Manajemen Normatif

1. Manajemen Normatif

  Pendekatan ini melihat fungsi manajemen sebagai suatu proses penyelesaian atau penciptaan tujuan. Efektivitas dari proses tersebut diukur dari apakah kegiatan- kegiatan organisasi direncanakan, diorganisir, dikoordinasikan, dan dikontrol secara lebih efisien (Stoner, 1978; Rue dan Byars, 1981). Manajemen Normatif sejak pembentukannya lebih bersifat profit oriented atau business oriented dan karena itu dianggap tidak cocok dengan ideologi administrasi publik yang lebih berorientasi kepada public service.

  Aliran manajemen normatif mudah dikenal melalui rumusan fungsi-fungsi manajemen bisnis sebagaimana pernah ditiru oleh POSDCORB. Beberapa fungsi yang bersifat universal, dirinci sebagai berikut:

  a. Planning; suatu proses pengambilan keputusan tentang apa tujuan yang harus dicapai pada kurun waktu tertentu di masa mendatang dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Proses perencanaan terdiri atas penetapan tujuan, dan menentukan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi ini menghasilkan dan mengintegrasikan tujuan, strategi, dan kebijakan.

  b. Organizing; suatu proses pembagian kerja yang disertai dengan pendelegasian wewenang. Organizing atau pengorganisasian sangat bermanfaat memberikan informasi tentang garis kewenangan agar setiap anggota dalam organisasi bisa mengetahui apa – kepada siapa dia memberi perintah dan dari siapa dia menerima perintah. Proses ini juga diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kerja dan kualitas b. Organizing; suatu proses pembagian kerja yang disertai dengan pendelegasian wewenang. Organizing atau pengorganisasian sangat bermanfaat memberikan informasi tentang garis kewenangan agar setiap anggota dalam organisasi bisa mengetahui apa – kepada siapa dia memberi perintah dan dari siapa dia menerima perintah. Proses ini juga diperlukan untuk memperbaiki efisiensi kerja dan kualitas

  c. Sfaffing; suatu proses untuk memperoleh tenaga yang tepat, baik dalam jumlah maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan pekerjaan dalam organisasi.

  d. Coordinating; suatu proses pengintegrasian kegiatan-kegiatan dan target atau tujuan dari berbagai unit kerja dari suatu organisasi agar dapat mencapai tujuan secara efisien. Tanpa koordinasi, individu-individu dan bagian-bagian yang ada akan bekerja menuju arah yang berlainan dengan irama atau kecepatan yang berbeda- beda. Tanpa koordinasi pula, maka masing-masing akan bekerja menurut kepentingannya masing-masing dengan mengorbankan kepentingan organisasi secara keseluruhan.

  e. Motivating; suatu proses pemberian dorongan kepada anggota organisasi agar mereka bekerja sesuai tujuan organisasi. Proses motivating atau pemotivasian ini dapat dipahami melalui mekanisme kebutuhan  dorongan kerja  tujuan (ket: kebutuhan memperngaruhi dorongan kerja, dan dorongan kerja mempengaruhi pencapaian tujuan). Berdasarkan mekanisme tersebut, seorang manajer harus memahami tentang hakikat kebutuhan manusia dan dorongan kerjanya.

  f. Controlling; suatu fungsi manajemen yang mencari kecocokan antara kegiatan- kegiatan aktual dengan kegiatan-kegiatan yang direncanakan. Fungsi tersebut sangat berkaitan dengan perencanaan yaitu merupakan umpan balik bagi perencanaan pada masa akan datang.

  Harus diakui bahwa pikiran-pikiran manajemen normatif sering mempengaruhi pola dan dinamika manajemen baik di sektor swasta maupun publik. Sementara itu, R Miles (1975) mencoba meletakkan fungsi-fungsi manajemen normatif tersebut dalam 3 (tiga) model teori manajemen, yaitu:  Model tradisional

  Manajer berasumsi bahwa pekerjaan itu tidak menyenangkan bagi manusia, upah lebih penting dari kerja itu sendiri, dan bahwa hanya sedikit sekali orang yang memiliki pengendalian dan pengarahan diri, maka jalan keluar yang dilakukan manajer adalah melakukan pengawasan yang ketat, merumuskan berbagai cara dan prosedur kerja sesederhana mungkin, dan memaksakan apa yang diinstruksikannya kepada bawahan. Dengan demikian diharapkan agar bawahan akan patuh dan menghasilkan apa yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, seorang manajer sangat dipengaruhi oleh pola pikir manajemen tradisional atau klasik yang melihat manusia yang dipimpinnya adalah orang yang tidak senang dengan pekerjaan, malas, bodoh, tidak suka bertanggung jawab, dan tidak mampu mengendalikan diri, serta selalu mengutamakan uang. Karena itu, bawahan seharusnya dikontrol secara ketat, pekerjaannya harus dirumuskan secara sederhana dan jelas, dan berusaha menerjemahkan kegiatannya ke dalam prosedur-prosedur dan rutinitas Manajer berasumsi bahwa pekerjaan itu tidak menyenangkan bagi manusia, upah lebih penting dari kerja itu sendiri, dan bahwa hanya sedikit sekali orang yang memiliki pengendalian dan pengarahan diri, maka jalan keluar yang dilakukan manajer adalah melakukan pengawasan yang ketat, merumuskan berbagai cara dan prosedur kerja sesederhana mungkin, dan memaksakan apa yang diinstruksikannya kepada bawahan. Dengan demikian diharapkan agar bawahan akan patuh dan menghasilkan apa yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, seorang manajer sangat dipengaruhi oleh pola pikir manajemen tradisional atau klasik yang melihat manusia yang dipimpinnya adalah orang yang tidak senang dengan pekerjaan, malas, bodoh, tidak suka bertanggung jawab, dan tidak mampu mengendalikan diri, serta selalu mengutamakan uang. Karena itu, bawahan seharusnya dikontrol secara ketat, pekerjaannya harus dirumuskan secara sederhana dan jelas, dan berusaha menerjemahkan kegiatannya ke dalam prosedur-prosedur dan rutinitas

  

   Model hubungan manusia (human relations)

  Manajer berasumsi bahwa bawahannya ingin merasa berguna dan penting, dikenal sebagai seorang individu yang berarti, dan bahwa keinginan tersebut mungkin lebih penting dari pada uang, maka jalan keluarnya adaiah memuji individu atau bawahannya agar mereka merasa penting atau berguna, selalu mendengarkan keluhan dan saran bawahannya, dan membiarkan bawahannya melakukan pengendalian dan pengarahan diri dalam hal-hal rutin. Dengan demikian, diharapkan agar bawahan menjadi kerasan atau termotivasikan, dan bersedia bekerja sama secara sukarela. Dalam pelaksanaan fungsi pengintegrasian variabel-variabel organisasi dengan variabel orang di atas, seorang manajer sangat dipengaruhi pandangan human relations, suatu aliran yang lebih baru setelah manajemen klasik, yang memandang manusia sebagai makluk yang selalu berupaya sebagai pihak yang berguna dan penting, ingin diterima dan dikenali dalam kelompok atau organisasi, dan bahwa uang tidak lebih penting dari keinginannya di atas. Karena itu, tugas utama manajer adalah berupaya menciptakan hubungan baik dan berusaha membuat bawahannya merasa penting, berusaha mendengarkan semua keluhannya, dan memberi izin kepada mereka dalam batas-batas tertentu untuk melakukan kontrol diri dan pengarahan diri. Harapannya bahwa kepuasan bawahan akan tercapai, semangat kerja meningkat, dan kerjasama akan terus berjalan.

   Model sumber daya manusia (human resource)

  Manajer berasumsi bahwa orang bisa saja tertarik terhadap pekerjaan yang menantang (tidak selalu uang), memiliki kreativitas dan inisiatif serta tanggung jawab yang tinggi untuk mengarahkan pengendalian dan pengarahan dirinya, maka yang dilakukan oleh manajer tersebut adalah memanfaatkan kemampuan sumber daya manusia yang ada pada bawahannya, memberikan peluang agar mereka dapat berkreasi dan berinisiatif, serta memberikan dorongan agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif. Karena itu, diharapkan terjadinya tanggung jawab yang lebih tinggi di kalangan bawahan, sekaligus terjadi perbaikan efisiensi dan peningkatan kepuasan kerja. Dalam paradigma ini fungsi pengintegrasian variabel-variabel di atas didasarkan atas asumsi bahwa manusia tidak selamanya tidak senang bekerja, tidak selamanya

  tidak bertanggung jawab, tidak selamanya mengelak tanggung jawab, dan tidak selamanya tidak mampu mengarahkan atau mengendalikan dirinya. Manusia bisa memiliki kemampuan yang positif dan negatif, tergantung cara pembinaan, pengembangan dan pemanfaatannya. Karena itu, tugas seorang manajer adalah mengembangkan kemampuan sumber daya manusia seoptimal mungkin, menciptakan suatu lingkungan tempat kerja yang menyenangkan dan akomodatif bagi pengembangan kemampuan, dan mendorong mereka untuk berpartisipasi secara sepenuhnya dalam hal-hal yang bersifat penting atau strategis dan secara berkesinambungan memperluas kontrol dan kendali diri mereka. Harapannya adalah bahwa pada waktunya setiap orang akan menjadi dewasa dalam arti mampu mengarahkan dan mengendalikan dirinya sehingga tercapai peningkatan elisiensi dan efektivitas, dan kepuasan kerja mereka juga bisa menjadi lebih tinggi. Prinsip seperti ini sangat cocok untuk situasi dimana para bawahannya telah dianggap dewasa dalam arti tingkat pendidikannya lebih tinggi serta pemahaman berorganisasi dan kesadaran akan suatu kinerja lebih mendalam. Penganut paradigma human resources, akan selalu memberikan kepercayaan kepada bawahannya, dan membiarkan atau bahkan mengembangkan bawahannya seoptimal mungkin. la bertindak wajar-wajar saja, jarang mengancam dan mendikte mereka. la selalu berusaha untuk mengajukan pertanyaan kepada bawahannya dan membiarkan mereka menjawabnya. Ia lebih berfungsi sebagai seorang pelatih dan fasilitator daripada seorang yang mengetahui segalanya. Dan lebih penting lagi adalah mendorong bawahannya untuk berpartisipasi aktif.

  Dari ketiga model tersebut, kita dapat melihat variasi pola yang dianut seorang manajer.Pola yang dipilih tentu saja tergantung dari asumsi dasar yang dianut seorang manajer tentang hakikat manusia dalam organisasi, teknologi yang dimiliki, dan lingkungan serta situasi yang sedang dihadapi. Dan pola tersebut juga akan sangat mempengaruhi bentuk struktur organisasi yang dipilih.