hujan yang sedikit serta penyiangan terhadap pokok kopi yang rutin untuk menghindari kelembaban yang terjadi.
Kopi arabika berproduksi lebih cepat dibandingkan dengan kopi robusta. Memasuki tahun kedua sejak penanaman kopi arabika telah menghasilkan
meskipun masih dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu jenis arabika lebih diminati para petani kopi dibandingkan robusta disebabkan produksinya
yang cepat. Sedangkan robusta mulai menghasilkan memasuki tahun ketiga sejak penanaman. Selain produksi kopi arabika yang cepat, harga jual kopi jenis arabika
lebih tinggi dibandingkan robusta. Hal ini tentu sangat menguntungkan petani kopi yang mengusahakan jenis kopi arabika, namun tingkat kesulitan dalam
pengelolahannya juga lebih dirasakan oleh petani kopi yang memilih jenis arabikaKaro 2009. Dengan demikian dapat dikatakan kalau kopi arabika
memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan jenis kopi robusta, namun tingkat produktivitas kopi arabika di Indonesia tergolong lebih rendah
dibandingkan tingkat produktivitas robusta Siahaan 2008.
Dari segi pangsa pasar kopi jenis arabika lebih diminati konsumen dibandingkan robusta. Hal ini terjadi karena tingkat keasaman kopi arabika lebih
rendah dibandingkan dengan kopi robusta Panggabean 2011, bukan hanya di pasar domestik namun juga pasar internasional kopi arabika menjadi pilihan
konsumen yang cukup tinggi khususnya jenis arabika olahan yaitu specialty.
2.2 Kelayakan Usahatani Kopi
Penelitian tentang finansial usahatani perkebunan secara umum telah dilakukan oleh banyak peneliti baik mahasiswa maupun peneliti dari balai
penelitian di Indonesia demikian juga dengan komoditi kopi. Untuk melakukan usahatani kopi, perlu memperhatikan beberapa faktor seperti penelitian yang
dilakukan oleh Silitonga 2008 dan Ridwan 2008. Faktor internal yang mempengaruhinya adalah potensi sumber daya alam dan letak geografis yang
tepat sangat mendukung pertumbuhan dan kualitas kopi dengan baik. Demikian halnya akan luas lahan area tanam memiliki jumlah produksi kopi karena
penambahan luas area tanam memiliki pengaruh positif terhadap jumlah produksi, dengan demikian akan tercipta citra produk speciality sesuai dengan daerah
penghasil kopi.
Harga yang tidak efisien atau tidak memihak di tingkat petani yang diakibatkan beberapa hal menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mata
rantai pemasaran kopi yang cukup panjang. Sehingga menyebabkan ketidakseimbangan pendapatan petani dengan pengeluaran dalam usahatani kopi.
Sedangkan peningkatan upah petani memiliki dampak positif terhadap produksi kopi, dimana tingkat elastisitas pendapatan petani terhadap tingkat produksi kopi
sangat elastisitas. Seperti hasil penelitian Ridwan 2008 dimana peningkatan upah petani sebesar 20 persen mampu meningkatkan produksi kopi sebesar 0,78
persen. Dengan adaya peningkatan pendapatan, memampukan petani melakukan inovasi yaitu melakukan nilai tambah terhadap kopi dan teknik produksi yang
relatif lebih efisien. Dari hasil penelitian Rosari et al 2005 di daerah Sokaria, Detukopi, Papa, dan Tana Mera menunjukkan usahatani kopi menghasilkan nilai
BC sebesar 5,67 dan NPVnya sebesar Rp. 87.498.645 sekisar 39 persen serta
nilai IRRnya sebesar 53,17 dimana panen yang dilakukan rutin setiap satu hingga dua minggu sekali setelah tanaman berumur lima tahun dan produksi rata-rata
yang diperoleh petani adalah delapan ton per hektar dengan harga jual sebesar 5000 rupiah per kilogram.
Dari hasil penelitian Soetirono 2009, yang menganalisa tentang daya saing agribisnis kopi robusta yang dilakukan pada tiga wilayah yaitu Tanggamus,
Malang, dan Jember menyatakan layak untuk dikembangkan secara finasial. Namun hal ini masih memiliki nilai divergensi antara kelayakan finansial dengan
ekonomi yaitu sesuai dengan keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap daya saing agribisnis kopi. Apabila memperhatikan harga kopi dunia, tingkat harga
kopi daerah Malang dan Jember memiliki potensi yang cukup tinggi dibandingkan dengan harga domestik. Dengan demikian sistem agribisnis kopi robusta memiliki
daya saing apabila kebijakan pemerintah mendukung terhadap profitabilitas sistem produksi serta keefisienan penggunaan sumberdaya. Tingkat switching
value
terhadap obat-obatan juga tidak mempengaruhi daya saing dan efisiensi ekonomi meskipun perubahan harga pestisida mencapai 25 persen.
Selain kestabilan biaya produksi, segmentasi pasar juga mempengaruhi pendapatan petani. Peningkatan permintaan kopi yang dipengaruhi beberapa
variable seperti harga kopi, harga produk substitusi, pendapatan per kapita, serta harga ekspetasi kopi Nainggolan 2007 secara domestik yang diimbangi dengan
peningkatan produksi secara otomatis harga beli akan naik dan mendorong peningkatan penawaran kopi. Harga riil kopi, harga riil teh, dalam negeri
dipengaruhi oleh harga ekspor sehingga sangat responsif terhadap suatu perubahan. Hal ini juga mempengaruhi tingkat elastisitas permintaan kopi, namun
berbeda dengan peningkatan ekspor yang tidak terlalu elastic terhadap produksi kopi akan tetapi pola hidup konsumen yang berubah yang berdampak positif akan
permintaan kopi.
Faktor lainnya adalah kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia yang semakin terbuka atas pasar dunia atau dengan kata lain globalisasi. Hal tersebut
merupakan peluang yang tinggi untuk melakukan usahatani kopi, namun sebaliknya dengan terjadinya globalisasi merupakan sebuah ancaman dimana
konsumen dalam posisi tawar menawar yang kuat akibat persaingan yang tinggi dari produsen kopi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kustiari 2007
perbedaan harga kopi biji dengan harga kopi olahan juga mampu mempengaruhi pendapatan petani. Pendapatan petani biji kopi relatif lebih rendah apabila
dibandingkan dengan produk olahan kopi yang memiliki nilai tambah. Prospek pengembangan perkopian di Indonesia akan semakin meningkat dalam hal daya
saing dan efisiensi memproduksi specialty coffee sehingga mampu bertahan dan meningkatkan pangsa pasar luar negeri. Untuk mempertahankan pangsa pasar
dalam persaingan yang tinggi maka perlu melakukan sertifikasi melalui indikasi geografis yang mendukung pertumbuhan kopi sehingga terjaga kontinuitas
pasokan produk sehingga pihak-pihak importer tetap berkesinambungan dalam hal menentukan produsen yang akhirnya mampu memperluas segmentasi pasar
ekspor dengan melakukan terobosan baru.