Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan
KAJIAN RUMPUT LAUT EUCHEMA COTONII
SEBAGAI SUMBER SERAT ALTERNATIF
MINUMAN CENDOL INSTAN
UBAEDILLAH
s
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : “Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan” adalah karya saya sendiri dengan pengarahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Hasil penelitian atau gambar boleh dikutip untuk kepentingan non komersial dengan menyebutkan sumbernya.
Bogor, Februari 2008
Ubaedillah F051050031
(3)
RINGKASAN
UBAEDILLAH. Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan. Dibimbing oleh USMAN AHMAD dan SANTOSO.
Serat pangan (Dietary fiber) seringkali identik dengan produk sayuran yang segar. Manfaat serat dapat diperoleh juga melalui produk olahan yang mengandung bahan dasar rumput laut. Dalam produk makanan, rumput laut seringkali digunakan sebagai alternatif bahan yang menguntungkan dan dapat meningkatkan nilai gizi. Penambahan rumput laut sebagai sumber serat akan mampu meningkatkan nilai jual es cendol yang telah dikenal masyarakat dari sisi cita rasa dan pada kandungan seratnya juga sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan (dietary fiber) alternatif.
Rumput laut Euchema cotonii yang digunakan dalam penelitian ini memiliki komposisi kimia; kadar air 96,12%, kadar lemak 1,55%, protein 20,10%, abu 6,96%, karbohidrat 71,39%, serat pangan larut 15,46%, serat pangan tak larut 38,96%, serat pangan total 54,38%, dan iodium 55,46 µg/g. Dengan demikian, rumput laut Euchema cotonii dapat digunakan sebagai sumber serat dalam cendol instan. Selain sebagai sumber serat, Euchema cotonii dapat juga digunakan sebagai sumber iodium.
Komposisi rumput laut Euchema cotonii dalam cendol paling disukai pada taraf 20% (formula C). Komposisi formula C dalam 100 gram bahan cendol yaitu rumput laut 20 gram, tepung hunkwee 53,4 gram, tepung beras 26,7 gram, dan larutan daun suji 70 ml. Berdasarkan uji kesukaan, komposisi tersebut paling disukai oleh panelis sehingga diharapkan sesuai juga dengan selera konsumen.
Kadar serat pangan total cendol formula B yaitu 17,40%, sedangkan serat pangan total formula C yaitu 18,68%. Jika dalam satu takaran saji cendol instan adalah sebanyak 20 gram maka jumlah serat yang dikonsumsi untuk cendol formula B adalah 3,48 gram dan untuk formula C adalah 3,74 gram. Apabila dalam satu hari diasumsikan diminum sebanyak tiga kali maka jumlah asupan serat pangannya adalah 10,44 gram per hari untuk formula B dan 11,22 gram per hari untuk formula C. Dengan mengkonsumsi cendol instan setiap hari diharapkan dapat memenuhi sebagian kebutuhan serat pangan setiap hari.
Kandungan iodium cendol rumput laut formula B cukup tinggi yaitu 9,01 µg/g dan untuk formula C yaitu 9,31 µg/g. Untuk anak-anak usia 4-6 tahun membutuhkan iodium 100 µg perhari, dianjurkan untuk mengkonsumsi cendol rumput laut formula B sebanyak 11 gram per hari atau 10 gram untuk cendol formula C. Untuk orang dewasa (10-<60 tahun) dengan kebutuhan iodium 150 µg per hari, dianjurkan untuk mengkonsumsi sebanyak 17 gram cendol rumput laut formula B atau 16 gram formula C. Selain sebagai sumber serat, cendol instan ini dapat dijadikan sebagai sumber iodium untuk mencegah GAKI.
Cendol rumput laut kering formula B dan formula C yang diuji dalam kondisi siap saji dinilai oleh panelis lebih baik pada parameter warna dengan warna hijau terang, sedangkan parameter aroma, rasa, dan tekstur masih kalah dibandingkan dengan cendol komersil.
(4)
ABSTRACT
UBAEDILLAH. Study on Seaweed Euchema cotonii as Alternatif Sources of Dietary Fiber on Instant Cendol. Under the Supervision of USMAN AHMAD and SANTOSO.
Dietary fiber have fungsional effect to human health, for example it can be used to decrease cholesteroleomic, to prevent constipation and diverticulosis,as well as to prevent degeneratif desease. Dietary fiber from seaweed (Euchema cotonii) are usually consumed as food product (processed), for instant seaweed tangkue, noodles, putu ayu, donut, and other products with seaweed added. The objectives of this research were to study the advantage of seaweed as sources of dietary fiber, to obtain the optimum composition for instant cendol, and to observe the product instant cendol. This researh was began with blending of seaweed, formulation of cendol (A, B, C, D, E, and F with 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, and 50% seaweed respectively), freeze drying, analyze for chemical and physical characterictic of instant cendol, organoleptic analyze (hedonic and pairs). The result showed that porridge of seaweed have total dietary fiber 54,38% (db), iodium 55,46 µg/g (db). Organoleptic score significantly different for formula B on colour 7,7 and for formula C 6,65 on texture. Formula C seaweed cendol has a total dietary fiber higher than formula B and control. Total dietary fiber for formula C was 18,68%, for formula B 17,40%, and for control 15,04%. If compared with comercial cendol,colour of instant cendol showed better result than commercial one, but odour, taste, and texture were inferior than commercial one.
(5)
KAJIAN RUMPUT LAUT EUCHEMA COTONII
SEBAGAI SUMBER SERAT ALTERNATIF
MINUMAN CENDOL INSTAN
UBAEDILLAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(6)
Judul Tesis : Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan
Nama : Ubaedillah
NRP : F051050031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr. Ir. Santoso, MPhill. Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen
Dr. Ir. Wayan Budiastra, MAgr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
(7)
PRAKATA
Puji sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan karya ilimiah ini. Karya ilmiah ini merupakan sebagian kecil dari nikmat dan kasih sayang-Nya yang diberikan kepada penulis. Judul yang dipilih karya ilimiah ini adalah “Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan”.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda Abdul Muttholib, Ibunda Daro’ah, Kang Toni, Aisyah, Munji, Imah yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan do’a. Ade Iis, Himah, Alif, dan Inu membuat penulis ter-support untuk menyelesaikan kuliah dan karya ilmiah ini dengan sebaik-baiknya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr dan Ir. Santoso, Mphill yang telah bersedia memberikan bimbingan dan arahan yang sangat bermanfaat untuk pengembangan wawasan penulis Dr. Ir. Rohani Hasbullah, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bu Rina dan Balai Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BP2HP) Jakarta atas proyek penelitian yang diberikan. Mba Yulia yang selalu memberi dukungan dari awal studi dan pendapatnya yang berarti, Pa Yaden yang selalu sabar, Pa Joko, Bu Pia, rekan-rekan seperjuangan di Teknologi Pascapanen; Tika, Eci, Nuni, Faidah, mba Dewi, Bayu, Adnan, Kemala, Eni, Deva (klito), Venty, dan Etha. Tak lupa juga penulis menghargai semua dukungan dari Dias Marchi dan rekan-rekan pengajar di SMAIPB-Soedirman, Cijantung, Neng Ima, Dul Majid, dan Dol Cebannya sebagai jalan rezeki.
Dengan kerendahan hati, semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2008
(8)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Indramayu pada Tanggal 16 Agustus 1982. Anak ke lima dari sembilan bersudara dari ayahanda Abdul muttholib dan ibunda Daro’ah. Penulis merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara.
Penulis menamatkan pendidikan S1 di Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut pertanian Bogor pada Tahun 2004. Pada Tahun 2005, penulis melanjutkan studinya di Teknologi Pascapanen, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada Tahun 2008. Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan pendidikan terutama memberikan asistensi untuk mata kuliah Akuntansi, Manajemen Keuangan, Pembiayaan Perusahaan, Kewirausahaan, dan Tata Niaga di Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB. Selain itu, penulis juga mengajar Ekonomi dan Manajemen di SMU Islam PB Sudirman, Cijantung dan SMUN 5 Bogor. Selain aktif dalam bidang pendidikan, penulis juga bekerja pada Konsultan Adi Jaya, Bogor, dan membuka usaha penjualan peralatan (Dol Ceban) yang merupakan bagian dari perjuangan hidup unforgettable.
(9)
DAFTAR ISI
halaman
Ringkasan ... iii
Abstract ... iv
Kata Pengantar ... vii
Prakata ... vii
Daftara Isi ... ix
Daftar Tabel ... xi
Daftar Gambar ... xii
Daftar Lampiran ... xiv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Cendol ... 4
Rumput Laut ... 5
Komposisi Kimia Euchema cotonii ... 7
Serat Pangan (Dietary fiber) ... 8
Tepung Beras ... 11
Tepung Hunkwee ... 12
Pengeringan Beku (Freeze Drying) ... 14
METODE PENELITIAN ... 17
Waktu Penelitian ... 17
Bahan dan Alat ... 17
Metode Penelitian ... 18
Analisis Data ... 20
Analisis Daya Serap Air ... 23
(10)
Total Mikroba ... 29
Uji Organoleptik ... 30
Analisis Ekonomi ... 31
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34
Pembuatan Bubur Rumput Laut ... 34
Formulasi Cendol Rumput Laut ... 37
Pengeringan Beku (Freeze drying) Cendol Rumput Laut ... 46
Pembekuan Cendol rumput Laut ... 47
Pengeringan Cendol rumput Laut ... 49
Analisis Cendol Rumput Laut Instan ... 50
Analisis Proksimat ... 52
Serat Pangan (dietary fiber) ... 57
Iodium ... 59
Analisis Daya Serap Air ... 62
Analisis Mikrobiologi (Total Plate Count) ... 64
Uji Organoleptik (Perbandingan Pasangan) ... 65
Analisis Ekonomi ... 70
SIMPULAN DAN SARAN ... 72
Simpulan ... 72
Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 74
(11)
DAFTAR TABEL
No halaman
1. Produksi rumput laut di Indonesia Tahun 2000-2004 ... 1
2. Komposisi kimia Euchema cotonii ... 8
3. Komposisi kimia tepung beras ... 11
4. Kandungan gizi dan kecambah kacang hijau ... 13
5. Komposisi tepung hunkwee ... 13
6. Perbedaan metode dan mutu produk antara pengeringan beku dan pengeringan konvensional ... 16
7. Kriteria Uji Kesukaan ... 30
8. Kriteria Uji Perbandingan Pasangan ... 31
9. Komposisi kimia Bubur Rumput Laut Euchema cotonii ... 36
10. Komposisi Kimia Rumput Laut Euchema cotonii Segar ... 37
11. Komposisi Formulasi Cendol Rumput Laut ... 39
12. Komposisi Gizi Cendol Rumput Laut Kering (bk) ... 52
13. Kebutuhan Iodium Menurut Kelompok Umur ... 61
(12)
DAFTAR GAMBAR
No halaman
1. Klasifikasi Rumput Laut dan Hasil Produksinya ... 5
2. Keterkaitan Antara Dinding Sel Tanaman dan Serat Pangan ... 8
3. Diagram Fase Air ... 16
4. Freeze Dryer Skala Laboratorium ... 17
5. Alur Pembuatan Cendol Instant ... 21
6. Diagram Alir Penelitian ... 22
7. Alur Penghilangan Bau Amis dan Pembuatan Bubur Rumput Laut ... 23
8. Rumput Laut Euchema cotonii Kering ... 34
9. Bubur Rumput Laut Euchemaa cotonii ... 36
10. Pencetakan Cendol Rumput Laut ... 38
11. Penampilan Enam Jenis Formulasi Cendol Rumput Laut ... 40
12. Histogram Nilai Organoleptik Cendol Rumput Laut ... 40
13. Histogram Hasil Uji Warna Formula Cendol Rumput Laut ... 41
14. Histogram Hasil Uji Aroma Formula Cendol Rumput Laut ... 43
15. Hasil Uji Rasa Formula Cendol Rumput Laut ... 44
16. Hasil Uji Tekstur Formula Cendol Rumput Laut ... 45
17. Cendol Rumput Laut Beku ... 48
18. Grafik Pergerakan Fraksi Air Pengeringan Beku Buah Durian ... 50
19. Penampakan Cendol Rumput Laut Setelah Freeze Dry ... 51
20. Kadar Air Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol. .. 53
21. Kadar Protein (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 54
22. Kadar Lemak (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 55
23. Kadar Abu (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 55
24. Kadar Karbohidrat (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 57
25. Kadar Serat Pangan (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 58
26. Kadar Iodium (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ... 60
(13)
27. Penampakan Rongga-Rongga Cendol Rumput Laut Kering ... 64 28. Cendol Rumput Laut Formula B (kiri), Cendol Komersil (tengah),
dan Cendol Rumput Laut Formula C (kiri) ... 66 29. Hasil Uji Perbandingan Pasangan Cendol Rumput Laut Formula B ... 67 30. Hasil Uji Perbandingan Pasangan Cendol Rumput Laut Formula C ... 67
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
No halaman
1. Score Sheet Cendol Rumput Laut Euchema cotonii ... 79
2. Lembar Isian Uji Perbandingan Pasangan ... 81
3. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Warna Cendol Rumput Laut ... 82
4. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Aroma Cendol Rumput Laut ... 82
5. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Rasa Cendol Rumput Laut ... 83
6. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tekstur Cendol Rumput Laut ... 83
7. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Kadar Air Cendol Rumput Laut ... 84
8. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Lemak Cendol Rumput Laut ... 84
9. Analisis Ragam Protein Cendol Rumput Laut ... 84
10. Analisis Ragam Abu Cendol Rumput Laut ... 84
11. Analisis Ragam Karbohidrat Cendol Rumput Laut ... 85
12. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan Larut Cendol Rumput Laut ... 85
13. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan tak Larut Cendol Rumput Laut ... 85
14. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan Total Cendol Rumput Laut ... 86
15. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Iodium Cendol Rumput Laut ... 86
16. Asumsi Dasar Analisis Ekonomi Usaha Cendol Instan ... 87
17. Biaya Variabel Usaha Cendol Instan ... 88
18. Uraian Pemakaian Biaya Listrik ... 88
19. Biaya Tetap Usaha Cendol Instan ... 89
20. Cash Flow Usaha Cendol Instan ... 90
(15)
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Di Indonesia, rumput laut secara luas dimanfaatkan dalam industri kembang gula, kosmetik, es krim, media cita rasa, roti, saus, sutera, pengalengan ikan dan daging, obat-obatan dan lainnya (Winarno, 1990). Komposisi utama rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat, abu, serat pangan, dan sebagian kecil lemak dan protein. Hasil penelitian Chaidir (2007) menunjukkan kadar karbohidrat pada rumput laut Euchema cotonii yang direndam dalam air tawar selama 9 jam adalah 75,36% bk, abu 18% bk, lemak 3,39% bk, protein 0,43% bk dan serat pangan total 9,62% bb. Serat pangan (dietary fiber) adalah suatau karbohidrat kompleks di dalam bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat tersebut banyak berasal dari dinding sel sayuran dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut tersusun dari beberapa karbohidrat, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gumi, dan
mucilage (Astawan et al., 2004).
Tabel 1. Produksi Rumput Laut di Indonesia Tahun 1999-2004
Tahun Volume (ton)
2000 2001 2002 2003 2004
133.720 212.478 223.080 231.927 397.967 Sumber : Biro Pusat Statistik, 2005.
Serat pangan (dietary fiber) memiliki efek fungsional yang menguntungkan bagi kesehatan manusia, diantaranya dapat menurunkan kolesterol darah, memperbaiki fungsi-fungsi pencernaan, dan mencegah berbagai penyakit degeneratif (Astawan et al., 2004). Selain serat, rumput laut juga mengandung iodium yang merupakan elemen penting dalam pencegahan penyakit gondok. Di Jepang, satu dari satu juta penduduk yang terkena penyakit gondok, sedangkan di Indonesia sebanyak 12 juta dari 160 juta penduduk yang terserang penyakit gondok (8%). Jarangnya
(16)
kasus gondok di Jepang mungkin disebabkan oleh kegemaran masyarakat Jepang mengkonsumsi rumput laut, terutama kombu (Laminaria aparuca) dan L.religosa.
Penelitian Hunninghake et al., (1994), pasien yang menderita hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20 gram/hari, total kolesterol, LDL, serta rasio LDL-HDL plasmanya menunjukkan penurunan masing-masing 6%, 8%, dan 8%. Komponen LDL merupakan kolesterol yang berpotensi menimbulkan penyakit jantung koroner.
Serat pangan (dietary fiber) memberikan efek fisiologis dan metabolis karena sifatnya mampu larut dalam air, kemampuan mengikat air (water holding capacity),
viskositas, kemampuan mengikat molekul organik dan inorganik, dan daya cerna atau daya fermentasinya oleh bakteri (Groff dan Gropper, 1999). Karena sifat-sifat tersebut serat pangan dapat memperlambat penurunan makanan dalam pencernaan, mengurangi pencampuran nutrisi makanan dengan enzim pencernaan dan menurunkan aktifitas enzim dalam mencerna makanan.
Dietary fiber seringkali identik dengan produk sayuran yang segar. Manfaat serat dapat diperoleh juga melalui produk olahan yang mengandung bahan dasar rumput laut. Dalam produk makanan, rumput laut seringkali digunakan sebagai alternatif bahan yang menguntungkan dan dapat meningkatkan nilai gizi. Penelitian Astawan et al., (2004) menunjukkan bahwa penambahan 30% rumput laut pada kue putu ayu, 30% pada kue centik manis, 30% pada kue lumpur, dan 40% pada kue donat masih dapat diterima oleh panelis, baik dari rasa, tekstur, warna, dan aroma. Selain serat, kandungan iodium dalam rumput laut terbukti dapat meningkatkan jumlah sel neuron otak kiri anak sehingga dapat meningkatkan kemampuan belajar (kecerdasan).
Selain dalam bentuk makanan, serat pangan banyak dijumpai juga dalam bentuk cair (minuman) yang banyak dijual dalam berbagai merk dengan sumber serat yang bermacam-macam. Chaidir (2007) telah melakukan penelitian terhadap minuman berserat dengan sumber serat berasal dari rumput laut. Penambahan tepung rumput laut Euchema cotonii 48,7% dalam bahan minuman berserat, dapat meningkatkan kadar serat pangan (total dietary fiber) menjadi 41,8% yang terdiri dari serat pangan larut 36,1% dan serat pangan tidak larut 5,7%, yang berarti bahwa setiap gram minuman serat mengandung 0,42 gram serat pangan total.
(17)
Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi serat memacu industri makanan dan minuman untuk melakukan diversifikasi produk dengan produk intinya berupa serat pangan (dietary fiber) dalam bentuk instan. Produk instan merupakan tuntutan konsumen masa kini yang dituntut serba cepat dan tidak merepotkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk diversifikasi produk minuman berserat adalah melalui produk cendol instant. Cendol rumput laut merupakan minuman yang disajikan dengan komposisi tertentu rumput laut sebagai sumber serat (dietary fiber)
dilengkapi cairan pati dan gula merah.
Cendol yang ada saat ini umumnya berbahan dasar dari tepung beras, tepung hunkwee, atau tepung sagu. Produk ini hampir selalu ada di seluruh Wilayah Indonesia, bahkan di Malaysia karena rasanya yang enak dan teksturnya yang lembut sehingga disukai oleh berbagai lapisan masyarakat. Penambahan rumput laut sebagai sumber serat diharapkan akan mampu meningkatkan nilai jual cendol yang dikenal masyarakat dari sisi cita rasa dan pada kandungan seratnya sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan (dietary fiber) alternatif.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan rumput laut sebagai sumber serat pada minuman cendol instan.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menemukan komposisi optimum rumput laut Euchema cotonii dan bahan-bahan lainnya dalam pembuatan minuman berserat cendol instan dan mengkaji minuman berserat yang dihasilkan.
(18)
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cendol
Cendol merupakan salah satu makanan tradisional dengan bahan baku berasal dari sumber lokal, diolah menurut resep setempat dan sesuai dengan selera masyarakat. Menurut Rungkat et al., (2001), pengertian pangan tradisional meliputi bahan baku dan produk pangan serta minuman yang dibuat dari bahan yang tersedia di Indonesia dan sudah dikenal dan digunakan semenjak dahulu. Berbagai jenis pangan tradisional diketahui secara empiris mempunyai khasiat terhadap kesehatan baik sebagai pencegah penyakit maupun sebagai penyembuh atau sebagai pangan fungsional. Potensi makanan tradisional digunakan sebagai pangan fungsional cukup besar karena berbagai hasil penelitian mulai menghasilkan data ilmiah mengenai khasiat makanan tradisonal, baik khasiat bahan-bahan baku maupun produk-produk jadi. Bahan-bahan baku yang telah diteliti khasitanya meliputi rempah-rempah, sayuran, buah-buahan, rumput laut, kacang-kacangan, dan sebagainya.
Menurut Candraningsih (1997), cendol merupakan salah satu jenis makanan tradisonal Indonesia yang bahan baku utamanya berupa padi-padian dan kacang-kacangan, yang sudah dikenal dan digemari secara luas di Indonesia. Cendol memiliki tekstur yang kenyal dan umumnya berwarna hijau. Cendol terbentuk sebagai akibat dari proses gelatinisasi pati. Dalam 100 gram cendol yang terbuat dari dari campuran tepung beras dan tepung tapioka mengandung energi 95,08 Kkal, karbohidrat 8,25 gr, protein 1,21 gr, dan lemak 6,44 gr (Anonymousa, 2001). Menurut Santoso (2000), dalam proses pembuatan cendol, tepung hunkwe atau tepung beras ditambah dengan pewarna hijau dan air, dimasak sampai kekentalan tertentu kemudian dicetak dengan cetakan cendol.
Terdapat dua jenis cendol siap pakai yang ada dipasaran yaitu cendol tepung hunkwee dan cendol tepung beras. Cendol tepung hunkwee berwarna hijau terang dan kenyal, sedangkan cendol tepung beras berwarna hijau gelap dan empuk. Cendol siap pakai dijual dalam kemasan plastik dan direndam dalam air agar setiap butiran tidak lengket satu sama lainnya. Cendol pada umumnya memiliki aroma segar yang berasal dari daun suji atau daun pandan (Anonymousa, 2001).
(19)
2.2. Rumput Laut
Rumput laut merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaaan susunan kerangka akar, batang, dan daun. Meskipun wujudnya tampak seperti ada perbedaan, bentuk yang sesungguhnya hanya berupa thalus. Rumput laut termasuk ke dalam jenis alga. Secara umum, alga dikelompokkan dalam empat kelas yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga hijau-biru (Cyanophyceae), alga coklat (Phaecophyceae), dan alga merah (Rhodophyceae). Alga coklat dan alga merah memiliki habitat di laut dan lebih banyak dikenal sebagai rumput laut atau seaweed. Klasisfikasi rumput laut dan hasil produksinya dapat dilihat pada Gambar 1 (Winarno, 1990).
Gambar 1. Klasifikasi Rumput Laut dan Hasil Produksinya (Winarno, 1985 dalam Winarno 1990).
Rumput laut
Gracilaria Gelidium
Ascophyllum laminaria Macrocystis
Rhodophyceae
(Alga merah)
Phaecophyceae
(Alga coklat)
Cyanophyceae
(Alga hijau-biru) Chlorophyceae
(Alga hijau) Kelas :
Genus :
Chondrus Euchema Gigartina
Furcellaria
Agar-agar Carragenan Furcellaran Algin (alginat) Produksi :
(20)
Rumput laut tumbuh dengan menempel baik pada karang mati, atau cangkang moluska agar dapat tahan terhadap terpaan ombak. Selain memerlukan tempat menempel, rumput laut juga memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Sinar matahari yang masuk dan diserap tergantung kejernihan air laut. Jenis Chlorophyceae umumnya tumbuh lebih dekat dengan pantai, lebih ke tengah lagi Phaecophyceae, dan jenis Rhodophyceae hidup di laut yang lebih dalam (Indriani dan Sumiarsih, 1991).
Proses fotosintesis rumput laut tidak hanya dibantu oleh sinar matahari, tetapi juga dipengaruhi oleh ketersediaan zat hara dalam air sekelilingnya. Zat hara yang ada di laut masih mencukupi untuk kehidupan rumput laut karena adanya sirkulasi yang baik, run-off dari darat, dan gerakan air. Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut adalah kondisi cemaran air laut. Rumput laut dapat meneyerap logam berat seperti Pb dan Hg yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Zat hara yang tersedia diserap melalui seluruh bagian tanaman. Selain menyediakan zat hara, gerakan air laut juga membantu memudahkan rumput laut membersihkan kotoran yang menempel, dan melangsungkan proses pertukaran CO2 dengan O2, sehingga kebutuhan oksigen dapat terpenuhi. Arus yang baik untuk pertumbuhan rumput laut adalah antara 20-40 cm/detik atau jika bergelombang tingginya tidak lebih dari 30 cm (Indriani dan Sumiarsih, 1991).
Selain faktor zat hara dan sinar matahari, pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh salinitas (kadar garam) dan temperatur. Berdasarkan salinitasnya, terdapat dua golongan rumput laut yaitu stenohalin yang dapat tumbuh dan berkembang biak pada perairan dengan kisaran salinitas yang sempit, dan euryhalin
yang dapat tumbuh dan berkembang biak di perairan dengan kisaran salinitas yang luas. Temperatur yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara 20-28oC. Walaupun demikian, ada beberapa jenis rumput laut yang dapat hidup di luar kisaran tersebut, seperti Phorphyra, Furcellaran, Chondrus, dan Laminaria (Indriani dan Sumiarsih, 1991).
Terdapat dua kelompok rumput laut yang telah menjadi komoditas budidaya bernilai ekonomi, yaitu Gracilaria spp.dan Eucheuma spp. Kedua rumpun ini telah berhasil dibudidayakan dan telah diperdagangkan secara luas karena dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri. Menurut Winarno (1990), terdapat
(21)
beberapa jenis rumput laut di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis sesuai dengan hasil ekstraksinya, antara lain Gracilaria Sp, Gelidium, Gelidiopsis, dan Hypnea
yang merupakan rumput laut penghasil agar-agar (agarophyte), Euchema spinosum, E. cotonii, dan E. striatum merupakan rumput laut penghasil karagenan (Carragenophyt), Sargassum, Marcocystis, dan Lessonia merupakan rumput laut penghasil algin.
Rumput laut jenis Euchema cotonii yang merupakan bagian dari ganggang merah, merupakan jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia.
Euchema cotonii tumbuh di berbagai wilayah, antara lain Teluk Banten, Kepulauan Seribu, perairan Sulawesi, perairan Nusa Penida, Bali, dan perairan Pelabuhan Ratu (Atmaja et al., 1995). Atmaja et al., (1995) menambahkan, rumput laut jenis ini umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional, sebagai komoditas ekspor dan bahan baku industri penghasil karagenan. Karagenan yang dihasilkan adalah tipe kappa karagenan. Oleh karena itu jenis ini secara taknsonomi diubah namanya dari Euchema alvarezii menjadi
Kappaphycus alvarezii.
2.3. Komposisi Kimia Euchema cotonii
Kandungan rumput laut umumnya adalah mineral esensial (besi, iodin, aluminum, mangan, calsium, nitrogen dapat larut, phosphor, sulfur, chlor. silicon, rubidium, strontium, barium, titanium, cobalt, boron, copper, kalium, dan unsur-unsur lainnya yang dapat dilacak), protein, tepung, gula dan vitamin A, B, C, D. Persentase kandungan zat-zat tersebut bervariasi tergantung dari jenisnya (Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2003).
Hasil penelitian Chaidir (2007) menunjukkan bahwa air merupakan komponen yang dominan pada Euchema cotonii segar yaitu 93,1%, diikuti oleh kandungan karbohidrat 75,36% bk. Komposisi lengkap Euchema cotonii disajikan pada Tabel 2 dan disajikan pula komposisi kimia Euchema cotonii menurut Astawan
(22)
Tabel 2. Komposisi Kimia Euchema cotonii
Komponen Satuan Astawan et al., (2004) Chaidir (2007) Kadar abu
Kadar lemak Kadar protein Karbohidrat Serat pangan larut Serat pangan tak larut Serat pangan total Iodium % bk % bk % bk % bk % bb % bb % bb µg/g 2,7 2,1 4,3 90,9 30,8 52,4 83,2 - 18 3,39 0,43 75,36 5,75 3,87 9,62 38,94
2.4. Serat Pangan (dietary fiber)
Menurut Trowell (1976), serat pangan dalam arti fisiologi yaitu polisakarida tumbuhan dan lignin yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan manusia. Sedangkan secara kimia serat pangan diartikan sebagai polisakarida bukan pati (non starch polysaccharides/NSP) dari tumbuhan dan lignin (Gallaher dan Schneeman, 1996). Definisi serat pangan berasal dari sel tanaman. Sel tanaman mengandung lebih dari 95% komponen serat pangan, yaitu selulose, hemiselulose, lignin, pektin, dan juga termasuk polisakarida bukan pati (Groff dan Gropper, 1999). Keterkaitan antara dinding sel tanaman dan serat pangan dapat diuraikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Keterkaitan Antara Dinding Sel Tanaman dan Serat Pangan (Groff dan Gropper, 1999).
Serat pangan secara prinsip berbeda dengan serat kasar. Serat kasar adalah bagian tanaman pangan yang tersisa atau tidak dapat dihidrolisis kembali oleh larutan Komponen dinding
sel tanaman
Gum
Mucilages
Algal polysaccharides
Suberin
Cutin
Serat pangan
Komponen bukan dinding sel tanaman
Protein
Lemak
Komponen inorganik
Lignin
Selulosa
Hemiselulosa
(23)
asam sulfat (H2SO4) atau larutan natrium hidroksida (NaOH) dalam analisis
proksimat bahan pangan. Kandungan tersebut belum menunjukkan kandungan serat total dalam makanan. Oleh karena larutan asam sulfat dan natrium hidroksida berkadar 1,25% masih mampu menghidrolisis komponen-komponen makanan dalam jumlah yang lebih besar. Berbeda dengan kemampuan enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan tubuh. Bila dibandingkan dengan serat pangan, nilai serat kasar lebih kecil 1/3 – 1/2 dari nilai serat pangan (Soelistijani, 2002).
Dihubungkan dengan sifat kolesterolemik, terdapat tiga komponen penting yang dikandung oleh rumput laut yaitu agar, karagenan, dan asam alginat. Menurut Hallgren (1981) pengaruh fisiologis pemberian serat adalah meningkatkan berat dan volume feses, menurunkan transit time, mengikat asam empedu, menurunkan kolesterol darah dan penyerapan mineral.
Studi tentang kemampuan agar, alginat, dan karagenan telah banyak dilakukan oleh para peneliti di bidang pangan dan medis. Penelitian yang dilakukan oleh Alan et al., (1976) terhadap tikus percobaan menunjukkan bahwa penambahan agar sebanyak 7% dalam ransum menurunkan kadar kolesterol dalam serum. Pada tikus kontrol (ransum tanpa penambahan serat) kadar kolesterol serum 78 mg/100 ml, sedangkan yang diberi agar 7% adalah 72 mg/100 ml. Demikian juga yang dilaporkan oleh Kelley dan Tsai (1978) pada tikus yang ditambahkan agar 5% dalam ransum, kandungan kolesterol dalam serumnya menurun. Serum tikus yang berperan sebagai kontrol mengandung kolesterol 110 mg/dl, sedangkan yang diberi perlakuan agar 5% kolesterol serumnya 108 mg/dl.
Penelitian pada manusia juga telah dilakukan oleh Hunninghake et al., (1994) yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kolesterol plasma akibat pengaruh serat pangan. Pasien yang menderita hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20 gram/hari ternyata total kolesterol, LDL, serta rasio LDL-HDL plasmanya mengalami penurunan masing-masing 6%, 8%, dan 8%. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan serat dalam makanan merupakan terapi konvensional bagi penderita hiperkolesterolemia.
Berdasarkan kelarutannya, serat pangan dapat dikelompokkan menjadi serat pangan larut dan tidak larut. Adapun serat larut adalah serat yang dapat terdispersi di dalam air dan bukan sebagai kelarutan kimiawi, sedangkan serat tidak larut adalah
(24)
serat yang tidak dapat terdispersi di dalam air (Gallaher dan Schneeman, 1996). Sifat kelarutan ini berpengaruh pada fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme zat gizi. Serat larut air terdiri dari pektin, musilase, dan gum, sedangkan serat yang tidak larut air terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Soelistijani, 2002).
Serat yang bersifat larut dalam air (soulble dietary fiber) memiliki peranan fisiologis penting dalam menurunkan kadar kolesterol dan glukosa serum, serta mencegah penyakit jantung dan hipertensi (Astawan, 1998 dalam Astawan, 1999). Fungsi serat pangan dalam hal ini melibatkan asam empedu (bile acid). Pasien dengan konsumsi serat yang tinggi dapat mengekskresikan asam empedu, sterol, dan lemak lebih banyak melalui feses. Serat-serat tersebut mencegah terjadinya penyerapan kembali asam empedu, kolesterol, dan lemak.
Serat tidak larut (insoluble dietary fiber) merupakan bulking agent yang dapat berperan dalam pencegahan penyakit kanker usus besar, divertikulosis, konstipasi, dan hemmorhoid (Astawan, 2004). Menurut Winarno (1997), penyakit divertikulosis merupakan panyakit yang disebabkan oleh terjadinya pembengkakan keluar pada usus besar, terutama pada bagian depan (bagian ascending dan menyilang). Bagian usus besar tersebut dapat menggembung dan pecah sehingga terjadi infeksi. Hasil penelitian secara klinis diperoleh bahwa serat pangan khususnya dari serealia sangat efektif dalam menanggulangi penyakit divertikulosis. Dengan konsumsi serat yang tinggi maka feses lebih mudah menyerap air, menjadi lebih empuk, halus, dan mudah didorong keluar sehingga mengurangi kesakitan penderita penyakit ini.
Menurut Soelistijani (2002), konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan karena volume feces terlalu kecil, sehingga penderita jarang buang air besar. Gangguan ini dapat dihindari dengan mengkonsumsi makanan berserat tinggi yang tidak larut air, misal selulosa dan hemiselulosa. Serat-serat tersebut di dalam kolon mampu berikatan menyerap air. Keadaan ini akan menyebabkan volume feses menjadi besar dan lunak. Untuk mencegah diare, sebaiknya secara teratur mengkonsumsi serat larut air. Serat ini mudah membentuk gel sehingga memperlambat waktu transit zat-zat makanan di dalam usus.
Dietary Guidelines for American menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat (20-35 gram/hari)
(25)
untuk menghindari kelebihan lemak jenuh, kolesterol, gula, natrium, serta membantu mengontrol berat badan. American Dietetic Association (ADA), National Center Institute, dan American Cancer Society merekomendasikan konsumsi serat antara 25 hingga 35 gram setiap hari atau 10 hingga 13 gram serat per 1000 Kcal setiap harinya untuk orang dewasa dan manula. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20 tahun), ADA merekomendasikan konsumsi serat sama dengan umur (dalam tahun) ditambah 5 gram setiap hari. Sebagai contoh, anak berusia 5 tahun, maka kebutuhan seratnya adalah 10 gram per hari, sedangkan pada usia 20 tahun kebutuhan seratnya adalah 25 gram per hari (Anonymousb, 2007).
2.5. Tepung Beras
Beras terdiri dari bagian kariopsis dan struktur pembungkus yaitu sekam. Bagian sekam terdiri dari 18-20% berat gabah. Kariopsis merupakan biji tunggal yang dilapisi dengan dinding ovari matang atau perikarp membentuk biji (Juliano, 1972). Tepung beras dibuat melalui tahapan seperti pembersihan bahan, pengeringan sampai kadar air 14% dan kemudian digiling kasar untuk memisahkan lembaga dan endospermnya. Hasil gilingan itu dikeringkan kembali hingga mencapai kadar air 12-14%, kemudian dilakukan penggilingan halus dengan alat penggilas. Hasil gilingan tersebut selanjutnya diayak dengan pengayak bertingkat untuk mendapatkan berbagai tingkatan hasil giling, misal < 10 mesh (butir kasar), < 40 mesh (tepung kasar atau bubuk), 65-80 mesh (tepung agak halus), dan > 100 mesh (tepung halus) (Hubeis, 1984). Komposisi kimia tepung beras dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Beras per 100 Gram
Komponen Satuan Nilai Kalori Protein Lemak Hidrat arang Ca P Fe Vitamin A Vitamin B Vitamin C Air Kkal g g g mg mg mg mg mg mg % 364,0 7,0 0,5 80,0 5,0 14,0 0,8 0,0 0,12 0,0 12,0
(26)
Kandungan amilosa dan amilopektin banyak menentukan tekstur pada makanan yang banyak mengandung pati. Menurut Graham (1977), kandungan amilosa pada beras sebanyak 16-17% dari berat total dan kandungan amilopektin beras menurut Winarno (1992) sebanyak 4-5% dari berat total. Amilosa menyebabkan terbentuknya gel yang keras dan berwarna keruh setelah dimasak sedangkan amilopektin berperan penting terhadap sifat konsistensi gel dan viskositas gel sehingga menyebabkan makanan menjadi lengket (Cagampang et al., 1973).
Pati tidak larut dalam air dingin, tetapi bila pati dipanaskan dalam air maka akan terjadi perubahan yang nyata pada saat mencapai suhu gelatinisasi, dimana butir-butir pati akan mengembang (Kulp, 1975). Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati mengembang dan tidak kembali lagi ke bentuk semula (irreversible). Menurut Winarno (1980) bila pemanasan diteruskan, pengembangan akan mencapai titik maksimum dan granula pati akan pecah sehingga kekentalan dari suspensi akan naik.
2.6. Tepung Hunkwee
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung hunkwee adalah biji kacang haijau. Biji kacang hiaju secara umum terbagi dalam dua bagian yaitu kulit biji, endosperm, dan lembaga. Kulit biji berfungsi untuk melindungi biji dari kekeringan, kerusakan fisik, mekanik, serangan kapang dan serangga. Endosperm
merupakan biji yang mengandung cadangan makanan untuk pertumbuhan lembaga. Lembaga ini akan membesar selama pertumbuhan biji tersebut (Soeprapto dan Sutarman, 1990)
Kacang hijau merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting karena kacang ini banyak mengandung protein, vitamin, dan mineral. Setiap 100 gram biji kacang hijau mengandung 150-400 IU (International Unit) vitamin A, dan beberapa jenis vitamin lainnya. Bila biji kacang hijau dikecambahkan, maka kecambah yang tumbuh menjadi kaya akan vitamin E (Soeprapto, 1998). Nilai gizi kacang hijau dan taoge dapat dilihat pada Tabel 4.
Kadar vitamin kacang hijau tergantung pada bentuk olahannya. Dalam bentuk kecambah (taoge) kandungan vitaminnya sudah sangat berkurang dan hampir tidak
(27)
bersisa bila dalam bentuk tepung. Hal ini disebabkan karena vitamin yang terkandung mudah larut dalam air, terutama vitamin B1 sehingga vitamin banyak yang terbawa bersama air (Soeprapto, 1998).
Tabel 4. Kandungan Gizi Biji dan Kecambah Kacang Hijau per 100 Gram (Soeprapto, 1998)
Komposisi Satuan Biji Kecambah (Taoge) Kalori Kkal 345,0 23,0
Protein gr 22,2 2,9
Lemak gr 1,2 0,2
Karbohidrat gr 62,9 4,1
Kalsium mg 125,0 29,0
Fosfor mg 320,0 69,0
Besi mg 6,7 0,8
Vitamin A IU 157,0 10,0 Vitamin B1 mg 0,64 0,07 Vitamin C mg 6,0 15,0
Air gr 10,0 92,4
Salah satu pemanfaatan kacang hijau dalam industri pangan di Indonesia yang porsinya cukup besar adalah sebagai bahan baku pabrik tepung hunkwee. Tepung hunkwee adalah pati kacang hijau yang diekstrak dengan air. Kandungan utama tepung hunkwee adalah karbohidrat (83,5%), sedangkan protein 4,5%. Komposisi kimia tepung hunkwee disajikan pada Tabel 5 (Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1979).
Tabel 5. Komposisi Tepung Hunkwee (100 gram)
Komposisi Satuan Nilai
Kalori Kal 364,0
Protein gr 4,5
Lemak gr 1,0
Karbohidrat gr 83,5
Kalsium mg 50,0
Fosfor mg 100,0
Besi mg 1,0
Vitamin A IU 0,0 Vitamin B1 mg 0,0 Vitamin C mg 0,0 Air gr 10,0 Serat kasar gr 0,0
(28)
Dari kacang hijau dapat diperoleh 15,20% tepung hunkwee. Proses pembuatan tepung hunkwee secara tradisional adalah dengan cara menggiling pecah biji kacang hijau menjadi dua bagian. Bagian pertama berupa kulit luar dan bagian kedua berupa kulit halus dan dedak. Bagian kulit halus dan dedak kemudian direndam selama 3-4 jam dan dicuci dengan air. Kulit halus dan dedak digiling dalam kondisi basah, kemudian dilakukan penyaringan untuk mendapatkan larutan patinya. Larutan pati diendapkan, dicuci, dan diendapkan kembali selama 3 jam sebanyak 3 kali. Endapan berupa tepung halus digiling dan dikeringkan selama 1-2 hari, kemudian ditambah dengan vanili dan zat pewarna (Departemen Pertanian, Balai Informasi Pertanian Daerah Istimewa Aceh, 1987).
2.7. Pengeringan Beku (Freeze Drying)
Pengeringan secara umum bertujuan untuk menghilangkan air atau hilangnya pelarut organik. Hilangnya air menjamin stabilitas dan pengawetan yang efektif (Voight, 1994). Dengan pengeringan beku produk akhir diharapkan memiliki karakteristik tidak keriput (bentuk tetap), bau, warna, dan cita rasa tidak berubah serta proses rehidrasi lebih cepat.
Proses pengeringan pada pengeringan beku berlangsung pada saat bahan dalam kondisi beku, sehingga proses yang terjadi adalah sublimasi. Proses sublimasi terjadi pada suhu dan tekanan rendah, di bawah titik triple air. Mula-mula bahan dalam keadaan beku dimasukkan ke dalam ruang pengering yang hampa udara, panas sublimasi akan diberikan dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam ruang pengering, dan panas akan diradiasikan dari lempeng pemanas ke permukaan (Rachdiani, 2001).
Menurut Liapis dan Bruttini (1995) proses pengeringan beku berlangsung dalam tiga tahap, yaitu a) tahap pembekuan, dimana seluruh bahan didinginkan hingga menjadi beku; b) tahap pengeringan primer, dimana air dan pelarut dikeluarkan dalam keadaan beku secara sublimasi; c) tahap pengeringan sekunder, mencakup pengeluaran uap air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan sekunder dimulai setelah tahap pengeringan primer berakhir.
Menurut Desrosier (1988) bahan pangan dengan kandungan air yang tinggi akan membeku pada suhu antara 0 0C sampai -5 0C. Selama berlangsungnya
(29)
pembekuan, suhu bahan tersebut relatif tetap sampai sebagian besar dari bahan pangan tersebut membeku, dan setelah beberapa waktu, suhu akan mendekati medium pembeku. Pembekuan cepat didefinisikan sebagai proses di mana suhu bahan pangan tersebut melampaui zona pembekuan kristal maksimum dalam waktu kurang dari 30 menit.
Menurut teori kerusakan kristal, pertumbuhan kristal es pada umumnya merusakkan kualitas bahan pangan. Pembekuan lambat memberi kesempatan pertumbuhan kristal es yang besar. Sel-sel daging unggas, ikan, kerang, buah-buahan, dan sayuran semuanya mengandung protoplasma yang menyerupai selai. Maka untuk membuat massa yang tetap menyerupai selai, besarnya kecepatan pembekuan harus sedemikian rupa sehingga terbentuk kristal kecil yang seragam ke seluruh jaringan. Jaringan yang dibekukan dengan cepat jika dicairkan kembali maka air akan diserap kembali ke dalam jaringan ketika kristal-kristal es tersebut mencair, sedangkan pada pembekuan lambat atau kondisi suhu pembekuan yang berfluktuasi akan terbentuk kristal es yang besar sehingga sel-sel menjadi rusak dan jaringan yang dicairkan tidak dapat kembali seperti pada keadaan awal selai. Sebagian cairan yang dihasilkan dari pencairan tidak dapat diserap kembali dan nampak seperti air bebas (Desrosier, 1988).
Untuk merubah fase es pada bahan menjadi fase uap diperlukan panas sebesar panas laten sublimasi, yaitu sebesar 666 kalori/gram es. Panas ini dapat diperoleh dari suhu lingkungan atau dari sumber panas yang ada di luar bahan. Secara komersial, panas untuk sublimasi pengeringan beku diperoleh dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam ruang pengering dan uap air yang terbentuk ditarik dengan pompa vakum yang dilengkapi dengan kondensor untuk menangkap uap air proses sublimasi (Harper et al., 1962).
Pergerakan fraksi air selama proses pengeringan beku akan semakin menurun. Pada tahap awal pergerakan fraksi air menurun dengan tajam dan menjelang akhir proses pengeringan gradien pergerakan fraksi air mulai melandai. Melandainya gradien pergerakan fraksi air, menunjukkan semakin sedikitnya kandungan air dalam bahan yang harus diuapkan sehingga tidak terjadi lagi penurunan massa bahan (Rachdiani, 2001).
(30)
Gambar 3. Diagram Fase Air (Karel, 1975 dalam Wenur, 1997).
Selama proses pengeringan beku, kandungan air bahan tidak dalam fase cair sehingga dapat mencegah terjadinya perpindahan zat-zat yang larut dalam air dan memperkecil terjadinya reaksi degradasi (King, 1971). Keunggulan lain proses pengeringan beku dibandingkan dengan pengeringan konvensional dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbedaan Metode dan Mutu Produk antara Pengeringan Beku dan Pengeringan konvensional (Tischer dan Brockman dalam Desrosier, 1988)
Variabel Pengeringan Konvensional Pengeringan Beku
Suhu proses
Tekanan
Penguapan air
Produk
Bau
Warna
Cita rasa
Rehidrasi
Stabilitas penyimpanan
Biaya
100-200 0C
Atmosfir
Dari permukaan bahan
Kering padat dan mengkerut
Berubah
Lebih gelap
Berubah
Lambat dan tidak sempurna
Baik
Rendah
Cukup rendah
Vakum (dibawah titik triple, 610 Pa)
Sublimasi
Kering dan berongga
Tetap
Tetap
Tetap
Cepat dan lebih sempurna
Sangat baik
Tinggi titik kritis padat cair gas titik triple
0 Suhu (0C)
61
0 Tekanan (pa)
(31)
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada Bulan April sampai September 2007 di Laboratorium Pengolahan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan, Jakarta. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Kimia, Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Organoleptik Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan, Jakarta, Laboratorium Pascapanen Pertanian, Bogor, Laboratorium Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor, dan Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut kering jenis
Euchema cotonii, tepung beras, tepung hunkwee, air, daun suji (Pleomele angustifolia), dan bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis di laboratorium. Alat yang digunakan yaitu cetakan cendol, saringan, freeze dryer skala laboratorium Merk Labconco Freeze Dry system, mikroskop, kamera digital Merk Canon, blender, mixer, jangka sorong, wadah, peralatan gelas, serta peralatan laboratorium untuk pengujian kimia dan organoleptik sesuai dengan parameter yang sudah ditentukan.
(32)
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini melalui beberapa tahapan yang sistematis, yaitu pembuatan bubur rumput laut termasuk didalamnya proses perendaman rumput laut yang bertujuan untuk menghilangkan bau amisnya, formulasi cendol rumput laut, pengeringan beku (freeze drying), uji organoleptik (uji kesukaan dan perbandingan pasangan), dan analisis ekonomi cendol rumput laut instant. Alur pembuatan cendol instan dapat dilihat pada Gambar 5 dan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
a. Pembuatan bubur rumput laut Euchema cotonii
Sebelum rumput laut Euchema cotonii dibuat bubur, rumput laut tersebut lebih dahulu dilakukan perendaman untuk menghilangkan bau amisnya. Penghilangan bau amis pada rumput laut segar dapat dilakukan dengan merendam rumput laut selama empat hari dengan perbandingan air dan rumput laut 1 : 0.5, air perendam diganti setiap 24 jam (Astawan et al., 2004). Sedangkan untuk rumput laut kering, penghilangan bau amis dapat dilakukan dengan perendaman dalam air tawar selama 9 jam (Chaidir, 2007). Selain untuk menghilangkan bau amis, perendaman juga bertujuan untuk mendapatkan rumput laut dengan kenampakan (warna) putih dan tekstur yang tidak lembek.
Rumput laut yang telah direndam selanjutnya dipotong-potong sehingga menghasilkan ukuran yang lebih kecil. Pemotongan rumput laut bertujuan untuk memudahkan dalam proses peghancuran (diblender) dan proses blender menjadi lebih singkat. Rumput laut tersebut diblender selama 3 menit.
Bubur rumput laut yang telah dibuat selanjutnya dilakukan analisis proksimat (kadar air, abu, protein, dan karbohidrat), kadar serat pangan (serat pangan larut, serat pangan tidak larut, dan serat pangan total), dan Iodium. Diagram alir pembuatan bubur rumput laut dapat dilihat pada Gambar 7.
b. Formulasi Cendol Rumput Laut
Formulasi cendol rumput laut bertujuan untuk mendapatkan komposisi cendol yang paling baik. Cendol rumput laut dibuat dengan menambahkan bubur rumput laut ke dalam adonan formula resep, dengan konsentrasi 0% (formula A), 10% (formula B), 20% (formula C), 30% (formula D), 40% (formula E), dan 50% (formula F). Sebagai contoh, jika berat bahan adonan yang akan dibuat adalah 100
(33)
gram dan jumlah rumput laut yang akan ditambahkan adalah 20% maka bubur rumput laut yang akan ditambahkan adalah 20 gram dalam 100 gram bahan adonan.
Bahan pewarna dalam cendol penelitian ini digunakan pewarna alami, yaitu daun suji (Pleomele angustifolia). Larutan daun suji dibuat dengan cara mencampurkan air ke dalam daun suji yang telah diblender dengan perbandingan daun suji dan air 1:5 (Anggraeni, 2002). Misalkan daun suji yang digunakan adalah 100 gram, maka air yang ditambahkan adalah 500 ml. Daun suji dan air tersebut diblender selama 3 menit, dan disaring. Hasil saringan tersebut siap digunakan sebagai bahan pewarna cendol rumput laut.
c. Pengeringan Beku Cendol Rumput Laut
Cendol rumput laut dari formula terpilih selanjutnya dilakukan pengeringan. Pengeringan secara umum bertujuan untuk menghilangkan air atau hilangnya pelarut organik. Hilangnya air menjamin stabilitas dan pengawetan yang efektif (Voight, 1994). Dengan pengeringan beku produk akhir diharapkan memiliki karakteristik tidak keriput (bentuk tetap), bau, warna, dan cita rasa tidak berubah serta proses rehidrasi lebih cepat.
Proses pengeringan pada pengeringan beku berlangsung pada saat bahan dalam kondisi beku, sehingga proses yang terjadi adalah sublimasi. Proses sublimasi terjadi pada suhu dan tekanan rendah, di bawah titik triple air. Mula-mula bahan dalam keadaan beku dimasukkan ke dalam ruang pengering yang hampa udara, panas sublimasi akan diberikan dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam ruang pengering, dan panas akan diradiasikan dari lempeng pemanas ke permukaan (Rachdiani, 2001).
Menurut Liapis dan Bruttini (1995) proses pengeringan beku berlangsung dalam tiga tahap, yaitu a) tahap pembekuan, dimana seluruh bahan didinginkan hingga menjadi beku; b) tahap pengeringan primer, dimana air dan pelarut dikeluarkan dalam keadaan beku secara sublimasi; c) tahap pengeringan sekunder, mencakup pengeluaran uap air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan sekunder dimulai setelah tahap pengeringan primer berakhir.
(34)
Tahap pengeringan beku cendol rumput laut dapat dibagi menjadi dua proses utama yaitu pembekuan dan pengeringan. Prosedur yang dilakukan pada proses pembekuan adalah ;
a. Cendol rumput laut yang telah terpilih dimasukkan ke dalam wadah contoh. b. Cendol rumput laut dan wadah contoh dibekukan pada plat pembeku yang
terdapat pada alat pengering beku pada suhu -30 0C selama 8 jam. c. Proses pembekuan dihentikan sampai suhu bahan hampir seragam. Prosedur pengeringan dalam pengeringan beku yaitu ;
a. Cendol rumput laut yang telah beku selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze drier padasuhu 30 0C dengan lama pengeringan 36 jam.
b. Proses pengeringan dihentikan setelah kekeringan akhir bahan hampir seragam.
3.4. Analisis Data
Penelitian uji penambahan rumput laut dan uji pengeringan beku dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor yang berpengaruh pada formulasi cendol rumput laut adalah komposisi (persentase) rumput laut yang ditambahkan pada bahan cendol (0, 10, 20, 30, 40, dan 50%). Data yang didapat selanjutnya dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan. Bila ada perbedaan dilanjutkan dengan uji Less Significant Difference (LSD). Model yang digunakan adalah :
Yij = µ + αi + εij
Dimana :
Yij : Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i, pada ulangan ke-j
µ : Nilai rata-rata tengah umum
αi : Pengaruh perlakuan ke-i
(35)
Gambar 5. Alur Pembuatan Cendol Rumput Laut Instant.
Air daun suji
(Pleomele angustifolia)
Penambahan bubur rumput laut (0,10,20,30,40,50% dari formula resep)
Campuran tepung hunkwee, tepung beras, dan rumput laut dimasak ke
dalam air mendidih
Air dimasak hingga mendidih
Pengadukan
Pengeringan beku
Cendol instant Pencetakan
Penirisan
Tepung hunkwee & tepung beras (Rasio 2:1)
Penimbangan
(36)
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian.
Pencampuran hingga merata
Penambahan bubur rumput laut (0, 10, 20, 30, 40, dan 50% dari
jumlah bahan dasar)
Uji Organoleptik Rasa Warna Tekstur Aroma Penimbangan Formula resep Pengeringan beku (Freeze drying)
Suhu 30oC, tekanan 5 mikron Hg Cendol terpilih
Rumput laut (RL)
Euchema cotonii kering
Perendaman dalam air tawar selama 9 jam
Analisis :
Kadar air
Kadar abu
Protein
Kadar lemak
Karbohidrat
Kadar serat pangan
Iodium
Rehidrasi Analisis fisika-kimia :
Kadar air
Kadar abu
Protein
Karbohidrat
Iodium
Kadar serat pangan (serat larut, serat tidak larut, dan serat total)
Total Mikroba
Analisis :
Daya serap air (DSA)
Organoleptik (perbandingan pasangan) Cendol kering Bubur RL Pencetakan Analisis Ekonomi
(37)
Gambar 7. Alur Penghilangan Bau Amis dan Pembuatan Bubur Rumput Laut.
3.5. Analisis Daya Serap Air (DSA) (Rasper dan J.M de Man, 1980)
Sebanyak 10 gram cendol direndam dalam air 100 ml. Setelah mencapai waktu optimum (seluruh bagian cendol sudah mengembang), cendol ditiriskan selama 5 menit. Cendol kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105 0C sampai bobotnya konstan kemudian ditimbang kembali.
DSA = 100%
)] 1 ( [ )] ( ) [( x awal sampel air kadar x awal sampel bobot awal sampel bobot x awal air kadar B A − − − Keterangan :
A = Berat cendol setelah direhidrasi B = Berat cendol awal sebelum direhidrasi
Euchema cotonii kering
Pencucian dengan air mengalir
Penirisan
Perendaman dalam air tawar selama 9 jam
Pemotongan dengan panjang 2 cm
Penghalusan selama 3 menit
(38)
3.6. Sifat Kimia Cendol Rumput Laut Euchema cotonii
a. Kadar air (Apriyantono et al., 1989)
Kadar air diukur dengan metode oven. Sebanyak 5 gram contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 16-24 jam sehingga diperoleh bobot yang konstan.
Kadar air (%) = x 100%
C B A −
Keterangan :
A = bobot wadah dan bahan awal (gr) B = bobot wadah setelah dikeringkan (gr) C = bobot bahan
b. Kadar abu (Apriyantono et al., 1989)
Cara penentuan kadar abu yaitu ; - cawan pengabuan dibakar dalam tanur
- didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya - sampel ditimbang 3-5 gram dalam cawan
- sampel pangabuan didinginkan dan ditimbang
Kadar abu (%) = 100% )
( ) (
x gr sampel Berat
gr abu Berat
c. Kadar lemak (Apriyantono et al., 1989)
Penentuan kadar lemak dengan metode soxhlet. Labu lemak dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator. Sejumlah kecil (3-5 gram) sampel dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian kondensor diletakkan diatasnya dan labu lemak di bawahnya. Setelah pelarut dietil eter atau petroluem eter dituangkan dalam labu lemak, maka dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun ke labuh lemak kembali berwarna jernih. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipisahkan dalam dalam oven pada suhu 105 0C. Setelah dikeringkan sampai berat konstan dan didinginkan dalam desikator, labu berisi lemak ditimbang.
(39)
Kadar lemak (%) = 100% )
( ) (
x gr sampel berat
gr lemak berat
d. Kadar protein (Apriyantono et al., 1989)
Analisis kadar protein pada penelitian ini menggunakan metode mikrokjeldahl. Prinsip kerjanya adalah sejumlah sampel ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl 30 ml. Kedalammnya ditambahakan 1,9 gram K2SO4, 40
mg HgO dan 20 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg kemudian di tambahkan 0,1
ml H2SO4 untuk setip 10 mg bahan organik. Selanjutnya sampel di didihkan selama
1-1,5 jam sampai cairan jernih dan di dinginkan.
Isi labu kjeldahl di pindah kan dalam alat destilasi.labu di cuci dan dibilas 1-5 kali dengan 1-2 ml air.Air cucian di masukan dalam alat destilasi kemudian di tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Erlemeyer 125 ml yang berisi 5 ml
H3BO3 dan 2-4 tetes indikator di letakan di bawah kondensor. Ujung tabung
kodensor harus terendam di bawah larutan H3BO3.setelah itu di lakukan destasi
sampai di peroleh kira kira 15 ml destilasi dalam erlenmeyer.
Tabung kondensor dibilas air dan bilasanya di tampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer di encerkan sampai 50 ml kemudian dititrasi dengan HCI 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal ini di lakukan terhadap blanko.
Kadar protein (%) = ( ) 14,007 6,25 x100%
sampel Berat
x x
N x B A−
Keterangan :
A : Volume (ml) HCl untuk mentitirasi larutan dalam contoh B : Volume (ml) HCl larutan blanko
N : Normalitas HCl standar yang digunakan 14,007 : Berat atom Nitrogen
(40)
e. Kadar karbohidrat (by different)
Kadar karbohidrat dihitung setelah nilai kadar protein, kadar lemak, kadar abu, dan kadar air diperoleh. Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Kadar karbohidrat (%) = 100% - (kadar air + kadar protein + kadar lemak + kadarabu)
f. Kadar serat pangan (Asp et al., 1983)
Contoh kering homogen diekstraksi lemaknya dengan petroleum eter selama 15 menit pada suhu kamar. Kemudian diambil 1 gram dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml 0,1 M buffer Natrium fosfat pH 6,0 dan dicampur secara merata. Setelah itu ditambahkan 0,1 ml alfa amilase (termamyl 120 L) dan labu ditutup dengan aluminium foil, kemudian diinkubasi selama 15 menit dalam penangas air panas bergoyang pada suhu 80 0C. Selanjutnya didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata, pH diatur menjadi 1,5 dengan HCl 0,1 N dan elektroda dibersihkan dengan air. Kemudian ditambahakan pepsin 0,1 gram, ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40
0C selama 1 jam. lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6,8
dengan NaOH, elektroda dibersihkan dengan 5 ml air. Selanjutnya ditambahkan 0,1 gram pankreatin, kemudian labu ditutup dengan alumunium foil dan didinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 0C selama 1 jam, pH diatur menjadi 4,5 dengan HCl 0,1 N. Kemudian disaring dengan crucible, dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata.
Serat pangan tidak larut (Residu / insoluble dietary fiber)
Residu dalam crucible dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 90% dan 2 x 10 ml aseton. Crucible dikeringkan pada suhu 105 0C sampai bobot tetap dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan pada suhu 550 0C selama kurang lebih 5 jam, serta ditimbang setelah pendinginan dalam desikator (I1).
Serat pangan larut (Filtrat/soluble dietary fiber)
Volume filtrat diatur dan dicuci dengan air sampai 100 ml kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95% dengan suhu 60 0C dan dibiarkan presipitasi selama
(41)
60 menit. Lalu disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang menngandung 0,5 gram celite, selanjutnya dicuci berturut dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml aseton. Setelah itu filter gelas dikeringkan dalam oven suhu 105 0C sampai beratnya konstan dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2), dan diabukan pada suhu 550 0C selama kurang lebih 5 jam serta ditimbang setelah pendinginan dalam desikator (I2).
Dilakukan juga perhitungan serat blanko dengan mengunakan prosedur seperti di atas, tetapi tidak digunakan sampel. Nilai blanko ini harus diperiksa secara berkala dan bila enzim yang digunakan berasal dari batch baru.
Perhitungan :
IDF (%) = 1 1 1 x100% W
B I
D − −
SDF (%) = 2 2 2 x100%
W B I
D − −
TDF (%) = IDF + SDF Keterangan :
W = berat sampel (gram)
D = berat setelah peneringan (gram) I = berat setelah pengabuan (gram) B = blanko bebas serat (gram)
g. Kadar Iodium
Salah satu cara penetapan kuantitatif untuk menetapkan kadar iodium dalam bahan makanan adalah berdasarkan reduksi katalis ion Ce4+ (kuning) menjadi Ce3+ (tidak berwarna). Metode ini terdiri dari 4 bagian, yaitu pembuatan larutan pereaksi, pembuatan kurva standar, persiapan contoh, dan perhitungan kadar iodium.
Pembuatan larutan pereaksi
1. Asam arsenit 0,02 N : sebanyak 0,986 gram arsen trioksida (As2O3) dilarutkan dalam 10 ml NaOH 0,5 N dalam sebuah gelas piala dan dipanaskan. Selanjutnya dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 1 liter, diencerkan dengan 850 air suling dan ditambahkan 20 ml asam klorida pekat dan 20,6 ml asam sulfat pekat, kemudian ditepatkan dengan air suling sehingga volume 1 liter.
(42)
2. seri ammonium sulfat 0,03 N : 48,6 ml asam sulfat pekat ditambahkan ke dalam air suling dalam labu takar 1 liter. Kemudian tambahkan 20 gram seri ammonium sulfat dan dilarutkan, volume ditepatkan hingga 1 liter.
3. larutan pengabuan : sebanyak 212 gram natrium karbonat anhydrous dan 20 gram kalium hipoklorida dilarutkan dalam 1 liter air suling.
4. larutan standar indul iodium 4 µg/ml dibuat dengan melarutkan standar kalium iodide ke dlam air suling
5. standar kerja ioduim : larutan standar iodium dipipet ke dalam tabung takar 100 ml masing-masing 1, 2, 3, dan 4 ml dan ditepatkan hingga tanda garis. Larutan ini mengandung 0,04; 0,08; 0,12; dan 0,16 µg iodium/ml.
Pembuatan kurva standar
Sebanyak 5 ml masing-masing larutan standar kerja iodium 0; 0,04; 0,08; 0,12; dan 0,16 µg iodium/ml dipipet ke dalam tabung pereaksi atau kuvet dan direndam dalam penangas air bersuhu 37 0C. Setelah suhu 37 0C tercapai, ditambahkan dengan 0,1 ml larutan seri ammonium sulfat ke dalam tabung. Setelah 20 menit, reduksi seri ammonium kepada sero diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm. Dilakukan juga blanko tanpa sampel atau standar. Selanjutnya dibuat kurva hubungan konsentrasi (µg iodium/ml) versus serapan masing-masing larutan standar.
Persiapan contoh
Sebanyak 5 gram contoh (mengandung 0,04-0,08 µg iodium) ditimbang ke dalam tabung pyrex 22 x 220 mm (15 x 125 mm) dan ditambahkan larutan pembantu pengabuan 0,5 ml. Kemudian campuran tersbut dikeringkan dalam oven pada suhu 105-110 0C selama ± 2 jam. Selanjutnya tabung dipindahkan ke dalam tanur lalu suhu dinaikkan perlahan-lahan dan contoh diabukan pada suhu 500 0C selama 4 – 6 jam. Tabung didinginkan, kemudian abu dikestrak dengan menambahkan 10 ml larutan asam arsenit dan didiamkan selama ± 15 menit. Campuran diputarkan pada 200 rpm selama 20 menit dan sebanyak 5 ml supernatan dipipet ke dalam tabung reaksi atau kuvet dan direndam dalam penangas air bersuhu 37 0C. Setelah suhu 37
0
(43)
tabung tepat setelah 20 menit, reduksi seri kepada sero diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.
Perhitungan :
Iodium (µg/100 gram) =
B x V x
C 100
Keterangan :
C = konsentrasi larutan sampel yang terbaca dari kurva standar (µg iodium/ml).
V = volume ekstrak sampel dalam ml (10 ml) B = berat sampel (gram)
3.7. Total Mikroba (Fardiaz, 1989)
Sebanyak 10 g sampel dimasukkan ke dalam plastik tahan panas yang telah disterilkan yang berisi 90 ml larutan pengencer steril. Sampel tersebut kemudian dihancurkan dengan menggunakan alat stomacher selama 60 detik, dan dihasilkan sampel dengan pengenceran 1:10. Campuran dikocok, diambil 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi 9 ml larutan pengencer steril (10-2). Dengan cara yang sama diperoleh pengenceran 10-3,10-4, dan seterusnya.
Dari tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml suspensi sampel dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya ditambahkan 15-20 ml medium PCA steril pada suhu 47-50oC (duplo). Setelah medium membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada inkubator suhu 37oC selama 2-3 hari. Perhitungan total mikroba menggunakan metode Standar Plate Count (SPC), dengan rumus;
Faktor pengenceran = pengenceran awal x pengenceran selanjutnya x Σ yang ditumbuhkan
Koloni per ml/gr = Σ koloni x
n pengencera faktor
(1)
Lampiran 16. Asumsi Dasar Analisis Ekonomi Usaha Cendol Instan
no
Asumsi
Keterangan
1
Harga
yang
digunakan
tetap
(fixed
price)
‐
2
harga
alat
pengering
beku
(freeze
dryer)
kapasitas
50
kg
Rp
150.000.000
3
harga
f
reezer
kapasitas
50
kg
Rp
1.500.000
4
umur
ekonomis
Freezer dan Freeze dryer
10
tahun
5
daya
freeze dryer
15
kWh
6
daya
freezer
150
watt
7
waktu
pembekuan
8
jam
8
waktu
pengeringan
30
jam
9
hari
kerja
per
bulan
24
hari
10
frekuensi
produksi
per
bulan
16
kali
11
tingkat
suku
bunga
18%
12
harga
listrik
Rp
2.200/kWh
13
upah
tenaga
kerja
Rp
15.000/HKP
14
harga
bahan
baku
#
rumput
laut
segar
Rp
3.000/kg
#
tepung
beras
Rp
4.500/kg
#
tepung
hunkwee
Rp
3.500/kg
#
daun
suji
Rp
2.000/kg
15
bahan
tambahan
#
larutan
gula
dan
santan
kelapa
Rp
200/paket
16
penambahan
bubur
rumput
laut
dari
bahan
dasar
20%
17
perbandingan
T
hunkwee
:
T
beras
2
;
1
18
perbandingan
Daun
suji
:
air
1
;
5
19
jumlah
cendol
basah
per
produksi
50
kg
20
rendemen
cendol
20%
21
berat
cendol
instan
per
kemasan
15
gram
22
harga
cendol
per
kemasan
Rp
3000
(2)
BRL
(gr)
T
hunkwee
(gr)
T
Beras
(gr)
Larutan
DS
(ml)
Air
Panas
(ml)
Cendol
Jadi
(gr)
20
53.4
26.7
70
510
650
1538
4108
2054
5385
39231
50000
Lampiran 17. Biaya Variabel Usaha Cendol Instan
cendol
basah
per
produksi
=
50
kg
cendol
kering
=
10
kg
cendol
instan/kemasan
=
15
gram
cendol
instan/produksi
=
667
kemasan
frekuensi
produksi/bulan
=
16
kali
No
Uraian
satuan
jumlah
Harga
/satuan
total
(Rp)
Biaya
var/bln
biaya
var/thn
1
bahan
baku
•
rumput
laut
segar
kg
1.54
3,000.00
4,615
73,846
886,154
•
tepung
hunkwee
kg
4.11
3,500.00
14,377
230,031
2,760,369
•
tepung
beras
kg
2.05
8,000.00
16,431
262,892
3,154,708
•
daun
suji
kg
1.08
2,000.00
2,154
34,462
413,538
2
bahan
tambahan
0
0
•
gula
kelapa
dan
santan
paket
667
200.00
133,400
2,134,400
25,612,800
0
0
3
biaya
listrik
kWh
526.9
2,200.00
1,159,180
18,546,880
222,562,560
4
minyak
tanah
liter
2
2,500.00
5,000
80,000
960,000
5
plastik
HDPE
paket
667
50.00
33,350
533,600
6,403,200
6
tenaga
kerja
0
0
0
•
pencetakan
cendol
HKP
2
15,000.00
30,000
480,000
5,760,000
•
pengeringan
beku
HKP
1
15,000.00
15,000
240,000
2,880,000
•
pengemasan
HKP
1
15,000.00
15,000
240,000
2,880,000
0
0
Total
(Rp)
biaya
variabel
1,428,507
22,856,111
274,273,329
Lampiran 18. Uraian Pemakaian Biaya Listrik
no
Alat
daya
(watt)
pemakaian
(jam)
jumlah
(watt)
1
Freezer
200
8
1600
2
Freeze
dryer
15000
35
525000
3
blender
150
0.5
75
4
pompa
air
250
1
250
(3)
total
pemakaian/produksi
(Kw)
526.93
biaya
listrik
(Rp)
1159235
Lampiran 19. Biaya Tetap Usaha Cendol Instan
No
Uraian
satuan
jumlah
harga/satuan
total
umur
ekonomis
(th)
1
Investasi
Mesin
Pengering
Beku
•
Freeze
dryer
kapasitas
50
kg
unit
1
150,000,000
150,000,000
10
•
Freezer
kapasitas
50
kg
unit
1
1,500,000
1,500,000
10
2
Sewa
tempat
m2
50
100,000
5,000,000
1
3
Panci
unit
4
50,000
200,000
3
4
Ember
unit
3
25,000
75,000
1
5
Cetakan
Cendol
unit
2
30,000
60,000
2
6
Kompor
unit
2
40,000
80,000
2
7
Pengaduk
unit
3
5,000
15,000
1
8
Pisau
unit
2
15,000
30,000
1
9
Blender
unit
1
130,000
130,000
5
10
Sealer
unit
1
70,000
70,000
5
11
Pompa
air
unit
1
300,000
300,000
6
total
157,460,000
(4)
Lampiran 20. Cash Flow Usaha Cendol Instan
Penjualan Cendol instan
harga jual cendol instan/kemasan (Rp) 3,000 Produksi cendol instan/bulan (kemasan) 10,672 Penjualan Cendol instan/bulan (Rp) 32,016,000
penjualan/tahun (Rp) 384,192,000
Cash Flow Analisis
no Uraian tahun
0 1 2 3 4 5
1 Penjualan 0 384,192,000 384,192,000 384,192,000 384,192,000 384,192,000 Penjualan (PV) 0 325,586,441 275,920,712 233,831,112 198,161,960 167,933,864
2 Biaya Variabel
bahan baku 0 7,214,769 7,214,769 7,214,769 7,214,769 7,214,769 bahan tambahan 0 25,612,800 25,612,800 25,612,800 25,612,800 25,612,800
biaya listrik 0 222,562,560 222,562,560 222,562,560 222,562,560 222,562,560
minyak tanah 0 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000
plastik HDPE 0 6,403,200 6,403,200 6,403,200 6,403,200 6,403,200 tenaga kerja 0 11,520,000 11,520,000 11,520,000 11,520,000 11,520,000
Total biaya variabel 0 287,079,729 287,079,729 287,079,729 287,079,729 287,079,729 Biaya variabel (PV) 0 243,287,906 206,176,191 174,725,586 148,072,530 125,485,195
3 Biaya Tetap
Mesin Pengering Beku 151,500,000
sewa tempat 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000
panci 200,000 200,000
ember 75,000 75,000 75,000 75,000 75,000
cetakan cendol 60,000 60,000 60,000
kompor 80,000 80,000 80,000
pengaduk 15,000 15,000 15,000 15,000 15,000
pisau 30,000 30,000 30,000 30,000 30,000
Blender 130,000
Sealer 70,000
Pompa air 300,000
Total biaya tetap 157,340,000 120,000 5,120,000 5,260,000 5,320,000 5,260,000 Biaya tetap (PV) 157,340,000 101,695 3,677,104 3,201,398 2,743,997 2,299,194
4 Total Biaya 157,340,000 287,199,729 292,199,729 292,339,729 292,399,729 292,339,729 Total biaya (PV) 157,340,000 243,389,601 209,853,296 177,926,984 150,816,527 127,784,390
5 Profit ‐157,340,000 96,992,271 91,992,271 91,852,271 91,792,271 91,852,271
6 PV (DF 18%) ‐157,340,000 82,196,840 66,067,417 55,904,128 47,345,432 40,149,474
7 NPV (DF 18%) 60,924,507
8 IRR (%) 59.04%
(5)
10 Pay back period 2,17 tahun
11 BEP (unit) 88,683
12 BEP (Rp) 699,080,834
Tahun
6 7 8 9 10
384,192,000 384,192,000 384,192,000 384,192,000 384,192,000 142,316,834 120,607,486 102,209,734 86,618,419 73,405,440
7,214,769 7,214,769 7,214,769 7,214,769 7,214,769 25,612,800 25,612,800 25,612,800 25,612,800 25,612,800
222,562,560 222,562,560 222,562,560 222,562,560 222,562,560 960,000 960,000 960,000 960,000 960,000 6,403,200 6,403,200 6,403,200 6,403,200 6,403,200 11,520,000 11,520,000 11,520,000 11,520,000 11,520,000
287,079,729 287,079,729 287,079,729 287,079,729 287,079,729 106,343,386 90,121,513 76,374,164 64,723,868 54,850,735
5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000 5,000,000
200,000 200,000
75,000 75,000 75,000 75,000 75,000
60,000 60,000
80,000 80,000
15,000 15,000 15,000 15,000 15,000 30,000 30,000 30,000 30,000 30,000
130,000
70,000
300,000
5,320,000 5,760,000 5,120,000 5,260,000 5,320,000 1,970,696 1,808,208 1,362,115 1,185,899 1,016,463
292,399,729 292,839,729 292,199,729 292,339,729 292,399,729 108,314,082 91,929,722 77,736,279 65,909,767 55,867,198
91,792,271 91,352,271 91,992,271 91,852,271 91,792,271 34,002,752 28,677,765 24,473,455 20,708,652 17,538,241
(6)
Lampiran 21. Gambar Prinsip Mesin Pengering Beku (
Freeze drter)
Upper Compensating shell Sterile
room wall
Door
Vacuum gauge
Chamber Isolation valve
Defrost water inlet
Pump isolation valve
Heating system
Refrigeration group Drain
Pumping vacuum