Prinsip Pendugaan Umur Simpan
18 kerusakan mutu pangan tidak dapat lagi diterima oleh konsumen dan pangan
dinyatakan telah mencapai masa kadaluarsa Syarief dan Halid, 1993. Penentuan umur simpan dilakukan dengan mengevaluasi perubahan mutu
produk selama penyimpanan hingga penurunan mutu mencapai tingkat yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen.
Menurut Syarief et al. 1989, faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas diantaranya 1 keadaan alamiah
atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan
kimia internal dan fisik; 2 ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume; 3 kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban, dimana
kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan; dan 4 kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan
bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat. Metode penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan menyimpan
produk hingga rusak pada kondisi penyimpananlingkungan yang normal. Cara ini menghasilkan informasi yang paling valid, namun memerlukan
waktu yang lama dan tidak praktis untuk aplikasi di industri. Oleh karena itu dikembangkan metode pendugaan umur simpan dengan metode yang
dipercepat Accelerated Shelf-Life Testing atau ASLT method, dimana produk disimpan pada kondisi penyimpanan ekstrim yang dapat
mempercepat kerusakannya. Umur simpan selanjutnya diduga dengan menggunakan model
matematika, dimana faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan produk dimasukkan ke dalam model matematika tersebut. Metode ASLT
membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat dengan tingkat akurasi yang masih dapat diterima. Semakin valid model matematika yang
digunakan, maka pendugaannya akan semakin valid pula. Metode ASLT yang sering digunakan untuk pendugaan umur simpan
adalah model kadar air kritis dan model Arrhenius. Model kadar air kritis diterapkan untuk pendugaan umur simpan produk pangan yang rusak oleh
adanya penyerapan air oleh produk. Model ini terutama untuk produk
19 pangan yang kering. Kerusakan dievaluasi dari perubahan tekstur misal
kerenyahan yang hilang dan peningkatan kelengketan atau terjadinya penggumpalan Kusnandar, 2006.
Model Arrhenius diterapkan untuk produk-produk pangan yang mudah rusak akibat reaksi kimia, seperti oksidasi lemak, reaksi Maillard dan
denaturasi protein. Secara umum, laju reaksi kimia akan semakin cepat meningkat pada suhu yang lebih tinggi, dimana penurunan mutu produk
semakin cepat terjadi Hariyadi et al., 2006. Menurut Kusnandar 2006, produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannnya dengan model
Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubukformula, produk chipsnack, jus buah, mie instan, daging beku dan
produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi berpotensi terjadinya oksidasi lemak atau yang mengandung gula pereduksi dan protein
berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan. Reaksi kimia pada umumnya dipengaruhi oleh suhu. Oleh sebab itu
model Arrhenius mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada kondisi penyimpanan suhu tinggi di atas suhu penyimpanan normal. Laju
reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya mengikuti laju reaksi ordo 0 dan ordo 1 Kusnandar, 2006.
Model Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan pada minimal tiga suhu penyimpanan ekstrim. Percobaan
dengan metode Arrhenius bertujuan untuk menentukan konstanta laju reaksi k pada beberapa suhu penyimpanan ekstrim, yang selanjutnya dilakukan
ekstrapolasi untuk menghitung konstanta laju reaksi k pada suhu penyimpanan yang diinginkan melalui persamaan Arrhenius persamaan 3.
Dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k konstanta penurunan mutu pada suhu penyimpanan umur simpan, kemudian dihitung umur
simpan sesuai dengan ordo reaksinya persamaan 1 dan 2.
20