Menurut Toyoda et al. 1992, pencucian satu kali pada pembuatan surimi sudah dapat meningkatkan kadar protein miofibril dalam daging, dimana protein
miofibril tersebut bertanggung jawab terhadap pembentukan gel seiring dengan hilangnya komponen penghambat pembentukan gel seperti protein sarkoplasma,
lemak dan darah. Penggunaan surimi dengan frekuensi pencucian satu kali dapat
meningkatkan kekuatan gel dan menghasilkan warna daging lebih putih daripada penggunaan daging lumat tanpa pencucian. Penggunaan surimi frekuensi
pencucian satu kali biasanya hanya digunakan pada penelitian lanjutan apabila pada penelitian pendahuluan menunjukkan hasil yang baik, sehingga informasi
mengenai karakteristik produk yang dihasilkannya masih terbatas. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan analisis berupa karakteristik fisika dan
kimia dari gel dan bakso ikan layaran dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian satu kali. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian yang
telah ada yang menggunaan surimi frekuensi pencucian satu kali pada pembuatan produk perikanan. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan
sebagai bahan pembanding dalam penelitian pengaruh frekuensi pencucian pada pembuatan surimi terhadap karakteristik dari produk-produk perikanan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1 Mengkarakterisasi fisika dan kimia gel ikan layaran dari bahan baku surimi
frekuensi pencucian satu kali 2 Mengkarakterisasi fisika dan kimia bakso ikan layaran dari bahan baku surimi
frekuensi pencucian satu kali 3 Membandingkan bakso ikan layaran hasil penelitian dengan bakso ikan
komersial
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Layaran Istiophorus sp. Ikan layaran termasuk kedalam sumberdaya ikan pelagis besar yang
termasuk jenis ikan pedang atau setuhuk. Ikan pelagis besar tersebar dihampir
semua wilayah pengelolaan perikanan di mana tingkat pemanfaatan berbeda-beda antar perairan Mallawa 2006. Daerah penyebaran ikan layaran di Indonesia
meliputi : Pelabuhan Ratu, Selat Bali, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, dan perairan barat Sumatera KKP 2006. Klasifikasi
ikan layaran Istiophorus sp. Saanin 1984 adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata Sub filum
: Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo :
Percomorphi Sub ordo
: Scombroidea Famili
: Istiophoridae Genus
: Istiophorus Spesies :
Istiophorus gladius Istiophorus orientalis
Istiophorus platypterus
Gambar 1 Ikan layaran Istiophorus sp. Ikan layaran memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti
perak dengan punggung berwarna kehitaman. Kepala ikan layaran berbentuk kerucut dengan paruh panjang, merupakan ikan perenang cepat. Sirip punggung
ikan layaran memiliki 20 jari-jari keras yang membentuk seperti layar berwarna
kebiruan. Habitat ikan layaran adalah di permukaan laut pelagis dan epipelagis di atas lapisan termoklin. Ikan layaran banyak ditemukan di daerah perairan yang
dekat dengan pesisir dan pulau-pulau Shaw 1972. Komposisi kimia ikan layaran Istiophorus gladius dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia ikan layaran Istiophorus gladius No. Komposisi
Hasil 1 Kadar
air 66,79
2 Kadar abu
2,16 3 Kadar
protein 15,15
4 Kadar lemak
3,07 Sumber : Murniyat et al. 2006
2.2 Protein Ikan
Protein adalah komponen ikan yang sangat penting ditinjau dari sudut gizi dan biasanya terkandung sekitar 15-25 dari berat total daging ikan
Irianto dan Giyatmi 2009. Protein ikan menyediakan kurang lebih 23 dari kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Protein ikan dapat
diklasifikasikan menjadi protein miofibril, sarkoplasma dan stroma. Komposisi ketiga jenis protein pada daging ikan terdiri dari 65-75 miofibril, 20-30
sarkoplasma dan 1-3 stroma Junianto 2003. Protein ikan biasanya kurang stabil bila dibandingkan dengan protein daging mamalia, artinya mudah rusak
oleh pengolahan, terkoagulasi dan terdenaturasi. Hal ini disebabkan oleh struktur alamiah miosin yang labil Winarno 1993.
2.2.1 Protein miofibril
Protein miofibril merupakan bagian yang terbesar dari daging ikan dan merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari
miosin, aktin, tropomiosin, serta aktomiosin yang merupakan gabungan aktin dan miosin. Protein miofibril berperan dalam pembentuk gel dan proses koagulasi,
terutama dari aktomiosin. Pada umumnya protein yang larut dalam larutan garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam
air Junianto 2003. Protein miofibril bertanggung jawab terhadap plastisitas dan daya ikat air daging, tekstur produk-produk perikanan serta sifat fungsional
daging lumat dan homogenat, khususnya kemampuan dalam pembentukan gel Irianto dan Giyatmi 2009.
Miosin merupakan 50-58 fraksi miofibril Irianto dan Giyatmi 2009. Miosin mempunyai aktivitas ATPase yang akan memindahkan energi ATP pada
saat kontraksi otot Rahayu et al. 1992. Kemampuan untuk mengekstrak protein miosin lebih besar pada pH tinggi, tetapi kekuatan gel daging ikan pada produk
akhir lebih rendah meskipun jumlah miosin yang diekstrak lebih banyak Junianto 2003. Aktin terdapat sekitar 15-20 dari jumlah total protein daging
ikan. Ketika daging lumat diberikan larutan garam netral, aktin akan terekstraksi bersama-sama dengan miosin membentuk aktomiosin Irianto dan Giyatmi 2009.
2.2.2 Protein sarkoplasma
Protein sarkoplasma merupakan protein terbesar kedua yang mengandung bermacam-macam protein larut air yang disebut miogen. Protein sarkoplasma atau
miogen terdiri dari albumin, mioalbumin dan mioprotein. Kandungan sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi. Selain tergantung dari jenis ikannya juga tergantung
habitat ikan tersebut. Pada umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar daripada ikan demersal Junianto 2003. Menurut
Shimizu et al. 1976 diacu dalam Lee and Lanier 1992, sarkoplasma tidak dapat menghasilkan gel walaupun dilakukan pemanasan dan jika tidak dihilangkan akan
menghambat pembentukan gel. Tercampurnya daging putih dan daging merah selama pemfilletan dari ikan berdaging gelap akan menyebabkan penurunan
kekuatan gel secara keseluruhan. Protein sarkoplasma sebagian besar mengandung enzim-enzim, termasuk
enzim proteolitik. Protein ini larut dalam air dan larutan garam dengan kekuatan ion yang rendah konsentrasi garam 0,5. Pemanasan protein sarkoplasma
selama 10 menit pada suhu 90
o
C akan menggumpal mengkoagulasi protein tersebut. Ketika daging ikan dipanaskan, protein sarkoplasma yang terkoagulasi
akan menempel pada protein miofibril. Keadaan ini akan menghalangi bentuk gel dalam pembuatan produk daging ikan tertentu Rahayu et al. 1992.
2.2.3 Protein stroma
Stroma adalah protein jaringan ikat yang terdapat di luar serabut daging. Stroma tidak larut dalam air, asam, basa serta larutan garam 0,01-0,1 M
Rahayu et al. 1992. Daging merah ikan pada umumnya mengandung lebih banyak stroma, tetapi lebih sedikit mengandung sarkoplasma jika dibandingkan
dengan daging putih ikan Junianto 2003. Komponen dari stroma adalah kolagen dan elastin, atau keduanya Rahayu et al. 1992. Pada umumnya kandungan
kolagen pada daging ikan adalah sekitar 1-12 dari protein kasar. Elastin adalah protein yang dapat membentuk serat elastis seperti karet yang merupakan
penyusun utama ligament pada mamalia Irianto dan Giyatmi 2009. Apabila jaringan ikat mengandung prosentase kolagen yang besar dan dipanaskan dengan
uap dengan waktu yang lama, maka kolagen akan berubah menjadi gelatin yang larut dalam air dan apabila gelatin ini dimasak akan membentuk jelly
Rahayu et al. 1992.
2.3 Surimi
Surimi adalah produk setengah jadi yang diolah dengan melumatkan daging ikan, kemudian dicuci dengan air dingin untuk menghilangkan sifat
organoleptis yang kurang menarik dan setelah itu dipisahkan airnya Irianto dan Soesilo 2007. Menurut Winarno 1997, mutu surimi yang paling
baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel. Kekuatan gel surimi dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, kematangan gonad, tingkat kesegaran
ikan, pH, kadar air, volume, dan konsentrasi dan jenis penambahan antidenaturant cryoprotectant, serta frekuensi pencucian Suzuki 1981.
Semua jenis dan ukuran ikan dapat diolah menjadi surimi dan dapat memberikan nilai tambah secara ekonomi Djazuli et al. 2009. Pada prinsipnya
pengolahan surimi menerapkan teknologi yang sederhana dan mudah dilakukan, sedangkan peralatan yang digunakan tergantung pada tingkat kecanggihan dan
skala produksi. Secara umum, tahapan pengolahan surimi, meliputi penyiangan, pemisahan daging dan tulang, pencucian, pembuangan air, penyaringan,
pencampuran dengan krioprotektan, serta pembekuan Irianto dan Giyatmi 2009. Proses pencucian pada pembuatan surimi berfungsi untuk mendapatkan warna
putih dan menghilangkan protein sarkoplasma yang mengganggu proses
pembentukan gel ikan Suzuki 1981. Proses pencucian pada pembuatan surimi pada dasarnya dilakukan dengan mencuci daging lumat dengan air dingin
10-15
o
C yang ditambahkan garam 0,2-0,3 sebanyak 2-3 kali pencucian. Volume air yang digunakan adalah 4-5 kali berat daging lumat. Penambahan
garam selama pencucian membantu pelepasan air dari daging lumat Irianto dan Giyatmi 2009.
Pencucian pada pembuatan surimi dapat memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan dan pengaruh yang menguntungkan. Pengaruh pencucian yang
tidak menguntungkan, yaitu hilangnya komponen rasa alami yang ada di dalam daging ikan dan berkurangnya kandungan protein. Penghilangan protein larut air
memberikan pengaruh yang baik terhadap surimi, yaitu peningkatan kemampuan membentuk gel. Pengaruh pencucian pada daging lumat yang menguntungkan
Irianto dan Giyatmi 2009, antara lain : a. Meningkatkan kemampuan daging lumat membentuk gel dengan membuang
sebagian besar protein larut air yang mengganggu pembentukan gel b. Memperbaiki warna dan penampakan daging lumat
c. Menghilangkan bau yang tidak dikehendaki d. Menghasilkan surimi beku yang memiliki rasa hambar sehingga rasa produk
olahan lanjut dapat diatur sesuai selera dengan menggunakan bumbu-bumbu dan bahan-bahan pembentuk rasa
e. Memperpanjang umur penyimpanan beku dari daging yang telah dicuci dengan penambahan gula dan poliposfat
2.4 Pembentukan dan Sifat Gel Ikan