151
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka saran penulis adalah sebagai berikut:
1. Disarankan kepada orang tua, sebelum memutuskan untuk bercerai
diharapkan dapat mempertimbangkan kembali tentang dampak yang dapat ditimbulkan akibat perceraian terhadap perkembangan anak. Jika
pernikahan tersebut sudah tidak lagi bisa dipertahankan atau keputusan bercerai adalah keputusan yang terbaik, diharapkan kepada orang tua untuk
tidak mengabaikan hak-hak anak terutama dalam pemenuhan hak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
2. Disarankan kepada anak yang menjadi korban perceraian untuk tidak
terpengaruh dengan lingkungan yang negatif dan diharapkan untuk bisa menjadi pribadi yang baik dan kreatif dengan cara mereka mampu
mengembangkan dan mnyalurkan hobi mereka secara positif dan penuh dengan kreativitas.
3. Disarankan kepada keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan sarana dan
prasana dan dapat menggantikan sosok kedua orang tua dengan penuh kasih sayang sehingga anak tidak merasa kehilangan akan kasih sayang dan
anak akan terhindar dari pengaruh negatif dalam lingkungannya serta terhindar dari rasa trauma.
Universitas Sumatera Utara
24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian Perkawinan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai pasangan suami dan
isteri dengan tujuan membentuk suatu keluarga rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut hukum islam yang dimaksud dengan perkawinan adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita
untuk menghalalkan hubungan pergaulan antara kedua belah pihak dengan tujuan memperoleh keturunan dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Menurut H. Sulaiman Rasyid perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta pertolongan-pertolongan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim Sudarsono, 2005: 36 Menurut Su’adah 2005 menyatakan bahwa perkawinan adalah peristiwa
masyarakat yang membuat pengantin wanita dan pria menjadi orang dewasa. Setiap orang yang memasuki jenjang perkawinan mempunyai harapan dan berharap ini
menjadi permanen, dan akan menjamin bahwa pengaruh kebersamaan akan kekal, serta merupakan pedoman dari harapan untuk keabadian.
Pekawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani,
tetapi juga menyangkut unsur batin atau rohani.
Universitas Sumatera Utara
25
Perkawinan adalah hubungan antara pria dan wanita yang disatukan melalui ikatan pernikahan yang berdasarkan atas rasa cinta, kasih sayang dan adanya
komitmen. Selain itu, perkawinan juga merupakan dasar terbentuknya suatu hubungan kekeluargaan dengan berlandaskan pada peraturan, nilai-nilai dan norma-
norma yang harus dijalankan secara bersama-sama baik dalam memilih dan mengambil keputusan.
Perkawinan merupakan pertalian jiwa dan raga yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup
bersama sebagai seorang suami dan isteri. Dalam tahap awal, ikatan batin sangat dibutuhkan karena di dalamnya mencerminkan kerukunan dan kenyamanan.
Terjalinnya ikatan lahir batin inilah yang merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang harmonis dan kekal.
2.1.2 Syarat-syarat Perkawinan
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo syarat-syarat perkawinan terbagi menjadi dua, yaitu syarat internal syarat dalam bentuk materil dan syarat eksternal
syarat dalam bentuk formal. Syarat intern berkaitan
dengan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern berhubungan dengan hal-hal yang
secara umum harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat dalam perkawinan tersebut telah diatur dan dijelaskan dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi:
Pasal 6 ayat:
1
Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus memperoleh izin dari kedua orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
26
Pasal 7 ayat: 1
Perkawinan hanya diizinkan apabila usia pria telah mencapai 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai 16 tahun.
Pasal 8 ayat:
1
Ketentuan perkawinan yang dilarang adalah sebagai berikut: perkawinan sedarah, perkawinan sesusuan, perkawinan hubungan saudara, dan
perkawinan yang bertentangan dengan agama atau kepercayaan masing- masing.
Pasal 9 Seseorang yang terikat dengan tali pernikahan tidak diperbolehkan untuk
menikah lagi kecuali telah memperoleh keputusan dari pengadilan dengan ketentuan dan syarat yang telah ditetapkan.
Pasal 10 Apabila pasangan suami isteri telah becerai kemudian menikah kembali dan
bercerai untuk yang kedua kalinya, maka mereka tidak diperbolehkan untuk menikah lagi.
2.1.3 Tujuan Perkawinan
Dalam rumusan pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal. Ini berarti perkawinan dilakukan bukan hanya untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu, akan tetapi untuk seumur hidup atau
selama-lamanya dan tidak boleh diputus dengan begitu saja karena pemutusan
perkawinan dengan perceraian hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa.
Universitas Sumatera Utara
27
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami dan isteri harus saling
membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil. Adapun
tujuan dari perkawinan ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk memperoleh keturunan yang sah, yang akan melangsungkan serta mengembangkan keturunan suku-suku bangsa manusia;
2. Untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia dalam menyalurkan hasrat
dan kasih sayangnya; 3.
Untuk memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan; 4.
Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang; dan
5. Menumbuhan kesungguhan untuk bertanggung jawab dalam menerima hak
dan kewajiban sebagai keluarga. Tujuan pernikahan merupakan hal yang sangat penting, karena tujuan
pernikahan merupakan arah sebuah pernikahan berjalan. Jika tidak ada tujuan yang ingin dicapai, maka sebaiknya pernikahan jangan dilakukan. Berdasarkan tujuan
yang telah dipaparkan, secara umum tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan atas rasa cinta dan kasih sayang
antara pasangan suami, isteri, dan anak serta bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan.
Universitas Sumatera Utara
28
2.1.4 Jenis-jenis Perkawinan
Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspek yaitu sesuatu yang berbeda jenis dan berbeda dalam karakteristiknya. Adapun jenis perkawinan
secara universal dapat digolongkan atas beberapa kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Bentuk Perkawinan Menurut Jumlah Isteri atau Suami
a. Monogami
Suatu bentuk perkawinan atau pernikahan dimana suami tidak menikah dengan wanita lain dan isteri tidak menikah pria lain. Dengan kata lain,
suami hanya memiliki seorang isteri dan suami hanya memiliki seorang isteri.
b. Poligami
Suatu perkawinan dimana seorang suami mempunyai isteri lebih dari satu, dan ada banyak alasan yang mendasari terjadinya perkawinan poligami,
diantaranya adalah anak, jenis kelamin anak, ekonomi, serta status sosial. Poligami sendiri terbagi atas dua jenis perkawinan, yaitu:
a Poligini banyak isteri
b Poliandri banyak suami
2. Bentuk Perkawinan Menurut Asal Usul Isteri atau Suami
a. Endogami
Suatu perkawinan yang terjadi antara etnis, suku, serta kekerabatan dalam lingkungan yang sama.
b. Eksogami
Suatu perkawinan yang terjadi antara etnis, suku, serta kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
29
3. Bentuk Perkawinan Menurut Hubungan Kekerabatan
a. Cross Causin
Yaitu bentuk perkawinan anak-anak yang berasal dari kakak beradik yang berbeda jenis kelamin.
b. Parallel Causin
Bentuk perkawinan anak-anak yang terdiri dari kakak beradik yang sama jenis kelaminnya.
4. Perkawinan Augenis
Yaitu bentuk pernikahan yang bertujuan untuk memperbaki keturunan atau ran. Perkawinan augenis sudah ada sejak dulu. Pada masa Perang Dunia II Hitler
memerintah untuk menculik gadi-gadis dan memaksa dengan tindak kekerasan agar mau digauli oleh lelaki jerman dengan tujuan melahirkan keturunan ras
Aria yang unggul http:wenylestariaidin.blogspot.com201105Perkawinan diakses pada tanggal 26 Maret 2016 pukul 2:32 WIB
5. Kawin Kontrak
Kawin kontrak atau perkawinan yang terjadi di bawah tangan dilakukan dengan sebuah perjanjian dalam suatu waktu tertentu dan tidak mendapatkan
pengakuan yang sah karena tidak terdaftar di instansi yang berwenang. Dalam hukum, kawin kontrak tidak diperbolehkan karena sebagaimana ketentuan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dengan
tujuan membangun keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing
www:m.gresnews.comberitatips055210hukum-kawin-kontrak-di- indonesia diakses pada tanggal 27 Maret 2016 pukul 16:43 WIB
Universitas Sumatera Utara
30
Pada prinsipnya, perkawinan di Indonesia adalah monogami, yaitu perkawinan yang hanya memperbolehkan suami memiliki satu orang isteri dan isteri hanya
memiliki satu orang suami saja karena perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria
dengan wanita menimbulkan akibat secara lahir dan batin baik terhadap keluarga dari pihak pria, keluarga pihak perempuan, masyarakat dan juga dengan harta kekayaan
yang diperoleh dari setelah maupun sesudah menikah.
2.1.5 Asas-asas Perkawinan
Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama berbeda satu sama lain, akan tetapi tidak saling bertentangan. Di Indonesia hukum perkawinan secara garis
besar di atur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang
sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam
masyarakat Indonesia. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang dasar 1945,
maka Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaannya Sudarsono, 2015: 6 – 7
Dalam Undang-undang tersebut ditentukan prinsip-prinsip dan asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami dan isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
Universitas Sumatera Utara
31
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam membantu serta mencapai kesejahteraan baik secara spiritual dan materil.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku. c.
Undang-undang ini menganut asas monogami, yaitu seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang pria.
Apabila terjadi pernikahan poligami dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka hal tersebut hanya bisa diputuskan oleh pengadilan.
d. Calon suami isteri yang usianya belum mencapai 21 tahun harus mendapatkan
izin kedua orang tuanya serta mereka harus memiliki jiwa dan raga yang matang benar-benar siap untuk melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa terjadinya perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itu, harus ada pencegahan
terjadinya perkawinan dibawah umur. Berhubungan dengan ketentuan diatas, maka Undang-undang menetapkan batas umur kawin 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita. e.
Undang-undang ini juga melarang perkawinan sejenis, sedarah, sesusuan, dan setali persaudaraan.
f. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan secara
bersama.
Universitas Sumatera Utara
32
2.1.6 Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Perkawinan menciptakan hubungan antara seorang pria dan wanita menjadi suatu kesatuan yang utuh, sehingga terciptalah hak dan kewajiban masing-masing
maupun bersama dalam keluarga.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 31 UUP bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan dalam bermasyarakat dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum dan status suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan isteri
adalah sebagai ibu rumah tangga Usman, 2006: 337. Adapun hak dan kewajiban dari masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
1. Hak dan Kewajiban Suami
a. Memberikan nafkah pada keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang,
pangan dan papan secara layak; b.
Membantu peran isteri dalam mengurus anak; c.
Menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga;
d. Memberikan kebebasan dalam berfikir dan menyampaikan pendapat serta
bertindak sesuai dengan aturan dan norma yang sewajarnya; e.
Mampu menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan tidak sewenang- wenang; dan
f. Berhak mendapatkan pelayanan terbaik secara lahir batin dari isteri.
2. Hak dan Kewajiban Isteri
a. Mendidik dan memelihara anak dengan baik dan penuh dengan penuh
tanggung jawab;
Universitas Sumatera Utara
33
b. Mentaati dan mematuhi perintah suami dalam batas sewajarnya;
c. Menjaga kehormatan keluarga;
d. Mengatur dan menguruh rumah tangga dengan baik dan penuh dengan
tanggung jawab; e.
Mendapatkan nafkah lahir dan batin dari suami; dan f.
Berhak mendapatkan perlindungan, penjagaan, dan perhatian dari suami.
2.2 Anak 2.2.1 Pengertian Anak
Secara umum dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Anak juga
merupakan cikal-bakalnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang tentang Perkawinan
menetapkan batas usia menikah adalah 16 tahun. Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Pasal 2, dikatakan bahwa yang dikatakan sebagai anak adalah semua orang yang berusia di bawh 18
tahun. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Universitas Sumatera Utara
34
Menurut Undang-undang Hukum Pidana KUHP Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa yang dikatakan sebagai anak
adalah individu yang belum mencapai usia 18 tahun. Menurut Undang-undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
pasal 1 ayat 5 disebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih di dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingan. Maka, dapat dilihat secara keseluruhan bahwa rentang usia anak terletak pada
skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan bedasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan
pribadi dan kematangan mental seseorang yang pada umumnya dicapai setelah seseorang melewati usia 21 tahun www.landasanteori.com201508pengertian-
anak-menurut-definisi-ahli.html diakses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 19:21 WIB
Peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak seragam dalam menentukan bagaimana yang dimaksud sebagai anak, tetapi ada perbedaan dalam
setiap pemahaman, semua tergantung pada situasi dan kondisi dalam pandangan yang mana yang akan dijadikan persoalan.
Anak merupakan generasi penerus bangsa, maka anak juga mempunyai suatu hak-hak yang harus di akui dan dilindungi oleh Negara, hak anak juga merupakan
bagian dari Hak Azasi Manusia meskipun anak masih dalam kandungan seorang ibu. Yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala upaya yang diajukan untuk
mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindakan perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik maupun sosialnya.
Universitas Sumatera Utara
35
Sedangkan dalam Undang-undangNomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan.
2.2.2 Kebutuhan Anak
Sebagaimana manusia lainnya, setiap anak memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
secara sehat dan wajar. Menurut Katz 2003 bahwa kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orang tua dan anak yang sehat dimana
kebutuhan anak seperti perhatian, kasih sayang, perlindungan, dukungan, dan pemeliharaan dapat terpenuhi. Bown dan Swanson 2003 mengatakan bahwa
kebutuhan utama anak adalah perlindungan keamanan, kasih sayang, pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang
sehat. Sedangkan menurut Huttman 2003 ada beberapa kebutuhan anak yang harus terpenuhi, antara lain:
a. Kasih sayang orang tua;
b. Stabilitas emosional;
c. Pengertian dan perhatian;
d. Pertumbuhan kepribadian;
e. Dorongan kreatif;
f. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar;
g. Pemeliharaan kesehatan;
h. Pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan; dan
Universitas Sumatera Utara
36
i. Perolehan pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan Huraerah, 2007: 38
– 39 Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar tersebut akan berdampak
negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas
kesehatan yang buruk, melainkan juga akan mengalami hambatan mental, lemah daya nalar, dan bahkan perilaku-perilaku menyimpang dan mendorong mereka untuk
melakukan indakan kriminal. Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak
akan mengalami hambatan jika: a.
Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak; b.
Tanpa bimbingan dan asuhan; c.
Mengalami sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat; d.
Diperlakukan salah secara fisik; e.
Diperlakukan salah dan dieksploitasi secara seksual; f.
Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat;
g. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus
menerus, perceraian dan mempunyai orang tua yang menderita gangguan jiwa; dan
h. Dieksploitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh okeh kondisi yang tidak
sehat dan demoralisasi Huraerah, 2007: 39
Universitas Sumatera Utara
37
2.2.3 Hak-Hak Anak
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan Hak Azasi
Manusia. Yang dimaksud sebagai anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang
utuh. Secara hukum, anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa yang akan datang.
Setiap anak akan mampu memikul tanggung jawab yang telah di cita-citakan tersebut, untuk itu maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal baik secara fisik, mental, maupun sosial serta harus memiliki akhlah yang mulia. Dibutuhkan suatu perlindungan dalam
mewujudkan kesejahteraan anak yaitu dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa deskriminasi.
Dalam mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan terhadap anak, maka dibutuhkan suatu dukungan dari kelembagaan dan peraturan perundang-undangan
yang dapat menjamin terlaksananya hal-hal di atas. Dalam Undang-undang Nomor 23 Pasal 2 tahun 2002 tentang Kesejahteraan
Anak, menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak, yang meliputi: a.
Non diskriminasi; b.
Kepentingan yang terbaik bagi anak; c.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan dan hidup; dan
Universitas Sumatera Utara
38
d. Menghargai setiap pendapat anak Joni dan Tanamas 1999: 105
Hak anak secara universal telah ditetapkan melalui Sidang Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1959, dengan memproklamasikan Deklarasi Hak-hak
Anak.Dengan deklarasi tersebut, diharapkan semua pihak baik individu, orang tua, organisasi sosial, pemerintah, dan masyarakat mengakui hak-hak tersebut dan
mendorong upaya untuk memenuhinya. Ada hak-hak anak yang dimaksud dalam deklarasi ini adalah sebagai berikut:
a. Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan
kesempatan dan fasilitas oleh hukum, sehingga mereka mampu untuk berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial;
b. Setiap anak sejak lahir harus memiliki nama atau identitas kebangsaan;
c. Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial;
d. Bagi anak cacat berkah untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan
khusus untuk perkembangan dan kemampuannya dalam masyarakat; e.
Setiap anak berhak untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian penuh; f.
Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan sampai kejenjang yang lebih tinggi;
g. Dalam situasi apapun, anak harus menerima perlindungan dan bantuan yang
pertama; dan h.
Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk diskriminasi baik berupa keterlantaran, tindak kekerasan, dan eksploitasi Huraerah, 2007: 32
Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, serta turut berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, semua ini ditujukan agar tercipta anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-
Universitas Sumatera Utara
39
undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Kesejahteraan Anak menjelaskan tentang hak dan kewajiban anak, yang menyebutkan bahwa:
1. Hak Atas Kelangsungan Hidup
Yaitu termasuk di dalamnya adalah hak atas tingkat hidup yang layak, dan memperoleh pelayanan kesehatan. Artinya, anak-anak berhak mendapatkan
gizi yang baik, tempat tinggal yang layak dan mendapatkan perawatan kesehatan yang baik apabila anak mengalami sakit.
2. Hak untuk Berkembang
Yaitu yang temasuk di dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi dan berekspresi. Sama halnya
dengan anak penyandang cacat berhak untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan khusus dalam perkembangannya.
3. Hak Memperoleh Kasih Sayang
Yaitu termasuk dai dalam cinta kasih dari kedua orang tua baik berupa perhatian dan rasa kepedulian terhadap anak.
4. Hak Memperoleh Nafkah
Yaitu termasuk di dalamnya pemenuhan anak untuk mendapatkan uang jajan dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti kebutuhan
sekunder dan primernya. 5.
Hak Mendapatkan Identitas Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan. 6.
Hak dalam Beragama Setiap anak berhak untuk beribadah menurut kepercayaan yang dianutnya,
bebas dalam berpikir, dan bebas dalam berekspresi sesuai dengana tingkat
Universitas Sumatera Utara
40
kecerdasan dan usianya, dan harus mendapat pengawasan serta bimbingan orang tuanya.
7. Hak Mendapat Pengasuhan
Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, serta berkah untuk mendapatkan pengasuhan dari orang tuanya.
8. Hak Mendapat Perlindungan
Yaitu termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan tindak kekerasan Joni danTanamas, 1999:
30 Hak-hak anak sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Konvensi Hak Anak
bukan hanya sekedar hak-hak anak dalam keadaan sulit dan tertindas sehingga perlu dilindungi, akan tetapi juga termasuk dalam kesejahteraan anak yang lebih luas, baik
secara sosial, ekonomi sosial, budaya dan bahkan politik. Hak anak untuk menjamin kebebasannya menyatakan pendapat dan memperoleh informasi merupakan wujud
dari perluasan hak-hak anak yang lebih maju Joni danTanamas, 1999: 109
2.3 Perceraian 2.3.1 Pengertian Perceraian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perceraian mempunyai dua arti yaitu sebagai pisah dan putusnya hubungan sebagai suami isteri. Sedangkan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian berarti berakhirnya suatu perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami isteri yang
disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, perceraian, atas keputusan sendiri dan atas putusan pengadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu
ketidakstabilan perkawinan, dimana pasangan suami isteri kemudian hidup terpisah
Universitas Sumatera Utara
41
dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku www.repository.usu.ac.idbitstream1234.html diakses pada tanggal 19 Maret 2016
pukul 12:53 WIB Perceraian merupakan suatu peristiwa yang sangat tidak diinginkan bagi setiap
pasangan dan keluarga. Perceraian yang terjadi menimbulkan banyak hal yang tidak mengenakkan dan kepedihan yang dirasakan semua pihak, termasuk kedua pasangan,
anak-anak, dan kedua keluarga besar dari kedua belah pihak. Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tidak
lagi ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan melalui putusan pengadilan. Selama perceraian, pasangan tersebut
harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan seperti mobil, rumah, perabotan atau harta benda lainnya, dan bagaimana
mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat
menyelesaikannya di pengadilan. Beberapa ahli menyebutkan defenisi percerain secara berbeda. Murdock 1950
menyimpulkan bahwa di setiap masyarakat terdapat institusi atau lembaga yang menyelesaikan proses berakhirnya suatu perkawinan yang disebut sebagai
perceraian sama halnya dengan mempersiapkan suatu perkawinan. Goode 1950 mengatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai defenisi yang berbeda tentang
konflik antara pasangan suami dan isteri serta cara penyelesaiannya. Goode juga berpendapat bahwa pandangan yang menganggap perceraian merupakan suatu
“kegagalan” adalah biasa sebab, perkawinan terjadi karena ada cinta dan romantis. Padahal, semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup
dan tinggal bersama dimana masing-masing memiliki keingina, kebutuhan, nafsu,
Universitas Sumatera Utara
42
serta latar belakang dan nilai sosial yangg bisa saja berbeda satu sama lainnya. Akibatnya sistem ini bisa memunculkan ketegangan-ketegangan dan
ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga. Oleh karena itu, apabila terjadi sesuatu dengan perkawinan misalnya perceraian maka akan timbul
masalah-masalah yang harus dihadapi baik oleh pasangan yang bercerai maupun anak-anak serta masyarakat di wilayah terjadinya perceraian Su’adah, 2005: 214 –
215 Dari pengertian diatas, dapat disimpulakan bahwa perceraian adalah putusnya
sebuah hubungan perkawinan atau perceraian yang dilakukan baik secara hukum dan perceraian yang dilakukan dengan diam-diam atau hanya dilakukan diatas hitam dan
putih. Sehingga mengakibatkan status suami atau isteri telah berakhir. Seperti halnya perkawinan, perceraian juga merupakan suatu proses yang
didalamnya menyangkut banyak aspek seperti emosi, ekonomi, sosial, dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku Su’adah,
2005: 214
2.3.2 Faktor Penyebab Perceraian
Pernikahan yang harmonis merupakan dambaan setiap orang. Namun, untuk meraihnya diperlukan pemahaman, pengertian, bahkan pengorbanan dari kedua belah
pihak. Hal ini perlu dilakukan sebelum, selama, dan setelah pernikahan berlangsung. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, maka dapat dipastikan akan menimbulkan
permasalahan dalam pernikahan tersebut. Secara umum, fokus masalah dalam pernikahan ditimbulkan oleh sosial ekonomi, tidak memperoleh restu orang tua,
komunikasi yang kurang dan terbatas antarpasangan, kurangnya rasa percaya
Universitas Sumatera Utara
43
terhadap pasangan, ketidaksetiaan, pernikahan tanpa adanya rasa cinta, dan terjadinya pernikahan di usia muda.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian antar suami dan isteri, yaitu sebagai berikut:
1. Kurangnya Komunikasi
Pasangan yang dapat terus membina bahtera rumah tangga perlu mendengarkan dan menghargai satu sama lain sekalipun mereka tidak
sependapat dalam mengatasi persoalan yang terjadi. Selain itu, pada saat berkomunikasi pasangan suami-isteri sebaiknya tidak saling menuduh
ataupun menyalahkan satu dengan yang lainnya. Pentingnya interaksi yang positif dalam berkomunikasi dengan pasangan menjadi penentu kelanjutan
dari hubungan tersebut. 2.
Adanya Perbedaan Pendapat Selain hubungan komunikasi yang kurang baik, perbedaan pendapat juga
mempengaruhi sebuah keharmonisan dalam rumah tangga. Yaitu adanya ketidaksepakatan dalam berpendapat. Misalnya terjadi ketidaksepakatan
dalam cara membesarkan anak dan mengatur disiplin anak. 3.
Ketidaksetiaan Alasan yang paling sering ditemukan dalam rumah tangga adalah
ketidakharmonisan. Ketidakharmonisan ini bisa terjadi karena kurangnya rasa percaya antara suami dan isteri. Ketidakpercayaan ini juga merupakan
suatu titik awal terjadinya perselingkuhan. Glenn mengungkapkan dalam Benokraitis 2009 bahwa pria banyak mengeluh tidak bahagia dengan
kehidupan seksualnya dan mencari orang lain yang dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga terjadilah perselingkuhan.
Universitas Sumatera Utara
44
4. Pernikahan Tanpa Cinta
Biasanya kasus seperti ini terjadi ketika pernikahan dilakukan atas dasar menutupi kesalahan-kesalahan yang dilakukan bersama. Sehingga
pernikahan pun dilakukan karena terpaksa. Dalam sebuah hubungan pernikahan, apabila dilakukan terpaksa dan dijalankan tanpa adanya ikatan
cinta, maka pernikahan tersebut tidak akan bertahan lama karena masing- masing diantara mereka tidak ada rasa perduli satu sama lain.
5. Pernikahan Usia Muda
Pernikahan di usia muda memiliki resiko yang paling tinggi untuk bercerai karena pasangan yang menikah di usia muda dianggap belum memiliki
kematangan secara emosional Kertamuda, 2009: 92 – 93 6.
Ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan Ketidaksetaraan menjadi pemicu lainnya yang membuat orang melakukan
perceraian. Kesenjangan dari tanggung jawab untuk faktor ekonomi pun dapat termasuk dalam ketidaksetaraan.
7. Adanya kekerasan dalam rumah tangga
Faktor perceraian yang dialami oleh pasangan suami dan isteri mempunyai banyak alasan, salah satunya adalah adanya tindak kekerasan dalam rumah
tangga Masalah dalam keluarga merupakan hasil dari suatu kombinasi faktor-faktor
daripada hanya terfokus pada satu faktor saja. Perkawinan meliputi dua kepribadian yang kompleks dan bermacam ragam, dan ketegangan-ketegangan merupakan
cermin dari perbedaan-perbedaan mereka tersebut. Tiap-tiap pasangan memiliki pola sifat yang berbeda dalam kepribadiannya,dan mempunyai reaksi masing-masing
terhadap pola tersebut karena perkawinan adalah suatu cara hidup yang meliputi
Universitas Sumatera Utara
45
bagian dari hidup, teman-teman, hak milik, pendapatan, sikap-sikap, tujuan-tujuan, gagasan-gagasan dan ambisi-ambisi. Oleh sebab itu, ketegangan-ketegangan yang
mneghancurkan kelompok keluarga tersebut menggambarkan baik buruknya keperibadian maupun interaksi yang dimiliki masing-masing pasangan Su’adah,
2005: 233
2.3.3 Dampak Perceraian 2.3.3.1 Dampak Perceraian Terhadap Mantan Pasangan
a. Sulit melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya.
Masalah utama yang dihadapi oleh mantan pasangan suami dan isteri setelah perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan
masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosialnya. Sulitnya dalam melakukan penyesuaian diri ini digambarkan oleh Waller
1930 sebagai masa dimana mantan suami dan mantan isteri merasakan ada sesuatu yang kurang dan hilang dalam kehidupan pribadi mereka. Tanpa
disadari, mereka mulai merasakan adanya kerinduan terhadap mantan pasangannya serta kebersamaan yang pernah mereka rasakan. Beberapa
orang menganggap bahwa perceraian dapat memberikan perasaan bahagia dan memberikan kebebasan baginya, tapi tanpa disadari muncul perasaan
sedih apabila teringat akan masalah dalam rumahtangga di masa yang lalu
Su’adah, 2005: 236
b. Status hubungan berubah menjadi pertemanan.
Hubungan antara mereka yang bercerai dan menganggap mantan pasangan sebagai seorang teman. Hal ini ditandai oleh adanya rasa kebersamaan
tanggung jawab terhadap pengasuhan dan pendidikan anak mereka
Universitas Sumatera Utara
46
Biasanya mereka memilih tempat tinggal yang berdekatan dengan maksud agar anak mereka masih tetap dapat berhubungan dan saling membagi
pengalaman mereka secara bersama. c.
Status hubungan berubah menjadi permusuhan. Selain adanya hubungan sebagai teman, adapula hubungan mantan suami
dan isteri yang menganggap sebagai musuh yang paling dibenci. Mereka berusahab untuk tidak saling berkomunikasi antara satu dengan yang lain.
Pada satu kesempatan, apabila mereka dipertemukan dalam situasi atau kegiatan yang berhubungan dengan anak pesta ulang tahun, pertunangan
ataupun pernikahan maka mereka tidak saling menegur dan tidak berdekatan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan dalam pengasuhan
anak, mantan pasangan suami dan isteri ini lebih cenderung sepakat untuk tidak mencampuri urusan dan caranya masing-masing Su’adah, 2005: 235
– 238
2.3.3.2 Dampak Perceraian Terhadap Anak
1. Adanya perasaan trauma.
Munculnya perasaan trauma yang dialami anak karena perceraian orang tua berkaitan dengan kualitas hubungan dalam keluarga sebelumnya. Apabila
anak merasakan adanya kebahagiaan dalam kehidupan rumah sebelumnya maka mereka akan merasakan tidak ada kebahagian kehidupan dalam
rumah, maka trauma yang dihadapi anak sangat kecil dan malah perceraian dianggap sebagai jalan keluar terbaik dari konflik terus-menerus yang
terjadi antara ayah dan ibu Su’adah, 2005: 239.
Universitas Sumatera Utara
47
2. Hilangnya rasa aman dalam diri.
Selain adanya perasaan ditinggalkan, anak juga akan kehilangan rasa aman karena kedua orang tuanya tidak lagi bersama dalam mengasuh dan
menjaganya dalam satu rumah. Hal inilah yang dapat menyebabkan anak lebih sering menghabiskan waktu diluar rumah bersama teman-temannya
daripada memilih untuk tinggal lama dirumah. 3.
Merasa dimanfaatkan. Selain trauma, anak yang berasal dari keluarga yang bercerai biasanya
merasa dimanfaatkan oleh satu bahkan kedua orang tua mereka. Beberapa perlakuan orang tua setelah bercerai adalah berusaha menarik perhatian
anak untuk menceritakan hal-hal buruk tentang mantan pasangan mereka serta melibatkan anak dalam kondisi permusuhan Su’adah, 2005: 239
4. Merasa ditinggalkan dan tidak diinginkan oleh orang tua.
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang sangat sulit bagi anak, terutama menyangkut tentang hubungan dengan orang tuanya yang tidak
lagi tinggal bersama. Anak biasanya akan merasa kehilangan dan kesepian serta cenderung menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi dalam
keluarganya. Selain itu, tuntutan ekonomi keluarga juga menjadi pemicu timbulnya perasaan ini. Keluarga yang bercerai biasanya ibu atau ayah yang
tinggal bersama anak lebih memilih bekerja dari pada menghabiskan waktu dirumah bersama anak demi memenuhi kebutuhan hidup anak dan dirinya.
5. Hilangnya hak dan kewajiban anak.
Meskipun kehidupan setelah perceraian merupakan suatu kehidupan baru, namun masih ada ikatan-ikatan di antara pasangan yang bercerai. Ikatan
Universitas Sumatera Utara
48
yang paling penting adalah ikatan sebagai orang tua dari anak yang dilahirkan selama perkawinan. Setelah bercerai,mantan pasangan suami dan
isteri harus mendefinisikan kembali hubungan dan peran mereka sebagai ayah dan ibu yang sudah tidak lagi tinggal bersama dalam satu rumah.
Contance Ahrons 1979 mengemukakan bahwa ikatan yang terjadi antara anak dengan orang tua yang tidak serumah lagi membentuk sebuah sistem
keluarga yang saling berhubungan satu sama lain. masing-masing keluarga ini mempunyai hak dan kewajiban untuk memelihara, merawat dan
mendidik anak mereka.
Menurut Leslie 1967, reaksi anak terhadap perceraian sangat tergantung pada penilaian mereka sebelumnya terhadap perkawinan orang tua mereka serta rasa aman
di dalam keluarga. Lebih dari separuh anak dari keluarga tidak bahagia menunjukkan reaksi bahwa perceraian adalah yang terbaik untuk keluarganya. Sedangkan anak
yang berasal dari keluarga bahagia lebih dari separuhnya menyatakan kesedihan dan bingung menghadapi perceraian orang tua mereka.
Mereka cenderung menjadi pribadi yang menyendiri akibat hilangnya rasa percaya terhadap kedua orang tuanya. Rasa percaya yang dulu ada kini berubah
menjadi perasaan takut dan bingung jika dihadapi situasi antara memilih ibu atau ayah yang akan tinggal bersama dirinya.
2.4 Kerangka Pemikiran
Keluarga merupakan lembaga terkecil dalam sistem sosial kemasyarakatan yang terdiri dari satu orang atau lebih yang tinggal bersama, hidup dalam sebuah
rumah tangga untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi serta disatukan oleh aturan-aturan hukum pernikahan yang berlaku. Hubungan ini dilandaskan atas rasa
Universitas Sumatera Utara
49
cinta dan persamaan dalam pendapat, perasaan, dan adanya komitmen serta dibentuk dengan ikatan perkawinan. Dalam ikatan perkawinan terdapat hak dan kewajiaban
pasangan suami isteri terhadap anak, yaitu memberikan kebutuhan baik secara pangan, papan, maupun sandang, pemenuhan akan kasih sayang, memberikan
pengasuhan yang baik, memberikan kebebasan dalam berpendapat, serta memberikan perlindungan kepada anak.
Dalam rumusan pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal. Ini berarti perkawinan dilakukan bukan hanya untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu, akan tetapi untuk seumur hidup atau
selama-lamanya dan tidak boleh diputus dengan begitu saja karena pemutusan
perkawinan dengan perceraian hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perceraian mempunyai dua arti yaitu sebagai pisah dan putusnya hubungan sebagai suami isteri. Sedangkan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian berarti berakhirnya suatu perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami isteri yang
disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, perceraian, atas keputusan sendiri dan atas putusan pengadilan. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
perceraian antar suami dan isteri, yaitu karena kurangnya komunikasi, adanya perbedaan pendapat, ketidaksetiaan, pernikahan tanpa cinta, pernikahan usia muda,
ketidakseimbangan atau ketidaksetaraan, dan adanya kekerasan dalam rumah tangga. Dampak dari adanya faktor perceraian yaitu Adanya perasaan trauma, hilangnya rasa
aman dalam diri, Merasa dimanfaatkan, Merasa ditinggalkan dan tidak diinginkan
oleh orang tua, dan hilangnya hak dan kewajiban anak.
Universitas Sumatera Utara
50
PERKAWINAN
PERCERAIAN
FAKTOR MENYEBABKAN PERCERAIAN:
1. Kurang komunikasi
2. Adanya perbedaan pendapat
3. Ketidaksetiaan
4. Pernikahan tanpa cinta
5. Pernikahan usia muda
6. Ketidakseimbangan ekonomi
7. Kekerasan dalam rumah tangga
HAK-HAK ANAK: 1.
Hak atas kelangsungan hidup 2.
Hak untuk berkembang 3.
Hak memperoleh kasih sayang 4.
Hak memperoleh nafkah 5.
Hak mendapatkan identitas 6.
Hak dalam beragama 7.
Hak mendapat pengasuhan 8.
Hak mendapat perlindungan
DAMPAK PERCERAIAN TERHADAP ANAK:
1. Adanya perasaan trauma
2. Hilangnya rasa aman dalam
diri 3.
Merasa dimanfaatkan 4.
Merasa ditinggalkan dan tidak diinginkan orang tua
5. Hilangnya hak dan
kewajiban anak
Gambar 2.1 Bagan Alur Pikir
Universitas Sumatera Utara
13
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang