Latar Belakang Analisis nilai ekonomi lahan sebagai dasar bagi upaya peningkatan nilai pembayaran jasa lingkungan (kasus desa Citaman DAS Cidanau)

1 I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekayaan sumber daya alam Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia telah mengalami penyusutan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Penyusutan kekayaan sumber daya alam saat ini disebabkan oleh adanya faktor laju pertambahan populasi penduduk yang tidak terkontrol dan semakin besarnya aktifitas eksploitasi sumber daya alam yang sarat kepentingan ekonomi, yang ditandai dengan semakin tingginya konsumsi terhadap bahan baku yang berasal alam. Salah satunya adalah konsumsi dalam bentuk sumberdaya hutan dengan segala isi dan fungsinya. Pemanfaatan Sumber Daya Hutan SDH hingga saat ini lebih didominasi oleh produk kayu dan turunannya yang telah memiliki nilai pasar, sementara produk hasil hutan ikutan lainnya seperti jasa lingkungan hutan belum dimanfaatkan secara optimal karena nilai pasarnya belum diketahui secara umum. Laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 1,6 juta hektar per tahun pada tahun 1985-1997 dan diperkirakan sebesar 3,8 juta hektar setiap tahunnya pada kurun waktu 1997-2000 Suryawan, 2005. Hal ini tidak dipungkiri akan mengakibatkan kelangkaan sumber daya hutan. Kelangkaan tersebut tentu saja disebabkan oleh kerusakannya yang sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Sumber daya hutan yang menyimpan banyak sumber kehidupan, dewasa ini mengalami penurunan kualitas dan kuantitas secara drastis, Akibatnya siklus air yang dikontrol oleh vegetasi hutan juga ikut terkena dampak dari adanya penyusutan hutan karena degradasi hutan tersebut, yaitu terjadi penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya air. 2 Salah satu wilayah yang mengalami penurunan kuantitas sumberdaya air karena adanya perambahan hutan adalah wilayah Provinsi Banten, yaitu di Daerah Aliran Sungai DAS Cidanau. DAS Cidanau merupakan salah satu DAS penting bagi penyediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah Serang Barat Cilegon dan sekitarnya. Secara geografis DAS Cidanau terletak di antara 06º 07’ 30’’ – 06º 18’ 00’’ LS dan 105º 49’ 00’’ – 106º 04’ 00’’ BT. DAS Cidanau mencakup kawasan seluas 22.620 ha, yang mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang seluas 999,29 ha dan Kabupaten Serang seluas 21.620,71 ha Bapedalda Banten, 2001. Sungai Cidanau yang berhulu di kawasan Cagar Alam Rawa Danau merupakan sungai utama di DAS Cidanau dan menjadi sumber air baku serta reservoir bagi sungai – sungai di tujuh belas sub DAS Cidanau. Sungai Cidanau memiliki limpasan atau debit rata-rata tahunan sebesar 13 m 3 detik, dengan fluktuasi debit kurang dari 5 m 3 detik pada musim kering, hingga lebih dari 20 m 3 detik pada musim hujan. Adanya berbagai kegiatan yang berorientasi negatif, seperti penebangan kayu secara liar dan konversi lahan, mengakibatkan debit air di DAS Cidanau menunjukkan kecenderungan yang terus menurun hingga dibawah kebutuhan air baku PT. KTI perusahaan pemanfaat air baku dari Sungai Cidanau yaitu sebesar 1.130 literdetik FKDC, 2007. Hasil penelitian tentang perubahan penggunaan lahan yang dilakukan Baba et al. 2001 diketahui bahwa selama periode 1972-1998 tidak ada kegiatan perubahan lahan yang nyata akibat dari penebangan kayu logging atau pembangunan areal pertanian. Seiring dengan meningkatnya populasi jumlah penduduk di Cidanau, terdapat kecenderungan terjadinya degradasi lingkungan 3 yang berdampak pada penurunan kualitas dan kuantitas air, kecenderungan degradasi lingkungan yang terjadi seperti dilaporkan KTI 2004 antara lain disebabkan oleh perambahan di kawasan Cagar Alam Rawa Danau yang memiliki luasan sebesar ± 849 ha oleh ±1.140 kepala keluarga, dengan mengkonversi kawasan cagar alam menjadi kawasan budidaya. Tingginya tingkat degradasi lingkungan di wilayah Rawa Danau dan hulu DAS Cidanau yang berdampak pada kelangkaan sumber daya air telah menyita perhatian masyarakat maupun industri yang memanfaatkan air dari DAS Cidanau. Degradasi lingkungan ini berdampak pada penurunan ketersediaan air baku dari Sungai Cidanau, juga mengancam eksistensi Cagar Alam Rawa Danau yang merupakan suatu kawasan endemis terutama untuk ekosistem rawa. Rawa Danau merupakan satu-satunya kawasan pegunungan rawa yang masih tersisa di Pulau Jawa. Kondisi tersebut mendorong para pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan DAS Cidanau untuk membangun kesamaan visi dan misi dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan di DAS Cidanau secara terintegrasi dalam kerangka pembangunan bekelanjutan yang didasarkan pada konsep one river, one plan and one management. Upaya pelestarian lingkungan dengan konsep ini dapat menjadi terobosan baru dalam teknik konservasi lingkungan yang berkelanjutan berdasarkan prinsip hubungan hulu-hilir yang saling menguntungkan antara penyedia di hulu dan pengguna jasa lingkungan di hilir. Sebagai solusi untuk melestarikan lingkungan di DAS Cidanau, khususnya sumber daya air, maka digagaslah model hubungan hulu-hilir dengan transaksi 4 Pembayaran Jasa Lingkungan PJL atau Payment for Environmental Service PES KTI, 2004. Pendekatan konsep ini merupakan suatu bentuk instrumen ekonomi berupa pembayaran insentif yang bertujuan untuk mengendalikan dampak negatif lingkungan melalui mekanisme pasar. Mekanisme pasar pasar tercermin pada proses transaksi tukar menukar jasa antara penyedia jasa dan pengguna jasa lingkungan dengan posisi setara dan sukarela. Konsep pembayaran jasa lingkungan ini diharapkan dapat menjadi program alternatif dan strategis dalam rangka mengurangi tingkat kerusakan lingkungan dan tingkat kemiskinan masyarakat. Dengan adanya konsep dan mekanisme yang disepakati serta didukung berbagai pihak, maka PT. Krakatau Tirta Industri PT. KTI sebagai pemanfaat utama sumberdaya alam dalam bentuk air baku dari Sungai Cidanau, bersedia membayar sejumlah uang sebagai bentuk implementasi dari konsep pembayaran jasa lingkungan dalam bentuk kompensasi atau insentif dan kepada mesyarakat hulu di wilayah DAS Cidanau. PT. KTI bersedia untuk melakukan pembayaran selama 5 lima tahun dengan nilai Rp. 175.000.000,00tahun untuk dua tahun pertama dan Rp. 200.000.000,00tahun untuk tahun-tahun berikutnya dengan luas lahan seluas 50 ha. Nilai tersebut setara dengan Rp. 2.765.000,00hatahun hingga Rp. 3.160.000,00hatahun. Penerima transaksi pembayaran jasa lingkungan adalah masyarakat hulu yang dipilih berdasarkan kondisi lahan yang kritis dan berpengaruh terhadap fungsi hutan dan tata air di DAS Cidanau serta kondisi sosio-kapital masyarakat yang tepat. Berdasarkan kriteria teresebut, dipilihlah Desa Citaman dan Cibojong kemudian menyusul Desa Kadu Agung dan Cikumbueun. Desa-desa tersebut akan 5 menerima pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp. 1.200.000,00 hatahun. Ketentuannya, lahan masyarakat yang berhak menerima pembayaran jasa lingkungan harus memiliki jumlah tanaman tidak kuang dari 500 batang pohon tiap hektar lahannya pada tahun pertama dan tidak kurang dari 200 pohon pada akhir tahun ke-lima. Akan tetapi besarnya nilai insentif ini sesungguhnya masih harus dicermati dari jumlah atau nilai transaksi yang diterima oleh masyarakat penerima jasa lingkungan, apakah nilai tersebut sudah sesuai dengan nilai yang seharusnya diterima oleh masyarakat atas kesediaanya mengkonservasi lahannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sand 2004 mengenai kesediaan membayar atas jasa lingkungan dalam hai ini air oleh industri sangatlah rendah. Kesediaan membayar itu berkisar antara Rp. 10,00m 3 – Rp. 3.500,00m 3 dari 56 industri atau 40 industri yang bersedia membayar atas jasa lingkungan ini, sementara 60 lainnya menyatakan tidak dapat menjawab. Permasalahan yang kemudian dicoba untuk dikaji adalah nilai pembayaran jasa lingkungan yang diterima masyarakat atau dibayarkan oleh industri masih terlalu rendah sehingga masyarakat masih berpotensi melakukan penebangan maupun konversi lahannya. Seharusnya dengan semakin meningkatnya kualitas jasa lingkungan khususnya air baku, insentif yang diterima masyarakat juga meningkat, sehingga masyarakat bersedia mengubah pola penggunaan lahan yang dilakukannya ke dalam pola penggunaan yang mendukung pada pelestarian kawasan hutan DAS Cidanau. Berdasarkan permasalahan tersebut, dibutuhkan informasi yang dapat menjadi referensi bagi upaya peningkatan nilai pembayaran jasa lingkungan yang seharusnya diterima masyarakat penyedia jasa lingkungan di 6 wilayah model pembayaran jasa lingkungan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan nilai kompensasi tersebut adalah dengan cara menghitung nilai ekonomi dari lahan yang dijadikan model pembayaran jasa lingkungan tersebut. Informasi mengenai besarnya nilai ekonomi tersebut diharapkan akan bemanfaat sebagai acuan untuk meningkatkan besarnya nilai pembayaran jasa lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan mencegah laju degradasi lingkungan di wilayah DAS Cidanau.

1.2 Perumusan Masalah