Tinjauan Pustaka Kemajemukan Hukum Perkeretaapian Sumatera Utara

6 kuasa antara individu-individu yang berada di lingkungan kereta api dan melakukan kesepakatan sehingga melegalkan tindakan yang pada dasarnya menyalahi aturan sebenarnya. Hal menarik yang ingin saya perlihatkan adalah bagaimana hukum-hukum yang ada saling bekerja dan diberlakuakan sama di lapangan. Serta memperlihatkan bahwa kepentingan dari masing-masing individu dapat memicu terciptanya hukum. Oleh karena itu ada keterkaitan antara kepentingan dengan hukum. Selain itu juga saya ingin memperlihatkan bagaimana hubungan kekerabatan juga dapat mendorong terciptanya suatu aturan baru, yang tanpa sadar mengenyampingkan aturan formal.

1.2 Tinjauan Pustaka

Hukum merupakan komponen dasar dalam sebuah tertib sosial yang mengatur berbagai jenis interaksi dalam masyarakat. Kelsen mengatakan bahwa hukum itu adalah “ilmu normatif” yang lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia itu sendiri 3 . Paham sentralisme hukum legal centralism mengatakan bahwa hukum sudah seharusnya bersumber dari hukum negara, hal ini berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain serta dijalankan oleh seperangkat lembaga- lembaga negara. Namun dalam kehidupan sehari-hari dimana hukum itu bekerja dalam arena sosial terjadi interaksi yang tidak bisa dihindari antara hukum negara 3 Joe Hasan Artikel “Teori Hukum” nterdapat di http:www.slideshare.netjoehasanteori-hukum diakses pasa 29 oktober 2013 Universitas Sumatera Utara 7 dengan berbagai hukum yang ada seperti hukum adat, agama dan hukum-hukum lainnya yang menimbulkan adanya situasi kemajemukan hukum. Berbicara mengenai hukum adat Posposil menyebutkan adanya batasan antara adat dan hukum adat yang disebutkannya sebagai berikut: 1. Hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas-aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam suatu masyarakat, seorang peneliti harus mencari adanya empat ciri hukum, atau attribute of law. 2. Attribute yang dimaksud yang terutama disebut attribute of authority. Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan melaui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena misalnya ada: i serangan- serangan terhadap diri individu; ii serangan-serangan terhadap hak orang; iii serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; iv serangan-serangan terhadap keamanan umum. 3. Attribute yang kedua disebut attribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksud sebgai keputusan-keoutusan yang mempunyai jangka waktu panjang yang harus dianggap berlaku Universitas Sumatera Utara 8 juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam masa yang akan datang. 4. Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua, tetapi juga sebaliknya. Dalam hal ini kedua pihak tersebut harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Apabila keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban ataupun hak tadi, maka keputusan tidak akan ada akibatnya dan bukan keputusan hukum. apabila pihak kedua merupakan nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan pihak kesatu terhadap pihak kedua itu bukan keputusan hukum, melainkan hanya suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan. 5. Attribute yang keempat disebut attribute of sanction, dan menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem-sistem hukum bangsa- bangsa Eropa, tetapi juga berupa sanksi rohani seperti misalnya menimbulkan rasa taku, malu, rasa dibenci, dan sebagainya Koentjaraningrat, 1981: 200-201. Mengenai ciri-ciri hukum adat yang memberi pembatasan antara adat dan hukum adat sudah terlihat sangat jelas dari penjelasan kelima poin diatas, telah Universitas Sumatera Utara 9 dijelaskan bahwa untuk melihat perbedaan antara keduanya terlebih dahulu melihat attribute of law yang dimiliki pada suatu masyarakat agar dapat dilihat dengan jelas bagaimana sebenarnya hukum adat itu bekerja, aktivitas apa saja yang dapat dikatakan sebagai hukum dan bukan hukum melainkan adat. Paul J. Bohannan mengatakan bahwa hukum itu mirip seperti bunglon bila diperhatikan bahwa dia terdapat diberbagai masyarakat dan dia mengambil bentuk dan isi menurut kebutuhan masyarakatdi mana dia berlaku. Namun dibawah kulit bunglon yang berubah-ubah terdapat sesuatu yang merupakan inti yang tidak berubah. Sifatnya yang bisa berubah itu justru merupakan sifat yang paling penting dan merupakan kekuatannya. Dari hukum itu, walaupun beragam wajah dan penampilannya diberbagai masyarakat yang paling penting untuk diperhatikan adalah bagaimana cara suatu masyarakat menangani perselisihan dan kasus-kasus pertikaian. Artinya melihat bagaimana caranya lembaga-lembaga yang berhadapan dengan penyelewengan- penyelewengan diorganisasikan sehingga penyimpangan dapat dikendalikan atau dibendung. Sehingga dapat dilihat bahwa lembaga itu menggeserkan kembali perilaku manusia kepada saluran-saluran yang diakui dan diterima sehingga kehidupan sosial dapat bertahan, karena hukum merupakan sarana untuk menyembuhkan masyarakat dan untuk melanjutkan hidup bermasyarakat dalam Ihromi, 2000: 52-53. Seorang antropolog bernama Klose menuliskan sebuah perbedaan pandangan antara masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup dalam melihat hukum. Pada masyarakat terbuka cenderung memiliki sikap kritis terhadap Universitas Sumatera Utara 10 kehidupan sosial mereka, yang mana mereka melihat bahwa normaaturan yang mengatur kehidupan sehari-hari dan lembaga yang mengaturnya merupakan karya manusia itu sendiri. Sedangkan masyarakat tertutup menilai bahwa normaaturan dan institusi yang mengaturnya dianggap pemberian dari alam. dalam Birx, 2011: 488 4 . Meminjam pernyataan yang di tuliskan oleh Klosen maka dapat dikatakan bahwa pada masyarakat terbuka membenarkan bahwa hukum itu di buat oleh manusia dan juga sekaligus mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Sedangkan masyarakat tertutup cenderung bersikap statis dalam memandang hukum tersebut. Friedman juga memiliki pendapat tersendiri dalam melihat hukum, yang mana ia menggolongkan hukum dalam tiga komponen yakni: 1 legal substance yang berarti sebagai norma dan aturan yang digunakan secara institusional, beserta pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum; 2 legal structure yang berarti sebagai lembaga – lembaga yang bertugas untuk menegakkan hukum, seperti kepolisian dan peradilan hakim, jaksa, dan pengacara ; 3 legal culture yang berarti “budaya hukum”, yaitu kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berfikir Lawrance M. Friedman dalam Sulistyowati, 2000: 71. Dari ketiga poin tersebut tidak menutup kemungkinan adanya situasi kemajemukan hukum. Eksistensi kemajemukan hukum dapat dilihat ketika seorang Individu menjadi subjek lebih dari satu hukum. Sehingga dapat dilihat bagaimana individu tersebut menanggapi sistem-sistem hukum yang ada 4 Joachim Klose merupakan Commissioner of the Konrad Adeneur Foundation for the Free State of Saxony menuliskan hal tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Open And Close Socienties” terdapat pada 21st Century Anthropology A Refrence Handbook dengan Editor: H. James Birx. tahun 2011 hal, 488. Universitas Sumatera Utara 11 dihadapannya, hal ini terkait dengan budaya hukum. Budaya hukum inilah yang akan menentukan pilihan hukum individu tersebut, yang dengan kata lain aturan- aturan hukum yang mana dan dengan cara bagaimana ia mengadakan pilihan yang ada 5 . Pendekatan prosesual dapat digunakan untuk menjelaskan masalah hukum yang mendominasi perkembangan antropologi hukum sampai saat ini. dalam pandangan prosesual masalah kemajemukan hukum diartikan bahwa setiap orang menanggapi suatu aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda, karena mereka tentunya memiliki pengetahuan, harapan-harapan dan kepentingan- kepentingan atau lebih tepatnya lagi kita sebut budaya hukum yang berbeda. Hal ini dapat kita lihat ketika seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan suatu pranata hukum yang ada. Maka seseorang tersebut akan memilih suatu pranata hukum yang dianggapnya paling bisa memungkinkan ia untuk mendapat akses yang lebih terhadap pemenuhan kepentingan 6 . Di mana ia akan memilih satu jalur hukum tertentu dan mungkin saja ia akan melakukan kombinasi terhadap hukum tersebut atau memilih lebih dari satu aturan hukum untuk proses penyelesaian yang tentunya akan menguntungkannya. Inilah yang dikatakan oleh Keebet Von Benda Beckmann sebagai istilah forum shopping. Tidak terlepas dari pada itu Keebet juga menerangkan sebuah istilah shopping forums yang mana tidak hanya orang-orang yang bersengketa saja yamg memilih-milih lembaga penanganan suatu sengketa. Namun lembaga yang terlibat itu juga memilih dan memanfaatkan suatu sengketa untuk kepentingannya 5 Ibid hal, 72 6 Ibid hal, 79 Universitas Sumatera Utara 12 sendiri terutama untuk tujuan politik lokal. Kemudian lembaga ini juga bisa menolak suatu permasalahan sengketa yang mereka khawatirkan akan menngancam kepentingan mereka K.Von Benda-Beckmann, 2000:65. Dalam penjelasan mengenai forum shopping dan shopping forums tersebut dapat dilihat bahwa ada proses pemilihan hukum yang dilakukan baik oleh pihak yang bersengketa maupun lembaga hukum yang terlibat di dalammya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata-mata tunggal namun terdapat hukum-hukum lainnya yang menimbulkan adanya suatu pilihan terhadap hukum itu sendiri atau dengan kata lain hukum mana yang akan digunakan. Hukum juga harus dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan sebagai keseluruhan dan tidak dianggap sebagai pranata yang otonom 7 . Maka dari itu antropologi tidak pernah memandang bahwa hukum itu bersifat sentral karena fakta yang terjadi saat ini bahwa hukum yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat bisa saja berbeda dengan masyarakat lainnya karena dalam masyarakat tersebut terdapat hukum yang hidup living law 8 . Sehingga ketika kondisi ini terjadi yang muncul adalah kemajemukan hukum. Dewasa ini bahasan mengenai kemajemukan hukum bukan merupakan hal baru untuk diperbincangkan. Kemajemukan hukum muncul karena adanya kemajemukan budaya. Kemajemukan budaya yang hidup di Indonesia secara teoritis merupakan konfigurasi budaya dan jati diri bangsa Indonesia. Simbol Bhineka tunggal ika adalah bukti nyata kemajemukan budaya bangsa Indonesia yang terdiri dari ragam etnik, ras, suku, agama dan sebagainya. 7 Loc,Cit Masinambow hal, 1 8 Op,Cit Sulistyowati hal 67.Teori living law berasal dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan–aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif yang dikontraskan dengan hukum negara. Universitas Sumatera Utara 13 Keragaman ini lah yang kemudian membentuk satu himpunan berupa bangsa Indonesia dan dilindungi dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, dalam keberagaman selalu ada perbedaan–perbedaan yang menyimpan potensi konflik, jika tidak dikelola dengan baik maka potensi ini akan berwujud pertikaian yang pada akhirnya mengancam disintegrasi bangsa. Merujuk pada konflik maka hukum harus menjadi panglima dalam mengatasi masalah yang ada dimasyarakat 9 . Oleh karenanya perlu dipertanyakan apakah praktek penegakan hukum negara sudah dapat diterima oleh masyarakat yang memiliki keragaman budaya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan penelitian yang cukup serius. Namun tidak pada kesempatan ini. Pada kesempatan ini akan diperdalam penjelasan mengenai kemajemukan hukum itu. Banyak kasus hukum yang terjadi di Indonesia memperlihatkan bagaimana kemajemukan hukum tersebut bekerja dalam ranah hukum yang kompleks. Mulai dari peradilan lembaga adat sampai pengadilan tinggi. Bukti nyata yang terjadi dapat dilihat dalam karangan Sulistyowati Irianto 2003 mengenai perempuan diantara berbagai pilihan hukum 10 . Di sini dijelaskan bahwa perempuan batak Toba tidak memndapatkan harta warisan peninggalan orang tua mereka, karena menurut adat yang mendapatkan harta warisan adalah anak laki-laki saja. Akses terhadap hukum adat jelas tidak memberi jalan bagi wanita untuk mendapatkan hak waris, sehingga menyebabkan kelompok perempuan tertentu menciptakan budaya hukumnya 9 Achmad Syauqi Esai mengenai eksistensi hukum negara ditengah kemajemukan budaya. Terdapat pada www.achmadsyauqie.files.wordpress.com diakses 18 juni 2013 10 Ini merupakan studi mengenai strategi perempuan batak toba untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa, yang dijilid berupa sebuah buku yang tersiri dari 334 hal. Universitas Sumatera Utara 14 sendiri yang tercermin melalui cara perempuan memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa waris. Para pihak yang terlibat menggunakan hukum adat dan hukum negara secara bergantian, sehingga muncul kesepakatan antara pihak yang terlibat. Penelitian yang di tulis oleh Engel Tambunan juga membahas mengenai kemajemukan hukum yang berjudul kemajemukan hukum dalam pengoprasian angkutan kota studi deskriptif tentang pengoprasian angkot di Medan yang mengatakan dalam hasil penelitiannya bahwa kemajemukan hukum yang terjadi di sini terkait dengan adanya interaksi antara aturan organisasi dan hukum negara dalam pengoprasian angkot yang pada akhirnya menimbulkan aturan baru dalam hubungan sosial yang semi otonom antara aktor pihak – pihak tertentu 11 Engel, 2011: 9-10. Kemajemukan hukum juga terjadi pada penegakan hukum pidana dalam masyarakat, salah satunya terjadi pada masyarakat Lampung. Hal ini berkaitan dengan pengaruh nilai–nilai adat Masyarakat Lampung. Sebagian besar masyarakat Lampung kurang mengetahui isi peraturan perundang–undangan pidana dan penegakan hukumnya tetapi masyarakat memahami substansi hukum pidana, yaitu dalam hal pencegahan dan penyelesaian konflik. Hal ini dikarenakan adanya konsep tata nilai budaya masyarakat lampung yang disebut piil pesenggiri yang di dukung oleh kelima unsurnya juluk-adek, nemui-nyimah, nengah- 11 Dalam penelitiannya, Engel berfokus terhadap angkot KPUM, dikatakan bahwa angkot KPUM dikemudikan oleh sebagian besar supir – supir yang tergabung menjadi anggota organisasi KPUM. Organisasi ini memiliki beberapa aturan yang diberlakukan kepada pemilik angkot, mandor, dan supir angkot dalam mengoprasikan angkutannya. Selain aturan KPUM, pengoprasian angkot KPUM juga diatur oleh hukum negara dan aturan lapangan yang disebut sebagai unnamed law . Berdasarkan kondisi yang ada, maka terciptalah aturan main yang diberlakukan oleh pihak – pihak tertentu. Rieview skripsi Engel Tambunan 2011 Universitas Sumatera Utara 15 nyappur, sakai-sambayan dan tittei gumantei yang pada dasarnya merupakan kebutuhan hidup bagi masyarakat Lampung. Inilah yang menciptakan suasana yang tentram dan damai dalam hidup bermasyarakat. Pelaksanaan penegakan hukum pidana memerlukan adanya peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Disinilah letak kemajemukan hukum tersebut karena kesadaran hukum masyaraka bersumber dari nilai-nilai hidup masyarakat Lampung 12 Eddy Rifai, 2000: 160-162. Sebuah kasus yang terjadi antara masyarakat Maluku juga mencerminkan sebuah kemajemukan hukum. C.Cooley dan D.Bartles mengadakan penelitian tentang masyarakat Maluku tersebut dengan hukum pela. Pela merupakan suatu ikatan yang dilembagakan mengenai persahabatan atau persaudaraan antara semua penduduk pribumi dari dua desa atau lebih, yang dibentuk oleh nenek moyang menurut keadaan tertentu dan membawa kewajiban-kewajiban tertentu untuk semua pihak yang terkait di dalamnya. kewajiban yang penting tersebut mengenai eksogami desa. Pela dibuat untuk tujuan saling membantu atau bekerja sama. Pela merupakan kunci kebudayaan Maluku. Orang Maluku pada kala itu banyak yang hijrah ke Belanda karena latar belakang politik yang berbeda. Diawali dari sinilah kasus kemajemukan hukum itu muncul. 12 Eddy Rifai dalam tulisannya yang berjudul Pluralisme Hukum dan Penegakan Hukum Pidana di Dalam Masyarakat Tinjauan Tentang Penyelesaian Koflik Pada Masyarakat di Daerah Lampung. Masyarakat Lampung memiliki Strata tingkatan berdasarkan genealogis ataupun status sosial adat dan apabila seseorang bersalah maka ia akan diberi hukuman berdasarkan statusnya dalam masyarakat. Juluk-adek adalah gelar adat, Nemui-nyimah adalah sikap pemurah, Nengah-nyappur adalah bertoleransi dan bersahabat, Sakai-sambayan adalah tolong menolong atau gotong royong, Budi bahaso dan tittie gemettei adalah bahasa sopan dan norma kebiasaan masyarakat adat. Artikel ini merupakan sumbangan karangan untuk menyambut hari ulang tahun ke-70 Prof.Dr.T.O.Ihromi dimuat dalam E.K.M. Masinambow editor Hukum dan Kemajemukan Budaya Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2000, hal 149-162. Universitas Sumatera Utara 16 Orang Maluku yang hijrah tersebut tersebar diseluruh negeri Belanda. Mereka membentuk lingkungan tempat tinggal khusus dengan jumlah antara 200- 2000 penduduk. Mereka juga membentuk sebuah organisasi sosial orang Maluku di negeri Belanda dan Menerapkan hukum pela di sana. Kenyataan yang terjadi bahwa hukum adat pela yang mereka bawa dari kampung halamannya tumbuh dan berlaku lebih kuat di antara orang- orang Maluku yang ada di negeri Belanda dari pada di Indonesia sendiri. Akibat adanya hukum tersebut maka terdapat dua hukum di negeri Belanda yakni antara hukum resmi dan hukum yang tidak resmi. Kemajemukan hukumpun terjadi si sana, yang mana golongan pendatang yakni orang Maluku lebih menerapkan hukum pela dalam kelompok masyarakat mereka sendiri dari pada hukum resmi yang ada di negeri Belanda. Strijbosch, 1989: 84 13 Ketika berbicara kemajemukan hukum maka muncul sebuah konsep dimana kemajemukan hukum itu sendiri mengacu pada keberagaman dalam berhukum karena pada konteksnya masyarakat bersifat plural baik dalam bentuk suku bangsa, budaya, ras, agama, kelas dan jenis kelamin. Kemajemukan hukum menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur hubungan sosialnya. Kemajemukan hukum memandang bahwa semua hukum adalah sama dan harus diberlakukan sederajat. 13 Tulisan F.Strijbosch mengenai “Legal Pluralism in The Netherlands, The Case of Moluccan Pela Law”. terdapat pada jurnal antropologi no 47. tahun 1989 hal: 84. dan Pela adalah salah satu hukum adat di Indonesia, tepatnya hukum adat yang ada di kepulauan Maluku dan berlaku bagi orang-orang Maluku. Universitas Sumatera Utara 17 Kemajemukan hukum tentunya bukan merupakan sesuatu hal yang baru untuk diperbincangkan karena hukum merupakan bagian dari kebudayaan dan masyarakat oleh karena itu tidak mungkin mengkaji hukum secara terpisah tanpa memperhatikan hukum – hukum lain yang ada di sekitar masyarakat tersebut. Dilain sisi Sulistyowati dalam Ihromi, 1993: 243 yang menyatakan bahwa hal yang sebenarnya tidak boleh terlewat dalam pluralisme hukum yaitu bahwa interaksi sistem-sistem hukum yang saling berbeda antara satu hukum negara dengan hukum-huk lainnya yang terjadi dalam arena sosial. Arena sosial inilah yang merupakan tempat terjadinya segala bentuk interaksi baik berupa interaksi ekonomi, kontak kekerabatan dan sosial, hubungan-hubungan politik dan keagamaan serta hubungan-hubungan lainnya. Kemudian melalui interaksi tersebut terjadilah interaksi hukum, karena menurut Sulityowati bahwa letak hukum adalah dalam masyarakat. Dengan demikian yang dinamakan hukum itu bukanlah hanya sebuah peraturan saja, melainkan proses interaksi yang terjadi dalam lingkup peraturan itu sendiri juga merupakan sebuah hukum. Dalam hukum itu sendiri juga terjadi pelanggaran- pelanggaran hukum. Sulistyowati juga mengatakan bahwa pendekatan kemajemukan hukum pluralisme hukum dapat dilihat melalui perspektif global yang mana masyarakat harus dilihat dalam arena yang multi-sited, karena terhubung dalam relasi bisnis, politik, sosial, dan dihubungkan oleh penemuan teknologi komunikasi. Dengan kata lain pengertian kemajemukan hukum semakin luas, tidak hanya sebatas pada hukum adat, agama ataupun negara tetapi terlebih lagi melihat bagaimana sistem Universitas Sumatera Utara 18 hukum yang berbeda – beda itu saling bersentuhan. Pendekatan hukum dalam perspektif global juga menunjukkan pada kita pentingnya untuk melihat para aktor yang menyebabkan hukum bergerak dan kontekstualisasi sejarah globalisasi hukum tersebut. Kemajemukan hukum memiliki makna yang luas bukan sebaliknya karena seiring dengan proses globalisasi yang terjadi menyebabkan terjadinya konsepsi – konsepsi normatif dan kognitif yang berasal dari berbagai sumber sehingga menjadikan suatu lapangan sosial sebagai arena untuk memberlakukan konsepsi tersebut. Sulistyowati, 2012: 168. Berbicara mengenai kemajemukan hukum itu sendiri menurut Griffiths 1986:1 adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam satu arena sosial “By ‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of more than one legal order” 14 . Maka dengan kata lain kemajemukan hukum merupakan adanya lebih dari satu norma atau aturan yang secara nyata dianut dan dipatuhi oleh masyarakat dalam kehidupan sosial. Griffitsh dalam Ihromi 1993:243 juga mengatakan bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan yang dalam tulisannya: “Legal Pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an idel, a claim, an illusion”. “Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum adalah mitos, ideal, klaim, ilusi”1993:234. Di sini Griffits berusaha menjelaskan bahwa hukum yang ada sebenarnya bersifat majemuk dan pandangan sentralisme hukum merupakan sebuah ilusi yang terjadi. dalam hal kemajemukan hukum Sally Engle Marry memiliki pendapat yang hampir sama dengan Griffiths yakni : “......is generarlly defined as a 14 Jhon Griffiths dalam jurnal “what is legal Pluralism?” 24 tahun 1986 hal 1 terdapat pada http:www.keur.eldoc.ub.rug.nlfile...1886.pdf diakses pada 25042013. Universitas Sumatera Utara 19 situation in which two or more legal system coexist in the same social field”Marry, 1988:870 15 yang berarti bahwa kemajemukan hukum itu mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama. Aturan atau norma yang berlaku disini tidak bersifat homogen melainkan heterogen yang berarti terdiri dari banyak aturan dan norma yang dengan kata lain bersifat plural yang bersumber dari berbagai sumber hukum. Oleh sebab itu hukum negara merupakan salah satu dari sekian banyak hukum yang ada, namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat hukum lain yang hidup dan berlaku bagi komunitas tertentu. Sedangkan Sally F. Moore dalam tulisannya yang berjudul “Hukum dan Perubahan sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat 16 , menjelaskan bahwa dalam suatu bidang sosial terdapat sejumlah aturan baik yang bersumber dari bidang sosial itu sendiri atau aturan yang ada di luar bidang sosial tersebut seperti aturan negara. Aturan-aturan tersebut kemudian bekerja dan menciptakan pengaturan sendiri self-regulating dalam bidang sosial itu. Moore mengatakan : “….“aturan permainan” yang beroprasi, mencakup sejumlah aturan hukum dan beberapa norma serta kebiasaan lain yang cukup efektif. Pembuatan perundangan yang secara sosial penting, sering sekali merupakan usaha untuk mengubah kedudukan tawar-menawar seseorang didalam urusannya dengan orang lain di dalam lingkungan-lingkungan sosial tersebut. Urusan yang diatur oleh lingkungan sosial dan apa lagi susunan dan sifat lingkungan sosial itu 15 Sally Engle Merry, Legal pluralism dalam Law and Socienty Rieview journal of the law and socienty Association 1988 http:www.jft-newspaper.aub.edu.lbfilemerry_1988.pdf diakses 21 mei 2013 16 Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisan Sally Falk Moore “Law and Social Change: the Semi-autonomus Social Field aAs an Antropologi Subject of study”1978, dimuat dalam T.O.Ihromi penyunting. Antropologi Hukum sebuah Bunga Rampai Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2001 hal: 148-193. Universitas Sumatera Utara 20 serta transaksi-transaksi yang terjadi di dalamnya, sering kali tetap tidak tersentuh oleh undang-undang itu. Maka itu, pengaturan melalui undang-undang sering hanya berkaitan dengan satu bagian saja dari pokok yang diaturnya dan hanya menyentuh basgian tertentu dari hubungan-hubungan yang ada.” dalam Ihromi, 2001: 148 Di sini dijelaskan bahwa diskusi mengenai pluralisme hukum saat ini tidak lagi berpusat pada koeksistensi antara hukum negara, adat dan agama kerena semakin banyaknya kepentingan-kepentinan yang ada maka perspektif mengenai pluralisme harus diperluas lagi dengan melihat bagian dari dimensi pluralisme transnasional. Berbicara mengenai transnasional berarti berbicara mengenai globalisasi, karena globalisasi telah membuka hubungan lintas batas dalam berbagai aspek dan membawa pada ekspansi rezim hukum ke wilayah negara. Globalisasi juga diasosiasikan dengan liberalisasi ekonomi dunia, perkembangan teknologi komunikasi dan munculnya berbagai ruang kegiatan transnasional.Dian dalam Sulistyowati, 2009: 57 Sulistyowati Irianto mengatakan bahwa hukum itu bergerak hal ini berkaitan dengan globalisasi hukum, yang mana dalam globalisasi hukum dapat dijumpai adanya mobilitas aktor dan organisasi yang menjadi media bagi lalu lintas bergeraknya hukum. contohnya adalah migran buruh, pedagang, NGO, serta orang-orang yang sering berhubungan dengan luar negeri yang membawa hukumnya sendiri ke negara tujuan atau dengan fasilitas telekomunikasi internet para aktor ini bisa menyebabkan hukum tersebut bergerak. Hukum yang dibawa oleh para aktor diaplikasikan dengan hukum yang berlaku di negara tersebut sehingga selain hukum yang bergerak juga terjadi pluralisme hukum disana. Universitas Sumatera Utara 21 Secara konseptual slistyowati menggolongkan empat pokok bahasan penting dalam pemikiran pluralisme hukum “mutakhir”. Yang Pertama, hukum dipandang sangat memainkan peranan penting dalam globalisasi, karena hukum bersentuhan dengan domain sosial, politik, ekonomi. Dapat dipelajari bagaimana hubungan antara relasi kekuasaan dan hukum, dan bagaimana hukum menjadi kekuatan yang sangat besar dalam mendefinisikan kepentingan politik dan ekonomi dalam pergaulan antar kelompok dan bahkan antar bangsa. Hukum sangat berkuasa, karena mengkonstruksi segala sesuatu dalam kehidupan kita, menentukan siapa kita dalam relasi dengan orang dan kelompok lain, dan mengkategorikan perbuatan kita dalam kategori salah dan benar. Untuk itu hukum dianggap memiliki kedudukan yang sangat berpengaruh di kehidupan kita. Kedua, ada aktor-aktor yang menyebabkan hukum bergerak. Mereka adalah para individu maupun organisasi yang sangat “mobile”. Para aktor ini penting dalam proses globalisasi 17 dan glokalisasi 18 , dan menjadi agen bagi terjadinya perubahan hukum. Ketiga, pemahaman globalisasi dalam konteks sejarah sangatlah penting. Globalisasi hukum sudah terjadi sejak dahulu, seiring dengan terjadinya penjajahan, penyiaran agama, dan perdagangan pada masa silam. 17 Globalisasi menurut A.G. Mc Grew adalah mengacu pada keberagaman hubungan dan saling keterkaitan antara negara dan masyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasi adalah proses di mana berbagai peristiwa, keputusan dan kegiatan dibelahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain. Hal ini terdapat pada situs pustyaka belajar www.zakapedia.com201304pengertian-globalisasi- menurut-ahli.html?=1 diakses pada 25 juli 2013 18 Glokalisasi adalah penyesuaian produk global dengan karakter lokal atau dengan kata lain berfikir global bertindak lokal. www.scribd.commobiledoc65461597 diakses pada 25 juli 2013 Universitas Sumatera Utara 22 Sepanjang sejarah dapat dilihat bagaimana hukum internasional dan traktat juga menyebabkan hukum “bergerak”. Namun pada saat ini globalisasi memiliki karakter yang berbeda. Keempat, perkembangan dari pemikiran diatas, tidak hanya menyebabkan perlunya redefenisi terhadap pemikiran mengenai pluralisme hukum, tetapi juga memiliki signifikansi terhadap munculnya metodologi antropologi “baru”. Etnografi konvensional tidak lagi dapat menjawab berbagai permasalahan dari bergeraknaya hukum melalui para aktor dan isu-isu globalisasi dan glokalisasi hukum. oleh karena itu, penting untuk melakuakan kajian antropologi secara multispatial dan multisited ethnography yang dengan kata lain harus dilakukan penelitian secara menyeluruh dengan melihat aspek-aspek yang terkait di dalamnya. Sulistyowati, 2009: 35-40 .Proses yang terjadi antara hukum-hukum yang saling bersentuhan mengakibatkan hukum tersebut melahirkan hukum baru yang ada. Franz Keebet Von Benda-Beckmann menjelaskan bahwa saat ini diskusi mengenai kemajemukan hukum tidak lagi berpusat pada koeksistensi hukum nasional resmi dan hukum tradisional, hukum agama, dan hukum lain yang ada di tingkat nasional saja tetapi dengan semakin meningkatnya kepentingan hukum dan politik dari konvensi-konvensi dan hukum-hukum internasional, terutama isu-isu hak asasi manusia dan hak-hak orang asli, membuat para sarjana harus lebih memperluas perspektif mereka pada” pluralisme hukum dimensi transnasional”dalam Masinambow, 2000: 17. Selain itu juga F. Benda Beckmann mengatakan bahwa konsepsi hukum yang banyak disepakati di kalangan antropolog hukum, yaitu hukum adalah proposisi yang mengandung Universitas Sumatera Utara 23 konsepsi normatif dan konsepsi kognitif. Konsepsi inilah yang mendasari sebuah tindakan yang melahirkan sebuah hukum “baru” di masyarakat Sulistyowati, 2009: 38. Meminjam dari apa yang dikatakan oleh Benda-Beckmann bahwa hukum mengandung konsepsi normatif dan kognitif maka saya akan dapat dengan mudah memahami hukum-hukum yang terdapat di perkeretaapian Sumatera Utara.

1.3 Perumusan Masalah