drastis bahkan sampai menganggu pola makan. Hal ini dikarenakan remaja memiliki body image citra diri yang mengacu pada idola mereka yang biasanya adalah para artis,
pragawati, selebritis yang cenderung memiliki tubuh kurus, tinggi, dan semampai. Kebiasaan makan makanan siap saji fast food juga sangat mempengaruhi terjadinya
gastritis yang mana komposisi gizinya tidak seimbang yaitu terlalu tinggi kandungan energinya, seperti pasta, fried chicken, dan biasanya juga disertai dengan mengkonsumsi
minuman bersoda yang berlebihan maupun kebiasaan “ngemil” yang rendah gizi kurang
kalori, protein, vitamin dan mineral seperti makanan ringan, krupuk, chips dll.
b. Jenis Kelamin
Dilihat dari hasil distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin terhadap santri Pondok Pesantren Daar El-Qolam Gintung, Jayanti, Tangerang didapatkan bahwa
dari 60 responden yang diteliti, jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 18 responden 30 dan responden yang berjenis kelamin perempuan
sebanyak 42 responden 70. Jadi mayoritas jenis kelamin responden lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Ini sesuai dengan jumlah
Santri Pondok Pesantren Daar El-Qolam. Jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi, sehingga
ada hubungan antara jenis kelamin dengan terjadinya gastritis Apriajdi, 1986. Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Pertumbuhan dan
perkembangan individu sangat berbeda antara laki-laki dan perempuan Worthington, 2000.
Menurut potterperry 2005 pola makan yang salah dapat mempengaruhi masalah gizi lain yang banyak terjadi pada remaja khususnya remaja perempuan adalah
kurangnya zat besi atau anemia. Anemia merupakan kelanjutan dampak dari kurang zat
gizi makro karbohidrat, protein dan lemak dan kurang zat makro vitamin, mineral. Prevalensi anemia pada remaja di indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan survey
nasional tahun 2000, prevalensi anemia pada remaja perempuan adalah sebesar 57,1 sedangkan pada remaja laki-laki sebesar 42,9.
c. Frekuensi makan
Dilihat dari hasil distribusi frekuensi responden berdasarkan frekuensi makan terhadap santri Pondok Pesantren Daar El-Qolam Gintung, Jayanti, Tangerang
didapatkan bahwa dari 60 responden yang diteliti, jumlah responden yang memiliki frekuensi makan baik sebanyak 39 responden 65,0 dan responden yang memiliki
frekuensi makan kurang sebanyak 21 responden 35,0. Jadi mayoritas frekuensi makan responden lebih banyak frekuensi makan yang kurang dibandingkan dengan
frekuensi makan baik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar Santri
Pondok Pesantren Daar El-Qolam beresiko terjadinya gastritis. Hal ini dikarenakan kebanyakan Santri Pondok Pesantren Daar El-Qolam memiliki frekuensi makan kurang
dan memiliki kebiasaan “ngemil” yang rendah gizi. Frekuensi makan yang dimaksud
adalah frekuensi makan utama atau frekuensi makan yang setiap harinya 3 kali makan utama, yaitu makan pagi, makan siang dan makan malam atau sore. Frekuensi makan ini
merupakan domain yang sangat penting untuk terjadinya gastritis. Menurut Suhardjo, 2002 dalam Hudha 2006 frekuensi makan dikatakan baik bila
frekuensi makan setiap harinya 3 kali makanan utama atau 2 kali makanan utama dengan 1 kali makanan selingan, dan dinilai kurang bila frekuensi makan setiap harinya 2 kali
makan utama atau kurang sehingga beresiko terjadinya gastritis.