1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan
karena berhubungan erat dengan pendapatan nasional dan daerah serta memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar tambang. Sektor pertambangan
juga berkontribusi signifikan pada pembangunan daerah. Menurut LPEM-UI pada tahun 2006 PT Freeport Indonesia PTFI telah menyumbangkan 2,5 terhadap
pendapatan Produk Domestik Bruto PDB Indonesia. Sedangkan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto PDRB Papua dan PDRB Mimika
untuk tahun yang sama masing-masing mencapai 49,5 dan 94,2. Selain itu, PTFI juga memberikan kontribusi terhadap realisasi Penerimaan Dalam Negeri
APBN 2006 sebesar 2,23 melalui pembayaran Pajak dan pembayaran kepada pemerintah lainnya Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP sebesar Rp
14,6 triliun. Kontribusi PTFI terhadap APBD Papua mencapai Rp 313 miliar 10 sedangkan terhadap APBD Kabupaten Mimika mencapai Rp 533 miliar
65. Sampai saat ini, manusia masih memerlukan dukungan hasil sumberdaya
pertambangan dan
komoditi tambang
untuk mempertahankan
serta meningkatkan kesejahteraannya, sehingga keberadaan pertambangan secara
signifikan merupakan sektor yang strategis dalam kerangka pembangunan umat manusia Djajadinigrat 2007. Namun, tetap tidak terlepas dari masalah
dampaknya terhadap lingkungan seperti pembuangan limbah tambang, pencemaran logam berat air raksa, arsen, dan lain sebagainya. Keterkaitan ini
dituangkan pada ketentuan kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya mineral. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang mulai diberlakukan pada awal tahun 2001 merupakan pemacu proses desentralisasi di berbagai sektor pemerintahan
termasuk sektor pertambangan. Berbagai isu aktifitas pertambangan dengan kualitas lingkungan perlu diperhatikan untuk menjamin keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan serta menjamin iklim investasi yang kondusif bagi investor untuk pertambangan yang berskala besar.
Pengelolaan limbah pertambangan mineral emas dan tembaga yang telah dilakukan oleh perusahaan pertambangan masih belum mampu mengatasi
2 terjadinya degradasi kualitas lingkungan bio-fisik dan masalah sosial
kemasyarakatan, meskipun beberapa kegiatan pertambangan telah berorientasi pada industri bersih yang berwawasan lingkungan. Perubahan lingkungan di
sekitar pertambangan dapat terjadi setiap saat, sehingga manajemen pengelolaan limbah yang efektif menjadi indikator keberlanjutan usaha
pertambangan mineral. Sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan diharapkan dapat
mencegah dampak pencemaran terhadap daya dukung lingkungan, perubahan perilaku sosial kemasyarakatan serta pertumbuhan sektor ekonomi informal yang
tidak terkendali. Untuk itu seyogyanya pengelolaan lingkungan pertambangan mineral dituangkan dalam suatu kebijakan yang sistematis dan terarah secara
berkelanjutan Weimar Vining 1989. Perubahan paradigma pertambangan Indonesia menuju pertambangan yang berkelanjutan dengan tiga aspek yaitu:
ekonomi, lingkungan dan sosial. Aspek sosial merupakan bagian dari lingkungan non-fisik yang lebih ditekankan pada community development Irwandy 2007.
Menurut Silalahi 2003 masalah hak berdaulat dan menguasai sumberdaya alam, hak membangun dan tanggungjawab negara dalam pengelolaan
lingkungan, terkait dengan pencemaran, prinsip bertetangga yang baik, prinsip kehati-hatian dan hak asasi manusia atas sumberdaya alam, merupakan
perkembangan penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan berkelanjutan adalah kondisi ekonomi dalam menghadapi trade-off antara
pemenuhan kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain. Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber
daya alam yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan, karena pada dasarnya sumberdaya alam
dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam
dan lingkungan akan menyebabkan tidak berlanjutnya pembangunan tersebut. Masalah lingkungan hidup, merupakan salah satu isu utama bagi semua
negara dewasa ini. Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia pada 5-16 Juni 1972 di Stockholm Swedia menjadi tonggak bagi bangsa-bangsa untuk
membangun komitmen pelestarian lingkungan hidup Tangkilisan 2004. Sejak itulah kemudian dikembangkan konsep eco-development sebagai upaya-upaya
3 menserasikan kegiatan pembangunan dan lingkungan hidup agar berjalan serasi.
Menurut Soemarwoto 2004, konsep eco-development di Indonesia kemudian dikenal sebagai pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan
berwawasan lingkungan mempunyai arti bahwa pembangunan itu serasi dengan lingkungan hidup sehingga tidak menganggu fungsi ekologinya.
Konsep pembangunan berkelanjutan juga mulai dikenal secara luas sejak tahun 1987 melalui laporan Brundtland. Laporan tersebut merupakan laporan
Komisi Sedunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan World Commission on Environment and Development
WCED 1987. Soemarwoto 2004 mengemukakan bahwa laporan itu memberi sumbangan yang besar pada
pengertian tentang hubungan antara pembangunan dan lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan sustainable development didefinisikan
sebagai ”pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan
mereka”. Pembangunan berkelanjutan mengusahakan agar hasil pembangunan terbagi merata dengan adil pada berbagai kelompok dan lapisan masyarakat
serta antar-generasi. Syarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan berwawasan lingkungan.
Demikian pula halnya dengan kegiatan pembangunan melalui usaha pertambangan mineral membutuhkan seperangkat kondisi yang mendukung
pembangunan berkelanjutan. Usaha pertambangan mineral tidak hanya sekedar pemenuhan keuntungan aspek ekonomi dari pengelolaan sumber daya mineral,
tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan sosial dan lingkungan. Menurut Todaro 1994, sistem ekonomi perlu dianalisis dan didudukkan pada konteks
sistem sosial secara keseluruhan dari suatu negara dan tentu saja, dalam konteks global atau internasional. Sistem sosial disini adalah hubungan-
hubungan yang saling terkait antara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor non- ekonomi. Dikemukakan juga bahwa pertimbangan lingkungan menjadi subsistem
yang dimasukkan dalam pembangunan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia. Asumsinya jika pembangunan tidak memperhatikan kualitas
lingkungan hidup, maka depresiasi sumber daya alam akan semakin nyata. Dalam beberapa tahun ini, kepedulian masyarakat dan dampak lingkungan
pada industri pertambangan global telah diarahkan pada beberapa kerangka kerja berkelanjutan. Pada pertambangan emas, terdapat beberapa isu
fundamental yang berkenaan dengan penilaian keberlanjutan. Biasanya
4 dirasakan sebagai sumberdaya terbatas dan tidak terbarukan, kecenderungan
produksi emas jangka panjang termasuk penurunan mutu bijih dan peningkatan limbah padat tailing, limbah batuan dan pertambangan terbuka. Kontek
pembangunan berkelanjutan pada pertambangan khususnya masih sama, yaitu keseimbangan potensi lingkungan dan resiko sosial dengan resiko ekonomi
Mudd 2007. Pertambangan selalu dikaitkan dengan degradasi lingkungan. Jika aktivitas
pertambangan besar didukung dengan manajemen lingkungan secara tepat, pertambangan skala kecil khususnya pertambangan tanpa ijin tidak melakukan
pengendalian lingkungan. Beberapa dampak lingkungan yang serius yang telah ditelusuri termasuk degradasi lahan, ketidakstabilan lahan, kerusakan habitan
flora dan fauna, kotaminasi air sungai dan air tanah dan penurunan kesehatan Manaf 1999.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan sumber daya mineral perlu diselenggarakan dengan memperhatikan keterpaduan aspek sosial, ekonomi,
dan masyarakat. Secara umum, pengelolaan sumberdaya mineral di Indonesia baik yang dilakukan oleh perusahaan modal asing maupun dalam negeri telah
memberikan manfaat terhadap perekonomian negara. Penerimaan negara yang berasal dari sektor pertambangan mineral dan batubara pada tahun 2004 adalah
sekitar Rp 7,97 triliun, dimana penerimaan tersebut berasal dari penerimaan pajak dan bukan pajak. Perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut
melakukan operasi di wilayah Indonesia melalui suatu kontrak karya pertambangan DESDM 2007.
Sumberdaya alam berupa bahan mineral memiliki nilai yang sangat tinggi dan oleh manusia digunakan secara luas untuk berbagai keperluan. Sebagai
contoh, tembaga paling banyak digunakan untuk keperluan kelistrikan dan aplikasi elektronik. Selain itu, tembaga banyak digunakan untuk sistem elektrik
kendaraan bermotor, motor listrik, pestisida, pupuk, pigmen, bahan atap, ornamen, perabot rumah tangga, dan barang-barang perhiasan. Kuningan
adalah logam campuran tembaga dengan seng, yang digunakan sebagai bahan untuk keperluan hiasan, kran air, perabot rumah tangga, alat musik, dan lain
sebagainya. Sedangkan perunggu yang merupakan campuran tembaga dengan timah, banyak digunakan untuk pembuatan berbagai jenis mesin.
Selain memberikan kemanfaatan ekonomi, eksplorasi bahan mineral yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan di Indonesia di sisi lain juga
5 cenderung memberikan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak
tersebut berupa terjadinya perubahan pada ekosistem di sekitar lokasi penambangan. Perubahan tersebut terutama terjadi akibat dari perubahan
bentang alam, kualitas tanah, air dan udara Soehoed 2002. Berkaitan dengan potensi dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan
pertambangan maka pemerintah berusaha mengeluarkan berbagai kebijakan pengendalian dan pengelolaan limbah yang baik guna menjamin limbah yang
dihasilkan dari kegiatan pertambangan tersebut memiliki dampak minimal pada ekosistem yang ada. Hal tersebut diwujudkan dengan diterbitkannya berbagai
peraturan melalui Undang-Undang, Keputusan Presiden Keppres, Keputusan Menteri Kepmen, Surat Keputusan Direktorat Jenderal SK Dirjen, dan
Peraturan Daerah Perda Siahaan 2004. Menurut WALHI 2006 dampak operasi dan kerusakan lingkungan di
sekitar lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia hingga saat ini sulit sekali bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh
mengenai dampak kegiatan pertambangan skala besar di Indonesia. Ketidak jelasan informasi tersebut akhirnya berbuah kepada konflik, yang sering berujung
pada kekerasan, pelanggaran HAM dan korbannya kebanyakan adalah masyarakat sekitar tambang. Negara gagal memberikan perlindungan dan
menjamin hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat, namun dilain pihak memberikan dukungan penuh kepada PT Freeport Indonesia, yang dibuktikan
dengan pengerahan personil militer dan pembiaran kerusakan lingkungan. Kerawanan lingkungan hidup yang rusak oleh proses pertambangan yang
tidak terkendali menjadi salah satu perhatian dalam pembangunan pertambangan mineral secara berkelanjutan. Apabila dilihat dari prosesnya,
untuk menambang bijih pada penambangan terbuka, terlebih dahulu harus disingkirkan batuan yang menutup batuan bijih. Batuan yang menutupi batuan
bijih dan tidak mengandung cukup mineral berharga untuk diolah disebut batuan penutup overburden. Batuan pentutup diangkut dari dalam tambang terbuka
dan ditimbun di daerah sekitarnya. Sebelum ditambang, batuan penutup tidak mempunyai kontak oksigen dan air karena terletak di bawah permukaan tanah
sehingga tetap stabil. Batuan penutup yang mengandung belerang mineral sulfida dapat
menghasilkan asam karena bereaksi dengan oksigen dan air. Air asam tersebut terbawa oleh air hujan menjadi air asam batuan Acid Rock Drainage. Untuk
6 mencegah dan menetralkan air asam batuan digunakan gamping dan bubur
kapur. Pengumpulan air asam batuan dilakukan melalui jalur pipa dan terowongan bawah tanah menuju fasilitas penetralan di kompleks pabrik
pengolahan bijih. Hanya sekitar 3 dari total bijih yang diolah di pabrik berubah menjadi konsentrat. Pasir yang tersisa dari proses pengolahan bijih dinamakan
tailing atau pasir sisa tambang PTFI 2006b. Alternatif pembuangan limbah berupa pasir sisa tambang yang diterapkan
oleh salah satu perusahaan pertambangan mineral tembaga di Papua adalah daerah penampungan pasir sisa tambang berupa dataran dimana untuk
pengamanan terhadap luberan pasir sisa tambang dilengkapi oleh dua buah tanggul yaitu tanggul timur dan tanggul barat. Masing-masing tanggul memiliki
panjang 35 Km dan 40 Km, dan memiliki lebar antara 3,0 dan 3,5 Km. Daerah ini disebut Modifikasi Daerah Pengendapan Ajkwa DPA atau Modified Ajkwa
Deposition Area Mod-ADA. Daerah penampungan pasir sisa tambang Mod- ADA seluas 230 km2 menimbulkan pengaruh yang besar pada lingkungan,
khususnya lingkungan biofisik di daerah itu. Ribuan hektar hutan hujan tropis dimanfaatkan sebagai daerah pengendapan pasir sisa tambang di sepanjang
aliran Mod-ADA Soehoed 2002. Besarnya volume pasir sisa tambang yang dialirkan dan diendapkan di
Mod-ADA tersebut memunculkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan dampak terhadap lingkungan hidup, diantaranya: i Karena sebagian lokasi
pembuangan pengendapan pasir sisa tambang relatif tidak jauh dari wilayah estuaria, maka diperlukan upaya peningkatan kemampuan area pengendapan
pasir sisa tambang agar pengendapan pasir sisa tambang terjadi di dataran, ii suksesi alami dapat terjadi di area pengendapan pasir sisa tambang sehingga
menjamin berlangsungnya aktivitas biota, iii peluang pemanfaatan area pengendapan pasir sisa tambang untuk kegiatan-kegiatan produktif, baik oleh
masyarakat maupun pemerintah daerah setempat pada saat ini maupun di masa yang akan datang, iv resiko lingkungan dengan adanya pengelolaan area
pengendapan. Walaupun di satu sisi kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PTFI
telah memberikan manfaat ekonomi baik bagi masyarakat sekitarnya, pemerintah daerah, propinsi dan pemerintah pusat bahkan memberikan manfaat ekonomi
secara global LPEM 2003, namun di pihak lain, tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan yang luas. Kenyataan ini sebenarnya juga
7 disebabkan oleh adanya bias dalam pengelolaan pasir sisa tambang di lokasi
pertambangan yang disebabkan oleh tidak adanya kepastian peraturan pemerintah yang khusus mengatur tata cara pengelolaan pasir sisa tambang.
Bertolak dari kenyataan-kenyataan di atas maka untuk dapat menjamin adanya keberlanjutan pembangunan sistem sarana dimana terkait dengan
dampak limbah pertambangan, baik keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, maupun keberlanjutan lingkungan maka diperlukan suatu model kebijakan yang
terpadu. Pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan diatas adalah dengan menggunakan pendekatan sistem.
Pertimbangannya, permasalahan pengelolaan limbah dan lingkungan di wilayah pertambangan mineral tembaga merupakan persoalan yang kompleks dan tidak
dapat dijawab dan diselesaikan secara parsial. Permodelan sistem juga dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan atau hubungan antarsistem yang dibangun
dalam mewujudkan keberlanjutan pertambangan mineral. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan untuk menemukenali dan merumuskan
sebuah alternatif model konseptual tentang kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral secara berkelanjutan.
1.2. Pokok Permasalahan