaan lingkungan permukiman yang dilakukan selambat-lambatnya lima tahun setelah penempatan T+1 sampai dengan T+5. Dalam kenyataannya tahap operasi ini merupakan upaya pemberdayaan masyarakat transmigran dan penduduk lokal di sekitarnya, yang utamanya dilakukan melalui upaya membantu mereka mengurangi pengeluaran dan meningkatkan penghasilan. Untuk itu ditempuh upaya 3 strategi inti Yudohusodo 1998, yaitu; a Pembangunan manusia berupa: penyediaan kebutuhan dasar, pendidikan dan kesehatan, b Kebutuhan untuk hidup berupa pekerjaan, pendapatan dan kesejahteraan sosial, dan c Penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial, antara lain berupa prasarana kegiatan ekonomi dan prasarana kegiatan sosial.

2.4 Pengembangan Pertanian Lahan Kering

Pada tahun 1970-an mulai banyak digunakan oleh beberapa kalangan istilah lahan, yang dimaksudkan untuk digunakan dalam makna yang ekivalen dengan makna land . Dalam hubungan ini lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Termasuk di juga hasil kegiatan manusia dimasa lalu dan sekarang, seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti tanah yang tersalinisasi FAO, 1976. Dengan demikian maka lahan mengandung makna yang lebih luas dari tanah atau topografi. Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan Sitorus, 2003a. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang dan tempat. 40 Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam waktu setahun atau sepanjang waktu Hidayat dan Mulyani 2005. Berdasarkan penggunaan lahan untuk pertanian, lahan kering secara umum dikelompokkan menjadi pekarangan, tegalkebunladanghuma, padang rumput, lahan sementara tidak diusahakan, lahan untuk kayu-kayuan, perkebunan, dengan total luas 53.963.705 ha atau sekitar 28,67 dari total luas Indonesia, luas tersebut belum termasuk Maluku dan Papua karena tidak tersedia data BPS, 2003. Dari luasan lahan kering tersebut, seluas 16,3 juta ha digunakan untuk perkebunan, baik perkebunan rakyat maupun perkebunan negara dan swasta. Lahan kering merupakan salah satu ciri lahan, yang apabila diusahakan untuk pertanian, pengairannya hanya mengandalkan dari curah hujan untuk kelembaban tanahnya. Kondisi lahan kering mengalami periode masa kering dapat berupa kering musiman atau kering dalam satu waktu periode tertentu saja dan selanjutnya mengalami periode hujan atau basah Barrow, 1991. Lahan kering disamping mengandalkan curah hujan untuk kelembaban tanah, juga dicirikan dengan terbatasnya kandungan unsur hara miskin unsur hara. Ciri pertanian lahan kering diantaranya adalah jenis tanaman yang diusahakan tidak memerlukan air yang banyak, pengairannya dari air hujan dan kebutuhan airnya tergantung pada kapasitas lapang Knapp, 1979. Ketersediaan air di lahan kering merupakan masalah utama untuk pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Pada musim kemarau, tanaman kekurangan air, sedangkan pada musim hujan terjadi aliran permukaan dan erosi yang besar karena sedikitnya air yang dapat diinfiltrasikan ke dalam tanah. Gejala ini berkaitan dengan buruknya sifat fisika tanah, seperti tekstur kasar pada lapisan atas dan padatnya lapisan bawah. Rendahnya bahan organik pada lahan kering, menyebabkan tanah tidak gembur sehingga perakaran terganggu. Selain itu pada lapisan padat gerakan air ke dalam tanah menjadi lambat seperti terlihat dari rendahnya laju permeabilitas tanah. Dengan demikian tanah akan cepat jenuh sehingga aliran permukaan menjadi besar Sitorus, 2002 Berdasarkan ketinggian tempat elevasi Hidayat dan Mulyani, 2005, lahan kering dibedakan menjadi dataran rendah elevasi 700 m dpl dan dataran tinggi elevasi 700 m dpl. Di Kalimantan lahan kering dataran rendah dan dataran tinggi terluas terdapat di Kaltim, Kalbar dan Kalteng. Lahan kering di dataran rendah pada umumnya telah banyak digunakan terutama untuk 41 perkebunan 24,7 juta ha, Hutan Tanaman Industri hutan produksi terbatas 27,8 juta ha, tegalan ladang huma 13,3 juta ha, lahan yang tidak diusahakan 10,6 juta ha BPS, 2003. Pola pemanfaatan lahan kering dataran rendah dan dataran tinggi umumnya berbeda dalam jenis komoditas sesuai dengan persyaratan tumbuh masing-masing dan kondisi iklim. Jenis tanaman pangan dan perkebunan di dataran tinggi lebih terbatas, sebaliknya tanaman hortikultura lebih dominan. Karakteristik lahan kering di Indonesia mempunyai sifat sebagai tanah masam pH 5,0 dan sekitar 69 dari luasan lahan kering bersifat masam Hidayat dan Mulyani 2005. Menurut Dipokusumo et al. 2004 disamping bersifat masam, lahan kering di Indonesia juga di miskin akan unsur hara tanah marginal, oleh karena itu pemanfaatan lahan kering untuk pertanian harus di kelola dengan baik secara terintegrasi antar pihak-pihak yang saling berkepentingan untuk memperoleh hasil pertanian yang optimal secara berkelanjutan. Pengelolaan lahan kering utamanya adalah pengelolaan hara tanaman. Untuk mengembangkan usahatani pada lahan kering yang cenderung bersifat masam di Indonesia akan dihadapkan pada berbagai kendala. Menurut Hakim et al. 1994 kendala utama dalam pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan pertanian adalah rendahnya kandungan bahan organik tanah dengan daya pegang air yang rendah, sehingga air tanah tidak tersedia bagi tanaman. Adanya berbagai faktor pembatas pertumbuhan seperti rendahnya kesuburan tanah dan tidak tersedianya air sepanjang tahun merupakan kendala utama rendahnya produktivitas lahan. Kebutuhan air pada lahan kering umumnya setara dengan laju evapotranspirasi potensial pada kondisi air tanah tersedia, yang nilainya di Indonesia berkisar 2,7 - 7,0 mm hari. Secara praktis berbagai pakar menetapkan kebutuhan air pada lahan kering adalah 75 - 100 mm bulan dengan asumsi bahwa laju evapotranspirasi hanya 2,5 - 3,0 mm hari FAO, 1981. Kemudian oleh Oldeman et al. 1980, disetarakan dengan curah hujan 100 - 200 mm per bulan setelah mempertimbangkan peluang kejadian hujan dan tidak semua curah hujan efektif digunakan. Periode bulan-bulan yang mempunyai curah hujan lebih besar dari 100 mm per bulannya merupakan periode air tersedia bagi tanaman pangan lahan kering. Selain itu, suhu yang tinggi dan ketidak merataan curah hujan serta kerentanan tanah terhadap erosi telah menambah kompleksitas permasalahan. Untuk meningkatkan produktivitas lahan 42 kering masam, selain dengan pengapuran dan pemupukan juga dapat dilakukan dengan optimalisasi pola tanam, yang dapat mengurangi aliran permukaan erosi, dan evaporasi tanah oleh adanya penutupan tanaman dan sisa hasil panen yang dapat berfungsi sebagai mulsa dan menambah bahan organik tanah Syam, 2003. Dalam konteks pengembangan pertanian di lahan kering, maka Solahudin dan Ladamay 1997 mendefinisikan pertanian lahan kering sebagai suatu sistem pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa menggunakan irigasi, dimana kebutuhan air hanya bergantung pada curah hujan. Beberapa ciri biofisik pertanian lahan kering diantaranya tingkat kesuburan tanah yang rendah, pH tanah yang masam, kandungan bahan organik dan unsur hara terbatas, berada pada wilayah hulu upland dan topografi berlereng. Ciri pengelolaan yang penting adalah pembukaan lahan biasanya hanya dilakukan dengan cara tebas bakar, pembersihan lahan dengan cara pembersihan dan pengangkutan sisa-sisa tanaman, kondisi tanah relatif terbuka sepanjang tahun, terbatasnya penggunaan pupuk dan bibit unggul serta belum diterapkan teknik-teknik konservasi. Perpaduan ciri biofisik dan cara-cara pengelolaan lahan kering tersebut mengakibatkan sistem pertanian lahan kering sangat peka terhadap kerusakan lingkungan. Ciri utama lahan kering lainnya yang menonjol dalam sistem usahatani lahan kering adalah terbatasnya air, makin menurunnya produktivitas lahan, tingginya variabilitas kesuburan tanah dan jenis tanaman yang ditanam serta variabilitas kondisi sosial ekonomi dan budaya usahatani yang dilaksanakan sangat tergantung pada curah hujan Semaoen et al. , 1991. Dengan melihat ciri- ciri lahan kering yang diantaranya adalah bersifat masam dan tingkat kesuburan yang rendah, maka lahan kering dapat dikategorikan pada lahan marginal Mastur, 2002. Di Indonesia lahan marginal dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu: 1 lahan dengan tanah mineral masam dan kesuburan rendah atau biasa dikenal sebagai lahan bertanah masam, 2 lahan basah yang biasanya dapat memiliki satu atau beberapa tipe tanah antara lain adalah tanah gambut, tanah aluvial berpirit sulfat masam, tanah salin, tanah-tanah hidromorfik gley , dan 3 lahan pada wilayah beriklim kering. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka lahan kering pada umumnya dapat dikategorikan sebagai lahan yang bersifat masam dan marginal. 43 Di Indonesia lahan kering terdapat di daerah berikllim basah, seperti Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan sebagian Sulawesi dan di daerah beriklim kering seperti di sebagian Sulawesi, NTB dan NTT. Curah hujan yang tinggi di pulau-pulau yang terdapat di Kawasan Barat Indonesia menyebabkan terjadinya erosi yang intensif yang akan mempercepat terjadinya kerusakan tanah. Sebaliknya, di Kawasan Timur Indonesia, kondisi curah hujan yang terbatas akan membatasi pertumbuhan tanaman, bahkan seringkali menyebabkan kegagalan panen. Di samping itu, kondisi curah hujan yang terkonsentrasi pada suatu waktu dan kondisi tanah yang peka erosi menyebabkan erosi yang sangat besar pada musim penghujan dan kekeringan yang parah pada musim kemarau di wilayah bagian timur Indonesia Nugroho, 2002. Pengembangan usahatani di lahan kering di Indonesia saat ini ternyata telah diikuti oleh semakin besarnya luas kerusakan lahan yang ada. Kondisi demikian disebabkan belum diterapkannya teknik-teknik konservasi tanah secara tepat dan benar, khususnya lahan kering yang diusahakan di daerah hulu dengan kemiringan lereng yang cukup besar. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas lahan dan penanggulangan kerusakan lahan yang terjadi pada pertanian lahan kering merupakan salah satu prioritas dalam pengembangan kegiatan pertanian lahan kering dimasa mendatang. Pembangunan pertanian lahan kering di masa mendatang perlu diarahkan untuk melestarikan kondisi biofisik lahan, meningkatkan produktifitas dan mampu memberikan pendapatan yang cukup tinggi serta berkelanjutan bagi petani. Oleh karena itu pengembangan pertanian tersebut selain berorientasi pada agribisnis juga harus dibarengi dengan penggunaan teknologi yang berfungsi untuk mengoptimalkan produktifitas lahan dan meminimalkan tingkat kerusakan lahan. Sistem pertanian lahan kering di masa mendatang perlu dikembangkan dengan sistem pertanian konservasi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1 sistem usahatani yang dilakukan pada lahan tersebut harmoni secara ekologi, yang artinya sistem produksi dilakukan dengan tidak menyebabkan kerusakan secara ekologi atau tidak merusakmengganggu keseimbangan ekosistem, 2 produksi yang dihasilkan cukup tinggi dengan menggunakan teknologi tepat guna, 3 produksi yang dihasilkan memberikan pendapatan dan kesejahteraan secara ekonomi, 4 sistem produksi yang dilakukan dapat diterima dan dilakukan oleh petani dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia sesuai dengan 44 perkembangan teknologi, 5 kerusakan akibat sistem produksi yang dilakukan dapat diminimumkan, dan kerusakan tersebut juga dapat diimbangi oleh proses pemulihan sumberdaya lahan secara alami, sehingga tingkat produksi yang tinggi, pendapatan dan kesejahteraan petani dapat dipertahankan serta ditingkatkan secara berkelanjutan Nugroho, 2002. Untuk mengoptimalkan penggunaan lahan, mempertahankan dan meningkatkan produktifitas pertanian serta meminimumkan terjadinya kerusakan lahan, kegiatan usahatani yang dilakukan harus direncanakan secara hati-hati dengan mempertimbangkan aspek-aspek ekologi suatu wilayah. Menurut Dudung 1991 sistem budidaya pertanian di lahan kering dapat dilakukan dengan sistem talun, tegal pekarangan, budidaya lorong, agroforestri, usaha tani konservasi terpadu dan penanaman tanaman pionir. Sistem talun, yaitu suatu cara bercocok tanam dari berbagai jenis tanaman, mulai dari tanaman yang paling rendah, merambat, pohon yang tingginya sedang sampai pohon yang mahkotanya tinggi, yang diatur sedemikian rupa sehingga seluruh permukaan tanah tertutup rapat dan hasilnya dapat dipanen secara terus menerus. Sistem tegal pekarangan, yaitu suatu pengelolaan lahan dengan budidaya tanaman untuk mencukupi kebutuhan pangan dengan menanam tanaman semusim tanpa meninggalkan tanaman tahunan keras, yang dapat memberikan hasil tanaman tahunan yang ditanam sepanjang guludan dan disebagian bidang tanah. Sistem budidaya lorong alley cropping , yaitu sistem pertanaman dalam lorong yang dibatasi oleh tanaman pagar tegakan berupa tanaman pupuk hijau yang ditanam menurut garis kontur. Tanaman dalam lorong dapat berupa tanaman pangan, hortikultur maupun tanaman perkebunan. Sistem agroforestri, yaitu sistem pengelolaan lahan secara optimal dengan cara menanam kayu-kayuan yang dikombinasikan dengan tanaman pangan tanaman semusim dan tahunan dengan atau tanpa ternak. Tanaman ditanam secara bersama-sama atau berurutan pada unit-unit lahan yang sama akan memberikan keuntungan yang lebih besar dari pada jika hanya ditanam tanaman pertanian saja atau tanaman kehutanan saja. Usahatani konservasi terpadu, yaitu suatu cara pengelolaan lahan usahatani yang menggunakan kombinasi tanaman pangan dengan tanaman tahunan tanaman buah-buahan agar permukaan tanah tertutup terus sepanjang tahun. Penanaman tanaman pioner, yaitu suatu cara untuk memulihkanmerehabilitasi tanah dengan 45 menggunakan tanaman pioner pada lahan kering yang keadaan tanahnya tergolong kritis dan tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk usaha pertanian yang intensif. Melihat kondisi lahan kering yang mempunyai karakteristik sebagai lahan marjinal dan bersifat masam serta cenderung mudah terdegradasi apabila pengelolaannya kurang tepat, maka pemanfaatannya untuk usaha-usaha pertanian di kawasan transmigrasi lahan kering diperlukan suatu strategi. Menurut Mastur 2002, strategi yang dipilih dalam pemanfaatan lahan kering marjinal yang ideal, haruslah mempertimbangkan sumberdaya lokal terutama kondisi sosial, budaya dan ekonomi petani, ketersediaan teknologi, ketersediaan dana, serta akses dan peluang pasar. Strategi-strategi pemanfaatan lahan-lahan marjinal tersebut diantaranya adalah untuk berbagai komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagai berikut: 1. Komoditas pertanian, padi, palawija dan sayuran merupakan kebutuhan pokok masyarakat transmigran. Ketiga komoditas ini sangat berarti sebagai sumber pangan pokok. Lahan-lahan marjinal bertanah gambut, sulfat masam dan berdrainase buruk, sangat cocok untuk padi. Pengelolaan tanah gambut dan sulfat masam untuk tanaman padi relatif beresiko kecil terhadap kerusakan lingkungan, karena adaptasi tanaman padi yang sangat baik terhadap lingkungan basah tergenang. Pada tanah bermasam tadah hujan dan beriklim kering, padi yang ditanam adalah jenis padi gogo. 2. Komoditas perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, coklat, dan lada sangat sesuai pada lahan marjinal berlahan masam. Kelapa, kelapa sawit dan rami merupakan tanaman perkebunan yang cocok pada beberapa jenis tanah gambut. Dibandingkan dengan tanaman pangan, seharusnya komoditas- komoditas perkebunan perlu dikembangkan di lokasi-lokasi transmigrasi khususnya di lahan kering, karena secara agronomis tidak memerlukan teknologi yang rumit. Sedangkan pengembangan tanaman pangan pada tanah kering marjinal menghasilkan produktifitas yang rendah jika tanpa diberi input , seperti kapur dan pupuk dan ini harganya cukup mahal. 3. Komoditas kehutanan, mempertahankan lahan-lahan marjinal yang secara alamiah bervegetasi hutan alam primer merupakan tindakan yang sangat baik bagi lingkungan. Tetapi pada kenyataannya kebutuhan ekonomi masyarakat dan pemerintah lebih dominan untuk mendorong penebangan hutan untuk dimanfaatkan kayunya. Oleh karena itu pemanfaatan lahan 46 kering marjinal dapat diarahkan dengan mengusahakan pola-pola Hutan Tanaman Industri HTI yang komoditas tanaman kehutanan dipilih dan disesuaikan dengan hasil klasifikasi kesesuaian lahan dan perhitungan kelayakan usaha.

2.5 Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kaliorang