Ketua Koordinator Kusir “Cidomo”

pengelolaan yang baik lingkungan hidup juga merupakan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

d. Pemasangan Gendongan Kotoran Kuda 5 cm dari “femur”

Gendongan kotoran kuda seharusnya terpasang dengan jarak 5 cm dari “femur” kuda, tidak demikian apa yang ditemui dilapangan yakni 100 informan menjawab Gendongan Kotoran Kuda dengan jarak rata rata dua jengkal dengan alasan perhitungan para kusir bahwa kuda kurang biasa dengan jarak yang terlalu mepet dan akan mengakibatkan kuda lari kencang sementara dari Group Intervew permasalahan jarak pemasangan Gendongan Kotoran Kuda kembali di bahas dan dari hasil jawaban Group Intervew tersebut menyatakan kesepakatan yang intinya jarak pemasangan Gendongan Kotoran Kuda 5 cm dari “femur”.

e. Pelarangan Kusir di Bawah Umur

Pengelolaan yang lain dan perlu untuk diperhatikan yakni Forum Komunikasi Rukun Keluarga Kusir “cidomo” dengan tegas melarang kusir dibawah umur. Mempekerjakan kusir dibawah umur memang bukan keinginan dari para pemilik “cidomo” namun dengan semakin sulitnya perekonomian anak dibawah umur juga ikut bagian mencari nafkah dengan berprofesi sebagai kusir cilik hal ini sangat tidak relevan dengan adanya undang undang pelarangan mempekerjakan anak dibawah usia UU No 13 tahun 1997.

f. Pemberlakuan Trayek Khusus untuk “ cidomo” dari Luar Kota Mataram.

Pengelolaan “cidomo” yang berasal dari luar Kota Mataram merupakan pengelolaan yang dianggap cukup rumit seperti apa yang dikemukakan Ketua DPRD Kota Mataram dalam acara interaktif di Lombok TV bulan April 2008 bahwa pelarangan “cidomo” masuk ke dalam Kota Mataram tidak dapat dilakukan karena dalam hal ini kusir mencari nafkah. Ditambahkan dari hasil Group Intervew yang diikuti Forum Komunikasi Rukun Keluarga Kusir “cidomo” dalam upaya penertiban kusir “cidomo” dari luar Kota Mataram dan dalam jumlah yang besar ± 1.000 unit perlu diterapkan trayek khusus untuk “cidomo” yang berasal dari luar Kota Mataram berhubung “cidomo” tersebut menaikkan dan menurunkan penumpangmencari nafkah di dalam wilayah administrasi Kota Mataram sementara ijin trayek yang dimiliki adalah ijin trayek untuk wilayah Kabupaten Lombok Barat dalam hal ini Dinas Perhubungan harus berperan aktif sebagai pihak yang berwenang mengatur dalam bidang regulasi dan perijinan.

g. Pelaksanaan Razia Gabungan oleh Dinas Perhubungan

Kegiatan razia gabungan Dinas Perhubungan merupakan upaya penegakan hukum yang nyata untuk meningkatkan mutu pelayanan dari transportasi “cidomo” serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Razia di jalan raya kurang membawa hasil karena “cidomo” yang melintas akan jarang kemudian razia “cidomo” dilakukang langsung di pangkalannya, operasi dipangkalan “cidomo” sifatnya lebih kepelayanan dan bukan penindakan mengingat kondisi yang ada di Kota Mataram sumberdaya manusianya yang kurang, memiliki emosi yang tinggi dan suka berkelompok seperti kondisi sekarang masyarakat suka demonstari dan protes bahkan pengeroyokan. Dari kegiatan razia akan terjaring oknum oknum kusir yang tidak taat hukum menurut Samekto 2007:65 sebuah kerusakan lingkungan dalam kontek hukum disebabkan oleh perbuatan manusia, dengan demikian tindakan manusia yang merusak tersebut harus dikendalikan, berkenaan dengan pemanfaatan transportasi “cidomo” yang menimbulkan kotornya jalan raya. Untuk meningkatkan kesadaran para kusir dalam menjaga kebersihan lingkungan dan ketertiban berlalulintas harus diikuti dengan kegiatan sosialisasi dan desiminasi dengan bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan Kota Mataram.

4.12. Dampak Positif dan Dampak Negatif dari Transportasi “cidomo”

4.12.1. Dampak Positif.

Dampak positif dari ”cidomo” seperti telah diulas pada bab sebelumnya yakni tidak membutuhkan BBM, tidak menghasilkan pencemaran CO 2 dan NOx, atau dari aspek lingkungan sangat bermanfaat mengurangi emisi gas rumah kaca 4.792 CO 2 tontahun, hemat energi BBM 2.065.717,50 litertahun, dari aspek sosial “cidomo” tidak menghasilkan kebisingan yang mengganggu masyarakat, tergolong kendaraan yang