ccxxxi
Beberapa contoh data tuturan di atas, yaitu data 227 – 237 memperlihatkan si penutur menggunakan bentuk imperatif atau perintah
langsung, tanpa basa-basi. Bentuk tuturan dengan modus imperatif ini biasanya terjadi pada peristiwa tutur antarsiswa yang hubungannya akrab
dan biasanya pada situasi yang mendesak. Apabila si penutur siswa bertutur dengan basa-basi yang berlebihan, biasanya mitra tutur temannya
tidak senang atau justru akan mengancam muka mitra tuturnya.
D. Faktor-Faktor yang Menentukan Kesantunan dan Ketaksantunan
Bentuk Tuturan Direktif
Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Berdasarkan identifikasi
terhadap bentuk kesantunan dan ketaksantunan bentuk tuturan direktif di atas, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemakaian bentuk santun dan tidak santun
dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bentuk tuturan direktif.
1. Faktor Penentu Kesantunan Berbahasa
Faktor yang menentukan kesantunan berbahasa meliputi dua hal pokok, yaitu factor kebahasaan dan nonkebahasaan.
a. Faktor Kebahasaan
Faktor kebahasaan tersebut adalah segala unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Faktor kebahasaan
verbal yang dapat menentukan kesantunan dapat dipaparkan sebagai berikut.
1 Pemakaian Diksi yang Tepat
ccxxxii Pemakaian diksi atau pilihan kata yang tepat saat bertutur dapat
mengakibatkan atau menimbulkan pemakaian bahasa menjadi santun. Ketika penutur sedang bertutur, kata-kata yang digunakan sebaiknya dipilih sesuai
dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan, dan sebagainya. Dengan kata lain, pemakaian diksi yang tepat
merupakan faktor penentu kesantunan berbahasa seseorang. Di bawah ini beberapa contoh tuturan yang memperlihatkan pemakaian
diksi secara tepat oleh si penutur sehingga tuturannya memiliki kadar kesantunan yang cukup tinggi.
238
“ Kamu yang presentasi saja ya”
S, 008. Konteks Tuturan:
Tuturan dituturkan oleh siswa kepada temannya pada saat akan mempresentasikan tugas kelompok. Tuturan ini dituturkan dengan
dengan nada meminta secara halus.
239
“ Kalau kalian ingin berhasil dalam berpidato, kalian harus menguasai teknik berpidato yang benar.”
G, 012. Konteks Tuturan:
Tuturan dituturkan oleh guru kepada siswanya pada saat PBM di kelas. Tuturan ini dituturkan dengan nada menasihati secara santun.
240
“ Bagaimana kalau teknik belajarnya dibuat menarik, Pak?”
S, 066. Konteks Tuturan:
Tuturan dituturkan oleh siswa kepada pak guru pada saat pak guru itu meminta pendapat siswa mengenai teknik belajarnya. Tuturan
ini dituturkan dengan nada santun.
241
“ Beliau kemarin yang menyuruh kita membersihkan ruangan ini, Bu.”
S, 042.
ccxxxiii Konteks Tuturan:
Tuturan dituturkan oleh siswa kepada seorang ibu guru pada saat menjawab pertanyaan ibu guru tersebut. Tuturan ini dituturkan
dengan nada santun.
Kebenaran suatu tuturan tidak hanya ditentukan oleh keteraturan bagian-bagiannya sebagai satuan pembentuk tuturan, tetapi juga ditentukan
oleh bentuk dan pilihan kata atau diksi yang mengisi bagian-bagian itu. Keempat contoh tuturan 238 – 241 di atas penutur sudah menggunakan
pilihan kata yang tepat sesuai dengan konteks tuturan misalnya, konteks santai atau serius, topik pembicaraan misalnya, topik berdiskusi,
berpidato, teknik mengajar, dan status mitra tuturnya misalnya, mitra tutur sejajar, lebih tua, atau lebih muda. Dengan demikian, pemakaian
pilihan kata atau diksi di atas berkadar santun. Mitra tutur tetap diposisikan dalam posisi yang sepantasnya.
Bertutur dengan pilihan kata yang baik juga merupakan perilaku yang santun dan disukai oleh siapapun yang mendengarnya. Banyak sekali pilihan kata
dalam bahasa Indonesia yang merupakan penanda kesantunan, khususnya dalam bertutur direktif. Guru, siswa, dan karyawan di SMA Negeri 1 Surakarta juga
banyak memanfaatkan penanda-penanda kesantunan dalam bahasa Indonesia, seperti kata
tolong, mohon, mari, silakan, coba, hendaknya, maaf, sudilah kiranya, harap,
dan sebagainya. Selain itu, berkenaan dengan kata sapaan yang digunakan, penutur di SMA Negeri 1 Surakarta tersebut juga berusaha
menggunakan sapaan yang tepat, seperti
BapakPak, IbuBu, Mas, Mbak, Nak, Saudara, Kalian,
dan sebagainya sesuai dengan status atau usia mitra tuturnya.
ccxxxiv
2 Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun
Pemakaian bahasa yang santun juga dapat ditimbulkan dengan pemakaian gaya bahasa oleh si penutur. Gaya bahasa tersebut merupakan optimalisasi
pemakaian bahasa dengan cara-cara tertentu untuk mengefektifkan komunikasi. Berikut ini beberapa contoh tuturan yang memperlihatkan bahwa penutur
mengefektifkan komunikasi dan memberikan kesan santun dengan menggunakan gaya bahasa pada saat bertutur.
242
“ Kamu tuh gayanya bak puteri Solo saja.”
S, 0432. Konteks Tuturan:
Tuturan dituturkan oleh siswa kepada teman akrabnya pada saat mengkritik penampilan temannya yang tidak seperti biasanya.
Tuturan ini dituturkan dengan nada santai.
243
“ Kok baru kelihatan batang hidungnya Non, ke mana saja?”
S, 0358. Konteks Tuturan:
Tuturan dituturkan oleh siswa kepada seorang ibu guru dengan nada santun di dekat ruang guru. Tuturan ini dituturkan dengan
intonasi rendah.
244
“ Yah, habis manis sepah dibuang sih. Apa nggak nyesel?”
S, 0450 Konteks Tuturan:
Tuturan dituturkan oleh siswa kepada temannya pada saat mengobrol. Tuturan ini dituturkan dengan nada santai.
Ketiga contoh tuturan di atas, yaitu 242, 243, dan 244 di atas penutur memanfaatkan gaya bahasa yang dimilikinya untuk menciptakan komunikasi yang
harmonis dan santun. Dengan pemakaian gaya bahasa yang santun, seperti gaya
ccxxxv bahasa perumpamaan
bak puteri Solo
242, gaya bahasa sinekdoke pars pro toto
baru kelihatan batang hidungnya
243, dan penggunaan peribahasa
habis manis sepah dibuang
244, penutur telah menunjukkan sebagai seorang yang bijaksana dalam menyampaikan pesan atau maksud kepada mitra tutur, walaupun
tuturannya bersifat mengkritik mitra tuturnya. Bentuk pemakaian gaya bahasa ini juga merupakan salah satu cara untuk memperkecil kesenjangan antara “apa yang
dipikirkan” dengan “apa yang dituturkan”, tetapi dengan memanfaatkannya secara baik dan tepat.
3 Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik
Pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik pada saat bertutur, khususnya situasi formal atau resmi dapat mengakibatkan atau menimbulkan
pemakaian bahasa menjadi santun. Di bawah ini beberapa contoh tuturan yang memperlihatkan pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik oleh si penutur.
245
“ Besok aku pinjam kabel datanya ya. Aku mau mentransfer fotoku K S P O.
S P
O kemarin itu.”
K
246
“ Selama masih ada yang ramai, Ibu tidak akan melanjutkan K
S P
pelajaran ini.” O
247
“ Kalau sudah selesai, ketua kelompok menyerahkan hasilnya K1 S P O
kepada Bapak.” K2
ccxxxvi 248
“ Maaf Pak, saya tidak mengerti maksudnya.” S P O
249
“ Nis, aku pinjam penggarismu ya” S P O
Kelima contoh data tuturan di atas sudah menggunakan struktur kalimat yang benar dan baik. Kalimat-kalimat di atas tidak menghilangkan
salah satu atau beberapa bagian kalimat yang kehadirannya wajib atau menentukan kelengkapan kalimat tersebut. Selain itu, juga tidak
memperlihatkan kerancuan dan ketidaktepatan urutan unsurnya. Dengan demikian, kalimat yang dituturkan oleh penutur akan mudah dipahami oleh
mitra tutur dan memberikan kesan santun. Kesantunan sebuah kalimat, selain ditentukan oleh keutuhan unsur-unsur pikiran, ditentukan juga oleh
a kelugasan penyusunan tidak rancu, b urutan kata, c ketepatan pemakaian kata penghubungnya atau perangkainya, d kecermatan memilih
kata, dan e kebenaran menggunakan kata sebagai unsur kalimat tersebut yang tentu saja disesuaikan dengan konteks dan situasi tuturan.
Selain ketiga aspek di atas, ada beberapa aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan, antara lain aspek intonasi keras lembutnya intonasi ketika
penutur bertutur kepada mitra tutur dan aspek nada bicara berkaitan dengan suasana emosi penutur, seperti nada resmi, nada bercanda atau berkelakar, nada
mengejek, nada marah, dan nada menyindir. Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya
pemakaian bahasa. Misalnya, Misalnya, ketika guru menyampaikan maksud
ccxxxvii kepada siswa dengan menggunakan intonasi keras, padahal siswa tersebut berada
pada jarak yang sangat dekat dengan guru, maka guru tersebut akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, jika guru menyampaikan maksud dengan intonasi lembut,
guru akan dinilai sebagai orang yang santun. Intonasi lembut pada saat bertutur akan terkesan halus dan enak didengar, tidak kasar. Selain itu, juga member kesan
bahwa si penutur memiliki budi bahasa yang halus, lembut hati, dan tidak pemarah.
Dalam praktiknya, deskripsi intonasi tersebut tecermin pada bagaimana seseorang mengekspresikan tuturan dalam pengaturan intonasi. Karena intonasi
mengandung unsur nada
tone,
tekanan
stress,
dan tempo
duration,
maka pengaturan intonasi ini bisa diarahkan pada bagaimana mengatur keras-lemah,
tinggi-rendah, dan penjang-pendek suara dalam tuturan. Unsur-unsur ini mengandung makna tersirat yang mengiringi tuturan yang berlangsung yang
berlangsung yang dinamakan “makna emosi” penutur. Aspek nada dalam bertutur dapat juga memengaruhi kesantunan berbahasa
seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggambarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Jika suasana hati sedang senang, nada bicara
penutur menaik dengan ceria sehingga terasa menyenangkan. Jika suasana hati sedang sedih, nada bicara penutur menurun dengan datar sehingga terasa tidak
menyenangkan atau menyedihkan. Jika sedang marah atau emosinya tinggi, nada bicara penutur menaik dengan keras dan kasar sehingga terasa menakutkan. Nada
bicara tersebut tidak dapat disembunyikan dari tuturan. Dengan kata lain, nada bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati si penutur. Namun, bagi
ccxxxviii penutur yang selalu ingin bertutur secara santun, dapat mengendalikan diri agar
suasana yang negatif tidak terbawa dalam bertutur dengan mitra tuturnya.
b. Faktor Nonkebahasaan