EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT (TEAM GAME TOURNAMENT) DAN TTW (THINK TALK WRITE) PADA PRESTASI BELAJAR DITINJAU DARI HARGA DIRI SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN JURUSAN
commit to user
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
TGT (TEAM GAME TOURNAMENT) DAN TTW (THINK-TALK-WRITE)
PADA PRESTASI BELAJAR DITINJAU DARI HARGA DIRI SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN JURUSAN BISNIS
MANAJEMEN DI KOTA SALATIGA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh :
Nugroho Dwi Susanto S850809213
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
(2)
commit to user
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
TGT (TEAM GAME TOURNAMENT) DAN TTW (THINK-TALK-WRITE)
PADA PRESTASI BELAJAR DITINJAU DARI HARGA DIRI SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN JURUSAN BISNIS
MANAJEMEN DI KOTA SALATIGA
Oleh :
Nugroho Dwi Susanto
S850809213
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Pada Tanggal ...
Jabatan Nama Tanda Tangan
Pembimbing I Dr. Mardiyana, M.Si
NIP. 19660225 199302 1 002
...
Pembimbing II Drs. Gatut Iswahyudi, M.Si
NIP. 19670607 199302 1 001
...
Mengetahui:
Ketua Program Studi Pendidikan Matematika,
Dr. Mardiyana, M.Si
(3)
commit to user
iiiEFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
TGT (TEAM GAME TOURNAMENT) DAN TTW (THINK-TALK-WRITE)
PADA PRESTASI BELAJAR DITINJAU DARI HARGA DIRI SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN JURUSAN BISNIS
MANAJEMEN DI KOTA SALATIGA
Oleh :
Nugroho Dwi Susanto S850809213
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji Pada Tanggal ...
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Drs. Tri Atmojo K., M.Sc. Ph.D
NIP. 19630826 198803 1002 ...
Sekretaris Dr. Riyadi, M.Si
NIP. 19670116 199402 1 001
...
Anggota 1. Dr. Mardiyana, M.Si
NIP. 19660225 199302 1 002
...
2. Drs. Gatut Iswahyudi, M.Si NIP. 19670607 199302 1 001
...
Direktur PPs UNS Ketua Program Studi Pendidikan Matematika
Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D Dr. Mardiyana, M.Si
(4)
commit to user
PERNYATAAN
Nama : Nugroho Dwi Susanto
NIP : S850809213
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Efektivitas Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Game Tournament) dan TTW (
Think-Talk-Write) Pada Prestasi Belajar Ditinjau Dari Harga Diri Siswa Kelas XI
Sekolah Menengah Kejuruan Jurusan Bisnis Manajemen Di Kota Salatiga“ adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut
diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Pebruari 2011 Yang membuat pernyataan,
(5)
commit to user
vKATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur Kepada Allah SWT sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe TGT (Team Game Tournament) dan TTW (Think-Talk-Write) Pada Prestasi
Belajar Ditinjau Dari Harga Diri Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan
Jurusan Bisnis Manajemen Di Kota Salatiga“.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D Direktur Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas
kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
2. Dr. Mardiyana, M.Si Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Program
Pascasarjana sekaligus Pembimbing I, yang penuh kesabaran dan kearifan
telah bersedia memberikan bimbingan dan masukan kepada peduli demi
kesempurnaan dan terselesainya tesis ini.
3. Drs. Gatut Iswahyudi, M.Si selaku Pembimbing II, yang penuh kesabaran dan
kearifan telah bersedia memberikan bimbingan dan masukan kepada peduli
demi kesempurnaan dan terselesainya tesis ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Matematika Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
(6)
commit to user
5. Kepala Kesbanglinmas, Kepala UPT Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga
Kota Salatiga yang telah memberikan ijin dan membantu penulis dalam
melaksanakan penelitian.
6. Kepala SMK Negeri 1 Salatiga, Kepala SMK Dipenegoro Salatiga, Kepala
SMK Kristen (BM) Salatiga dan Kepala SMK PGRI 2 Salatiga yang telah
memberi kesempatan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap siswanya.
7. Teman-teman mahasiswa angkatan 2009 Program Studi Pendidikan
Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta, Pebruari 2011
(7)
commit to user
viiDAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TESIS ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR DIAGRAM ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
ABSTRAK ... xiv
ABSTRACT... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pemilihan Masalah ... 8
D. Pembatasan Masalah ... 8
E. Perumusan Masalah ... 9
F. Tujuan Penelitian ... 10
G. Manfaat Penelitian ... 11
BAB II. LANDASAN TEORI ... 12
A. Kajian Teori ... 12
1. Model Pembelajaran Kooperatif ... 12
2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Game Tournament)... 14
3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TTW (Think-Talk-Write)... 18
4. Model Pembelajaran Konvensional ... 22
a. Pengertian dan Karakteriktik Pembelajaran Konvensional... 22
b. Pembelajaran Konvensional pada Matematika ... 24
(8)
commit to user
5. Harga Diri ... 25
a. Pengertian Harga Diri ... 25
b. Kategori Harga Diri ... 27
c. Aspek-aspek Harga Diri ... 29
6. Prestasi Belajar ... 34
a. Pengertian Prestasi Belajar ... 34
b. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar ... 35
B. Penelitian yang Relevan ... 37
C. Kerangka Berpikir ... 40
D. Hipotesis ... 44
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 46
A. Tempat, Subyek, Waktu, dan Jenis Penelitian ... 46
1. Tempat dan Subyek Penelitian ... 46
2. Waktu Penelitian ... 46
3. Jenis Penelitian ... 48
B. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 48
1. Populasi ... 48
2. Teknik Pengambilan Sampel ... 49
C. Desain Penelitian dan Variabel Penelitian ... 50
1. Desain Penelitian ……….. 50
2. Variabel Penelitian ………... 51
D. Teknik Pengumpulan Data, Instrumen dan Uji Coba Instrumen ... 53
1. Tehnik Pengumpulan Data ………... 53
2. Instrumen dan Uji Coba Instrumen ………... 54
E. Teknik Analisis Data ……….. 59
1. Normalitas Populasi ………. 60
2. Homogenitas Variansi Populasi ... 61
3. Uji Keseimbangan ... 62
4. Analisis Variansi Dua Jalan dengan Sel Tak Sama ... 64
(9)
commit to user
ixBAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 72
A. Uji Prasyarat Kemampuan Awal ... 72
1. Uji Normalitas Kemampuan Awal ... 72
2. Uji Homogenitas Kemampuan Awal ..………... 72
3. Uji Keseimbangan Kemampuan Awal ………... 73
B. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... ………. 73
1. Angket Harga Diri ... ………... 73
2. Instrumen Tes Prestasi Belajar ... 75
C. Deskripsi Data ... 77
1. Data Harga Diri ... 77
2. Data Prestasi Belajar Matematika ... 78
D. Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Prestai Belajar ... 78
1. Uji Normalitas ...………... 78
2. Uji Homogenitas ... 79
E. Uji Hipotesa Penelitian ... 80
F. Uji Lanjut Pasca Anava ... 81
1. Komparasi Ganda Antar Baris ...………... 82
2. Komparasi Ganda Antar kolom ... 82
G. Pembahasan Hasil Analisis Data ... 83
1. Hipotesis Pertama ………... 83
2. Hipotesis Kedua ...………... 85
3. Hipotesis Ketiga ……….………... 86
H. Keterbatasan Penelitian ... ... 87
BAB V. PENUTUP ... 88
A. Kesimpulan ... 88
B. Implikasi ... 90
1. Implikasi Teoritis ... 90
2. Implikasi Praktis ... 90
C. Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ……… 92
(10)
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar SMK Jurusan Bisnis Manajemen Kota Salatiga ... 46
Tabel 2. Kategori SMK Berdasarkan Rata-rata Nilai UN Matematika Tahun Pelajaran 2009-2010 ... 49
Tabel 3. Daftar Kelas Sampel Penelitian ... 49
Tabel 4. Jumlah Siswa Pada Kelas Sampel Penelitian ... 49
Tabel 5. Desain Faktorial Penelitian ... 50
Tabel 6. Interpretasi Indeks Kesukaran Soal (P) ... 57
Tabel 7. Tata Letak Data Sampel ANAVA 2 Jalan dengan Sel Tak Sama ... 67
Tabel 8. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Kemampuan Awal …………... 72
Tabel 9. Jumlah Siswa Berdasarkan Model Pembelajaran dan Harga Diri ... 77
Tabel 10. Deskripsi Data Prestasi Belajar Berdasarkan Model Pembelajaran .... 78
Tabel 11. Deskripsi Data Prestasi Belajar Berdasarkan Tingkat Harga diri ... 78
Tabel 12. Rangkuman Uji Normalitas Prestasi Belajar ... 79
Tabel 13. Rangkuman Uji Homogenitas Prestasi Belajar ... 79
Tabel 14. Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Dengan Sel Tak Sama ... 80
Tabel 15. Rerata Prestasi Belajar Berdasar Model Pembelajaran dan Harga Diri ... 81
Tabel 16. Rangkuman Uji Komparasi Rerata Antar Baris ... 82
(11)
commit to user
xiDAFTAR DIAGRAM
Diagram 1 Penempatan Siswa Pada Meja Turnamen ... 16 Diagram 2 Paradigma Penelitian dengan 2 Variabel Bebas ... 44
(12)
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kelengkapan Instrumen Berupa Angket Harga Diri ... 95
Lampiran 2. Kelengkapan Instrumen Berupa Soal Tes Hasil Belajar ... 103
Lampiran 3. Uji Validitas Isi Angket Harga Diri dan Soal Tes Hasil Belajar ... 111
Lampiran 4. Daftar Siswa Uji Coba Instrumen ... 115
Lampiran 5. Data Hasil Uji Coba Angket Harga Diri ... 118
Lampiran 6. Konsistensi Internal Uji Coba Angket Harga Diri ... 124
Lampiran 7. Indeks Reliabilitas Uji Coba Angket Harga Diri ... 128
Lampiran 8. Angket Harga Diri Setelah Uji Coba ... 132
Lampiran 9. Data Uji Coba Soal Tes Hasil Belajar ………. 138
Lampiran 10. Tingkat Kesukaran Soal Uji CobaTes Hasil Belajar ………... 141
Lampiran 11. Daya Beda Soal Uji Coba Tes Hasil Belajar ………... 144
Lampiran 12. Indeks Reliabilitas Soal Uji CobaTes Hasil Belajar ……… 146
Lampiran 13. Soal Tes Hasil Belajar Setelah Uji Coba ………. 150
Lampiran 14. Nilai UN Matematika SMP Kelompok TGT ... 159
Lampiran 15. Nilai UN Matematika SMP Kelompok TTW ……….. 162
Lampiran 16. Nilai UN Matematika SMP Kelompok Kontrol ... 165
Lampiran 17. Uji Normalitas Kemampuan Awal Kelompok TGT ……… 168
Lampiran 18. Uji Normalitas Kemampuan Awal Kelompok TTW ……….. 171
Lampiran 19. Uji Normalitas Kemampuan Awal Kelompok Kontrol ... 174
Lampiran 20. Uji Homogenitas Kemampuan Awal ………... 177
Lampiran 21. Uji Keseimbangan Kemampuan Awal ... 179
Lampiran 22. Data Angket Harga Diri Kelompok TGT ……… 181
Lampiran 23. Data Angket Harga Diri Kelompok TTW ………... 184
Lampiran 24. Data Angket Harga Diri Kelompok Kontrol ... 187
Lampiran 25. Rata-rata dan Standar Deviasi Data Angket Harga Diri ... 190
Lampiran 26. Jawaban Tes Hasil Belajar Kelompok TGT ……… 191
Lampiran 27. Jawaban Tes Hasil Belajar Kelompok TTW ... 194
(13)
commit to user
xiiiLampiran 29. Skor Butir Tes Hasil Belajar Kelompok TGT ……… 200
Lampiran 30. Skor Butir Tes Hasil Belajar Kelompok TTW ……… 203
Lampiran 31. Skor Butir Tes Hasil Belajar Kelompok Kontrol ……… 206
Lampiran 32. Uji Normalitas Prestasi Belajar Kelompok TGT ... 209
Lampiran 33. Uji Normalitas Prestasi Belajar Kelompok TTW ... 212
Lampiran 34. Uji Normalitas Prestasi Belajar Kelompok Kontrol ... 215
Lampiran 35. Uji Normalitas Prestasi Belajar Tingkat Harga Diri Tinggi ... 218
Lampiran 36. Uji Normalitas Prestasi Belajar Tingkat Harga Diri Sedang ... 221
Lampiran 37. Uji Normalitas Prestasi Belajar Tingkat Harga Diri Rendah ... 225
Lampiran 38. Uji Homogenitas Prestasi Belajar untuk Model Pembelajaran …… 228
Lampiran 39. Uji Homogenitas Prestasi Belajar untuk Tingkat Harga Diri …….. 230
Lampiran 40. Uji Anava Dua Jalan dengan Sel Tak Sama …………... 232
Lampiran 41. Uji Lanjut Pasca Anava ……….. 239
Lampiran 42. Rencana pembelajaran ………. 243
(14)
commit to user
ABSTRAK
Nugroho Dwi Susanto. S850809213. Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Game Tournament) dan TTW (Think-Talk-Write) Pada Prestasi Belajar Ditinjau Dari Harga Diri Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan Jurusan Bisnis Manajemen Di Kota Salatiga. Komisi Pembimbing I, Dr. Mardiyana, M.Si, dan Pembimbing II Drs. Gatut Iswahyudi, M.Si.. Tesis. Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1). Apakah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran kooperatif tipe TTW dan model pembelajaran Konvensional, dan apakah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TTW memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran Konvensional. 2). Apakah prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai tingkat harga diri tinggi lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai tingkat harga diri sedang maupun rendah dan apakah prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai tingkat harga diri sedang lebih baik daripada prestasi belajar metamatika siswa yang mempunyai tingkat harga diri rendah. 3). Apakah model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model pembelajaran Konvensional menghasilkan prestasi belajar yang berbeda pada tiap-tiap tingkat harga diri siswa dan apakah prestasi belajar pada tingkat harga diri siswa akan berbeda pada model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model pembelajaran Konvensional?
Penelitian ini termasuk eksperimen semu dengan desain faktorial 3×3 yang dilakukan di Kelas XI SMK Kota Salatiga pada Semester 3 Tahun Pelajaran 2010/2011. Teknik pengambilan sampel menggunakan stratified cluster random sampling. Pengumpulan datanya dilakukan melalui tes pilihan ganda dan angket harga diri. Teknik analisis datanya menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama.
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakanα = 5 %, diperoleh: 1) Untuk Fa = 9,8010 > F0,05;2;295 = 3,0264, ini berarti terdapat perbedaan
efektifitas dalam penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model pembelajaran Konvensional terhadap prestasi belajar matematika. 2). Untuk Fb= 5,0584 > F0,05;2;295= 3,0264, ini berarti tingkat harga diri siswa yang
tinggi, sedang dan rendah memberikan efek yang berbeda terhadap prestasi belajar matematika. 3). Untuk Fab = 0,9313 < F0,05;4;295 = 2,4023, ini berarti tidak terdapat
interaksi antara model pembelajaran dan tingkat harga diri siswa terhadap prestasi belajar matematika.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah, 1). Model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan model pembelajaran kooperatif tipe TTW menghasilkan prestasi belajar matematika yang sama baik, model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan model pembelajaran Konvensional menghasilkan prestasi belajar matematika yang sama baik, dan model pembelajaran kooperatif tipe TTW menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran
(15)
commit to user
xvKonvensional. 2). Siswa dengan tingkat harga diri tinggi dan siswa dengan tingkat harga diri sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik, siswa dengan tingkat harga diri tinggi mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa dengan tingkat harga diri rendah, dan siswa dengan tingkat harga diri sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik dengan siswa yang mempunyai tingkat harga diri rendah. 3). Perbedaan prestasi belajar matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model pembelajaran Konvensional konsisten pada tiap-tiap tingkat harga diri siswa dan perbedaan prestasi belajar matematika pada tiap-tiap tingkat harga diri siswa konsisten pada tiap model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model pembelajaran Konvensional.
Kata Kunci : Harga diri, Pembelajaran kooperatif, Team Game Tournament, Think-Talk-Write.
(16)
commit to user
ABSTRACT
Nugroho Dwi Susanto. S850809213. The Effectiveness of Cooperative Learning Model Using TGT (Team Game Tournament) and TTW (Think-Talk-Write) Types in Learning Achievement Observed from Student Self Esteem of XI Grade Bussines and Management Departement of Vocational School in Salatiga City. Consultant commission I Dr. Mardiyana, M.Si and consultant commission II Drs. Gatut Iswahyudi, M.Si. Thesis. Mathematics Education Study Program of Postgraduate Program of Sebelas Maret University Surakarta. 2011.
The purposes of this research are to know: 1). Whether the use of cooperative learning model using TGT type can result in mathematics learning achievement which better than cooperative learning model TTW type and conventional learning model, and whether the use of cooperative learning model using TTW type can result in mathematics learning achievement which better than conventional learning model. 2). Whether the result of student mathematics learning achievement who have a high level of self esteem better than student who have middle or low level of self esteem, and whether the result of student mathematics learning achievement who have middle level of self esteem better than student who have a low level of self esteem. 3). Whether the use of cooperative learning model using TGT and TTW types, and conventional learning model give different achievement on each self esteem levels of student and whether of mathematics learning achievement on each self esteem levels of student will be different on each cooperative learning model using TGT and TTW types, and conventional learning model.
This research is included as a quasi experiment with 3×3 factorial design which was done in XI grade Bussines and Management Departement of Vocational School in Salatiga City in the 3rd semester of the 2010/2011 academic year. This sample was obtained by a stratified cluster random sampling. The data was collected using multiple choice test and self esteem questionnaires. The data analytical technique used a two way variance analysis with different cells.
Based on the result of the dataanalysis by using α = 5%, it was obtained: 1). For Fa = 9.8010 > F0.05;2;295 = 3.0264, there is an difference effect of
cooperative learning model using TGT and TTW types, and conventional learning model in mathematics learning achievement. 2) For Fb = 5.0584 > F0.05;2;295 =
3.0264, high, middle and low level of self esteem give different effect in mathematics learning achievement. 3). For Fab = 0.9313 < F0.05;4;295 = 2.4023, there
is no interaction between the learning model and level of self esteem in mathematics learning achievement.
The result of this research can be concluded: 1). The mathematics learning achievement of cooperative learning model using TGT and TTW type is the same, the mathematics learning achievement of cooperative learning model using TGT type and conventional learning model is the same, and the mathematics learning achievement of student with cooperative learning model using TTW type are better than conventional learning model. 2). The mathematics learning achievement of student with high and middle level of self esteem is the same, the
(17)
commit to user
xviimathematics learning achievement of student with high level of self esteem are better than student with low self esteem level, and the mathematics learning achievement of student with middle self esteem level is the sama with student who have a low self esteem. 3). The difference of mathematics learning achievement on the use of cooperative learning model using TGT and TTW type, and conventional learning model consistent on each self esteem levels of student and the difference of mathematics learning achievement on each self esteem levels of student consistent on the use of cooperative learning model using TGT and TTW type, and conventional learning model.
Keyword: Self esteem, Cooperative learning, TGT, Team Game Tournament, TTW, Think-Talk-Write.
(18)
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu komponen yang berkaitan dengan peningkatan kualitas
pendidikan adalah proses belajar mengajar, karena proses belajar mengajar
merupakan kegiatan yang berkaitan secara langsung dengan hasil belajar.
Keberhasilan proses proses belajar mengajar selain ditentukan oleh cara mengajar
guru dan cara belajar siswa juga ditentukan faktor lain seperti kurikulum, sarana
dan prasarana, media serta situasi dan kondisi lingkungan belajar. Melalui
kegiatan pembelajaran, sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan mampu
mengembangkan keterampilan berpikir. Untuk mendukung hal tersebut maka
melalui pembelajaran matematika, guru hendaknya dapat mengkondisikan dan
memotivasi siswa untuk belajar berpikir dan bukan untuk mengajarkan berpikir,
sebab suatu masalah umumnya tidak dapat dipecahkan tanpa berpikir. Matematika
merupakan salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif
tercapainya masyarakat yang cerdas dan bermartabat melalui sikap kritis dan
berpikir logis (Suminarsih, 2007:1).
Pembelajaran matematika diarahkan untuk pembentukan kepribadian dan
pembentukan kemampuan berpikir yang bersandar pada hakikat dan arti dari
matematika. Oleh karenanya, hasil-hasil pembelajaran matematika menampakkan
kemampuan berpikir yang matematis dalam diri siswa, yang bermuara pada
kemampuan menggunakan matematika sebagai bahasa dan alat dalam
(19)
commit to user
yang tidak dapat diabaikan adalah terbentuknya kepribadian yang baik dan kokoh
(Nyimas Aisyah, 2007:5).
Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sekolah
mempunyai wewenang dalam menyusun kurikulum, sehingga memungkinkan
perbedaan kompetensi belajar pada masing-masing sekolah. Mulyasa (2006:109)
mengemukakan bahwa kompetensi lulusan masing-masing sekolah salah satunya
akan tergantung bagaimana guru dalam menyusun, menjabarkan, menganalisis,
mengembangkan indikator, menyesuaikan standar kompetensi dan kompetensi
dasar (SKKD) dengan karakteristik dan perkembangan siswa, situasi dan kondisi
sekolah, serta kondisi dan kebutuhan daerah. Kondisi ini, digunakan dipandang
sebagai peluang guru untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa melalui
model-model pembelajaran matematika yang dapat memotivasi siswa untuk
berpikir kritis. Namun, menurut pengamatan penulis masih banyak guru yang
hanya menggunakan pembelajaran konvensional, yaitu suatu cara belajar
mengajar dimana bahan disajikan oleh guru secara monolog sehingga
pembicaraan lebih bersifat satu arah. Adapun aktifitas siswa hanya terbatas
kepada memperhatikan, mendengarkan, mencatat, dan kalau perlu diberi
kesempatan menjawab dan atau mengemukakan pertanyaan.
Menurut Marpaung (2003:3), pembelajaran matematika yang dilakukan
hingga kini mayoritas masih menggunakan paradigma pengajaran. Terdapat
beberapa kesan siswa terhadap proses pembelajaran matematika yang masih
menggunakan paradigma pengajaran ini, yaitu: 1) pada umumnya siswa takut
(20)
bermakna; 3) pelajaran matematika membuat siswa stress; 4) bahan yang
dipelajari terlalu banyak; 5) matematika penuh dengan rumus-rumus; 6) guru
matematika pada umumnya galak-galak; dan 7) pembelajaran berlangsung serius
dan kurang manusiawi. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa pakar yang
dikutip oleh Marpaung (2003:3), antara lain bahwa pembelajaran matematika itu :
a) mekanistik, atomistik, dan behavioristik; b) mengutamakan pemahaman
instrumental; c) cenderung menstransfer pengetahuan matematika ke pikiran
siswa; d) bersifat mengantarkan siswa ke tujuan dan bukan mengarahkan.
Menurut Marpaung (2003:4), akibat dari pembelajaran matematika yang
menggunakan paradigma mengajar dan asesmen yang berbentuk objektif adalah
1) siswa tidak senang pada matematika dan mereka tidak dapat melihat
keindahannya, yang dapat dialami adalah dampak negatif yang ditimbulkan pada
perasaan mereka, serta pemahaman mereka terhadap matematika rendah; dan 2)
kemampuan menyelesaikan masalah, bernalar, berkomunikasi secara matematis
dan melihat keterkaitan antara konsep-konsep dan aturan-aturan rendah dan
mereka hanya berusaha menggunakan rumus untuk memecahkan masalah tanpa
mengerti bagaimana rumus itu diturunkan dan mengapa rumus itu dapat
digunakan.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah adanya pemadatan materi yang
dilakukan oleh pihak sekolah dalam rangka menghadapi ujian nasional.
Khususnya pada pelajaran matematika, salah satu alasan yang mendasari kegiatan
tersebut adalah siswa lupa atau tidak memahami materi yang telah diajarkan,
(21)
commit to user
menunjukkan bahwa selama ini pembelajaran di kelas kurang dimaksimalkan oleh
guru, dan ukuran keberhasilan proses pembelajaran hanya diukur pada hasil ujian
nasional. Dari data Puspendik (Pusat Penilaian Pendidikan) 2010 diperoleh hasil
rata-rata UN Matematika SMK Kota Salatiga adalah 6,82 dengan jumlah siswa
yang dipastikan tidak lulus dengan nilai matematika dibawah 3,00 sebanyak 45
siswa dan beberapa siswa dari 119 siswa dengan nilai matematika antara 3,00
sampai 4,25 juga dinyatakan tidak lulus. Dengan persentase jumlah nilai di bawah
4,25 sebesar 6,12% dan secara keseluruhan persentase siswa yang tidak lulus
mencapai 15,697%.
Berdasarkan gambaran-gambaran di atas dapat dilihat bahwa selama ini
pembelajaran matematika yang diterapkan memberikan efek negatif bagi siswa.
Hal ini didukung oleh pendapat Christina S. Handayani (2004:13) yang
menyatakan bahwa pelajaran matematika lebih banyak memberikan pengalaman
negatif bagi siswa. Materi dari pelajaran matematika ini sangat membutuhkan
ketekunan dan ketelitian, namun sikap guru dan suasana belajarnya seringkali
kurang mendukung. Akibatnya, siswa menjadi kurang kreatif, kurang optimis
dalam mengikuti pelajaran, tidak berani mengungkapkan pendapatnya, dan tidak
percaya diri akan kemampuannya sehingga produktivitas siswa sangat rendah dan
prestasinya juga rendah (belum memenuhi batas minimum). Beberapa ciri tingkah
laku yang ditampakkan oleh siswa tersebut mengidentifikasikan bahwa harga diri
siswa cenderung rendah.
Menurut Waterman dalam Syam Hakim Persada (2009:2) harga diri yang
(22)
masalah akademik, olahraga, penampilan dan interaksi sosial juga akan
mengganggu proses pikir konsentrasi belajar dan hubungan dengan orang lain
terutama bagi mereka yang masih mengikuti pendidikan sehingga mempengaruhi
proses belajarnya. Menurut Baumeister (2003:10) yang menyatakan bahwa
seseorang dengan harga diri tinggi dapat menyusun aspirasi dengan lebih baik
dibandingkan seseorang dengan harga diri yang rendah. Mereka mempunyai
keinginan yang lebih untuk bertahan di saat menghadapi kegagalan dan tidak
menyukai perasaan tidak mampu dan meragukan diri sendiri. Berdasar pendapat
Baumeister ini, pengalaman negatif dari pembelajaran konvensional yang telah
diuraikan oleh Handayani cenderung mengarah kepada pembentukan harga diri
rendah pada siswa.
Pengaruh dari pembelajaran konvensional ini berlawanan dengan pengaruh
pembelajaran kooperatif yang dinyatakan oleh Slavin (2010:122) yaitu, dampak
psikologis dari pembelajaran kooperatif adalah pengaruhnya terhadap harga diri
siswa. Keyakinan siswa bahwa mereka adalah pribadi yang penting dan bernilai
merupakan sesuatu yang sangat penting untuk membangun kemampuan dalam
menghadapi kekecewaan dalam hidup, untuk menjadi pembuat keputusan dengan
percaya diri dan menjadi pribadi yang produktif dan bahagia.
Tan (2000:1) menyatakan, Cooperative learning promotes effective
instruction of thinking skills and creativity, and of information technology. Thinking skills and creativity are promoted when students interact with their peers to brainstorm, explain, question, disagree, persuade, and problem-solve, yang maksudnya pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan
(23)
commit to user
berpikir dan kreatifitas, Kemampuan berpikir dan kreatifitas meningkat ketika
siswa berinteraksi dengan temannya pada saat berdiskusi memecahkan masalah.
Sedangkan Mandal (2009:97) menyatakan bahwa, Cooperative learning is a successful teaching strategy in which small teams, each with students of different levels of ability, use a variety of learning activities to improve their understanding of a subject. Each member of a team is responsible not only for learning what is taught but also for helping teammates learn, thus creating atmosphere of achievement, yang maksudnya bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang akan berhasil dalam kelompok kecil yang terdiri dari siswa-siswa dengan tingkat kemampuan berbeda, menggunakan berbagai aktivitas pembelajaran untuk memahami permasalahan. Tiap-tiap anggota kelompok tidak hanya bertanggungjawab pada apa yang ia pelajari tetapi juga membantu teman satu kelompok untuk belajar, yang demikian supaya tercipta suasana untuk mendapatkan prestasi yang baik.
Dalam kelompok diskusi, memungkinkan siswa untuk saling
berkomunikasi dengan teman dan saling bertukar pikiran dengan saling
menghargai pendapat. Keberhasilan suatu kelompok tidak hanya ditentukan oleh
salah satu individu saja, melainkan oleh seluruh anggota kelompok, sehingga akan
tercipta kerjasama dalam kelompok untuk mencapai keberhasilan. Hal ini
memungkinkan bagi siswa untuk menikmati pembelajaran matematika sehingga
dapat mempengaruhi prestasi belajarnya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas maka dapat
diidentifikasikan permasalahan yang berkaitan dengan siswa.
1. Rendahnya harga diri siswa dipengaruhi oleh sikap dan suasana belajar yang
(24)
yang cenderung mekanistik dan klasikal mempunyai kecenderungan
membentuk pengalaman yang negatif.
2. Harga diri berhubungan erat dengan prestasi belajar siswa, rendahnya prestasi
belajar siswa mungkin disebabkan karena tingkat harga diri siswa yang
rendah. Terkait hal tersebut, perlu diteliti apakah tingkat harga diri siswa
berpengaruh pada prestasi belajar siswa.
3. Model pembelajaran matematika yang selama ini dipakai oleh guru belum
memberikan hasil yang maksimal dan cenderung hanya untuk menyelesaikan
target kurikulum. Selain itu, pembelajaran tersebut mempunyai dampak lain
karena siswa belajar secara individu dan interaksi yang terjadi adalah dari
guru ke siswa. Dalam pembelajaran, siswa pasif dan hanya guru yang aktif.
Terkait masalah ini akan diteliti manakah diantara model pembelajaran
koopertif tipe TGT, model pembelajaran kooperatif tipe TTW dan model
pembelajaran Konvensional yang menghasilkan prestasi belajar yang lebih
baik.
4. Suatu model pembelajaran mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, ada
kemungkinan suatu model pembelajaran akan menghasilkan prestasi belajar
yang berbeda jika diterapkan pada siswa dengan tingkat harga diri yang
berbeda. Terkait hal itu, perlu diteliti apakah tiap-tiap model pembelajaran
menghasilkan prestasi belajar yang berbeda untuk tingkat harga diri yang
(25)
commit to user
C. Pemilihan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka dipilih permasalahan 2, 3 dan 4
yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Membandingkan prestasi belajar matematika yang dihasilkan oleh tiga
model pembelajaran yaitu model pembelajaran kooperatif tipe TGT, model
pembelajaran kooperatif tipe TTW dan model pembelajaran Konvensional.
2. Membandingkan prestasi belajar matematika antara siswa dengan tingkat
harga diri tinggi, sedang dan rendah.
3. Apakah tiap-tiap model pembelajaran menghasilkan prestasi belajar yang
berbeda untuk tingkat harga diri yang berbeda dan apakah untuk tiap-tiap
tingkat harga diri memberikan prestasi belajar yang berbeda pada model
pembelajaran yang berbeda.
D. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan masalah-masalah di atas, agar permasalahan tidak
berkembang lebih jauh, maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi
sebagai berikut:
1. Penelitian dilakukan pada siswa kelas XI semester 3 SMK Jurusan Bisnis
Manajemen di Kota Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011.
2. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran kooperatif
tipe TGT (Team Game Tournament) model pembelajaran kooperatif tipe
TTW (Think-Talk-Write) pada kelas eksperimen dan model pembelajaran
(26)
3. Faktor internal siswa yang diteliti adalah tingkat harga diri siswa. Tingkat
harga diri siswa yang peneliti gunakan adalah sebelum dilakukannya
eksperimen. Dalam penelitian ini, tingkat harga diri siswa dibedakan menjadi
tiga tingkat yaitu tinggi, sedang dan rendah.
4. Prestasi belajar matematika siswa dibatasi pada hasil belajar siswa setelah
dilakukan eksperimen untuk materi fungsi linear pada siswa SMK Jurusan
Bisnis Manajemen kelas XI.
E. Perumusan Masalah
Dari identifikasi, perumusan dan pembatasan masalah di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat menghasilkan prestasi
belajar matematika siswa yang lebih baik daripada model pembelajaran
kooperatif tipe TTW maupun model pembelajaran Konvensional? Apakah
model pembelajaran kooperatif tipe TTW dapat menghasilkan prestasi belajar
matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran Konvensional?
2. Apakah prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai tingkat harga diri
tinggi lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai
tingkat harga diri sedang maupun rendah? Apakah prestasi belajar matematika
siswa yang mempunyai tingkat harga diri sedang lebih baik daripada prestasi
belajar matematika siswa yang mempunyai tingkat harga diri rendah?
3. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model
pembelajaran Konvensional menghasilkan prestasi belajar matematika yang
(27)
commit to user
matematika pada tingkat harga diri siswa akan berbeda pada model
pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model pembelajaran
Konvensional?
F. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe
TGT memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model
pembelajaran kooperatif tipe TTW maupun model pembelajaran
Konvensional, dan apakah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe
TTW memberikan prestasi matematika yang lebih baik daripada model
pembelajaran Konvensional.
2. Untuk mengetahui apakah prestasi belajar matematika siswa yang
mempunyai tingkat harga diri tinggi lebih baik daripada prestasi belajar
matematika siswa yang mempunyai tingkat harga diri sedang maupun rendah
dan apakah prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai tingkat harga
diri sedang lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang
mempunyai tingkat harga diri rendah.
3. Untuk mengetahui apakah model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW
dan model pembelajaran Konvensional menghasilkan prestasi belajar yang
berbeda pada tiap-tiap tingkat harga diri siswa dan apakah prestasi belajar
pada tingkat harga diri siswa akan berbeda pada model pembelajaran
(28)
G. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Guru, untuk memberi masukan mengenai pembelajaran matematika
yang inovatif dan dapat meningkatkan komunikasi antara siswa dan guru
dalam pembelajaran
2. Bagi Kepala Sekolah, untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan
untuk menciptakan suatu lingkungan yang kondusif dalam menciptakan dan
mengembangkan harga diri dan prestasi belajar siswa.
3. Sebagai bahan referensi keilmuan bagi peneliti lain yang melakukan
(29)
commit to user
12BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Nur dalam Indri Yulianti (2008:11), pembelajaran kooperatif
adalah pembelajaran dimana siswa bekerja dalam kelompok kecil mempelajari
suatu materi, menerima pendapat dan mengisi kekurangan siswa yang lain. Pada
pembelajaran ini, siswa belajar dalam kelompok dengan tingkat kemampuan, jenis
kelamin, serta latar belakang yang berbeda-beda.
Menurut Mandal (2009:97), dalam pembelajaran kooperatif ketika
guru memberikan tugas tertulis, anggota kelompok bekerja bersama dan saling
membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Mereka merencanakan,
memahami dan mengevaluasi perkerjaan kelompok. Mereka memcoba
menghargai teman kelompoknya.
Pembelajaran kooperatif menurut Asikin dalam Indri Yulianti (2008)
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan
materi belajarnya.
b. Kelompok dibentuk secara heterogen yaitu kelompok dibentuk dari
siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
c. Jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa ras,
(30)
agar dalam kelompok terdiri dari ras, budaya, suku, agama dan jenis
kelamin yang berbeda pula.
d. Adanya sebuah penghargaan. Penghargaan ini lebih berorientasi pada
kelompok daripada individu.
Tiga konsep utama pembelajaran kooperatif menurut Slavin (2010:10):
a. Penghargaan pada kelompok
Suatu tim akan mendapatkan penghargaan bila tim tersebut berhasil
melampaui nilai tertentu yang ditetapkan.
b. Tanggung jawab individu
Kesuksesan tim tergantung pada pembelajaran individual dari semua
anggota tim. Tanggungjawab difokuskan pada kegiatan anggota tim dalam
membantu sama lain untuk belajar dan memastikan bahwa tiap anggota
tim siap untuk mengerjakan kuis atau bentuk penilaian lainnya yang
dilakukan siswa tanpa bantuan teman satu tim.
c. Setiap anggota kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk sukses
Semua siswa memberi kontribusi kepada timnya dengan cara
meningkatkan kinerja mereka dari yang sebelumnya. Ini akan memastikan
bahwa siswa dengan prestasi tinggi, sedang dan rendah semuanya
ditantang untuk melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi semua
anggota tim ada nilainya.
Grabowski (2007:250) menyatakan pembelajaran kooperatif memberikan
pengaruh positif pada pembelajaran matematika dalam meningkatkan prestasi,
(31)
commit to user
Beberapa keuntungan dalam penggunaan pembelajaran kooperatif,
diantaranya:
a. Melatih perilaku positif dalam kelompok
b. Meningkatkan relasi di antara siswa, saling membantu dan terbuka.
c. Meningkatkan motivasi siswa dan saling menghargai satu sama lain.
d. Mengembangkan kemampuan individu dan merupakan strategi untuk
memecahkan konflik.
e. Meningkatkan kemampuan untuk memberi opini, argumentasi dan melatih
mendengarkan pendapat orang lain, serta menerima pendapat.
f. Mengembangkan kemampuan dalam menyampaikan pendapat.
g. Mendidik siswa bertanggung jawab.
2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Game Tournament)
Model Pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Game Tournament) di
kembangkan pertama kali oleh David and Keith. Pembelajaran kooperatif tipe
TGT adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan,
melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan
peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran
kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks di samping
menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan
(32)
Ada 5 komponen utama dalam komponen utama TGT sebagai berikut:
a. Penyajian Kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas,
biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah,
diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus
benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena
akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada
saat gamekarena skor game akan menentukan skor kelompok.
b. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya
heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin, dan ras atau etnik.
Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman
kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar
bekerja dengan baik pada saat gamedan berhasil menghadapi tournament.
c. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji
pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok.
Permainan dimainkan pada meja-meja yang berisi empat siswa, tiap siswa
mewakili tim yang berbeda. Kebanyakan game terdiri dari
pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba
menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab
(33)
commit to user
d. Turnamen AkademikTurnamen akademik adalah sebuah struktur dimana game berlangsung,
turnamen biasanya dilakukan setiap akhir sesi pembelajaran, bertujuan untuk
menguji pemahaman siswa setelah belajar berkelompok. Siswa dalam satu
kelas eksperimen dibagi dalam beberapa meja turnamen. Pada turnamen
akademik ini, guru menunjuk siswa untuk berada pada meja turnamen. Setiap
meja turnamen terdiri dari beberapa siswa dengan kemampuan akademik
yang relatif sarna tetapi mewakili kelompok-kelompok yang berbeda. Setiap
meja turnamen memiliki tingkatan masing-masing dan diurutkan oleh guru
mulai dari meja turnamen yang terdiri dari siswa pandai sampai dengan meja
akademik yang terdiri dari siswa berkemampuan akademik kurang.
( Slavin, 2010:168)
Diagram 1. Penempatan Siswa Pada Meja Turnamen A-1 A-2 A-3 A-4
TINGGI RATA-RATA RATA-RATA RENDAH
MEJA TURNAMEN
1
MEJA TURNAMEN
2
MEJA TURNAMEN
3
MEJA TURNAMEN
4
B-1 B-2 B-3 B-4 Tinggi Rata-Rata Rata-Rata Rendah
C-1 C-2 C-3 C-4 Tinggi Rata-Rata Rata-Rata Rendah
TIM A
(34)
e. Team recognize(penghargaan kelompok)
Guru sesegara mungkin setelah usai turnamen, hitung skor tim dan siapkan
sertifikat tim untuk kriteria tim dengan nilai terbaik. Tim yang bekerja dengan
baik cukup diberikan ucapan selamat di kelas. Adapun yang guru lakukan
untuk memberikan penghargaan tim berupa hadiah (misalnya bingkisan yang
berisi makanan atau alat tulis), yang penting guru dapat mengkomunikasikan
keberhasilan tim tersebut (tidak hanya keberhasilan individu), karena hal ini
akan termotivasi kepada siswa untuk saling membantu teman satu tim.
Grabowski (2007:256) menyatakan bahwa Teknik kooperatif TGT lebih
efektif dibandingkan persaingan antar individu dalam menfasilitasi sikap positif
dalam metematika.
Kelebihan dalam penggunaan pembelajaran TGT adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan serta menggunakan keterampilan berpikir kritis dan kerja
sama kelompok.
b. Tercipta suasana yang menyenangkan yaitu belajar sambil bermain.
c. Melalui interaksi dengan anggota kelompok, semua memiliki kesempatan
untuk belajar mengemukakan pendapatnya atau memperoleh pengetahuan dan
hasil diskusi dengan anggota kelompoknya.
d. Pengelompokan siswa secara heterogen dalam hal tingkat kemampuan, jenis
kelamin, maupun ras diharapkan dapat membentuk rasa hormat dan saling
menghargai antar siswa.
e. Dengan diadakannya tumamen diharapkan dapat membangkitkan motivasi
(35)
commit to user
f. Dengan turnamen dapat membentuk siswa mempunyai kebiasaan bersaing
sportif dan selanjutnya menumbuhkan keberanian dalam berkompetisi,
akibatnya siswa selalu dalam posisi unggul.
g. Dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT, dapat menanamkan betapa
pentingnya kerjasama dalam pencapaian tujuan belajar baik untuk dirinya
maupun seluruh anggota kelompok.
h. Kegiatan belajar mengajar berpusat pada siswa sehingga dapat menumbuhkan
keaktifan siswa.
Sedangkan kelemahan dalam penggunaan pembelajaran TGT adalah
sebagai berikut:
a. Penggunaan waktu yang relatif lama.
b. Jika kemampuan guru sebagai motivator dan fasilitator kurang memadai atau
sarana tidak cukup tersedia maka pembelajaran kooperatif tipe TGT sulit
dilaksanakan.
c. Apabila sportifitas siswa kurang, maka keterampilan berkompetisi siswa yang
terbentuk bukanlah yang diharapkan.
3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TTW (Think-Talk-Write)
Model pembelajaran kooperatif tipe TTW diperkenalkan oleh Huinker &
Laughlin (dalam Merina Wijayanti, 2008:11), dimana model pembelajaran ini
menekankan perlunya siswa mengkomunikasikan/menjelaskan hasil
pemikirannya. Model ini diawali dengan siswa membaca dan mencoba memahami
(36)
mengkomunikasikan hasil pemikirannya, dan akhirnya melalui diskusi siswa
dapat menuliskan kembali hasil pemikirannya tersebut.
Aktivitas berpikir (think) dapat dilihat dari proses membaca suatu teks
matematika atau berisi cerita matematika kemudian membuat catatan apa yang
telah dibaca. Menurut Wiederhold dalam Merina Wijayanti (2008) membuat
catatan berarti menganalisis tujuan isi teks dan memeriksa bahan-bahan yang
ditulis. Dengan belajar rutin membuat/menulis catatan setelah membaca
merangsang aktivitas berpikir sebelum, selama dan setelah membaca. Dalam
model pembelajaran ini teks bacaan selalu dimulai dengan soal-soal kontekstual
(contextual problems) yang diberi sedikit panduan sebelum siswa membuat
catatan kecil.
Corwin dalam Merina Wijayanti (2008:12) menyatakan setelah tahap
“think” selesai dilanjutkan dengan tahap berikutnya “talk” berkomunikasi
menggunakan kata-kata dan bahasa mereka sendiri. Tahap ini sangat penting
karena sebagai berikut:
a. Apakah itu tulisan, gambaran, isyarat atau percakapan merupakan perantara
ungkapan matematika sebagai bahasa manusia. Metematika adalah bahasa
yang spesial dibentuk untuk mengkomunikasikan bahasa sehari-hari.
b. Pemahaman matematika dibangun melalui interaksi dan percakapan antara
sesama individual yang merupakan aktivitas sosial yang bermakna.
c. Cara utama partisipasi komunikasi dalam matematika adalah melalui talk.
Siswa menggunakan bahasa untuk menyajikan ide kepada temannya,
(37)
commit to user
d. Pembentukan ide (forming ideas) melalui proses talking.
e. Internalisasi ide (internalizing ideas), dalam konversi matematika
internalisasi dibentuk melalui berpikir dan memecahkan masalah.
f. Meningkatkan dan menilai kualitas berpikir, talking membantu guru
mengetahui tingkat pemahaman siswa dalam belajar matematika, sehingga
dapat mempersiapkan perlengkapan pembelajaran yang dibutuhkan.
Selanjutnya Shield dan Swinson dalam Merina Wijayanti (2008:12)
menyebutkan tahap ”write” yaitu menuliskan hasil/dialog pada lembar kerja yang
disediakan. Aktivitas siswa menulis berarti mengkonstruksi ide, karena setelah
berdiskusi atau berdialog antar teman dan kemudian mengungkapkannya melalui
tulisan. Menulis dalam matematika membantu merealisasikan salah satu tujuan
pembelajaran, yaitu pemahaman siswa tentang materi yang dipelajari. Aktivitas
siswa selama tahap ini adalah sebagai berikut.
a. Menulis solusi terhadap masalah/pertanyaan yang diberikan termasuk
perhitungan.
b. Mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah, baik
penyelesaiannya ada yang menggunakan diagram, grafik, ataupun tabel agar
mudah dibaca dan ditindaklanjuti.
c. Mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak ada pekerjaan ataupun
perhitungan yang ketinggalan.
d. Meyakini bahwa pekerjaannya lengkap, mudah dibaca dan terjamin
(38)
Silver & Smith dalam Merina Wijayanti (2008:14) mengemukakan
peranan dan tugas guru dalam usaha mengefektifkan penggunaan pembelajaran
TTW ini adalah sebagai berikut:
a. Mengajukan pertanyaan dan tugas yang mendatangkan keterlibatan, dan
menantang setiap siswa berpikir.
b. Mendengar secara hati-hati ide siswa.
c. Menyuruh siswa mengemukakan ide secara lisan dan tulisan.
d. Memutuskan apa yang digali dan dibawa siswa dalam diskusi.
e. Memutuskan kapan memberi informasi, mengklarifikasi persoalan-persoalan,
menggunakan model, membimbing dan membiarkan siswa berjuang dengan
kesulitan.
f. Memonitoring dan menilai partisipasi siswa dalam diskusi, dan memutuskan
kapan dan bagaimana mendorong setiap siswa untuk berpartisipasi.
Langkah-langkah dalam pembelajaran TTW sebagai berikut:
a. Guru membagi teks bacaan berupa lembar kerja siswa yang memuat situasi
masalah dan petunjuk serta prosedur pelaksanaannya.
b. Siswa membaca teks dan membuat catatan dari hasil bacaan secara
individual, untuk dibawa ke forum diskusi (think).
c. Siswa berinteraksi dan berdiskusi dengan teman untuk membahas isi catatan
(talk). Guru berperan sebagai mediator lingkungan belajar.
(39)
commit to user
4. Model Pembelajaran Konvensional
Dalam bagian pembelajaran konvensional ini akan dibahas tentang
pertama, pengertian dan karakteristik pembelajaran konvensional; kedua,
pembelajaran konvensional pada matematika, ketiga, kelebihan dan kelemahan
pembelajaran konvensional.
a. Pengertian dan Karakteristik Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional sering disebut dengan pembelajaran
tradisional. Pembelajaran konvensional merupakan suatu pembelajaran yang
sering digunakan oleh para guru dan pembelajaran ini memiliki kekhasan tertentu,
misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan pada
ketrampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses dan pembelajaran
berpusat pada guru. Paradigma yang menjadi acuan dari pembelajaran
konvensional ini adalah paradigma mengajar. Menurut Marpaung (2003:2),
paradigma mengajar mempunyai karakteristik, yaitu a) guru aktif dan siswa pasif;
b) pembelajaran berpusat pada guru; c) guru menstransfer pengetahuan ke pikiran
siswa; c) pemahaman siswa cenderung bersifat instrumental; e) pembelajaran
bersifat mekanistik; dan f) siswa diam secara fisik serta penuh konsentrasi secara
mental dalam memperhatikan apa yang diajarkan oleh guru. Untuk mendukung
pernyataan ini, terdapat beberapa ciri atau karakteristik dari pembelajaran
konvensional yaitu sebagai berikut :
1. Pembelajaran berlangsung secara klasikal dan berpusat pada guru
(40)
3. Kegiatan utamanya adalah menerangkan dan siswa mendengarkan/
mencatat yang disampaikan guru.
4. Pembelajaran ini lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, dan
menekankan pada keterampilan berhitung
5. Dalam pembelajaran konvensional, metode yang sering digunakan
adalah metode ceramah dengan diiringi penjelasan serta pembagian
tugas dan latihan, atau, metode ekspositori yang kemudian memberikan
contoh soal dan penyelesaiannya serta memberi soal-soal latihan dan
siswa disuruh mengerjakannya.
6. Para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu
karena siswa hanya menerima saja apa-apa yang disampaikan oleh guru
7. Guru biasanya menghajar dengan berpedoman pada buku teks/LKS
dengan mengutamakan metode ceramah dan kadang-kadang tanya jawab
tes atau evaluasi yang bersifat sumatif dengan maksud untuk mengetahui
perkembangan jarang dilakukan.
8. Siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru dengan patuh
mempelajari urutan yang ditetapkan oleh guru dan kurang sekali
mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat.
9. Guru jarang menganalisa secara mendalam tentang suatu konsep dan
jarang mendorong siswa untuk menggunakan penalaran logis yang lebih
tinggi seperti kemampuan membuktikan atau memperlihatkan suatu
(41)
commit to user
10. Aktivitas guru mendominasi kelas dengan metode ekspositori dan
aktivitas siswa untuk menyampaikan pendapat sangat kurang sehingga
siswa menjadi pasif dalam belajar dan belajar anak kurang bermakna
karena hanya hafalan.
b. Pembelajaran Konvensional pada Matematika
Guru matematika seringkali mengajar matematika dengan menggunakan
pembelajaran konvensional karena pembelajaran ini dianggap oleh guru sangat
efektif dan efisien untuk menyelesaikan kurikulum. Metode yang sering
digunakan guru dalam mengajar matematika adalah ceramah/ekspositori. Guru
biasanya menjelaskan materi, memberikan contoh soal dan cara penyelesaiannya,
dan memberikan tugas/latihan soal. Pengajaran matematika dengan model
pembelajaran konvensional lebih menekankan pada hasil dibandingkan dengan
proses. Selain itu, dalam usaha menyelesaikan materi di kurikulum, guru lebih
cenderung pada pemberian hafalan, drill, dan ceramah serta cara yang digunakan
oleh guru mayoritas adalah pengerjaan soal-soal yang terdapat dalam buku/modul.
Pembelajaran dengan model ini lebih berpusat pada guru sehingga yang aktif
adalah guru dan siswa kurang mendapat kesempatan untuk bertanya, dan
mengungkapkan pendapatnya. Dalam pembelajaran matematika ini, aktivitas
siswa tidak tampak dan yang menonjol adalah aktivitas guru yang mendominasi
pembelajaran. Matematika yang merupakan human activity belum diperhatikan
(42)
c. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran yang lebih berpusat pada guru daripada siswa dan
pembelajaran yang lebih mengutamakan hasil daripada proses ini mempunyai
kelebihan dan kekurangan.
Adapun keunggulan pembelajaran konvensional ini adalah:
1. Bahan belajar dapat disampaikan secara tuntas.
2. Dapat diikuti oleh peserta didik dalam jumlah besar.
3. Pembelajaran dapat dilaksanakan sesuai alokasi waktu yang telah
disediakan.
4. Target materi relatif mudah dicapai.
Adapun kelemahan dari pembelajaran konvensional adalah:
1. Sangat membosankan karena mengurangi motivasi dan kreativitas siswa.
2. Keberhasilan perubahan sikap dan perilaku peserta didik sulit untuk
diukur.
3. Kualitas pencapaian tujuan belajar yang telah ditetapkan adalah relatif
rendah karena peserta didik sering hanya mengejar target waktu untuk
menghabiskan target materi pembelajaran.
5. Harga Diri
a. Pengertian Harga Diri
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, harga diri didefinisikan sebagai
kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri sendiri. Menurut
Stuart dan Sundeen dalam Budi Anna Keliat (1992:6), harga diri adalah penilaian
(43)
commit to user
memenuhi ideal diri. Sedangkan ideal diri adalah persepsi individu tentang
bagaimana ia hatus berperilaku sesuai dengan standar pribadi. Standar dapat
berhubungan dengan tipe orang diinginkan, sejumlah aspirasi, cita-cita atau nilai
yang diinginkan.
Menurut Clemes (1995a:2) harga diri adalah rasa menilai diri yang berasal
dari seluruh pikiran, perasaan, dan pengalaman yang telah ia kumpulkan
sepanjang hidup individu, individu akan merasa senang dalam hidupnya apabila ia
mampu memenuhi dan memecahkan masalah serta tangungjawab dalam hidup
dengan penuh keyakinan.
Aldridge (1993:20), harga diri adalah perasaan diri yang berharga dan
penghormatan diri yang tinggi. Harga diri adalah multidimensional dan dapat
dipandang dari berbagai cara yang berbeda. Harga diri mencakup didalamnya
terdapat tingkah laku, perasaan, evaluasi, dan motivasi.
Maslow (dalam Sinar Hapsari, 2004:12), kepuasan terhadap kebutuhan
harga diri pada individu akan menimbulkan perasaan percaya diri, merasa
berharga, merasa mampu dan berguna dalam hidupnya. Sebaiknya, apabila
kebutuhan ini tidak terpuaskan, diabaikan, atau dihalangi pemuasannya, maka
muncul didalam diri individu perasaan tidak berdaya dan selalu ingin meminta
pertolongan orang lain.
Harga diri oleh Coopersmith (dalam Berta Esti, 2002:5) didefinisikan
sebagai evaluasi diri yang ditegakkan dan dipertahankan oleh individu dan berasal
(44)
dan dari sejumlah pernghargaan, penerimaan dan perlakuan orang lain yang
diterima oleh individu.
Menurut Tambunan dalam Danny (2009:1) harga diri merupakan suatu
hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap
yang dapat bersifat positif dan negatif. Bagaimana seseorang menilai tentang
dirinya akan mempengaruhi perilaku dalam kehidupannya sehari-hari. Harga diri
yang positif akan membangkitkan rasa percaya diri, rasa yakin akan kemampuan
diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan di dunia ini.
Sebaliknya, seorang remaja yang memiliki harga diri yang negatif akan cenderung
merasa bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berharga. Di samping itu remaja
dengan harga diri yang negatif cenderung untuk tidak berani mencari
tantangan-tantangan baru dalam hidupnya, lebih senang menghadapi hal-hal yang sudah
dikenal dengan baik serta menyenangi hal-hal yang tidak menuntut
tanggungjawab, cenderung tidak merasa yakin akan pemikiran-pemikiran serta
perasaan yang dimilikinya, cenderung takut menghadapi respon dari orang lain,
tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya
tidak bahagia.
b. Kategori Harga Diri
Menurut Clemes (1995b:9), perbedaan perilaku anak dengan harga diri
tinggi dan anak dengan harga diri randah adalah sebagai berikut:
1) Anak dengan harga diri tinggi, merasa bangga akan prestasinya, bertindak
(45)
commit to user
penuh antusias, mampu mempengaruhi orang lain, menunjukkan beragam
emosi dan perasaan yang luas.
2) Anak dengan harga diri yang rendah, biasanya akan meremehkan bakatnya
sendiri, merasa bahwa orang lain tidak menghargainya, merasa tidak
berdaya, mudah dipengaruhi orang lain, menunjukkan deretan emosi dan
perasaan yang sempit, menghindari situasi yang menimbulkan kecemasan,
menjadi defensif dan mudah frustasi serta menyalahkan orang lain atas
kelemahannya sendiri.
Clemes (1995a:8) harga diri tinggi mempermudah proses belajar karena
remaja yang memiliki harga diri tinggi akan belajar lebih mudah daripada remaja
yang memiliki harga diri rendah. Remaja dengan harga diri tinggi prestasinya
cenderung berhasil karena pikiran dan perasaan mendahului suatu tindakan
dengan harapan positif. Prestasi yang berhasil kemudian memperkuat perasaannya
yang positif sehingga ia memandang dirinya lebih mampu dengan setiap prestasi
yang berhasil. Tetapi orang yang percaya bahwa ia tidak mampu belajar akan
mendekati setiap tugas yang baru dengan rasa tidak berdaya dan putus asa.
Remaja yang sudah mengalami kegagalan dini di sekolah akan mengembangkan
sikap bahwa ia tidak bisa melakukannya dan tidak ada gunanya untuk mencoba
lagi. Akibatnya ia cenderung gagal dalam setiap tugas yang dilakukan, kecuali
lingkaran setan itu bisa diputuskan dengan meningkatkan rasa harga diri dan
(46)
c. Aspek-aspek Harga Diri
Aspek-aspek yang mempengaruhi harga diri remaja adalah pengaruh orang
tua, kelas sosial, penampilan fisik, dan kemampuan berpikir (Aldridge, 1993:83).
1) Pengaruh orang tua
Orang tua mempunyai pengaruh terhadap penghargaan diri remaja,
walaupun mungkin tidak begitu terlihat. Tipe orang tua yang paling
mendorong penghargaan diri para remaja adalah orang tua yang
demokratis (berlawanan dengan yang selalu membolehkan ataupun
otoriter).
2) Pengaruh lingkungan sosial
Remaja yang mempunyai teman yang berkelas sosial lebih tinggi
cenderung mempunyai harga diri yang lebih pula. Menurut Wentzel
(2004:196) menyatakan bahwa dalam sebuah kelompok teman sebaya,
perasaan mempunyai hubungan dan diterima, dapat berpengaruh
langsung pada perasaan positif tentang harga diri.
3) Penampilan Fisik
Penampilan fisik mungkin menjadi salah satu komponen yang paling
bagi harga diri pada remaja. Hal ini lebih terlihat pada wanita
dibandingkan pria, karena para wanita diketahui labih banyak
mempermasalahkan perubahan fisik mereka pada periode remaja.
4) Kemampuan Berpikir
Peningkatan kemampuan berpikir mendorong perubahan harga diri
(47)
commit to user
sekolah dan nilai-nilai tes mereka. Remaja yang mempunyai harga diri
yang lebih tinggi cenderung melakukan hal yang lebih baik di sekolah
dan menunjukkan hasil yang lebih tinggi pada tes daripada anak-anak
lain.
Menurut Coopersmith (dalam Danny, 2009:1) aspek-aspek harga diri
meliputi:
1) Self values atau nilai pribadi, dapat diartikan sebagai nilai-nilai pribadi
individu adalah isi dari diri sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa harga
diri ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang diyakini individu sebagai
nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya.
2) Leadership-popularity atau popularitas-kepemimpinan, harga diri
mempunyai hubungan dengan corak dasar individual dalam menghadapi
lingkungannya. Individu yang memiliki harga diri tinggi cenderung
mempunyai kemampuan dalam memimpin. Sedangkan popularitas
merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan
pengalaman keberhasilan yang diperoleh dalam kehidupan sosialnya, dan
tingkat popularitasnya mempunyai hubungan dengan harga diri, oleh
karena itu semakin populer individu diharapkan mempunyai harga diri
yang tinggi, serta cara orang tua memperlakukan anak akan sangat
mempengaruhi terbentuknya harga diri.
3) Family-parents atau keluarga, keluarga merupakan tempat sosialisasi
pertama bagi anak. Penerimaan keluarga yang positif pada anak-anak
(48)
masa dewasa. Orang tua mempunyai nilai-nilai yang pasti dan kriteria
yang jelas tentang apa yang dianggapnya sebagai perilaku yang layak,
orang tua akan mempunyai kemampuan dan kemauan untuk
menampilkan perilaku dan menjalani hal-hal tersebut akan
memungkinkan anak memiliki harga diri yang tinggi.
4) Achievement atau prestasi, individu dengan harga diri yang tinggi
cenderung memiliki karakteristik kepribadian yang dapat mengarahkan
pada kemandirian sosial dan kreativitas yang tinggi. Individu yang
mempunyai harga diri yang tinggi cenderung mampu mencapai
tujuan-tujuan secara realistik dan efektif, dengan kata lain mereka lebih efektif
dan efisien dalam menghadapi tantangan kehidupan selanjutnya.
Clemes (1995b:23) memberikan empat kondisi yang harus dipenuhi
supaya anak mempunyai harga diri yang tinggi, yaitu rasa keterikatan, rasa
keunikan, rasa berkuasa dan rasa bermodel.
1) Rasa keterikatan
Rasa keterikatan terjadi apabila anak merasa puas dengan jalinan
hubungan yang berarti bagi anak dan pentingnya hubungan itu telah
diakui oleh orang lain. Anak perlu merasa keterikatan dengan
orang-orang yang berarti dalam hidupnya, misalnya orang-orangtua, keluarga, saudara
kandung, teman, dan guru. Rasa keterikatan dengan orang-orang ini
secara langsung dikaitkan dengan tingkat kenyamanan, kehangatan, rasa
aman, pemahaman, humor dan itikad baik dalam berhubungan. Rasa
(49)
commit to user
dan benda, anak seringkali menarik diri ke suatu tempat atau benda
sebagai pelarian apabila hubungan dengan manusia sedang bermasalah.
2) Rasa keunikan
Rasa keunikan terjadi apabila anak dapat mengakui dan menghargai
kualitas dan sifat yang membuatnya unik dan berbeda, serta apabila anak
dihargai oleh orang lain kerena sifat-sifat yang dimilikinya. Bagi anak
agar dapat memiliki rasa keunikan yang kuat, ia perlu dapat
mengungkapkan perbedaan tentang keunikannya tersebut. Anak dengan
harga diri tinggi cenderung menerima banyak dukungan untuk menjadi
berbeda atau istimewa dan mengungkapkan keunikan tersebut dengan
berbagai cara.
3) Rasa berkuasa
Rasa berkuasa muncul melalui pemilikan sumber daya, kesempatan dan
kemampuan untuk mempengaruhi lingkungan. Memiliki rasa berkuasa
tidak sama dengan memiliki kekuasaan secara absolut. Rasa berkuasa
adalah perasaan yang dimiliki seorang anak ketika kebutuhan dan
keinginannya terpenuhi.
4) Rasa bermodel
Rasa bermodel merefleksikan kemampuan anak untuk mengacu pada
contoh-contoh manusia, filosofi (gagasan yang memandu perilaku dan
sikap anak) dan operasional (bentuk mental dan citra yang timbul dari
pengalaman anak dan menentukan bagaimana ia akan menangani seluruh
(50)
Tingkatan harga diri seseorang dapat diketahui dengan
mengidentifikasikan indikator-indikator dari harga diri. Berdasarkan uraian
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan tentang aspek-aspek yang menentukan
tingkatan harga diri siswa, yaitu:
1). Penerimaan diri, yaitu apa yang diketahui siswa tentang dirinya dan dapat
melihat hal-hal positif yang ada dalam dirinya, yang meliputi kondisi
fisik dan psikis.
2). Keterampilan diri, yaitu pengatahuan tentang potensi diri, yang meliputi
potensi akademik, kemampuan bicara dan mengemukakan pendapat,
kemampuan bergaul dan kemampuan mengambil keputusan.
3). Lingkungan keluarga, keluarga adalah lingkungan pertama yang ditemui
oleh individu dan menjadi tempat penting dalam perkembangan hidup
seseorang. Di dalam keluarga sesorang dapat merasakan dirinya dicintai,
diinginkan, diterima, dan dihargai. Hal ini juga berkaitan dengan sikap
orang tua yang merupakan faktor yang mempengaruhi harga diri,
misalnya perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan sikap
demokratis orang tua.
4). Lingkungan sosial, lingkungan sekitar individu berinteraksi mempunyai
pengaruh bagi pembentukan harga diri individu. Pembentukan harga diri
individu dimulai sejak individu menyadari bahwa dirinya dinilai
(51)
commit to user
6. Prestasi Belajar
a. Pengertian Prestasi Belajar
Untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang
diberikan guru dan untuk mengetahui tingkat ketercapaian kurikulum digunakan
alat ukur yang dikenal dengan istilah “prestasi belajar”. Menurut Louis dalam
Kriswandani (2009:54), prestasi belajar adalah pernyataan khusus tentang apa
yang diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa, sebagai hasil kegiatan belajar,
biasanya berupa pengetahuan (knowlegde), keterampilan (skill), atau sikap
(attitude) atau pencapaian kompetensi siswa.
Menurut Sadali dalam Maria Purwaningsih (2008:238), prestasi belajar
siswa berhubungan dengan kinerja akademik yang dalam Bahasa Inggris disebut
Academic Performance berupa hasil belajar siswa. Prestasi belajar adalah hasil
dari usaha, kemampuan dan sikap siswa dalam menyelesaikan kegiatan dalam
bidang pendidikan. Menurut Suharsimi Arikunto dalam Maria Purwaningsih
(2008:238), prestasi belajar juga diartikan sebagai hasil yang mencerminkan
sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada setiap
jenjang studi. Gambaran prestasi dinyatakan dengan angka 0 sampai dengan 10.
Menurut Slameto (dalam Kriswandani, 2009:55), prestasi belajar siswa
adalah pernyataan tentang tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang ditetapkan sekolah, setelah usai satu satuan program
pengalaman pembelajaran, dalam satu periode waktu tertentu (semester atau tahun
pelajaran). Tujuan pembelajaran dapat berupa penguasaan pengetahuan,
(52)
sering diukur dengan skor tes/ulangan/ujian standar atau buatan guru, dan
tugas-tugas lain, termasuk pekerjaan rumah (PR) untuk mata pelajaran tertentu. Skor tes,
tugas, dan PR mencerminkan perilaku hasil pengalaman, berkaitan dengan
konsep, topik, atau masalah tertentu dalam mata pelajaran yang diikuti.
Pengalaman yang memungkinkan terbentuknya hasil belajar siswa tersebut dapat
berupa pengetahuan siswa dan apa yang ingin diketahuinya, apa yang telah
dipelajari, serta apa yang benar-benar dapat dilakukan, dari apa yang telah
diketahuinya. Selain itu, dapat juga berupa kepercayaan diri dan motivasinya
dalam mendemonstrasikan apa yang dapat dilakukannya. Pada akhirnya, ciri hasil
belajar tersebut bersifat baru, menetap, positif, disadari, dan fungsional.
Dari definisi-definisi prestasi belajar di atas maka dapat disimpulkan
bahwa prestasi belajar merupakan pernyataan tentang tingkat keberhasilan siswa
sebagai hasil kegiatan belajar, biasanya berupa pengetahuan (knowlegde),
keterampilan (skill), atau sikap (attitude) atau pencapaian kompetensi siswa.
Prestasi belajar dapat diwujudkan dengan angka atau huruf.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Tingkat pencapaian prestasi belajar di setiap siswa berbeda-beda
tergantung dari tingkat intensitas dari faktor-faktor ekstern dan intern yang
mempengaruhi prestasi belajar. Menurut Muhibbin Syah (2006:144), faktor-faktor
yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu:
1) Faktor internal (faktor dari dalam siswa)
(53)
commit to user
a) Aspek fisiologis (bersifat jasmaniah)Kondisi jasmani yang ditandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh
dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti
pelajaran. Kondisi tingkat kesehatan organ seperti indera
pendengaran dan indera penglihatan dapat mempengaruhi
kemampuan siswa dalam menerima dan menyerap informasi yang
disajikan di kelas.
b) Aspek psikologis (bersifat rohaniah)
Beberapa aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan
kualitas perolehan prestasi belajar, diantaranya tingkat kecerdasan,
sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi siswa.
2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa)
Faktor eksternal siswa terdiri atas dua macam faktor, yaitu:
a) Lingkungan sosial
Lingkungan sosial yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan dan
prestasi belajar siswa adalah lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat dan lingkungan keluarga.
b) Lingkungan nonsosial
Lingkungan nonsosial yang dimaksudkan disini meliputi sarana dan
prasarana penunjang kegiatan belajar, kondisi fisik rumah, kondisi
fisik perkampungan siswa dan waktu yang disenangi siswa untuk
(54)
3) Faktor pendekatan belajar
Faktor pendekatan belajar dapat dipahami sebagai segala cara atau
strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan
efesiensi proses mempelajari materi tertentu.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian relevan yang digunakan mendukung peneliti ini adalah:
1. Helmaheri (2004) dengan judul “Mengembangkan Kemampuan Komunikasi
dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SLTP Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TTW (Think-Talk-Write) dalam Kelompok
Kecil”. Hasil penelitiannya adalah kemampuan komunikasi dan pemecahan
masalah matematis siswa yang belajar dalam kelompok kecil dengan model
TTW lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran konvensional.
2. Indri Yulianti (2008) dengan judul Keefektifan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe TGT (Team Game Tournament) Pada Pencapaian Hasil
Belajar Matematika Materi Pokok Bilangan di SMP N 1 Dukun. Hasil
penelitiannya adalah kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematis siswa yang belajar dalam kelompok kecil dengan pembelajaran
TGT lebih baik dibandingkan siswa dengan pembelajaran konvensional.
3. Mandal. (2009) yang berjudul “Cooperative Learning Strategies to Enhange
Writing Skill”. Kesimpulan dari pnelitian ini adalah siswa yang belajar
kelompok akan saling bertanya dan menolong. Mereka akan menunjukkan
sikap antusias yang tinggi, keingintahuan dan perkembangan dalam
(1)
commit to user
tingkat harga diri sedang dan rendah secara signifikan mempunyai rerata prestasi belajar matematika yang sama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa dengan tingkat harga diri tinggi dan sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik, siswa dengan tingkat harga diri tinggi mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa dengan tingkat harga diri rendah, dan siswa dengan tingkat harga diri sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik dengan siswa yang mempunyai tingkat harga diri rendah.
3. Hipotesis Ketiga
Berdasarkan hasil anava dua jalan dengan sel tak sama diperoleh statistik uji Fab = 0,9313 dan Ftabel = 2,4023 , karena Fab< Ftabel dengan demikian H0AB
diterima. Hal ini berarti pada tingkat signifikan α = 5% tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan tingkat harga diri siswa terhadap prestasi belajar matematika. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh model pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika tidak tergantung oleh tingkat harga diri siswa. Dengan kata lain perbedaan prestasi belajar matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model pembelajaran Konvensional konsisten pada tiap-tiap kategori tingkat harga diri siswa dan perbedaan prestasi belajar matematika pada tiap-tiap tingkat harga diri siswa konsisten pada tiap-tiap model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model pembelajaran Konvensional.
(2)
commit to user
87
H. Keterbatasan Penelitian
Meskipun peneliti sudah berusaha untuk meminimalisasi kelemahan yang muncul dalam penelitian ini, tetapi akibat keterbatasan yang ada pada peneliti ditemukan kemungkinan kelemahan penelitian ini sebagai berikut:
1. Meskipun koordinasi secara efektif telah dilakukan oleh guru kelas eksperimen dan peneliti, namun dalam pelaksanaan guru masih ragu dan kurang percaya diri melaksanakan pembelajaran secara mandiri, hal ini disebabkan guru kelas baru pertama ini melakukan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan TTW.
2. Peneliti hanya dapat mengajar pada satu sekolah sampel, sedangkan yang mengajar dua sekolah sampel lainnya adalah guru matematika masing-masing kelas. Hanya beberapa kali peneliti bisa memantau pelaksanaan pembelajaran di dua sekolah sampel sehingga variabel-variabel luar yang mempengaruhi hasil eksperimen tidak dapat dikontrol sepenuhnya.
3. Model pembelajaran dalam penelitian ini terbatas pada model pembelajaran kooperatif tipe TGT, TTW dan model pembelajaran Konvensional sehingga mengabaikan model pembelajaran yang lain. Ada kemungkinan model pembelajaran lain dapat lebih meningkatkan hasil pembelajaran matematika pada materi fungsi linear.
4. Selama pengerjaan soal tes uji coba instrumen maupun tes prestasi belajar, dua siswa duduk pada meja yang sama. Ini memungkinkan hasil tes uji coba dan hasil tes prestasi belajar siswa kurang murni, karena memungkinkan siswa untuk saling kerjasama dengan teman sebangku.
(3)
commit to user
BAB V PENUTUPDalam Bab ini berisi tentang kesimpulan, implikasi, dan saran penelitian.
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada Kelas XI SMK Jurusan Bisnis Manajemen di Kota Salatiga Semester 3 Tahun Pelajaran 2010/2011:
1. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika untuk penggunaan model pembelajaran yang berbeda, model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan model pembelajaran kooperatif tipe TTW menghasilkan prestasi belajar matematika yang sama baik, model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan model pembelajaran Konvensional menghasilkan prestasi belajar matematika yang sama baik, dan model pembelajaran kooperatif tipe TTW menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran Konvensional.
2. Terdapat perbedaan prestasi belajar matematika untuk tingkat harga diri yang berbeda, siswa dengan tingkat harga diri tinggi dan siswa dengan tingkat harga diri sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik, siswa dengan tingkat harga diri tinggi mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa dengan tingkat harga diri rendah, dan siswa dengan tingkat harga diri sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik dengan siswa yang mempunyai tingkat harga diri rendah.
(4)
commit to user
89
3. Perbedaan prestasi belajar matematika dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT, model pembelajaran tipe TTW dan model pembelajaran Konvensional konsisten pada tiap-tiap tingkat harga diri siswa dan perbedaan prestasi belajar matematika antara tiap-tiap tingkat harga diri siswa konsisten pada tiap model pembelajaran kooperatif tipe TGT, model pembelajaran tipe TTW dan model pembelajaran Konvensional. Atau dengan kata lain siswa yang diberi model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan siswa yang diberi model pembelajaran kooperatif tipe TTW mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik, siswa yang diberi model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan siswa yang diberi model pembelajaran Konvensional mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik, dan siswa yang diberi model pembelajaran kooperatif tipe TTW mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa yang diberi model pembelajaran Konvensional baik untuk siswa dengan tingkat harga diri tinggi, siswa dengan harga diri sedang maupun siswa dengan harga diri rendah. Sedangkan siswa dengan tingkat harga diri tinggi dan siswa dengan tingkat harga diri sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik, siswa dengan tingkat harga diri tinggi mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa dengan tingkat harga diri rendah, dan siswa dengan tingkat harga diri sedang mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik dengan siswa yang mempunyai tingkat harga diri rendah baik untuk siswa yang diberi model pembelajaran kooperatif tipe TGT, siswa yang
(5)
commit to user
diberi pembelajaran kooperatif tipe TTW maupun siswa yang diberi pembelajaran Konvensional.
B. Implikasi
Pada bagian implikasi, terbagi menjadi dua bagian implikasi, yaitu implikasi teoritis dan implikasi praktis.
1. Implikasi Teoritis
Berikut merupakan implikasi teoritis yang diperoleh berdasarkan kesimpulan:
a. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Penerapan model pembelajaran ini, terutama untuk model pembelajaran kooperatif tipe TTW perlu dikaji dan dilaksanakan karena dapat menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik.
b. Pengembangan dan peningkatan harga diri siswa di sekolah perlu diperhatikan karena harga diri siswa berpengaruh terhadap prestasi belajar, siswa dengan harga diri tinggi mempunyai prestasi belajar yang lebih baik.
2. Implikasi Praktis
Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa Kelas XI SMK Jurusan Bisnis Manajemen di Kota Salatiga dapat dilakukan melalui pembelajaran kooperatif, salah satunya tipe TTW. Selain itu, perlu dikembangkan pula lingkungan yang kondusif yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pengembangan harga diri siswa. Siswa yang mempunyai harga diri tinggi, akan berpengaruh pada
(6)
commit to user
91
kreativitas diri siswa sehingga hasil karya diri siswa dapat meningkat dan tidak terkecuali prestasi belajarnya.
C. Saran
Berdasarkan penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Guru dan Kepala Sekolah, model pembelajaran kooperatif, khususnya TTW perlu diterapkan pada pembelajaran matematika karena dapat menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik dan dimungkinkan dapat meningkatkan optimalisasi pencapaian kerja guru.
2. Guru dan Kepala Sekolah perlu menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif dan positif karena interaksi dengan lingkungan di sekitar, dapat mempengaruhi harga diri siswa, sehingga dimungkinkan akan terjadi peningkatan pencapaian kemampuan belajar siswa.
3. Peneliti lain, dapat mengembangkan hasil penelitian ini sebagai salah satu referensi untuk penelitian yang relevan. Para peneliti dapat mengembangkan penelitian untuk variabel lain yang sejenis atau model pembelajaran lain. Untuk penelitian lanjut, diharapkan para peneliti dapat memilih model pembelajaran yang tidak hanya untuk meningkatkan prestasi belajar, tetapi juga untuk meningkatkan harga diri siswa.