lxxxix
5 Tindak tutur langsung harafiah 6 Tindak tutur tidak langsung harafiah
7 Tindak tutur langsung tidak harafiah 8 Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah
Berdasarkan interaksi makna atau keliteralannya, I Dewa Putu Wijana 1996: 29—36 membedakan tindak tutur menjadi dua, yaitu tindak
tutur literal dan tindak tutur tidak literal. 1
Tuturan literal, yaitu tuturan yang disampaikan mengandung arti sesuai dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
2 Tuturan tidak literal, yaitu tuturan yang maksudnya tidak sama atau
berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Dalan bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus dikatakan jelek dan
yang jelek dikatakan bagus atau sering disebut ‘ironi’. Masing-masing tindak tutur langsung, tidak langsung, literal, dan tidak literal apabila
disinggungkan diinterseksikan dapat dibedakan menjadi 8 macam, yaitu: 1. tindak tutur langsung
2. tindak tutur tidak langsung 3. tindak tutur literal
4. tindak tutur tidak literal 5. tindak tutur langsung literal
6. tindak tutur tidak langsung literal 7. tindak tutur langsung tidak literal
8. tindak tutur tidak langsung tidak literal
xc f.
Tindak Tutur Direktif Direktif merupakan salah satu jenis tindak tutur ilokusi. Searle
dalam Leech, 1993: 164 memberikan batasan mengenai tuturan direktif, yaitu tuturan yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang
dilakukan oleh penutur. Senada dengan pendapat tersebut, Asim Gunawan 1994: 85--86 menyatakan bahwa tindak tutur
direktif
, yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar si pendengar atau mitra
tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu misalnya: menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang. Direktif
mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan prospektif oleh mitra tutur dan kehendaknya terhadap tindakan mitra tutur Austin dalam Abd
Syukur Ibrahim Ibrahim, 1993. Austin 1962: 151, Searle 1980: 23, dan Leech 1983: 106
menempatkan tindak tutur direktif
directives
sebagai salah satu aspek makro tindak ilokusi. Adapun tindak ilokusi yang dimaksud adalah tindak
yang berhubungan dengan apa yang dilakukan dalam tindak mengatakan sesuatu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini bagan mengenai klasifikasi tindak
ilokusi komunikatif yang di dalamnya terdapat tindak tutur direktif dengan klasifikasinya.
Tindak Ilokusi Komunikatif
Constatives
·
Assertives
Directives
·
Requestives
Comissives
·
Promises
Acknowledgments
·
Apologize
xci ·
Predictives
·
Retrodictives
·
Descriptives
·
Ascriptives
·
Informatives
·
Confirmatives
·
Concessives
·
Retractives
·
Assentives
·
Dissentives
·
Disputatives
·
Responsives
·
Suggestives
·
Suppositives
·
Questions
·
Requirements
·
Prohibitives
·
Permisives
·
Advisories
·
Offers
·
Condole
·
Congratulate
·
Greet
·
Thank
·
Bid
·
Accept
·
Reject
Tindak tutur
direktif
directives
sebenarnya tidak
hanya mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan
oleh mitra tutur, tetapi direktif juga bisa mengekspresikan maksud penutur keinginan, harapan sehingga ujaran atau sikap yang diekspresikan
dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh mitra tutur Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 27. Berikut ini penjelasan secara singkat dari klasifikasi
tindak tutur direktif tersebut.
Requetives
permohonan mengekspresikan keinginan penutur sehingga mitra tutur melakukan sesuatu. Di samping itu,
requestives
mengekspresikan maksud penuturatau, apabila jelas bahwa dia tidak mengharapkan
kepatuhan,
requestives requestives
mengekspresikan keinginan atau harapan penutur sehingga mitra tutur menyikapi keinginan
yang terekspresikan ini sebagai alasan atau bagian dari alasan untuk bertindak Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 29--30. Contoh bentuk
requestives
ini
xcii
antara lain; meminta, memohon, menekan, mengundang, mendoa, mengajak, dan mendorong.
Questions
pertanyaan merupakan
requests
permohonan dalam kasus yang khusus, yaitu khusus dalam pengertian bahwa apa yang dimohon
itu adalah bahwa mitra tutur memberikan kepada penutur informasi tertentu Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 30. Contoh bentuk
questions
ini antara lain; bertanya, berinkuiri, dan menginterogasi.
Requirements
perintah memiliki perbedaan dengan
requeting
memerintah. Dalam
requeting
memerintah, penutur mengekspresikan maksudnya sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang diekspresikan
oleh penutur sebagai alasan untuk bertindak. Namun, di dalam
requirements
perintah, permohonan, maksud yang diekspresikan penutur adalah bahwa mitra tutur menyikapi ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak,
dengan demikian ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk bertindak. Akibatnya
requirements
tidak harus melibatkan ekspresi keinginan penutur supaya mitra tutur bertindak dalam cara tertentu Abd.
Syukur Ibrahin, 1993: 31. Contoh bentuk
requirements
ini antara lain; memerintah,
menghendaki, mengomando,
menuntut, mendikte,
mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, dan mensyaratkan
Prohibitives
pada dasarnya adalah
requirements
perintah supaya mitra tutur tidak mengerjakan sesuatu. Misalnya, melarang orang merokok
sama halnya menyuruhnya untuk tidak merokok. Menurut Abd. Syukur Ibrahin 1993: 32
prohibitives
ini diklasifikasikan secara terpisah karena
xciii
prohibitives
menggunakan bentuk gramatikal yang berbeda dan terdapat sejumlah verba semacam itu. Contoh bentuk
prohibitives
ini antara lain; melarang dan membatasi.
Permissives
mengekspresikan kepercayaan penutur dan maksud penutur sehingga mitra tutur percaya bahwa ujaran penutur mengandung
alasan yang cukup bagi mitra tutur untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu. Alasan yang jelas untuk menghasilkan
permissives
adalah dengan mengabulkan permintaan izin atau melonggarkan pembatasan yang
sebelumnya dibuat terhadap tindakan tertentu Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 32.
Contoh bentuk
permissives
ini antara lain; menyetujui, membolehkan, memberi
wewenang, menganugerahi,
mengabulkan, membiarkan,
mengizinkan, melepaskan, memaafkan, dan memperkenankan. Dalam
advisories
apa yang diekspresikan penutur bukanlah keinginan bahwa mitra tutur melakukan tindakan tertentu, tetapi kepercayaan bahwa
melakukan sesuatu merupakan hal yang baik, bahwa tindakan itu merupakan kepentingan mitra tutur. Penutur juga mengekspresikan maksud
bahwa mitra tutur mengambil kepercayaan tentang ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak Abd. Syukur Ibrahin, 1993: 33. Maksud perlokusi
yang sesuai adalah bahwa mitra tutur menyikapi penutur untuk percaya bahwa penutur sebenarnya memiliki sikap yang dia ekspresikan dan mitra
tutur melakukan tindakan yang disarankan untuk dilakukan. Contoh bentuk
advisories
ini antara lain; menasihatkan, memperingatkan, mengkonseling, mengusulkan, menyarankan, dan mendorong.
xciv
Nino dan Snow dalam Dardjowidjjo 2003: 266 mengistilahkan tindak tutur direktif dengan bentuk istilah proto-imperatif. Bentuk tindak
tutur ini adalah dengan cara memanfaatkan bahasa tubuh untuk menyuruh mitra tutur melakukan permintaan penutur. Pemanfaatan bahasa tubuh
sebagai bentuk tindak tutur direktif ini sering digunakan masyarakat tutur untuk tujuan komunikasi sehari-hari. Misalnya, untuk memerintah mitra
tutur mengambilkan sesuatu, cukup dengan tersenyum, anggukan, lambaian tangan, kerlingan mata, dan sebagainya.
Tindak tutur direktif bersifat prospektif, artinya seseorang tidak bisa menyuruh orang lain suatu perbuatan pada masa lampau. Seperti tindak
tutur yang lain, tindak tutur direktif mempresuposisikan suatu kondisi tertentu kepada mitra tutur sesuai dengan konteks. Kondisi-kondisi
kelayakan
felicity conditions
tindak tutur direktif adalah kelayakan tindakan dan kemampuan mitra tutur untuk melakukannya.
Holander dan Quick dalam Ibrahim 1996: 54 membagi tindak tutur direktif hanya menjadi empat bentuk saja, yaitu 1 memerintah, 2
memohon, 3 memberi saran, dan 4 memberi izin. Untuk mencapai empat maksut tindak tutur direktif berdasarkan empat taksonomi tersebut,
Ibrahim 1996: 88—101 menjelaskan bahwa bentuk tindak tutur direktif dapat dilakukan dengan cara; imperatif, eksplisit, berpagar, mengharuskan,
pesimis, pengandaian bersyarat, impersona, menyertakan alasan, sindiran, dan dengan cara kelakar.
xcv
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat dirunut bahwa tindak tutur direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan
yang akan dilakukan oleh mitra tutur. Tindak tutur direktif tersebut mengekspresikan dua hal pokok, yaitu a proposisi berupa tindakan yang
akan dilakukan dan ditujukan kepada mitra tutur dan b mengekspresikan maksud penutur supaya tuturan yang diekspresikan dijadikan alasan bagi
mitra tutur untuk menindakkan sesuatu yang dimaksudkan dalam tuturan tersebut. Dengan demikian, tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang
dilakukan si penutur dengan maksud agar si mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan atau diekspresikan di dalam ujaran si penutur,
seperti menyuruh,
memohon, melarang,
menuntut, menyarankan,
memperingatkan, dan sebagainya. Searle 1980 dan Leech 1983 dalam Harun Prayitno 2009: 79—80
mengklasifikasikan ragam tindak tutur direktif menjadi empat tipe dasar, yaitu 1 tindak memerintah, 2 tindak memohon, 3 tindak memberi saran,
dan 4 tindak memberi izin. Dengan demikian, secara pragmatik tindak tutur direktif meliputi maksud perintah, permohonan, pemberian saran, dan
pemberian izin. Berdasarkan konteksnya, masing-masing bentuk tindak tutur direktif
menurut Searle dan Leech dapat memiliki beberapa fungsi, yaitu kompetitif
competitive
, bertentangan
conflictive
, menyenangkan
convivial
, dan bekerja sama
collaborative
. Fungsi kompetitif bersaing dengan tujuan sosial. Fungsi konfliktif bertentangan dengan tujuan sosial. Fungsi
xcvi
menyenangkan bernilai positif dengan tujuan sosial. Fungsi bekerja sama berupa pemeliharaan keseimbangan dan keharmonisan perilaku interaksi
dalam konteks sosiokultural tertentu. Kekuatan tindak tutur direktif yang berkaitan dengan fungsinya
tersebut dapat dikarakterisasikan menurut: a situasi mental penutur dan mitra tutur yang dipresuposisi secara pragmatik, konteks latar dan
informasi, serta penjelas yang dipahami oleh penutur dan mitra tutur; dan b situasi interaksi yang dihasilkan oleh tindakan dari tuturan direktif
tersebut.
3. Peristiwa Tutur di Lingkungan SMA Negeri 1 Surakarta
Dalam keseluruhan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, salah satunya SMA Negeri 1 Surakarta berlangsung interaksi antara guru
dan siswa ataupun antarsiswa dalam proses belajar mengajar yang merupakan kegiatan paling pokok. Jadi, proses belajar-mengajar
merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni siswa sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar.
Muhammad Faiq Dzaki 2009: 1 menjelaskan bahwa dalam proses interaksi tersebut dibutuhkan komponen pendukung atau ciri-ciri interaksi edukatif,
yaitu sebagai berikut. 1
Interaksi belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu. Interaksi belajar mengajar
xcvii
sadar tujuan, dengan menempatkan siswa sebagai pusat perhatian siswa mempunyai tujuan.
2 Ada suatu prosedur jalannya interaksi yang direncanakan, didesain
untuk mencapai tujuan yang telah dilaksanakan. Dalam melakukan interaksi perlu adanya prosedur, atau langkah-langkah sistematik yang
relevan. 3
Interaksi belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Materi didesain sehingga dapat mencapai tujuan dan
dipersiapkan sebelum berlangsungnya interaksi belajar mengajar. 4
Ditandai dengan adanya aktivitas siswa. Siswa sebagai pusat pembelajaran, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi
berlangsungnya interaksi belajar mengajar. 5
Dalam interaksi belajar mengajar guru berperan sebagai pembimbing. Guru memberikan motivasi agar terjadi proses interaksi dan sebagai
mediator dan proses belajar mengajar. 6
Dalam interaksi belajar mengajar membutuhkan disiplin. Langkah- langkah yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sudah
ditentukan. 7
Ada batas waktu. Setiap tujuan diberi waktu tertentu, kapan tujuan itu harus dicapai.
8 Unsur penilaian. Untuk mengetahui apakah tujuan sudah tercapai
melalui interaksi belajar-mengajar.
xcviii
Gagne dalam Abdillah dan Abdul 1988 : 17 mengatakan bahwa belajar merupakan suatu proses yang dapat dilakukan oleh makhluk hidup
yang memungkinkan makhluk hidup ini merubah perilakunya cukup cepat dalam cara kurang lebih sama, sehingga perubahan yang sama tidak harus
pada setiap situasi baru. Adapun Dahar 1988 dalam Muhammad Faiq Dzaki, 2009: 2 mendefinisikan belajar sebagai suatu proses dimana
organisme perilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar bukanlah menghafalkan fakta-fakta yang terlepas-lepas, melainkan mengaitkan
konsep yang baru dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitif, atau mengaitkan konsep pada umumnya menjadi proposisi yang bermakna,
termasuk dalam kegiatan berbahasa. Merujuk pada kaum kontruktivis bahwa belajar merupakan proses
aktif dalam mengkonstruksi arti teks, dialog, pengalaman fisik, dan lain-lain. Lebih lanjut dikemukakan bahwa belajar juga merupakan proses
mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau apa yang dipelajari dengan apa yang sudah dipunyai seseorang Suparno, 1997 : 61.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang belajar tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan
individu secara sadar untuk memperoleh perubahan tingkah laku tertentu baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati
secara langsung sebagai pengalaman latihan dalam interaksinya dengan lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa belajar sebagai suatu aktivitas
mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
xcix
lingkungan dan menghasilkan perubahan dalam pengetahuan dan pemahaman, keterampilan serta nilai-nilai dan sikap.
Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun
sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap
kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Bettencournt, 1989 dalam Suparno,1997 : 65
Proses belajar harus tumbuh dan berkembang dari diri anak sendiri, dengan kata lain anak-anak yang harus aktif belajar sedangkan guru
bertindak sebagai
pembimbing. Pandangan
ini pada
dasarnya mengemukakan bahwa mengajar adalah membimbing kegiatan belajar
anak.
”Teaching is the guidance of learning activities, teaching is for the purpose of aiding the pupil learn”
Hamalik, 2002:58. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belajar mengajar merupakan proses kegiatan
komunikasi dua arah. Proses belajar mengajar merupakan kegiatan yang integral terpadu antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar dengan
guru sebagai pengajar yang sedang mengajar. Selanjutnya proses belajar mengajar merupakan aspek dari proses pendidikan.
Berdasarkan orientasi proses belajar mengajar siswa harus ditempatkan sebagai subjek belajar yang sifatnya aktif dan melibatkan
banyak faktor yang mempengaruhi, maka keseluruhan proses belajar yang harus dialami siswa dalam kerangka pendidikan di sekolah dapat dipandang
c
sebagai suatu sistem, yang mana sistem tersebut merupakan kesatuan dari berbagai komponen input yang saling berinteraksi proses untuk
menghasilkan sesuatu dengan tujuan yang telah ditetapkan output, salah satunya menjadi siswa yang memiliki budi pekerti yang luhur, termasuk di
dalamnya memiliki kemampuan berbahasa yang santun dengan siapa saja. Dalam kegiatan berbahasa, interaksi
interaction
mengandung pengertian hubungan komunikasi timbal balik antara penutur dan mitra
tutur. Dalam dunia pendidikan biasanya dikenal interaksi belajar-mengajar, yang dapat diartikan komunikasi timbal balik antara guru dan siswa untuk
mencapai tujuan belajar-mengajar Sardiman: 2001: 7. Dalam interaksi belajar-mengajar itu secara sederhana dapat diasumsikan bahwa unsur-
unsur yang terlibat dalam komunikasi interaktif itu, antara lain; guru dan siswa peserta tutur, bahan atau materi pelajaran pesan, dan wacana lisan
atau bahasa mediasalurannya. Guru yang memiliki peran penting dalam kegiatan mengajar dan
mengelola kelas, diharapkan dapat mempertahankan dan menarik perhatian siswa, menyuruh mereka berbicara ataukah diam, menyuruh mereka
mengatakan sesuatu ataukah menuliskan sesuatu, dan mencoba mengecek apakah siswa-siswanya mengikuti apa yang sedang di lakukan di kelas pada
saat belajar-mengajar Abd Syukur Ibrahim: 211. Oleh karena itu, tuturan guru sangat berbeda dengan tuturan profesi lain, seperti dokter, pengacara,
wartawan, pengkhotbah, dan sebagainya. Tuturan guru dikarakterisasi dengan banyaknya tuturan yang menindakkan tindak tutur tertentu, antara
ci
lain; menginformasikan, menjelaskan, menanyakan, membenarkan, menarik perhatian, memerintah, melarang, dan menyuruh. Tuturan guru diharapkan
harus selalu berhati-hati sebab apa yang dituturkan atau dikatannya, bagi siswa adalah sesuatu yang benar. Demikian juga cara bertutur atau cara
mengatakan sesuatu harus benar dan baik karena akan diperhatikan dan kemudian akan ditiru siswanya Kunardi Hardjoprawiro, 2005: 26.
Dalam penelitian ini tidak hanya memfokuskan pada analisis wacana lisan di dalam kelas pada saat kegiatan belajar-mengajar, tetapi juga wacana
lisan di luar kelas yang justru ditemukan bentuk tuturan direktif yang variatif. Wacana lisan di luar kelas yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah wacana lisan yang diperoleh di luar kelas, tetapi masih di lingkungan sekolah SMA Negeri 1 Surakarta, misalnya peristiwa tutur di perpustakaan,
di kantin, di ruang Tata Usaha, di Ruang Piket, di UKS, di halaman sekolah, dan sebagainya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dipaparkan perbedaan wacana lisan di dalam kelas dan wacana di luar kelas menurut Subyakto-Nababan
2000: 22.