yang akan menentukan isi atau materi pelajaran mereka. Mereka pun memiliki control penuh akan isi pelajarannya.
Perlu ditekankan, homeschooling bukan memindahkan sekolah ke rumah. Kegiatan belajar mengajar agak berbeda dengan di sekolah. Orang
tua pun tidak perlu selalu menjadi guru tetapi orang tua lebih berperan sebagai fasilitator. tujuannya agar membuat anak cinta belajar bukan demi
menciptakan anak jenius yang menguasai semua bahan yang diajarkan. Secara Prinsip, homeschooling atau sekolah rumah adalah
pendidikan pilihan yang diselenggarakan oleh orang tua, proses belajar mengajar diupayakan berlangsung dalam suasana kondusif dengan tujuan
agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.
7
Dari pernyataan tersebut di atas, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
homeschooling adalah
suatu proses
pendidikan yang
diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih usia sekolah, dengan memilih modelkurikulum yang sesuai dengan
gaya anak belajar. Pembelajaran homeschooling sekolah rumah sebaiknya menyesuaikan dengan standar kompetensi yang telah ditentukan
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini agar sejalan dengan pertumbuan dan kemampuan anak, di samping dapat diikutkan dalam
evaluasi dan ujian yang diselenggarakan secara nasional. Standar kompetensi menjadi panduan yang harus dimiliki seorang anak pada kelas
tertentu. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
homeschooling merupakan alternatif pendidikan yang fleksibel, tidak kaku dalam proses belajarnya. Bagaimana cara atau metode belajar yang akan
dipakai?, kapan waktu belajar?, dan di mana kegiatan belajar itu dilaksanakan?, semua itu disesuaikan dengan kondisi dan keadaan anak.
Sehingga akan muncul perasaan senang dan nyaman dalam belajar. Dengan demikian anak juga dijadikan subjek dalam pembelajarannya, dan
7
Maulia D. Kembara, Panduan Lengkap Homeschooling, Bandung: Progressio, 2007, h. 16
tidak lupa bahwa dalam homeschooling orang tua berperan sebagai penanggung jawab utama.
2. Sejarah Homeschooling di Indonesia
Sebelum ada sistem pendidikan modern sekolah sebagaimana dikenal pada saat ini, pendidikan dilaksanakan dengan berbasis rumah.
Pada zaman Yunani, sekolah skhole artinya menggunakan waktu senggang secara khusus untuk belajar Leisure devoted to learning.
Awalnya memang diadakan di rumah, bersama ibu dan bapak, yang disebut dengan schola materna.
8
Lalu karena orang tua mulai sibuk mencari nafkah, maka anak-anak dicarikan tempat pengasuhan anak
dimana ada orang yang pandai dalam hal tertentu. Sehingga schola materna berubah menjadi schola in loco parentis lembaga pengasuhan
anak di luar rumah sebagai ganti orang tua.
Pada awalnya, manusia belajar dan mengembangkan pendidikan mereka melalui life skill keterampilan hidup sebagai bekal dalam
memenuhi kebutuhan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan adat kebiasaan masyarakat sekitar. Proses belajarnya sendiri dilakukan di
rumah masing-masing oleh orang tua maupun keluarga besar. Hanya ketika anak-anak dianggap perlu memiliki keterampilan tambahan, orang
tua mengirimnya “berguru” kepada orang-orang yang memang ahli di bidangnya.
9
Selain itu para bangsawan zaman dahulu biasa mengundang guru privat untuk mengajar anak-anaknya. Itulah jejak homeschooling
masa lalu.
Pada tahun 1964, John Caldwell Holt sebagaimana yang dikutip oleh Sumardiono mengemukakan pemikirannya bahwa anak-anak belajar
lebih baik jika tanpa instruksi sebagaimana sekolah. Holt menyatakan
8
www.glorianet,orgmauklipingklipbers.html, dan http:fuadinotkamal.wordpress.com, Sekolah Sebagai Rumah Kedua, diakses pada tanggal 31 Desember 2007.
9
Jurnal Madrasah
Kelurga, “Melirik
Kembali Homeschooling
”, http:my.opera.commadrasah-keluargablogmelirik-kembali-Homeschooling, Diakses pada 20
April 2007
bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak disebabkan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh eksistensi sekolah itu
sendiri. Ini tertuang dalam karya pertamanya “How Children Fail”.
10
Istilah yang digunakan Holt pada waktu itu adalah unschooling pendidikan tanpa sekolah. Pada awalnya Holt menggunakan kata
“pendidikan tanpa sekolah” untuk menggambarkan tindakan mengeluarkan anak seseorang dari sekolah, tapi hal ini segera menjadi
sinonim untuk “sekolah-di-rumah” homeschooling. Selama dua dekade terakhir, arti istilah itu telah menyempit, sehingga unschooling mengacu
pada gaya khusus sekolah di rumah yang dianjurkan Holt, berdasarkan pembelajaran yang berpusat pada anak.
11
Di Indonesia belum diketahui secara persis akar perkembangan homeschooling,
karena belum
ada penelitian
khusus tentang
perkembangannya. Namun, jika dilihat dari konsep homeschooling yang merupakan pembelajaran yang tidak berlangsung di pendidikan formal.
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pesantren-pesantren dan padepokan-padepokan, dimana para kyai yang mendidik anak-anaknya di
rumahnya, ataupun para guru dan bangsawan mengajarkan ilmu kepada murid atau anaknya di rumah atau padepokannya. Hal tersebut
berlangsung sebelum pendidikan Belanda diterapkan di Indonesia. Dalam
kaitan praktiknya
homeschooling, Abe
Saputro mengemukakan bahwa:
“Mengenai tempat belajar, homeschooling tidak memiliki batasan tempat karena proses belajar itu dapat terjadi di mana
saja, baik dalam ruang fisik maupun ruang maya ”.
12
Dari pernyataan tersebut di atas dapat diartikan bahwa, proses pembelajaran pada homeschooling tidak terikat dengan ruang belajar
ataupun tempat belajar, siswa dapat belajar dimanapun dia berada.
10
Sumardiono, Homeschooling : A Leap for Better Learning, Lompatan Cara Belajar, Jakarta: PT Elex Media komputindo, 2010, h.20
11
Mary Griffith, Op.Cit., h. 11
12
Abe Saputro, Rumahku Sekolahku; Panduan Bagi Orang Tua untuk Menciptakan Homesholing Yogyakarta: Graha Pustaka, 2007, h. 12
Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para
orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak- anaknya.
Banyak keluarga Indonesia yang belajar di luar negeri menyelenggarakan homeschooling untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan anak-anaknya. Selain itu, ketidakpuasan terhadap kualitas pendidikan di sekolah formal juga menjadi pemicu bagi
keluarga-keluarga
Indonesia untuk
menyelenggarakan homeschooling yang dinilai lebih dapat mencapai tujuan- tujuan
pendidikan yang direncanakan oleh keluarga.
13
Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa rasa ketidakpuasan orangtua terhadap kualitas pendidikan formal yang ada pada saat sekarang
ini menjadi salah satu penyebab mengapa para orang tua memilih mengapa memasukkan anak mereka ke dalam homeschooling.
Orang tua melihat betapa pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka. memilih system pendidikan yang bagaimana, akan menentukan
masa depan anak-anak mereka. Bersekolah di rumah bukan sekedar ide mengasyikkan tentang kebebasan dalam pendidikan, tetapi juga
kesuksesan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Linda Dobson: Melintasi gerbang abad 21, kebebasan keluarga dalam soal
pendidikan memicu imajinasi ratusan ribu orang. Kebebasan itu bernama “bersekolah di rumah”. Ini bukan merupakan hal yang
baru. Bersekolah di rumah sudah dikenal sudah beberapa lama dan bertumbuh dengan cukup pesat, sehingga membangunkan
kesadaran masyarakat tentang cara kita mendidik.
14
Dari keterangan di atas, bahwa adanya homeschooling bukanlah sesuatu yang baru lagi bagi bangsa Indonesia khususnya dunia pendidikan.
Meskipun keadaan homeschooling pada masa lalu lebih banyak dikenal dengan sebutan “Pembelajaran Otodidak”, namun pada eksistensinya sama
dengan homeschooling yang kita kenal saat ini.
13
Elexmedia, “Konsep Homeschooling”, dari http:www.elexmedia.co.id, diakses 25 Agustus 2003
14
Linda Dobson, Tamasya Belajar; Panduan Merancang Program di Rumah Untuk Anak Usia Dini, Bandung: Mizan LC, 2005, h. 15
Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua
memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anaknya. Banyak keluarga Indonesia belajar ke luar negeri menyelenggarakan homeschooling
untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Selain itu ketidakpuasan terhadap kualitas pendidikan di sekolah formal juga menjadi
pemicu bagi keluarga Indonesia untuk menyelenggarakan homeschooling yang dinilai lebih dapat mencapai tujuan pendidikan yang direncanakan oleh
keluarga.
3. Faktor-Faktor Pemicu Memilih Homeschooling
Ada beberpa penyebab yang menjadi factor pemicu orang tua dalam memilih homeschooling bagi anaknya. Factor-faktor berikut ini
berhubungan erat dengan gagalnya sekolah mengkomodasi keinginan orang tua, berikut antara lain factor-faktor pemicunya adalah:
a. Sekolah terlalu mahal.
b. Sekolah dan guru dianggap tidak berkualitas.
c. Pekerjaan Rumah terlalu banyak.
d. Ketidaksesuaian nilai-nilai yang dianut.
e. Lingkungan sekolah tidak kondusif.
f. Waktu belajar yang panjang.
15
Selain masalah yang berhubungan dengan pihak sekolah, ada alasan-alasan lain yang menjadi factor pemicu lainnya yang masih
bersinggungan dengan pendidikan anak dan kebutuhannya, antara lain: a.
Keluarga sering berpindah tempat. b.
Keluarga sering bepergian. c.
Anak memiliki kebutuhan khusus. d.
Anak memiliki bakat khusus. e.
Mempererat ikatan dalam keluarga f.
Ingin pendidikan yang lebih baik
16
Dari beberapa factor-faktor pemicu orang tua memilih homeschooling sebagai alternative pendidikan untuk anaknya, dari
banyaknya factor pemicu apapun alasannya semuanya mempunyai dasar
15
Indah Hanaco., Op.Cit., h..41-49
16
Indah Hanaco, Op.Cit., h.52-57