Tanah, Iklim dan Air

Menurut Dinas Kebersihan DKI Jakarta 2009, bahwa kota Jakarta menghasilkan 28.286 m 3 sampah per hari, sebanyak 55,37 adalah sampah organik. Sampah organik antara lain seperti sampah sisa makanan, daun pohon, bangkai hewan dan sebagainya. Sementara sampah anorganik mencapai 44,63 dan yang paling dominan adalah sampah kertas sebanyak 20,57 dan plastik sekitar 13,25. Dari total sampah tersebut diatas hanya sekitar 85,99 atau sekitar 24.322 m 3 yang dapat terangkut per hari. Saat ini Jakarta hanya mempunyai 1 satu TPA, yaitu TPA Bantargebang yang letaknya di wilayah Bekasi, dan 1 satu PDUK pusat daur ulang dan kompos milik swasta. Kondisi ini sangat mempengaruhi kelancaran pengelolaan sampah di DKI Jakarta . Adapun isu utama lingkungan hidup yang terjadi di tahun 2010 tidak berbeda jauh dengan tahun 2009 walaupun sudah banyak dilakukan pembenahan secara signifikan dalam hal pengelolaan lingkungan di wilayah provinsi DKI Jakarta tetapi masalah banjir, pencemaran situ, sungai, laut, udara, limbah padat dan cair, transportasi, selain itu dalam hal penulisannya juga memuat kebijakan pembangunan daerah berkelanjutan, yang meliputi kebijakan pembangunan lingkungan hidup, kebijakan tata ruang dan kebijakan sosial, ekonomi dan budaya.

4.7. Infrastruktur dan Sarana Lainnya

4.7.1. Kondisi rawa atau situ di wilayah DKI Jakarta

Kondisi alam wilayah kota Jakarta terdapat rawasitu dengan total luas mencapai 390,90 ha Lampiran 11. Luas situ atau rawa di Jakarta direncanakan akan mencapai luas 649,39 ha. Wilayah di sebelah Selatan dan Timur Jakarta cocok digunakan sebagai daerah resapan air, dengan iklimnya yang lebih sejuk sehingga ideal dikembangkan sebagai wilayah penduduk. Adapun wilayah Jakarta Barat masih tersedia cukup lahan untuk dikembangkan sebagai daerah perumahan. Kegiatan industri lebih banyak terdapat di Jakarta Utara dan Jakarta Timur sedangkan untuk kegiatan usaha dan perkantoran banyak terdapat di Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.

4.7.2. Kondisi irigasi pengairan dan sungai

Berdasarkan BPLHD Jakarta 2009, hasil pemantauan di beberapa titik pengamatan Sungai Buaran TPSB1 dan TPSB2 dan Cakung Drain TPCD1 dan TPCD2 yang meliputi catchment area akhirhilir adalah wilayah persawahan Jakarta Timur Cakung dan Jakarta Utara Rorotan. Titik pengamatan kali Blencong TPB1 dan TPB2 meliputi catchment area akhir atau hilir adalah wilayah lahan basah kelurahan Marunda dan sebagian utara kelurahan Rorortan. Indeks pencemar DAS terlihat pada Gambar 16. Gambar 16. Indeks pencemar DAS Buaran, Cakung Drain dan Blencong wilayah Jakarta Utara. Data di atas menunjukkan bahwa sungai Buaran, Cakung Drain dan Blencong pada status cemar berat dan sedang indikator warna hitam dan kecoklatan, kecuali pada pemantauan bulan Nopember di bagian tengah dan hulu DAS dalam kondisi ringan. Diduga bahwa terjadinya pencemaran oleh hasil pembakaran kendaraan bermotor, oli bekas dan deterjen yang mengalir sepanjang waktu ke wilayah DAS. Kondisi ini perlu diwaspadai untuk kebutuhan air pertanian dan dapat dikategorikan tercemar sedang dan ringan untuk pertanian lahan basah. Mengamati karakter hidrologi wilayah lokasi kajian, maka sebagian besar merupakan rawa yang dipengaruhi oleh air pasang laut dan merupakan daerah hilir. Wilayah kajian terdapat saluran irigasi dari sungai Bekasi yang dibagi dengan beberapa saluran kuarter dalam hamparan lahan. Mencermati lokasi kajian merupakan wilayah pemukiman dan industri yang padat, maka kualitas airnya sangat dipengaruhi oleh limah industri dan rumah tangga. Di samping itu, air pasang laut sangat mempengaruhi kualitas air untuk budidaya pertanian. Kondisi saluran yang ada umumnya sudah terjadi pendangkalan dan perlu rehabilitasi agar berfungsi optimal. Melihat kenyataan dilapangan bahwa, kondisi debit air untuk pengairan 25 30 28 27 14 12 30 34 40 16 20 23 5 10 15 20 25 30 35 40 T PSB 1 T PSB 2 T PC D 1 T PC D 2 T PB1 T PB2 April Agustus Nopember Keterangan : 0 IP 1,0 = Kondisi baik. 1,0 IP 5,0 = Cemar ringan telah menurun dari rencana irigasi semula pada kondisi musim kering debit rendah minimum dan debit tinggi maksimum pada kondisi musim hujan yang sering mengakibatkan kebanjiran. Kondisi debit air sungai untuk irigasi dikategorikan tidak stabil lagi serta kondisi irigasi dan aliran yang mengalami kerusakan sedang dan ringan, sehingga yang menjadi permasalah utama untuk usaha tani lahan sawah perikanan budidaya. Kondisi volume ketersediaan air pada kondisi musim kemarau, tidak mencukupi lagi yang mengakibatkan pola dan jadwal tanam tidak teratur sebagai lahan sawah beririgasi teknis yang diharapkan 3 kali musim tanam per tahun.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Kondisi Saat Ini Pertanian Perkotaan

Pertanian perkotaan dapat diketahui melalui penelitian meliputi aspek sumberdaya lahanruang atau ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi pertanian pada kondisi saat ini. Berdasarkan data pewilayahan komoditas pertanian wilayah DKI Jakarta Tahun 20072008, dimana data tersebut merupakan dasar untuk melakukan verifikasi dan validasi terhadap data kondisi pertanian saat ini. Verifikasi dilakukan terhadap data yang telah mengalami perubahan pada aspek yang di kaji. Hasil analisis kondisi saat ini wilayah DKI Jakarta sebagai dasar dalam menyusun konsep kebijakan pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan dan mendapatkan bentuk dan pola penerapan pertanian atau sistem pengembangan pertanian di wilayah perkotaan. 5.1.1. Analisis Kondisi Aspek Lingkungan

5.1.1.1. Aspek Ekologi  Ketersediaan sumberdaya lahan dan ruang.

Ketersediaan lahan dan ruang; Berdasarkan data statistik DKI tahun 2010, bahwa ketersediaan sumberdaya lahan dan ruang untuk pengembangan pertanian perkotaan khusunya lahan kering yaitu lahan pekarangan, lahan tegalan dan lahan lainnya mengalami penurunan luas. Memperhatikan perkembangan sumberdaya lahan dan klasifikasi penggunaan serta pemanfaatannya memperlihatkan bahwa luas wilayah menurut penggunaan lahan utama di wilayah DKI Jakarta, dimana lahan untuk pertanian mengalami penurunan tiap tahunnya. Kondisi perkembangan luas lahan, pekarangan dan lainnya dapat dilihat pada Tabel 15, 16 dan 17. Data ini menunjukkan bahwa peluang pengembangan pertanian masih memberi harapan untuk ke arah lahan privat yakni lahan pekarangan. Kondisi lahan pekarangan pada tahun 2004 masih terdapat 8.331,0 ha. Seiring dengan berjalannya waktu dan animo masyarakat dalam pembangunan sektor lain, maka ketersediaan lahan sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan dan masih terdapat 6.910,0 ha Gambar 17. Setelah diklarifikasi, maka rata-rata luas lokasi perumahan pemukiman penduduk umumnya memiliki lahan “luas pekarangan” berkisar dari kurang lebih 25, 50, 75, 100 dan 200 m 2 per kk.