Jenis Enuresis Penatalaksanaan Kebiasaan Mengompol

Namun, orang tua yang tidak cukup dekat pada kebutuhan anak untuk memberikan dukungan secara tepat latihan buang air juga dapat mengurangi upaya anak untuk menahan kencing. e. Stres psikologis kronik. Keadaan ini tidak terkait dengan pengalaman pelatihan buang air tapi terjadi selama periode anak belajar berjalan, juga dapat mengganggu kemampuan anak untuk mengontrol BAK Behrman dkk, 1999. f. Stres sosial, seperti kepadatan penghuni yang berlebihan, imigrasi, ketidakberuntungan sosioekonomi, dan kondisi psikopatologi keluarga Behrman dkk, 1999.

3. Jenis Enuresis

Enuresis dapat dibagi menjadi 2 tipe, yakni : a. Menetap atau enuresis primer, yakni pada malam hari anak tidak pernah kering selalu mengompol Behrman, 1999. Menurut Aziz 2006 bahwa tipe ini disebut enuresis nokturnal mengompol yang terjadi di malam hari. Enuresis tetap pada malam hari ini sering akibat pelatihan buang air tidak tepat atau tidak memadai. Enuresis nokturnal terbukti terjadi pada seluruh siklus tidur. Enuresis nokturnal biasanya berhenti pada usia antara 6 dan 8 tahun, walaupun kadang-kadang mengompol ini berlanjut sampai masa remaja Wong, 2008. b. Regresif atau enuresis sekunder, yakni anak yang telah dapat mengendalikan untuk sekurang-kurangnya 1 tahun mulai mengompol lagi Behrman, 1999. Menurut Aziz 2006 bahwa tipe ini disebut enuresis diurnal mengompol yang terjadi di siang hari. Tipe ini dipercepat oleh peristiwa-peristiwa lingkungan yang penuh tekanan, seperti pindah ke rumah baru, konflik perkawinan, kelahiran saudara kandung, atau kematian dalam keluarga. Mengompol demikian adalah sebentar-sebentar intermitten dan sementara; prognosisnya lebih baik dan penatalaksanaannya lebih mudah daripada anak dengan mengompol primer Behrman dkk, 1999.

4. Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Mengompol

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebiasaan mengompol pada anak adalah sebagai berikut :

a. Faktor biologis

Faktor biologis ini meliputi faktor organik dan faktor keturunangenetik. Faktor organik misalnya kerusakan saraf kongenital, masalah struktural pada sistem genitourinari, infeksi saluran kemih atau kandung kemih dan beberapa penyakit kronik seperti diabetes, kejang atau penyakit sel sabit “sickle cell disease” dapat menyebabkan anak mengalami enuresis Walker, 1995 dalam Schroeder, 2002. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa enuresis primer bisa terjadi akibat faktor keturunan. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat enuresis maka 77 kemungkinan anak mereka mengalami hal yang sama. Apabila hanya salah satu orang tua yang mengalami enuresis, maka terdapat sekitar 44 kemungkinan anak akan terpengaruh. Namun, apabila tidak ada satupun orang tua yang pernah mengalami enuresis, maka kemungkinan anak terkena enuresis hanya 15 Baldew, 1984 dalam Kurniawati dkk, 2007. Berdasarkan penelitian lain, anak beresiko mengalami enuresis secara genetik dikarenakan adanya mutasi gen pada kromosom 13 DSM-IV-TR, 2000.

b. Faktor psikologis

Enuresis merupakan hasil dari gangguan emosi, konflik psikologis atau ansietas Pierce, 1971 dalam Schroeder, 2002. Menurut Tambunan 2005 dalam Daulay, 2008 bahwa enuresis sekunder sering dihubungkan sebagai akibat stres psikologik sedangkan pada enuresis primer peranan psikologik sangat kecil. Stres psikologik dapat berupa pindah ke rumah baru, konflik perkawinan, kelahiran saudara kandung, atau kematian dalam keluarga Aziz, 2006. Peranan enuresis sebagai penyebab gangguan emosi pada anak telah terbukti melalui berbagai penelitian. Anak dengan enuresis merasa harga dirinya berkurang dan kurang percaya diri terutama pada anak yang sudah besar dan anak perempuan. Menurunnya rasa percaya diri pasien enuresis dapat diperberat oleh sikap orang tua yang kurang toleran terhadap keadaan anaknya Tambunan, 2005 dalam Daulay, 2008.

c. Faktor keluarga

Perkembangan intelektual anak yang berjalan dengan pesat pada masa usia prasekolah akan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan Hurlock, 1974 dalam Sulistyaningsih, 2005. Keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak, terutama orang tua khususnya ibu Muscari, 2005. Ibu berperan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga sehingga ibu perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan agar mengerti dan terampil dalam melaksanakan pengasuhan anak sehingga dapat bersikap positif dalam membimbing tumbuh kembang anak secara baik dan sesuai dengan tahap perkembangannya Soendjajo, 2003 dalam Dwijayanti, 2008. Pengetahuan yang dimiliki oleh ibu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan sebagainya Notoatmodjo, 2003 Faktor tingkat pendidikan orang tua merupakan sesuatu yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak Hurlock, 1974 dan Haditono, 1979 dalam Sulistyaningsih, 2005. Tingkat pendidikan orang tua ini berkorelasi positif dengan cara mereka mengasuh anak, sementara pengasuhan anak berhubungan dengan perkembangan anak. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua akan semakin baik pula cara pengasuhan anak, dan akibatnya perkembangan anak terpengaruh berjalan secara positif. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan orang tua akan kurang baik dalam mengasuh anak, sehingga perkembangan anak berjalan kurang menguntungkan Sulistyaningsih, 2005. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa ibu dengan cukup usia memiliki tingkat kematangan dalam berpikir dan bekerja Hurlock, 1998 dalam Nursalam dan Pariani, 2001. Selain itu, tingkat pendidikan mempengaruhi seberapa besar pengetahuan ibu dalam hal ini adalah penerapan toilet training dalam upaya mengatasi kebiasaan mengompol anak. Menurut DSM IV orang tua yang memiliki anak yang mengompol biasanya kurang memperhatikan proses toilet training, bahkan cenderung menyalahkan anaknya jika anak mengompol sehingga semakin membuat anak menjadi tertekan, bahkan anak berusaha menyembunyikan celana atau linennya jika anak mengompol, karena takut dimarahi atau disalahkan DSM-IV-TR, 2000.

5. Penatalaksanaan

Berikut ini beberapa cara untuk menghilangkan atau mengatasi kebiasaan mengompol adalah sebagai berikut : a. Obat-obatan, misalnya : 1 Obat antidepresan trisiklik imipramin Tofranil digunakan untuk menghambat urinasi, 2 Obat antikolinergik lain, yaitu oksibutinin, mengurangi kontraksi kandung kemih yang bebas hambatan dan mungkin membantu bagi anak-anak yang sering berkemih di siang hari. 3 Desmopresin nasal semprot DDAVP, analog dengan vasopressin, mengurangi haluaran urin di malam hari sampai volume yang kurang dari kapasitas kandung kemih fungsional Wong, 2008. b. Pelatihan kandung kemih, sebaiknya jangan dilakukan terlalu dini tetapi tidak mengabaikan toilet training juga Aziz, 2006. c. Pembatasan atau eliminasi cairan setelah makan malam Wong, 2008. d. Bangun di malam hari untuk berkemih. Cara ini perlu diperhatikan karena membangunkan anak secara berulang-ulang untuk mengantarkannya ke kamar mandi adalah berguna hanya pada beberapa anak dan lebih lanjut dapat menimbulkan dan membangkitkan amarah pada anak atau orang tua. Agar dapat menghindari masalah tersebut dapat dilakukan dengan cara mengontrol buang air kecil anak dengan lebih baik, misalnya dalam waktu-waktu tertentu, setiap jarak berapa jam membangunkan anak untuk diantar ke kamar mandi Aziz, 2006. e. Beberapa jenis peralatan elektrik yang dirancang untuk membuat respon refleks yang dapat dikondisikan guna membangunkan anak pada saat mulai berkemih Wong, 2008. f. Pemberian hadiahimbalan pada anak untuk tidak mengompol pada malam hari, misalnya orang tua memberikan hadiah kecil untuk anak yang tidak mengompol pada satu atau dua malam; jika keberhasilannya semakin meningkat maka hadiah yang lebih besar dapat diberikan Behrman dkk, 1999. g. Hukuman atau penghinaan terhadap anak oleh orang tua atau orang lain harus benar-benar dihindari Behrman dkk, 1999. Cara ini harus dihindari karena orang tua yang menghukum dan memarahi anak jika anak mengompol tidak akan memperbaiki keadaan karena akan membuat anak merasa cemas dan merasa bersalah, akibatnya muncul ketegangan sehingga anak megalami kebiasaan mengompol Aziz, 2006. h. Mengajak bicara anak bahwa mengompolnya bukanlah suatu penyakit, tetapi hanya kebiasaan anak kecil yang dapat diperbaiki jika anak mau berusaha. Apabila anak sudah dapat diajak bicara, akan lebih mempermudah penanganannya karena kunci untuk menyelesaikan semua masalah adalah pada cara mengomunikasikan masalah itu sendiri. Orang tua harus mampu mengomunikasikan kebiasaan buruk anak ini dengan penuh kasih sayang dan perhatian sehingga anak memiliki hasrat yang kuat untuk keluar dari kebiasaan itu Aziz, 2006. i. Mencari sumber stres anak. Tindakan ini dilakukan apabila semua tindakan sudah dilakukan. Apabila sudah ditemukan sumber stres anak maka tindakan orang tua dan guru adalah menurunkan tingkat stres anak. Untuk itu, diperlukan kedekatan dengan anak Aziz, 2006. j. Memberikan kasih sayang dan ketenangan anak sebelum tidur. Berbincang-bincang atau mendongeng akan membuat anak merasa nyaman dan tidur dengan perasaan santai dan senang Aziz, 2006. k. Pemberlakuan konsekuensi untuk anak yang sudah cukup mampu mencuci pakaiannya sendiri atau menjemur kasur sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya, harus dilakukan tanpa anak merasa ditekan dan tertuduh seolah melakukan kesalahan yang sangat besar Aziz, 2006. l. Anak yang sebentar-sebentar BAK dapat dicoba dengan dilatih menahan secara bertahap, misalnya jika anak BAK dalam jarak sekitar 5 menit, ajarkan untuk menahan 2 menit lagi dan meningkat jarak waktunya dengan terus memberikan latihan. Tentunya ini hanya dapat dilakukan di siang hari atau malam sebelum tidur Aziz, 2006. m. Konsultasikan kepada dokter ahli urologi apabila kebiasaan mengompol pada anak terus berlanjut Aziz, 2006.

D. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan hal ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang overt behavior Notoatmodjo, 2007.

Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Toilet Training dengan Perilaku Ibu dalam Melatih Toilet Training pada Anak Usia Toddler di Desa Kadokan Sukoharjo

0 4 7

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG TOILET TRAINING TERHADAP PELAKSANAAN TOILET TRAINING PADA Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Toilet Training Terhadap Pelaksanaan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler Di Kelurahan Sewu Surakarta.

0 3 14

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG TOILET TRAINING TERHADAP PELAKSANAAN TOILET Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Toilet Training Terhadap Pelaksanaan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler Di Kelurahan Sewu Surakarta.

0 5 15

BAB I PENDAHULUAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Toilet Training Terhadap Pelaksanaan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler Di Kelurahan Sewu Surakarta.

0 2 8

METODOLOGI PENELITIAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Toilet Training Terhadap Pelaksanaan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler Di Kelurahan Sewu Surakarta.

0 8 12

DAFTAR PUSTAKA Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Toilet Training Terhadap Pelaksanaan Toilet Training Pada Anak Usia Toddler Di Kelurahan Sewu Surakarta.

0 3 4

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG TOILET Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Toilet Training Dengan Kecenderungan Perilaku Bab Dan Bak Anak Usia Toddler Di Desa Semen Wonogiri.

0 2 16

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG TOILET TRAINING DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Toilet Training Dengan Kecenderungan Perilaku Bab Dan Bak Anak Usia Toddler Di Desa Semen Wonogiri.

0 2 18

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG TOILET TRAINING DENGAN PERILAKU IBU DALAM MELATIH TOILET TRAINING PADA ANAK USIA TODDLER DI DESA KADOKAN SUKOHARJO.

0 0 9

HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN PERILAKU IBU DALAM MELAKUKAN TOILET TRAINING ANAK USIA TODDLER

0 0 8