ANALISIS KEBIJAKAN 5.1. Pendekatan Kebijakan

102

V. ANALISIS KEBIJAKAN 5.1. Pendekatan Kebijakan

Kegiatan pertambangan mineral di Kabupaten Mimika secara signifikan telah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, pemerintah daerah dan pusat serta bermanfaat secara global pada perekonomian nasional. Kehadiran pertambangan juga memberikan efek ganda pada kegiatan sosial kemasyarakatan. PDRB Kabupaten Mimika tanpa sub sektor pertambangan dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan sebesar 8 persen per tahun, sedangkan adanya sektor pertambangan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 mencapai 33 persen per tahun. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pertambangan mineral juga dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, dalam pengelolaan pertambangan mineral yang kompleks diperlukan strategi yang sistematis untuk mengurangi dampak negatifnya. Pendekatan sistem manajemen lingkungan yang terpadu berorientasi pada tujuan sibernetik, keseimbangan aspek ekologi, ekonomi dan sosial kemasyarakatan holistik serta efektif digunakan untuk pelaksanaan program pengelolaan lingkungan secara tepat Warfield 2003. Efektifitas kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral seyogyanya dilakukan pada lingkungan fisik dan biologik. Dalam pengelolaan kedua aspek lingkungan tersebut dikembangkan model pengelolaan lingkungan bio-fisik untuk mendukung RKL-RPL perusahaan pertambangan serta upaya pemberdayaan masyarakat sebagai implikasi arah pengembangan corporate social and environmental responsibility CSER untuk pelaksanaan CSR. Keterpaduan pelaksanaan pengelolaan lingkungan fisik-biologik dengan partisipasi masyarakat tersebut merupakan hasil perumusan stakeholders engagement untuk pengarahan sistem manajemen lingkungan SML pertambangan mineral. Keterkaitan antar aspek dalam pembangunan berkelanjutan diarahkan untuk menyelesaikanmenjawab kompleksitas permasalahan, sehingga dapat dirumuskan dalam model konseptual kebijakan. 103 Gambar 32. Sistem Manajemen Lingkungan pertambangan mineral berkelanjutan. Keterkaitan aspek sosial dan ekonomi berupa tanggung jawab sosial perusahaan dalam rangka perwujudan keadilan sosial. Berdasarkan hasil FGD dan indepth interview keterkaitan kedua aspek tersebut diwujudkan dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui program reklamasi wilayah Mod-ADA. Dalam upaya peningkatan kualitas lingkungan ekologi dan pencapaian kemakmuran ekonomi masyarakat melalui pelayanan ekosistem dan pengolahan hasil 1. Penerapan teknologi tepat guna dalam penanganan pasir sisa tambang 2. Reklamasi wilayah pengendapan untuk mempercepat suksesi alami 3. Alternatif pemanfaatan pasir sisa tambang sebagai bahan konstruksi 1. Pertumbuhan potensi wilayah 2. Rencana pembiayaan kegiatan rehabilitasi dan revegetasi 3. Kegiatan bisnis yang terkait pertambangan dan program pengelolaan lingkungan 1. Peranan aktif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan 2. Pendidikan berusaha dan kepedulian lingkungan untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat lokal 3. Pembangunan infrastruktur daerah 1. Pembatasan pertambangan informal dengan pembinaan rintisan usaha 2. Pemanfaatan hasil samping produk 1. Pembinaan dan peningkatan kepedulian lingkungan kepada masyarakat lokal 2. Peningkatan kualitas hidup masyarakat Pemberdayaan masyarakat dalam program reklamasi SML pertambangan mineral yang berkelanjutan EKOLOGI EKONOMI SOSIAL KEMASYARAKATAN 104 samping produk yang berupa pasir sisa tambang secara ekonomis. Keterkaitan aspek ekonomi dan lingkungan diwujudkan dalam pengendalian atau pembatasan aktivitas pertambangan informal melalui pembinaan rintisan usaha. Untuk pengendaliannya juga dapat dilakukan dengan pembinaan penerapan teknologi yang tepat guna dan penumbuhan kesadaran partisipasi lingkungan. Gambar 32. Keterkaitan aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatan diwujudkan dalam upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan peningkatan kualitas air serta upaya pembinaan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Keterkaitan aspek-aspek tersebut merupakan rekayasa keseimbangan persoalan lingkungan pertambangan mineral. Ketiga aspek tersebut sebagai penalaran kompleksitas kebijakan berdasarkan kerangka pikir sistem. Selain itu, juga dalam upaya mengakomodasi kebersamaan stakeholders, yaitu pemerintah, masyarakat dan perusahaan pertambangan untuk mengelola lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan. Untuk itu, seyogyanya diperlukan dana operasional dan kemitraan yang cukup, teknologi yang ramah lingkungan, kualitas SDM lokal yang baik, serta keterbukaan informasi program pengelolaan lingkungan oleh perusahaan dan pemerintah. Kebersamaan dalam pelaksanaan kebijakan diharapkan dapat mengurangi tingkat kerusakan lingkungan, menciptakan peluang usaha ekonomi lokal yang layak, pendidikan kepedulian lingkungan kepada masyarakat, serta peningkatan kemandirian masyarakat lokal. Oleh karena itu, alternatif kebijakannya diarahkan pada optimalisasi dana lingkungan yang sudah ada dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan fisik dan biologik dengan peraturan pemerintah yang jelas dan tidak tumpang-tindih dengan peraturan lainnya termasuk mengenai CSR. Kebijakan daerah terhadap aspek ekologi yang terkait dengan penerapan teknologi tepat guna dalam penanganan Sirsat, reklamasi wilayah pengendapan untuk mempercepat suksesi alami dan alternatif pemanfaatan Sirsat sebagai bahan konstruksi dilakukan kerjasama pemerintah daerah dengan perusahaan pertambangan. Pemanfaatan limbah sirsat sebagai bahan baku material konstruksi oleh pabrik semen sebelumnya diperlukan audit lingkungan dan AMDAL yang terintegrasi. Dari aspek ekonomi, tujuan pengelolaan pertambangan mineral adalah pertumbuhan ekonomi wilayah, rencana pembiayaan kegiatan rehabilitasi dan revegetasi, serta kegiatan bisnis yang terkait pertambangan dan program pengelolaan lingkungan. Sedangkan aspek 105 sosial kemasyarakatan melalui peran aktif masyarakat dalam pengelolaan dan kepedulian lingkungan serta pendidikan berusaha untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat lokal didukung oleh lembaga keuangan mikro untuk kegiatan lingkungan dan CSR Kemp 2001; O’Regan Richard 2006.

5.2. Asumsi Model Kebijakan