5.3.1 Tumpahan Minyak
Pelaksanaan kegiatan usaha migas, pada hakekatnya merupakan kegiatan yang memiliki standar operasional prosedur SOP, dimana setiap rangkaian
kegiatan memiliki prosedur yang baku, mulai tahap persiapan hingga pasca operasi, begitu juga kondisi emergency. Pelaksanaan kegiatan migas terdiri dari
empat tahapan baik di darat maupun di laut yakni: 1 tahap pra konstruksi, 2 tahap konstruksi, 3 tahap operasi dan 4 tahap pasca operasi. Pada beberapa
tahapan kegiatan, berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti dari limbah hasil proses produksi yang dihasilkan maupun dari kejadian
emergency . Bahan-bahan yang menjadi limbah dari sisa hasil produksi dan
emergency tersebut dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan hidup
dan sumberdaya alam. Pada tahap operasi potensi tumpahan minyak dapat terjadi melalui
kebocoran pipa dan semburan liar sewaktu pengeboran sumur produksi. Sedangkan pada tahap pasca operasi, tumpuhan minyak dapat terjadi sewaktu
pengapalan dan pengangkutan. Tumpahan minyak tersebut dapat berdampak secara langsung terhadap ekosistem dan lingkungan hidup serta manusia yang ada
disekitarnya. Besaran dampak akibat tumpahan minyak sangat ditentukan oleh volume dan frekuensi tumpahan yang terjadi.
Tabel 15 Frekuensi dan jumlah tumpuhan minyak pada KKKS
2003 2004 2005 2006 2007 KKKS
frek barel frek barel frek barel frek barel frek barel
BP Indonesia -
- -
- 1
47.0 1
3.5 -
- Caltex Pacific
Indonesia 6 274.0 6 470.0 5 189.0 - - - -
Conoco Phillips 9
364.0 -
- 2
52.5 -
- 2
200.0 Exxon Mobil Oil
Indonesia - - - - 1
55.0 - - - -
Unocal Indonesia 20
554.1 -
- -
- 1
13.5 -
- Total EP Indonesia
- -
- -
- -
- -
- -
CNOOC SES -
- 2
195.0 1
183.3 1
6.6 1
31.7 Petro China
- -
- -
- -
- -
2 177.0
Medco EP Indonesia -
- 1
250.0 5
130.0 -
- 3
118.0 Kondur Petroleum
- -
1 20.0
1 15.0
- -
1 6.9
Pearl Oil Tungkal Ltd -
- -
- 1
89.4 -
- -
- PT Pertamina EP
- -
- -
2 25.0
2 111.0
5 452.0
Total 35 1192.1 10 935.0 19 786.2 19 786.2 19 786.2
Sumber: Ditjen Migas, 2007
Pada tahun 2003, tumpahan minyak terjadi sebanyak 35 kali dengan volume 1.192,1 barrel. Tumpahan tertinggi terjadi pada KKKS Unocal Indonesia
yakni sebanyak 20 kali dengan volume sekitar 554,1 barrel. Sementara pada tahun 2004, tumpahan minyak terjadi sebanyak 10 kali dengan volume 935,0 barrel.
Tumpahan tertinggi terjadi pada KKKS Caltex Pacific Indonesia yakni sebanyak 6 kali dengan volume sekitar 470,0 barrel. Tumpahan minyak pada tahun 2005,
terjadi sebanyak 19 kali dengan volume 786,2 barrel, dengan tumpahan tertinggi terjadi pada KKKS Caltex Pacific Indonesia yakni sebanyak 5 kali dengan volume
189,0 barrel. Tabel 16 Tumpahan minyak barel periode 2000-2007
Tahun Hilir Hulu
2000 4.007,6 17.570,0
2001 - 11.522,0 2002 - 6.467,0
2003 - 1.192,1 2004 5.000,0
9.801,6 2005 -
770,9 2006 - 1.188,6
2007 452,0
144,9 Sumber: Ditjen Migas, 2007
Potensi tumpahan minyak juga dapat terjadi pada operasi hilir atau pemasaranniaga, baik dari transportasi melalui pipa maupun kapal.
Sesungguhnya tumpuhan minyak yang terjadi, umumnya merupakan kejadian emergency
, yang terjadi karena kebocoran atau pecahnya tanker. Tumpahan minyak dapat menimbulkan dampak pencemaran bahkan kerusakan lingkungan
hidup bila tidak ditanggulangi dengan segera, karena lapisan minyak yang menutupi permukaan air dapat menyebabkan kurangnya cahaya yang masuk
kedalam perairan, sehingga fotosintensis tidak terjadi dan berdampak terhadap matinya berbagai biota perairan, termasuk matinya terumbu karang. Jika
tumpuhan minyak menutupi akar mangrove serta tumbuhan hijau di daratan. Tumpahan minyak tersebut menutupi akar nafas dari mangrove, sehingga
mangrove mengalami kekurangan oksigen dan akhirnya mengalami kematian Dahuri et al., 1996.
Tumpahan minyak merupakan keadaan darurat emergency yang selama ini tidak dikaji di dalam AMDAL, padahal hal tersebut dapat menimbulkan
pencemaran dan bahkan kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, danatau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Definisi tersebut sangat sulit dijabarkan,
sehingga perlu dirumuskan definisi pencemaran lingkungan hidup yang lebih operasional. Hasil penelitian diperoleh bahwa pencemaran lingkungan hidup
adalah turunnya kualitas lingkungan hidup dan atau ekosistem yang disebabkan oleh aktivitas manusia, sehingga tidak berfungsi lagi sesuai peruntukkannya pada
waktu dan wilayah tertentu. Sedangkan perusakan lingkungan hidup menurut UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik danatau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi
dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Pada hakekatnya, kerusakan lingkungan hidup adalah terjadinya perubahan ekosistem fisik, kimia, hayati
termasuk sosial ekonomi dan budaya yang disebabkan oleh aktivitas manusia Gambar 6 Volume tumpahan minyak pada kegiatan hulu dan hilir migas
2000 4000
6000 8000
10000 12000
14000 16000
18000
Barel
2000 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
Tahun
HULU HILIR
secara langsung maupun tidak langsung sehingga menyebabkan terhambatnya pembangunan yang berkelanjutan pada waktu tertentu.
Masih seringnya terjadi tumpuhan minyak emergency yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, sehingga
membutuhkan penanganan keadaan darurat yang terencana. Menurut Suratmo 2002, bahwa walaupun dampak emergency belum pasti terjadi uncertain
negative impact , tapi harus dikaji di dalam AMDAL.
Selain dari tumpahan minyak dapat juga terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat semburan liar blow out dari sumur pemboran baik umur
eksploitasi maupun sumur produksi, semburan liar yang biasanya diikuti dengan kebakaran yang dapat mengakibatkan kerugian waktu, biaya dan rusaknya
lingkungan. Semburan liar merupakan peristiwa mengalirnya fluida minyak, gas dan air dari formasi kedalam sumur, lalu menyembur ke permukaan tanpa dapat
dikendalikan Purnomo dan Tobing, 2007.
5.3.2 Kualitas Limbah Cair