Hasil Skala Resiliensi Latar Belakang

152 “Dia itu tipe pemilih, kalau di lingkungan baru dia itu milih diem dulu, buat ngamatin, kalau nggak suka ya dia nggak mau maen bareng sama orang itu lagi” 9 Mei 2014 Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ketika membutuhkan bantuan ketiga subjek mampu mengungkapkan secara langsung kepada orang yang bersangkutan. Dh dan Yn meminta bantuan ketika mereka membutuhkan masukan mengenai masalahnya sedangkan Rd jarang meminta bantuan mengenai masalah pribadinya. Rd meminta bantuan ketika membutuhkan teman untuk menemani dirinya ke suatu tempat. Ketiga subjek mempunyai teman dekat. Hal yang membuat ketiga subjek dekat dengan orang lain yaitu dengan saling cerita, berbagi masalah, dan pergi bersama. Dalam mencari teman, Dh dan Yn adalah orang yang mudah mencari teman baru sedangkan Rd cenderung lebih memilih teman. Secara garis besar faktor I Can ketiga subjek dapat dilihat pada lampiran 5 yang berada pada halaman 204.

B. Pembahasan

Dalam penelitian ini, peneliti membahas tentang resiliensi yang mengungkap latar belakang terinfeksi HIV AIDS dan tiga sumber resiliensi yaitu faktor I Have, I Am, dan I Can. Adapun hasil dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Hasil Skala Resiliensi

Berdasarkan dari skala yang telah diujikan kepada subjek menunjukkan bahwa Dh dan Yn berada pada kategori sedang, sedangkan Rd berada pada kategori tinggi. Faktor yang paling berpengaruh terhadap tingginya tingkat 153 resiliensi yang dimiliki setiap subjek berbeda-beda. Rd mempunyai resiliensi tertinggi dengan faktor I Am yang paling berpengaruh. Dh berada pada kategori sedang dengan faktor I Am yang paling mendominasi sedangkan Yn berada pada kategori sedang karena ketiga faktor resiliensi yang ada saling mengimbangi satu sama lain.

2. Latar Belakang

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti terlihat bahwa latar belakang ketiga subjek terinfeksi HIV AIDS berbeda-beda. Dh tertular HIV AIDS karena melakukan hubungan seksual dengan almarhum suaminya yang telah terinfeksi HIV AIDS akibat menggunakan narkoba jarum suntik. Yn terinfeksi HIV AIDS karena menggunakan jarum suntik secara bersama dengan temannya yang menginggal akibat HIV AIDS sedangkan Rd mengidap HIV AIDS karena melakukan hubungan seksual sesama jenis tanpa pelindung, secara khusus Rd melakukan hubungan anal dengan orang yang sudah terinfeksi HIV AIDS. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Darmono 2006: 80 bahwa penularan HIV dapat melalui hubungan kelamin tanpa pelindung, melalui tranfusi darah, penggunaan jarum suntik, dan dari ibu yang HIV positif ke bayi atau janin yang dikandungnya. Ditambahkan oleh Corliss Corliss 2006: 202 bahwa bentuk hubungan anal merupakan risiko tertinggi karena dapat menyebabkan sobeknya lapisan anal, dimana memungkinkan menginfeksi air mani yang kemudian masuk ke aliran darah. 154 Respon yang terjadi pada ketiga subjek juga beragam. Respon Dh saat mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV yaitu diam tanpa kata, tidak bisa menangis dan berteriak, seakan tidak percaya. Dh juga mengeluh dengan Tuhan dan melakukan hal untuk menyiapkan berbagai kenangan karena merasa akan meninggal. Hal tersebut karena Dh menganggap HIV AIDS adalah penyakit yang mematikan karena sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Selain itu, Dh khawatir masih ada orang yang mau menerima dirinya atau tidak. Berbeda halnya dengan Yn, respon Yn yaitu merasa dunia sudah berakhir, depresi dan mulai menggunakan narkoba dengan dosis yang lebih tinggi. Saat itu Yn menganggap bahwa ketika individu terinfeksi HIV AIDS berarti sudah berakhir dan tidak mempunyai masa depan lagi sedangkan respon Rd ketika mengetahui statusnya yaitu merasa akan segera meninggal, sedih, marah dan sempat mengurung diri. Rd juga menganggap HIV AIDS adalah penyakit yang mematikan dan menakutkan. Ketiga subjek sama-sama depresi dan merasa hidupnya tidak akan lama lagi. Hal tersebut sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Burns, et al 2000: 411 bahwa ketika individu mengetahui bahwa positif HIV akan merasa seakan dunia sudah berakhir. Hal tersebut merupakan reaksi normal untuk merasa shock dan menyangka hasil tes yang positif tersebut. Selain itu, individu juga akan merasa marah dan putus asa serta menyalahkan diri sendiri dan orang lain. Richardson 1998: 109 juga mengungkapkan bahwa seseorang yang mengetahui bahwa dirinya menjadi seorang pengidap HIV positif akan mengahadapi banyak masalah yang saling berhubungan dan terus dipikirkannya, salah satu masalahnya 155 adalah kekuatiran dan depresi. “Kekuatiran yang dialami terasa lebih berat dan lebih dalam karena AIDS merupakan suatu penyakit yang menakutkan karena sampai saat ini penyembuhannya belum ditemukan” Richardson, 1988: 113 dan “kebanyakan orang menjadi depresi saat mereka dinyatakan mengidap AIDS” Richardson, 1988: 116. Respon yang berbeda juga dapat disebabkan dari pengetahuan yang dimiliki oleh subjek. Sebelumnya Dh dan Yn tidak mengetahui bahwa perilaku mereka berisiko untuk terinfeksi HIV AIDS sedangkan Rd sudah mengetahui bahwa sebagai homoseksual berisiko terinfeksi HIV AIDS. Akibat hal tersebut, respon yang dimunculkan Rd yaitu marah karena dirinya sudah mengetahui berisiko HIV AIDS tetapi tidak melakukan tindakan preventif. Sekarang Dh menganggap bahwa HIV AIDS sama seperti penyakit yang lain tetapi masih dibungkus dengan stigma dan diskriminasi. Dh juga sudah tidak mengeluh lagi dan merasa selama ini sangat dimudahkan oleh Tuhan. Selain itu, dengan dirinya menjadi ODHA, Dh dapat membantu ODHA dan perempuan yang lain serta kehidupan ekonomi keluarganya sedangkan Yn dan Rd berpandangan bahwa pemikirannya dulu tentang HIV AIDS ternyata salah. Saat ini, Yn mampu melakukan banyak hal yang dulunya dianggap tidak akan mungkin dapat dilakukan. Yn juga merasa bangga bahwa dia sudah berkeluarga dan mempunyai anak tanpa mengalami penyakit yang parah. Berbeda dengan kedua subjek di atas, sekarang Rd ingin menunjukkan bahwa ODHA sama seperti yang lain dengan cara mempercantik penampilan dan berusaha menjadi orang yang sukses. Sekarang ketiga subjek sudah mampu 156 memandang dan memaknai hidupnya secara lebih positif karena mereka mempunyai sikap resiliensi. Resiliensi merupakan kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, menjadi kuat, dan bahkan berubah karena pengalaman adversitas Grotberg, 1999: 3. Individu yang resilien akan mampu untuk mengambil makna dari permasalahan yang ada dan mampu memperbaiki diri dari masalah yang dialami.

3. Faktor I Have a. Trusting relationship