1
BAB I PENDAHULUAN
Bab  ini  memaparkan  latar  belakang  masalah,  identifikasi  masalah, pembatasan  masalah,  rumusan  masalah,  tujuan  penelitian,  manfaat  penelitian
dan definisi istilah.
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan  karakter  adalah  pendidikan  yang  mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada peserta didik, sehingga mereka memiliki
nilai  dan  karakter  sebagai  karakter  dirinya,  menerapkan  nilai-nilai tersebut  dalam  kehidupan  dirinya,  sebagai  anggota  masyarakat,  dan
warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif. Menurut Suyanto Wibowo  Purnama, 2013: 35, karakter adalah
cara  pikir  dan  berperilaku  yang  menjadi  ciri  khas  setiap  individu  untuk hidup  dan  bekerjasama,  baik  dalam  lingkungan  keluarga,  masyarakat,
bangsa  dan  negara.  Adapun  individu  yang  berkarakter  baik  ini,  adalah individu
yang bisa
membuat keputusan
dan siap
mempertanggungjawabkan  apa  yang  diperbuatnya  atau  berani  secara ksatria  mempertanggungjawabkan  setiap  akibat  dari  keputusan  yang
dibuatnya. Mengingat  pentingnya  pendidikan  karakter  bagi  peserta  didik,
pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional, menyelenggarakan kembali  pembangunan  karakter  bangsa.  Undang-undang  No  20  Tahun
2003  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  pada  pasal  3,  telah mengamanatkan  bahwa  pendidikan  nasional  berfungsi  mengembangkan
2
kemampuan  dan  membentuk  karakter  serta  peradaban  bangsa  yang bermartabat  dalam  rangka  mencerdaskan  kehidupan  bangsa  Suyanto,
2010.  Tujuan  pendidikan  nasional  adalah  mengembangkan  potensi peserta  didik  agar  menjadi  manusia  yang  beriman  dan  bertakwa  kepada
Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak mulia, Sehat, Berilmu, Cakap, Kreatif, Mandiri  dan  menjadi  warga  negara  demokratis  serta  bertanggung  jawab
UU No.20, 2003. Berdasarkan  fungsi  dan  tujuan  pendidikan  nasional  jelas  bahwa
pendidikan  di  setiap  jenjang,  termasuk  Sekolah  Menengah  Pertama SMP  harus  diselenggarakan  secara  sistematis  guna  mencapai  tujuan
tersebut.  Sesuai  dengan  tujuan  dan  fungsi  pembentukan  pendidikan karakter  peserta  didik  agar  mampu  beretika,  bermoral,  membantu  orang
lain,  mau  belajar  dari  orang  lain,  dan  mampu  menghargai  nilai-nilai kemanusiaan.  Menurut  Wakil  Menteri  Pendidikan  Nasional,  dalam
Kabinet  Indonesia  Bersatu  II,  Fasli  Jalal  Kompas.com,  pendidikan karakter  yang  didorong  pemerintah  untuk  dilaksanakan  di  sekolah-
sekolah  tidak  akan  membebani  guru  dan  siswa.  Sebab,  hal-hal  yang terkandung  dalam  pendidikan  karakter  sebenarnya  sudah  ada  dalam
kurikulum,  namun  selama  ini  tidak  dikedepankan  dan  diajarkan  secara tersurat.
Kita  mintakan  pada  guru  supaya  nilai-nilai  yang  terkandung dalam  mata  pelajaran  maupun  dalam  kegiatan  ekstrakurikuler  itu
disampaikan  dengan  jelas  pada  siswa.  Pendidikan  karakter  itu bisa  terintegrasi  juga  menjadi  budaya  sekolah.  Jadi,  pendidikan
karakter  yang  hendak  kita  terapkan  secara  nasional  tidak membebani kurikulum yang ada saat ini, jelas Fasli.
3
Menurut  Faturohman    Fatriyani  2013,  karakter  ksatria  yaitu kemampuan  untuk  menerima  keunggulan  orang  lain  serta  menerima
kekurangan  diri  sendiri.  Melihat  kenyataan  yang  terjadi,  banyak permasalahan  yang  dialami  remaja  dalam  taraf  pendidikan  di  SMP  maka
perlunya penanganan yang serius tentang masalah ini. Hal ini nampak dari fenomena  kenakalan  remaja  yang  perlu  dikendalikan.  Menurut  Ketua
Komisi Perlindungan Anak KPAI Republika.co.id jumlah anak sebagai pelaku kekerasan
bullying
di sekolah mengalami kenaikan dari 67 kasus pada 2014 menjadi 79 kasus di tahun 2015. Anak sebagai pelaku tawuran
juga  mengalami  kenaikan  dari  46  kasus  di  2014  menjadi  103  kasus  di 2015.  Fenomena  ini  menandakan  bahwa  kurangnya  nilai  karakter  dan
moral dalam diri seseorang. Pendidikan  karakter  di  Indonesia  saat  ini  baru  sampai  dalam
tingkat pengenalan norma-norma atau nilai-nilai dan belum tindakan nyata dalam  kehidupan  sehari-hari  Suyanto,  2011.  Persoalannya  adalah    para
guru  Bimbingan  dan  Konseling  sudah  terbiasa  menggunakan  metode ceramah  sedangkan  metode  ceramah  sudah  sangat  lama  di  gunakan  dan
kurang  sesuai  untuk  pendidikan  karakter.  Oleh  karena  itu,  para  guru hendaknya  memiliki  kompetensi  untuk  melaksanakan  bimbingan  klasikal
dengan  pendekatan
experiential  learning
di  kelas.  Dengan  demikian peserta  didik  dapat  mengalami  langsung  dan  mempraktikannya  dalam
kehidupan  sehari-hari.  Itulah  alasan  peneliti  menggunakan  pendekatan
experiential learning
untuk meningkatkan karakter ksatria. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
SMP  Panggudi  Luhur  Bayat  adalah  sekolah  swasta  yang  berkarya dalam  bidang  pendidikan  yang  bertempat  di  Lemah  Miring  Paseban
Bayat. Peserta didik yang mengenyam pendidikan di SMP Pangudi Luhur Bayat sebagian besar berasal dari keluarga menengah ke bawah. Sebagian
besar orang tua bekerja sebagai buruh, petani, dan pedagang. Berdasarkan  observasi  dan  wawancara  kepada  wali  kelas  yang
sudah  dilakukan,  ditemukan  fenomena  rendahnya  karakter  ksatria.  Ada beberapa peserta didik ketika melakukan kesalahan belum mampu untuk
langsung  meminta  maaf,  takut  untuk  mengungkapkan  pendapatnya. Selain itu peneliti juga wawancara terhadap dua peserta didik kelas VIII
A bahwa ketika melakukan kesalahan peserta didik takut untuk mengakui kesalahan  karena  takut  untuk  dihukum  dan  malu  dengan  teman-
temannya. Menyadari  masalah tersebut maka, perlu ditanamkan nilai karakter
ksatria  dalam  diri  seseorang.  Karakter  ksatria  yaitu  kemampuan  untuk menerima keunggulan orang lain serta menerima kekurangan diri sendiri.
Seseorang  dikatakan  ksatria  apabila  mau  mengakui  kesalahan  dan menghindari sikap ingkar dan berbohong. Terbiasa menyadari kelebihan
orang  lain  dan  tidak  segan  belajar  dari  contoh  yang  ada,  menghindari sikap angkuh, bersikap jujur dan bertanggung jawab, selalu mengatakan
yang  benar  dengan  benar  dan  yang  salah  tetap  salah.  Berani  melakukan intropeksi  dan  bertanggung  jawab  terhadap  segala  yang  dilakukan  dan
selalu menghindari sikap tidak licik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Faktor  yang  menyebabkan  rendahnya  sikap  ksatria  peserta  didik, salah  satunya    adalah  faktor  eksternal  individu    yang  meliputi  keluarga,
teman, guru pembimbing dan masyarakat. Untuk membantu peserta didik memiliki  karakter  ksatria  maka  perlu  dilakukan  strategi  pembelajaran
yang  efektif    kepada  peserta  didik.  Dalam  hal  ini  konselor  atau  guru Bimbingan dan Konseling memiliki peran penting dan didukung dengan
pelayanan yang dapat membantu peserta didik memiliki karakter ksatria. Salah  satu  pelayanan  yang  menarik  potensi  peserta  didik  dalam
mengembangkan  karakter  ksatria  peserta  didik  adalah  Bimbingan Klasikal  dengan  pendekatan
Experiential  Learning
.  Proses  bimbingan klasikal memiliki ciri-ciri khusus dalam pendekatan, metode dan strategi
penyampaianya.  Dalam  layanan  bimbingan  klasikal,  pendekatan
experiential learning
lebih ditekankan aspek afeksi nilai, sikap perilaku dan  nilai-nilai  karakter.
Experiential  Learning
adalah  suatu  pendekatan dalam  penyelenggaraan  bimbingan  kelompok,  dengan  menggunakan
dinamika  kelompok  yang  efektif.  Suatu  dinamika  kelompok  dikatakan efektif apabila dapat menghadirkan suasana kejiwaan yang sehat diantara
peserta kegiatan, spontanitas, munculnya perasaan seperti senang, rileks, gembira, menikmati dan bangga, meningkatkan minat atau gairah untuk
terlibat  dalam  proses  kegiatan,  memungkinkan  terjadinya  katarsis,  serta meningkatkannya  pengetahuan,  dan  ketrampilan  sosial  Prayitno,  dkk
1998:90. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Berdasarkan  hasil  penelitian  Kristina  Betty  Artati  2015  di  SMP Kanisius  Kalasan  terdapat  peningkatan  karakter  tanggung  jawab  siswa
secara  signifikan  senilai  Sig.  2  tailed  0,001    0,05  ketika menggunakan  pendekatan
experiential  learning.
Selain  itu  Clara  Vania 2015  juga  menggunakan  pendekatan
experiential  learning
dalam meneliti  karakter  kepemimpinan  demokratis  di  SMP  N  6  Surakarta  dan
hasilnya  pun  efektif.  Terjadi  peningkatan  karakter  kepemimpinan demokratis  siswa  secara  signifikan  sig  2  tailed  0,000    0,05.  Jadi,
pendekatan
experiential learning
adalah salah satu pendekatan yang tepat untuk mengatasi rendahnya karakter ksatria.
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti bergabung dengan penelitian Stranas  Strategis  Nasional  untuk  mengimplementasikan  modul  dengan
topik  karakter  ksatria  kepada  peserta  didik  dan  mengangkat  judul “Peningkatan  Karakter  Ksatria  Melalui  Pendidikan  Karakter  Berbasis
Layanan  Bimbingan  Klasikal  dengan  Pendekatan
Experiential  Learning
Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling Pada Siswa Kelas VIII A Smp Pangudi Luhur Bayat Tahun Ajaran 20152016”
B. Identifikasi Masalah