MENGURANGI PERILAKU KONSUMTIF MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS VIIIA SMP N 3 MUNTILAN TAHUN AJARAN 2014/2015.

(1)

MENGURANGI PERILAKU KONSUMTIF MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS VIII A

SMP N 3 MUNTILAN TAHUN AJARAN 2014/2015

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nuraini Putri Permatasari NIM. 11104244015

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Sebab sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”.


(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan untuk:

1. Bapak dan Ibu terimakasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah diberikan untukku.

2. Dosen yang telah membimbing.

3. Sahabat dan orang tercinta yang selalu member semangat, bantuan dan motivasi untukku.

4. Almamater tercinta, Universitas Negeri Yogyakarta 5. Agama dan Tanah Air tercinta


(7)

MENGURANGI PERILAKU KONSUMTIF MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS VIIIA

SMP N 3 MUNTILAN TAHUN AJARAN 2014/2015 Oleh:

Nuraini Putri Permatasari NIM 11104244015

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi perilaku konsumtif siswa kelas VIIIA SMP N 3 Muntilan Tahun Ajaran 2014/2015 dengan menggunakan layanan konseling kelompok.

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart. Subyek penelitian ini adalah 13 siswa kelas VIIIA SMP N 3 Muntilan Tahun Ajaran 2014/2015. Obyek penelitian ini adalah perilaku konsumtif siswa yang dilihat dari aspek pembelian impulsif, pembelian tidak rasional, dan pembelian boros atau berlebihan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Instrumen yang digunakan adalah skala, pedoman observasi dan pedoman wawancara. Indikator keberhasilan yang ditetapkan adalah seluruh siswa mampu mencapai skor <60 atau berada dalam kategori rendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan konseling kelompok dapat mengurangi perilaku konsumtif siswa kelas VIIIA SMP N 3 Muntilan. Penelitian ini dilakukan dalam 2 siklus yang terdiri dari siklus I terdapat 3 tindakan dan siklus II terdapat 2 tindakan. Penurunan setelah siklus 1 sebesar 23 sedangkan setelah siklus 2 sebesar 16. Hasil skor rata-rata pre test sebesar 84 dilanjutkan dengan hasil skor rata-rata post test I adalah 61, sedangkan skor rata-rata post test II adalah 45. Adapun penurunan dalam penelitian ini sebesar 32%. Hal ini berarti selalu terjadi penurunan skor rata-rata pada tiap siklus. Hasil tersebut juga didukung dengan hasil observasi dan wawancara yang menunjukkan bahwa pembelian impulsif pada siswa mulai berkurang, membeli dengan rasional dan membeli secukupnya.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan kasih sayang yang berlimpah sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Mengurangi Perilaku Konsumtif Melalui Layanan Konseling Kelompok Pada Siswa Kelas VIII A SMP N 3 Muntilan Tahun Ajaran 2014/2015” ini dengan baik.

Penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan, doa dan dukungan dari berbagai pihak sehingga dapat meminimalisir segala keterbatasan, kekurangan dan memperlancar penulisan. Oleh karena itu penulis haturkan terimakasih setulusnya kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberi kesempatan bagi peneliti untuk menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. 2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah

memberikan fasilitas kemudahan dan izin penelitian.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan saran dan masukan terutama dalam pemilihan judul penelitian.

4. Ibu Kartika Nur Fathiyah, M.Si, dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat serta masukan yang sangat berarti terhadap penelitian ini.

5. Ibu Dr. Budi Astuti, M.Si, dosen pembimbing akademik yang penuh kesabaran mendampingi dan membimbing menjalani masa studi.

6. Kepala Sekolah SMP N 3 Muntilan Kabupaten Magelang yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.


(9)

(10)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 11

C. Batasan Masalah... 12

D. Rumusan Masalah... 12

E. Tujuan Penelitian... 12

F. Manfaat Penelitian... 13

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori Perilaku Konsumtif……….. 14

1. Pengertian Perilaku Konsumtif... 14

2. Aspek-Aspek Perilaku Konsumtif... 16

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif... 19

4. Dampak Perilaku Konsumtif………... 25

B. Perilaku Konsumtif Pada Remaja………. 27


(11)

2. Ciri-Ciri Remaja Awal... 29

3. Aspek-Aspek Perkembangan Remaja... 31

4. Perilaku Konsumtif Remaja... 36

C. Kajian Layanan Konseling Kelompok………. 40

1. Pengertian Layanan Konseling Kelompok... 40

2. Tujuan Konseling Kelompok... 41

3. Komponen Konseling Kelompok... 43

4. Asas dalam Konseling Kelompok... 48

5. Tahapan Konseling Kelompok……….... 50

6. Masalah-Masalah yang Dibahas dalam Pelaksanaan Layanan Konseling Kelompok……….. . 55

7. Kelebihan dan Kelemahan Konseling Kelompok………… 56

8. Pendekatan Koseling Kelompok Realita... 59

9. Teknik-Teknik Konseling Kelompok………..62

D. Kerangka Pikir... 64

E. Hipotesis Tindakan ... 66

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian... 67

B. Subjek Penelitian... 67

C. Tempat dan Waktu Penelitian... 68

D. Desain Penelitian... 68

E. Rencana Tindakan... 69

1. Pra Tindakan... 69

2. Pemberian Tindakan... 70

F. Teknik Pengumpulan Data... 75

1. Skala... 75

2. Observasi... 75

3. Wawancara... 76

G. InstrumenPenelitian... 76

1. Skala Perilaku Konsumtif... 77


(12)

3. Pedoman Wawancara……… 80

H. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen………. 81

1. Uji Validitas Instrumen………. 81

2. Uji Reliabilitas Instrumen………. 84

I. Teknik Analisis Data... 85

J. Kriteria Keberhasilan... 87

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi dan Waku Penelitian……….... 88

1. Lokasi Penelitian... 88

2. Waku Penelitian... 88

B. Data Subjek Penelitian... 89

C. Persiapan SebelumTindakan……….... 90

D. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Tindakan……… 93

1. Siklus I... 93

2. Siklus II... 107

E. Pembahasan Hasil Penelitian... 115

F. Keterbatasan Penelitian... 119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 120

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA... 122


(13)

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1. Rencana Topik Setiap Tindakan dalam

Konseling Kelompok... 73

Tabel 2. Kisi-kisi Skala Perilaku Konsumtif sebelum Uji Coba... 78

Tabel 3. Kisi-kisi Observasi Pelaksanaan Konseling Kelompok... 80

Tabel 4. Pedoman Wawancara Guru BK... 81

Tabel 5. Pedoman Wawancara Subjek... 81

Tabel 6. Rangkuman Item Sahih dan Item Gugur... 83

Tabel 7. Kisi-kisi Skala Peilaku Konsumtif setelah Uji Coba... 83

Tabel 8. Case Processing Summary... 85

Tabel 9. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen... 85

Tabel 10. Rumus Kategori Skala Perilaku Konsumtif... 86

Tabel 11. Kategori Skor Perilaku Konsumtif Siswa... 86

Tabel 12. Nama Subjek Penelitian... 90

Tabel 13. Hasil Skor Pre-test Siswa Kelas VIII A SMP N 3 Muntilan... 91

Tabel 14. Daftar Subjek yang diberikan Tindakan... 92

Tabel 15. Persentase Hasil Post-test Siklus I... 101

Tabel 16. Penurunan Skor Skala Perilaku Konsumtif Siklus I... 103

Tabel 17. Persentase Hasil Post-test Siklus II... 111

Tabel 18. Hasil Perbandingan Post-test I dan Post test II... 112


(14)

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Proses Peneitian Tindakan... 69 Gambar 2. Diagram Perbandingan Hasil

Pre-test dan Post-test Siklus I... 102 Gambar 3. Diagram Perbandingan Rata-rata Pre-test dan

Post-test Siklus I... 106 Gambar 4. Diagram Perbandingan Hasil Post-test Siklus Idan II... 112 Gambar 5. Perbandingan Rata-rata Hasil Pre-test,


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal. Lampiran 1. Kisi-kisi Skala Perilaku Konsumtif (sebelum Uji

Coba Instrumen)... 128

Lampiran 2. Kisi-kisi Skala Perilaku Konsumtif (sesudah Uji Coba Instrumen)... 129

Lampiran 3. Skala Perilaku Konsumtif (sebelum Uji Coba Instrumen)... 130

Lampiran 4. Skala Perilaku Konsumtif (sesudah Uji Coba Instrumen)... 134

Lampiran 5. Kisi-kisi Pedoman Observasi... 137

Lampiran 6. Kisi-kisi Pedoman Wawancara... 138

a. Pedoman Wawancara Guru BK... 138

b. Pedoman Wawancara Subjek... 138

Lampiran 7. Hasil Tabulasi Data Uji Coba... 139

Lampiran 8. Analisis Data Reliabilitas dan Validitas... 140

Lampiran 9. Daftar Hadir Anggota Kelompok... 142

Lampiran 10. Hasil Analisis Data Pre-Test... 143

Lampiran 11. Hasil Analisis Data Post-Test I... 144

Lampiran 12. Hasil Analisis Data Post-Test II... 145

Lampiran 13. Satlan Tindakan 1 Siklus I... 146

Lampiran 14. Satlan Tindakan 2 Siklus I... 148

Lampiran 15. Satlan Tindakan 3 Siklus I... 150

Lampiran 16. Satlan Tindakan 1 Siklus II... 152

Lampiran 17. Satlan Tindakan 2 Siklus II... 154

Lampiran 18. Hasil Observasi... 156

Lampiran 19. Hasil Wawancara... 158

Wawancara Guru BK... 158

Wawancara Subjek... 159

Lampiran 20. Dokumentasi Penelitian... 166


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk interaksi yang lain, sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit (Ringgar Maharani, dkk, 2012: 1). Era globalisasi merupakan era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia. Perubahan yang sangat cepat di era globalisasi tidak lain disebabkan oleh faktor teknologi. Manusia pun dapat melakukan segala hal dengan cara yang lebih praktis dan cepat. Hal tersebut tentunnya membawa dampak yang vital bagi pola hidup manusia.

Era globalisasi tersebut telah memunculkan suatu gaya hidup yang di kenal sebagai gaya hidup modern. Naisbitt dan Abdurdene (Poernomo & Setiadi, 2004: 201) mengatakan era globalisasi memungkinkan tumbuhnya gaya hidup global. Hal ini terlihat dengan banyaknya rumah makan yang menyediakan beragam masakan, gaya berpakaian, kosmetik, aksesoris dan pernak-pernik.

Kondisi ini dapat mengubah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat munuju ke arah yang cenderung terlalu berlebihan yang pada akhirnya akan menyebabkan pola hidup cenderung menjadi perilaku konsumtif. Menurut Lina dan Rosyid (1997: 7) perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai kehidupan mewah yang cenderung berlebihan, penggunaan pada segala sesuatu yang dianggap mahal yang memberikan kepuasan dan kenyamanan


(17)

fisik semata. Lubis (Sumartono, 2002: 117) mendefinisikan perilaku konsumtif sebagai suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang tidak rasional lagi. Sedangkan Awaliyah, dkk, (2008: 72) mengartikan perilaku konsumtif sebagai gaya hidup yang suka membelanjakan uang dalam jumlah besar. Berdasarkan hasil penelitian AC Nielsen (Heppy Trenggono, 2011) diketahui bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara terkonsumtif di dunia, sedangkan peringkat pertama adalah dimana 60% konsumen yang banyak berbelanja di Negara ini adalah warga Indonesia (gatra.com, 09/11/2011).

David Chaney (Novita, 2008: 16) menjelaskan masyarakat konsumen tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan. Hal tersebut bisa dilihat dari marak atau menjamurnya restoran-restoran siap saji seperti Kentucky Fried Chicken, Olive Chicken, Popye Chicken Mister Burger, munculnya kafe-kafe, serta maraknya pembangunan swalayan dan

Departement Store. Semakin banyaknya fasilitas tersebut mempermudah masyarakat mencari dan membeli barang-barang yang mereka inginkan. Imam Hoyri Shohibullana (2014: 47) mengatakan setiap orang memiliki hal atau keinginan yang berbeda-beda, dan dari keinginan tersebutlah orang akan melakukan hal yang berbeda-beda pula untuk mendapatkan apa yang ia inginkan tersebut. Perilaku-perilaku yang selalu mengikuti trend fashion, dan tuntutan sosial cenderung menimbulkan pola konsumsi yang berlebihan. Hemphill & Suk (dalam Rezi Suci Agustia, 2012) mengatakan bahwa fashion


(18)

selalu berubah, perkembangan fashionakan selalu berjalan. Hal tersebut akan terus menuntut rasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya, dan mendorong untuk selalu mengkonsumsinya karena takut ketinggalan. Perilaku yang berlebihan inilah yang disebut dengan perilaku konsumtif.

Masa remaja merupakan fase perkembangan yang sangat mencolok baik secara fisik, psikologis, sosial dan moral. Awal masa remaja berlangsung dari usia 13-16 tahun dan akhir masa remaja bermula dari usia 17-18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Menurut Hurlock (1994:208) salah satu ciri dari masa remaja adalah masa mencari identitas, dimana seorang remaja mencari jati dirinya. Masa ini seorang remaja mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi ketika dirinya menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal, sehingga akibatnya remaja berusaha menampilkan diri mereka agar menarik perhatian masyarakat.

Dyne Herlina (2013: 36) mengatakan bahwa kelompok remaja memiliki karakter yang unik karena mereka sedang berada dalam usia perkembangan fisik dan emosional yang pesat. Menurut Wee (Dyna Herlina, 2013: 36) ada beberapa karakter remaja yang dapat diringkas sebagai berikut : 1. Mereka sedang beradaptasi dengan kedewasaan secara fisik

termasuk diantaranya hasrat seksual dan kekuatan fisik.

2. Mereka mengalami perasaan transisi antara masa kanak-kanak yang masih tergantung pada orang dewasa dengan perasaan ingin mandiri dari orang dewasa.

3. Kelompok teman sebaya menjadi sangat penting, mereka berusaha menyesuaikan pendapat dan nilai-nilai agar diterima.

Seorang remaja yang berada dalam suatu kelompok pertemanan akan memiliki suatu bentuk komitmen yang sama-sama dimengerti dalam kelompok tersebut. Mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk meniru


(19)

agar terlihat sama dengan teman-temannya yang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Panut Panuju dan Ida Umami (2005: 153) remaja akan meniru tingkah laku, pakaian, sikap dan tindakan teman-temannya dalam satu kelompok.

Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti melihat usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri namun perilaku konsumtif remaja menjadi permasalahan psikologis yang berbahaya ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar pada remaja pada umumnya dilakukan secara berlebihan. Sebagaimana pepatah mengatakan ‘lebih besar pasak daripada tiang’ berlaku di sini. Terkadang apa yang dituntut oleh remaja di luar kemampuan orang tuanya sebagai sumber dana yang menyebabkan banyak orang tua mengeluh saat anaknya mulai memasuki usia sekolah terutama menengah pertama.

Keadaaan tersebut menunjukkan perilaku membeli yang ditunjukkan remaja tidak lagi dilakukan karena suatu kebutuhan, melainkan karena alasan-alasan lain seperti sekedar mengikuti arus mode, mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial, bahkan demi harga diri remaja. Hal ini sejalan dengan pendapat Sarwono (Farida, 2006: 40) yang menjelaskan perilaku konsumtif biasanya dipengaruhi oleh faktor emosi daripada rasio, karena pertimbangan-pertimbangan dalam membuat keputusan untuk membeli suatu produk lebih menitikberatkan pada status sosial, mode, dan kemudahan daripada pertimbangan ekonomis. Hal tersebut kurang baik bagi remaja karena dengan itu mereka akan membeli barang yang menurut mereka bagus


(20)

tetapi tidak melihat apakah keuangan mereka mencukupi dan apakah keuntungan dari barang itu.

Kaum remaja mempunyai kepekaan terhadap apa yang sedang “in”. Remaja cenderung mengikuti mode yang sedang beredar, sedang mode itu sendiri terus menuntut rasa tidak puas pada konsumen yang memakainya sehingga mendorong konsumen untuk terus mengkonsumsinya karena takut dibilang ketinggalan jaman. Akibatnya, para remaja tidak memperhatikan kebutuhannya ketika membeli barang. Hal tersebut senada dengan pendapat Sumartono (2002: 110) secara kasat mata beberapa remaja yang larut dalam pembiusan keadaan hanya sekedar ingin memperoleh legitimasi modern atau setidaknya mereka senang apabila stempel kuno atau ketinggalan jalan tidak diberikan kepada mereka.

Sekarang ini berbagai macam produk ditawarkan pada konsumen remaja. Produk-produk ini bukan hanya barang yang dapat memuaskan kebutuhan seseorang, tetapi terutama produk yang dapat memuaskan kesenangan konsumen. Informasi mengenai produk, baik melalui iklan, promosi langsung berkembang semakin bervariasi, gencar dan menggunakan teknologi mutakhir yang sangat canggih, hal inilah yang merupakan salah satu faktor timbulnya perilaku konsumtif remaja.

Tambunan (2001: 1) mengatakan remaja bagi produsen adalah salah satu pasar yang sangat potensial alasannya karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, ikut-ikutan teman, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen


(21)

untuk memasuki pasar remaja. Manajer pemasaran selalu tertarik pada remaja karena remaja membeli begitu banyak produk. Minat remaja semakin hebat pada tahun-tahun belakangan ini karena jumlah usia remaja semakin besar.

Perilaku konsumif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dengan gaya hidup konsumtif. Dalam teori Maslow apabila kebutuhan tidak dapat terpenuhi maka akan menjadi masalah besar. Tetapi ketika kebutuhan tersebut menjadi sebuah keinginan menjadi perilaku konsumtif. Teori Maslow berpesan bahwa, jika kita belum mampu memenuhi kebutuhan fisik, lupakanlah keinginan untuk memuaskan kebutuhan harga diri. Masalah terbesar terjadi apabila pencapaian tingkat keuangan itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat misalnya mencuri ataupun melakukan tindakan yang dilarang hanya untuk mendapatkan uang untuk memenuhi keinginannya. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tetapi juga dampak psikologis, sosial bahkan etika.

Fenomena ini menarik untuk diteliti mengingat perilaku konsumtif di kalangan remaja merupakan salah satu fenomena yang sedang marak terjadi terutama peserta didik yang bersekolah dan tinggal di kota-kota besar yang sebenarnya belum memiliki kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu dampak negatif yang ditimbulkan cukup memprihatinkan banyak kalangan.

SMP Negeri 3 Muntilan merupakan Sekolah Standar Nasional (SSN).Letak SMP Negeri 3 berada di pinggir Kabupaten Magelang yaitu berada di Kecamatan Muntilan, yang merupakan Kecamatan yang tergolong


(22)

besar dan maju.Hal ini ditandai dengan adanya pusat perbelanjaan yang ramai, restoran, salon, butik aneka jasa dan aneka warung makanan.Karena letak SMP Negeri 3 yang berada di keramaian membuat para siswa terbiasa dengan aneka toko-toko dan pusat perbelanjaan yang kemudian menarik perhatian dan mendorong siswa-siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Muntilan khususnya untuk berperilaku konsumtif.

Kenyataan di lapangan menunjukkan terdapatnya perilaku konsumtif siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Muntilan berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator guru pembimbing di SMP Negeri 3 Muntilan.Guru pembimbing mengemukakan bahwa gejala perilaku konsumtif siswa diantaranya yaitu selalu berganti-ganti aksesoris, terlalu sering jajan di sekolah, kurang bisa mengendalikan diri untuk menekan keinginannya untuk membeli sesuatu dan, sering mengikuti gaya trend saat ini (wawancara, 12 Januari 2015). Hal ini diperkuat data hasil wawancara dan penyebaran angket MLM (Media Lacak Masalah) pada kelas VIII A yang direkomendasikan oleh guru pembimbing bahwa kelas tersebut sebagian besar boros dan yang menampilkan sering berganti-ganti aksesoris. Selain itu didasari hasil analisis angket kelas VIII A yang mengalami masalah borosada 71 % dari jumlah siswa(pembagian angket MLM, 30 Januari 2015). Dari hasil wawancara siswa diambil beberapa sebagai sampel. Ada seorang siswa yang seringberganti-ganti jam tangan dansebagai koleksinya. Jam tangan tersebut juga dipinjamkan pada teman lainnya. Sebagian siswa juga boros dalam pemakaian pulsa dan sering jajan makanan di kantin. Beberapa siswa laki-laki


(23)

mengatakan sering bermain game online di warnet dan playstation

(wawancara, 30 Januari 2015).

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti di SMP Negeri 3 Muntilan di kelas VIII A gejala yang muncul berkaitan dengan perilaku konsumtif siswa antara lain: memakai aksesoris yang berlebihan dan berganti-ganti setiap kali datang ke sekolah, mempunyai kebiasaan jajan di kantin sekolah yang terlalu sering setiap kali jam istirahat maupun pergantian jam ataupun jam pulang sekolah, berganti-ganti perlengkapan sekolah seperti tas, sepatu, jam tangan, dan berpenampilan sesuai dengan apa yang sedang menjadi trend saat ini. Siswa mempunyai handphone seri terbaru dan pemakaian pulsa yang relatif boros yang peneliti ketahui dari hasil wawancara beberapa siswa.

Berdasarkan hasil wawancara siswa mengatakan bahwa pemborosan pembelian pulsa dikarenakan mereka sering menggunakan untuk internetan yang tidak dapat terkontrol seperti untuk bermain game online, chattingan,

maupun youtube untuk menonton drama Korea Selain itu jam tangan merupakan barang koleksi bagi mereka, ketika ada jam yang sedang trend

pada saat ini maka siswa akan membelinya. Berdasarkan pengamatan peneliti di kelas siswa bahkan menunjukkan jam koleksinya. Berdasarkan observasi bahwasannya siswa ketika pergantian jam sering ke kantin bahkan pada isitirahat pertama siswa sudah menghabiskan uang saku 7000 rupiah.

Melihat fenomena dan permasalahan mengenai perilaku konsumtif siswa tersebut, sekolah selama ini belum melakukan upaya yang serius dalam menangani masalah perilaku konsumtif. Faktor penyebab belum teratasinya


(24)

masalah perilaku konsumtif yaitu keterbatasan guru pembimbing dalam melayani masalah siswa. Guru BK mengatakan bahwa kelas VIII hanya diampu oleh 1 guru pembimbing. Guru BK mengatakan bahwa dahulu pernah mengadakan tabungan kelas dan tiap minggunya disetorkan ke guru BK. Kegiatan tersebut hanya berjalan 3 bulan sebelum studytour, setelah studytour

siswa tidak melanjutkan kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan ketika bimbingan klasikal. Namun hal tersebut dirasa kurang mampu menurunkan perilaku konsumtif siswa. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik bimbingan yang mampu menarik perhatian siswa dan tidak membosankan namun dapat membuat siswa nyaman pada saat pemberian bimbingan.

Guru BK dan Peneliti memandang masalah perilaku konsumtif ini harus segera ditangani. Hal ini mengingat perilaku konsumtif sudah dalam taraf mengkhawatirkan dan mengingat perilaku konsumtif dapat sebagai dasar perkembangan selanjutnya. Salah satu layanan bimbingan dan konseling yang dapat dimanfaatkan untuk menangani permasalahan ini adalah layanan konseling kelompok.

Guru BK dan Peneliti memandang konseling kelompok dapat memberikan dorongan, motivasi, kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu, sehingga individu dapat membuat perubahan-perubahan dengan memanfaatkan potensi secara maksimal. Konseling kelompok juga menitikberatkan pada interaksi antar anggota, anggota dengan pemimpin kelompok dan sebaliknya. Pengaruh anggota kelompok masih sangat kuat dan lebih percaya dalam kelompoknya daripada dengan orang yang lebih tua.


(25)

Wibowo (2005: 33) menjelaskan bahwa konseling kelompok merupakan hubungan antar pribadi yang menekankan pada proses berpikir secara sadar, perasaan-perasaan, dan perilaku anggota untuk meningkatkan kesadaran akan pertumbuhan dan perkembangan individu yang sehat. Konseling kelompok merupakan upaya bantuan untuk dapat memecahkan masalah individu dengan memanfaatkan dinamika kelompok guna mengubah perilaku konsumtif siswa dengan mendiskusikan permasalahan anggotanya dengan berbagai pendekatan.

Dinamika kelompok adalah suasana kelompok yang hidup, yang ditandai oleh semangat bekerjasama antar anggota kelompok untuk mencapai tujuan kelompok. Dinamika interaksi sosial yang secara intensif terjadi dalam suasana kelompok akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan sosial pada umumnya, meningkatkan pengendalian diri, serta tenggang rasa. Melalui konseling kelompok, siswa yang berperilaku konsumtif diharapakan menjadi sadar akan dampak dari perilaku konsumtifnya dan mampu membuat keputusan yang baik, mencapai jati diri dan dapat mengaktualisasi diri kearah positif.

Adapun kelebihan dari konseling kelompok menurut Budi Astuti (2012: 8-9) yaitu: (1) bersifat praktis, (2) anggota belajar berlatih perilaku yang baru, (3) kelompok dapat digunakan untuk belajar mengekspresikan perasaan, perhatian dan pengalaman, (4) anggota belajar ketrampilan sosial dan belajar berhubungan antar pribadi secara lebih mendalam, dan (5) mendapat kesempatan diterima dan menerima di dalam kelompok.


(26)

Efektivitas konseling kelompok untuk mengatasi perilaku konsumtif pernah diuji di SMP Negeri 12 Semarang. Hasil penelitian Febrian (2011) menunjukkan tingkat perilaku konsumtif siswa di SMP Negeri 12 Semarang sebelum diberikan layanan konseling kelompok sebesar 66, 04% termasuk dalam kriteria tinggi, tetapi setelah diberikan layanan konseling kelompok turun menjadi 48, 49%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka perilaku konsumtif dapat diminimalkan melalui layanan konseling kelompok. Hasil penelitian lain konseling kelompok juga dapat menangani kecanduan game online di SMP N 2 Krian. Hasil penelitian Radhesti Vitnalia (2013) menemukan bahwa penerapan konseling kelompok realita dapat digunakan untuk membantu siswa dalam mengurangi kecanduan game online.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut peneliti mengajukan sebuah judul penelitian yang selanjutnya diteliti di lapangan yaitu, “Mengurangi Perilaku Konsumtif Melalui Layanan Konseling Kelompok Pada Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 3 Muntilan Tahun Ajaran 2014/ 2015.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :

1. Siswa-siswi kelas VIII A di SMP N 3 Muntilan mempunyai sifat boros ditinjau dari kelas lain.

2. Siswa berperilaku sering berganti-ganti aksesoris, perlengkapan sekolah maupun boros dalam pembelian pulsa.

3. Siswa mempunyai kebiasaan jajan di kantin sekolah sewaktu istirahat maupun pergantian jam.


(27)

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah disebutkan di atas, maka peneliti membatasi pada layananan konseling kelompok untuk mengurangi perilaku konsumtif siswa kelas VIII A di SMP Negeri 3 Muntilan.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: Bagaimana mengurangi perilaku konsumtif melalui layanan konseling kelompok pada siswa kelas VIII A di SMP Negeri 3 Muntilan?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengurangi perilaku konsumtif melalui layanan konseling kelompok pada siswa yang berperilaku konsumtif pada kelas VIII A di SMP Negeri 3 Muntilan

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini mampu menambah referensi mengenai upaya menurunkan perilaku konsumtif melalui layanan konseling kelompok.


(28)

2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meminimalkan perilaku konsumtif sehingga siswa mampu mengendalikan perilaku konsumtif dan belajar tidak boros dalam kehidupan sehari-hari.

b. Bagi Guru Pembimbing

Bagi guru pembimbing dapat menambah alternatif ataupun masukan mengenai penggunaan layanan konseling kelompok guna meminimalkan perilaku konsumtif siswa.

c. Bagi Peneliti

Bagi peneliti dapat menambah masukan upaya untuk mengatasi perilaku kosnumtif yang menggejala dikalangan remaja.

d. Bagi Diknas

Dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait peraturan-peraturan untuk mengatasi perilaku negatif remaja.


(29)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif

Menurut Tambunan (2001: 1) kata “konsumtif” (sebagai kata sifat, lihat akhiran –if) sering diartikan dengan “konsumerisme”. Namun konsumerisme cenderung mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menerangkan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan maksimal. Konsumtif biasanya juga digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar daripada nilai barang, jasa yang kurang dibutuhkan yang akan dikonsumsinya.

Perilaku konsumtif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008) adalah paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup tidak hemat. Sedangkan menurut Scholte (dalam Wening, 2012: 10) perilaku konsumtif merupakan perilaku manusia memperoleh dengan cepat (dan juga biasanya dengan cepat membuang) berbagai ragam barang yang disediakan untuk pengguna dengan segera, tetapi kepuasannya berlangsung sebentar saja.

Konsumsi dalam budaya konsumerisme tidak lagi hanya memenuhi kebutuhan, tetapi telah menjadi gaya hidup global. Menurut ensiklopedia bebas berbahasa Indonseia (Sri Wening, 2012: 11), konsumerisme dipandang sebagai paham atau ideologi yang menjadikan


(30)

seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan.

Menurut Sintiche Ariesny Parma (2007: 8) perilaku konsumtif merupakan tindakan yang terlihat secara nyata dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan barang hasil industri dan jasa tanpa batas dan lepas kendali yang ditandai dengan kehidupan berlebihan.

Lubis (Sumartono, 2002: 117) mengatakan perilaku konsumtif adalah perilaku yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang sudah tidak rasional lagi. Secara pragmatis perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai suatu tindakan memakai produk yang tidak tuntas. Artinya, belum habis sebuah produk yang dipakai, seseorang telah menggunakan produk jenis yang sama dari merek yang lainnya. Atau dapat disebutkan, membeli barang karena adanya hadiah yang ditawarkan atau membeli suatu produk karena banyak orang yang memakai barang tersebut (Sumartono, 2002: 117).

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Sumartono, 2002: 118) mengatakan perilaku konsumtif adalah kecenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan. Sedangkan Anggasari (Sumartono, 2002: 118) menyebutkan bahwa perilaku konsumtif adalah tindakan membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperhitungkan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Lebih lanjut Dahlan (Sumartono, 2002: 118)


(31)

berpendapat bahwa perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh semua keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, perilaku konsumtif dapat dimaknai sebagai suatu tindakan seseorang yang membeli dan menggunakan barang dan jasa secara berlebihan, berlandaskan keinginan bukan kebutuhan, dan biasanya bersifat pemborosan. Tindakan ini pada umumnya dilakukan hanya untuk mencapai kepuasan dan atau kesenangan semata bagi pelakunya.

2. Aspek-Aspek Perilaku Konsumtif

Menurut Lina dan Rosyid (dalam Anindya Nurratri, 2012: 17-18) ada 3 aspek perilaku konsumtif, yaitu:

a. Aspek pembelian implusif

Merupakan pembelian yang didasarkan pada dorongan dalam diri individu yang muncul secara tiba-tiba.

b. Aspek pembelian tidak rasional

Merupakan pembelian yang dilakukan bukan karena kebutuhan, tetapi karena gengsi agar dapat terkesan sebagai orang yang modern dan mengikuti mode. Menurut Sofjan Assauri (2011: 127) yang termasuk ke dalam pembelian tidak rasional antara lain adalah:


(32)

1) Kebanggaan karena penampilan pribadinya. 2) Pencapaian status sosial

3) Untuk terhindar dari keadaan bahaya atau ancaman. 4) Ingin mendapatkan pengakuan

5) Ingin menaikkan kedudukan

c. Aspek pembelian boros atau berlebihan

Merupakan pembelian suatu produk secara berlebihan yang dilakukan oleh konsumen. Barang yang dibeli biasanya memiliki harga yang mahal.

Indikator perilaku konsumtif menurut Swastha & Handoko (dalam Sonia E, 2008: 25) adalah:

a. Implusive Buying

Aspek ini menunjukkan bahwa seseorang yang berperilaku konsumtif semata-mata hanya didasari oleh hasrat yang tiba-tiba atau keinginan sesaat, tanpa dilakukan melalui pertimbangan, tanpa direncana, keputusan dilakukan ditempat pembelian.

b. Pembelian Tidak Rasional ( non-rational buying )

Pembelian yang tidak rasional adalah pembelian yang tidak didasari sifat emosional yaitu suatu dorongan untuk mengikuti orang lain, berbeda dengan orang lain, tanpa mempertimbangkan dalam mengambil keputusan, dan ada perasaan bangga.

c. Pemborosan ( wasteful buying )

Pembelian yang mengutamakan keinginan daripada kebutuhan dan menyebabkan remaja mengeluarkan uang untuk bermacam-macam keperluan yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pokoknya.

Sedangkan yang diungkapkan oleh Sofjan Assauri (1987: 137) bahwa ciri-ciri perilaku konsumtif ditandai dengan:


(33)

Pembeli melakukan kegiatan membeli barang dengan maksud untuk menunjukkan dirinya berbeda dengan lainnya. Remaja dalam memakai atau menggunakan suatu barang selalu ingin lebih dari yang dimiliki orang lain.

b. Kebanggaan diri

Pembeli biasanya akan merasa bangga apabila ia dapat memiliki barang yang berbeda dari orang lain, terlebih lagi apabila barang tersebut jauh lebih bagus dan lebih daripada milik orang lain.

c. Ikut-ikutan

Pembeli pada umumnya melakukan tindakan pembelian yang berlebihan hanya untuk meniru orang lain dan mengikuti trend mode

yang sedang beredar dan bukan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. d. Menarik perhatian orang lain

Pembelian terhadap suatu barang dilakukan karena seseorang ingin menarik perhatian orang lain dengan menggunakan barang yang sedang popular saat itu karena remaja cenderung suka menjadi perhatian orang lain.

Dari beberapa pendapat para tokoh di atas, peneliti memilih pendapat Lina dan Rosyid (2012) bahwa perilaku konsumtif memiliki aspek-aspek yaitu aspek pembelian impulsif, pembelian tidak rasional, dan pembelian boros atau berlebihan. Aspek-aspek di atas telah cukup menggambarkan bahwa faktor keinginan merupakan dasar bagi mereka melakukan tindakan tersebut. Selain itu, perilaku ini sama sekali tidak menunjukkan faktor kebutuhan di dalamnya melainkan hanya untuk


(34)

menunjang harga diri dalam pergaulan semata tanpa memandang kebutuhan sebenarnya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif

Menurut Simamora (2003: 4-12) munculnya perilaku konsumtif disebabkan oleh dua hal yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Agar lebih jelas penulis merinci dari beberapa sumber sebagai berikut:

a. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif dari dalam diri individu itu sendiri yang meliputi:

1) Pribadi (personal)

a) Gaya hidup

Kotler dan Amstrong (2008: 170) mengemukakan seseorang yang memiliki gaya hidup mewah cenderung lebih banyak mengkonsumsi barang dibandingkan dengan seseorang yang memiliki gaya hidup sederhana.

b) Kepribadian dan konsep diri

Menurut Mangkunegara (1988:49-51) kepribadian dapat di definisikan sebagai suatu bentuk dari sifat-sifat yang ada pada diri individu yang sangat menentukan perilakunya. Setiap orang memiliki kepribadian salah satunya adalah rasa percaya diri yang berbeda-beda, sehingga memungkinkan adanya pandangan yang berbeda terhadap suatu barang. Kepribadian ikut berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsi karena individu mempunyai kecenderungan untuk membeli produk sesuai dengan dirinya, unik dan berbeda dari yang lain.


(35)

Konsep diri didefinisikan sebagai cara kita melihat diri sendiri dan dalam waktu tertentu sebagai gambaran tentang apa yang kita pikirkan. Seseorang yang memiliki konsep diri bahwa dengan banyak membeli barang ia akan lebih dipandang dan dihargai oleh orang lain, akan menyebabkan orang tersebut terus melakukan tindakan pembelian. Tindakan tersebut apabila tidak terkontrol akan menimbulkan perilaku konsumtif.

2) Psikologis

a) Motivasi

Menurut Kotler (dalam Fransiscus, 2009: 25) seseorang memiliki banyak kebutuhan pada waktu tertentu. Motivasi dapat didefinisikan sebagai kebutuhan yang cukup mengarahkan seseorang untuk mencari kepuasan. Motivasi membeli seseorang dapat muncul dari kebutuhan untuk diakui dan dihargai oleh orang lain atau rasa ingin memiliki terhadap suatu barang. Semakin ingin diakui dan dihargai orang lain, maka tindakan pembeliannya akan semakin tinggi sehingga memicu perilaku konsumtif.

b) Persepsi

Persepsi disini maksudnya adalah pemahaman dari konsumen terhadap suatu barang dari pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh. Bagaimana orang itu bertindak akan dipengaruhi oleh persepsi mengenai situasi. Ketika barang yang ditawarkan bagus dan yang dia inginkan, maka kemungkinan besar seseorang


(36)

tersebut akan membeli barang yang ditawarkan. Sebaliknya, jika barang tersebut tidak sesuai, maka ia akan menolaknya.

c) Proses belajar

Proses belajar menjelaskan perubahan dalam perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman, dan kebanyakan perilaku manusia adalah hasil dari belajar. Proses belajar pada suatu pembelian terjadi apabila konsumen ingin menaggapi dan memperoleh suatu kepuasan, atau sebaliknya, tidak terjadi apabila konsumen merasa dikecewakan oleh produk yang kurang baik, sehingga konsumen dalam proses pembeliannya selalu mempelajari sesuatu. Selain itu dapat dipengaruhi oleh orangtua yang mendidik dan anak kebutuhannya terpenuhi, sehingga anak dapat belajar dari kesehariannya atau mencontoh orangtuanya. d) Kepercayaan dan sikap

Mangkunegara (1988:50) mengatakan sikap dan keyakinan konsumen terhadap suatu produk biasanya berdasarkan harga, nama merek, iklan, dan rancangan kemasan. Semakin baik komponen-komponen tersebut dalam mengelabuhi konsumen, dapat menyebabkan kegiatan pembelian yang terus menerus. Apabila seseorang merasa dihargai ketika memakai barang yang dipakai, maka seseorang tersebut akan merasa percaya terhadap barang yang dibeli/bermerek.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif dari pengaruh lingkungan sosial yang meliputi:


(37)

a) Budaya dan sub-budaya

Dalam hal ini, sub-budaya meliputi kewarganegaraan, agama, kelompok, ras, dan daerah geografis. Seseorang yang tinggal di daerah dengan masyarakat yang konsumtif di sekitarnya, secara langsung ataupun tidak dapat menularkan perilaku kosnsumtif yang sama. Hal ini terjadi karena budaya atau culture akan membawa sistem informasi yang mengkodekan cara orang bersikap di sebuah kelompok karena adanya interaksi (Rober, 2010: 223).Menurut Kotler (dalam Fransiscus, 2009: 26) budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar. b) Kelas Sosial

Seseorang yang memiliki tingkat sosial kelas tinggi, akan cenderung lebih banyak mengkonsumsi barang mewah yang mahal dan beragam karena tingkat pendapatan yang mereka miliki juga tinggi. Sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat sosial kelas bawah akan lebih sedikit mengkonsumsi barang dibandingkan tingkat kelas sosial di atasnya (Simamora, 2003: 4-12).

2) Sosial

a) Kelompok rujukan

Kelompok rujukan adalah kelompok sosial yang menjadi ukuran seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk kepribadian dan perilakunya dengan cara identifikasi. Sementara seseorang juga akan melihat kelompok rujukannya yaitu ‘genk’ atau teman sebayanya dalam berperilaku menentukan produk yang dikonsumsinya. Selain itu sesorang juga dapat meniru


(38)

artis atau idolanya dalam berpenampilan. Kelompok rujukan ini lebih kuat pengaruhnya pada seseorang karena akan membentuk kepribadian dan perilakunya. Kelompok rujukan juga mempengaruhi perilaku konsumsi seseorang dalam pembeliannya, dan sering dijadikan pedoman untuk konsumen dalam bertingkah laku. Anggota-anggota kelompok rujukan sering menjadi penyebar pengaruh dalam hal selera dan hobi.

b) Peran dan status

Setiap peran membawa status yang mencerminkan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat. Ketika seseorang memakai suatu barang yang dipandang masyarakat bagus, maka sesorang tersebut akan mendapatkan status yang baik. Dalam memilih suatu produk, seseorang seringkali memilih produk yang menunjukkan status mereka dalam masyarakat seperti halnya dalam kelas sosial yaitu barang yang terlihat mewah.

c) Lingkungan

Rinata (2010: 5-6) menjelaskan perspektif pengaruh perilaku disebutkan bahwa kekuatan lingkungan memaksa pembeli untuk melakukan pembelian tanpa harus terlebih dahulu membangun perasaan atau kepercayaan terhadap produk. Menurut perspektif ini, pembeli tidak saja melalui proses pengambilan keputusan rasional, namun juga bergantung pada perasaan untuk membeli produk atau jasa tersebut. Sebagai gantinya tindakan pembelian pembeli secara langsung merupakan hasil dari kekuatan


(39)

lingkungan seperti sarana promosi penjualan, lingkungan fisik, dan tekanan ekonomi. Dengan demikian dapat disimpulkan dari uraian di atas bahwa lingkungan akan sangat memepengaruhi perilaku konsumtif. Misalnya lingkungan dapat menghipnotis seseorang untuk membeli, ketika ada iklan yang menarik atau teman yang memakai barang yang bagus.

d) Hadirnya Iklan

Menurut Suyasa dan Fransisca (dalam Meida Devi Wardhani, 2009: 28) iklan merupakan pesan yang menawarkan sebuah produk yang ditunjukkan kepada semua orang lewat suatu media yang bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat untuk mencoba dan akhirnya membeli produk yang ditawarkan. Widiastuti (dalam Meida Devi Wardhani, 2009:28) menyebutkan iklan juga mengajak agar mengkonsumsi barang dan jasa hanya berdasarkan keinginan dan bukan kebutuhan serta harga yang tidak rasional. Iklan yang menarik akan mendorong seseorang untuk berperilaku konsumtif. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya perilaku konsumtif remaja terjadi tidak dengan sendirinya. Ada beberapa faktor yang berpotensi menjadi penyebabnya. Perilaku konsumtif juga dipengaruhi oleh banyak faktor yang secara garis besar dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi sesorang berperilaku konsumtif adalah: (1) Faktor Internal yaitu gaya hidup, kepribadian dan konsep diri, motivasi, persepsi, proses pembelajaran, serta kepercayaan dan sikap. (2) Faktor Eksternal yaitu


(40)

budaya dan sub-budaya, kelas sosial, kelompok rujukan, serta peran dan status, lingkungan dan hadirnya iklan.

4. Dampak Perilaku Konsumtif

Perilaku konsumtif memiliki dampak negatif bagi konsumen atau pihak lain. Awaliyah dan Hidayat (2008: 72-73) menyimpulkan dampak negatif perilaku konsumtif yaitu:

a. Mengurangi kesempatan untuk melakukan kegiatan menabung. Jika tabungan rendah, maka investasi juga akan rendah. Jika investasi rendah, maka pendapatanakan cenderung rendah. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Wagner (2009: 9) yang menjelaskan bahwa perilaku konsumtif mengurangi kesempatan untuk menabung, karena orang akan lebih banyak membelanjakan uangnya dibandingkan menyisihkan untuk ditabung.

b. Perilaku konsumtif cenderung menjadikan seseorang melupakan kebutuhan yang akan datang. Wagner (2009: 9) mengatakan seseorang cenderung tidak memikirkan kebutuhan yang akan datang, orang akan mengkonsumsi lebih banyak barang pada saat sekarang tanpa berpikir kebutuhannya di masa datang.

c. Hidup berfoya-foya menimbulkan kecemburuan sosial. Menurut Wagner (2009: 9) pola hidup yang boros akan menimbulkan kecemburuan sosial. Hal ini disebabkan seseorang yang mempunyai uang lebih akan membeli semua barang yang diinginkan tanpa memikirkan harga barang tersebut murah atau mahal atas barang tersebut diperlukan atau tidak. Sedangkan orang yang tidak mempunyai


(41)

uang lebih maka tidak sanggup membeli barang yang diinginkan dan mahal. Sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi kalangan bawah.

Sedangkan menurut Nurdin dkk (2008: 258) perilaku konsumtif memiliki aspek negatif bagi konsumen. Aspek negatif dari perilaku konsumtif merupakan sisi buruk dari perilaku konsumtif adalah timbulnya pengonsumsian barang-barang yang merugikan bagi diri seseorang misalnya: minuman keras, rokok dan narkoba. Misalnya dalam penelitian Sukari dkk (2013) bahwa ada salah satu siswa yang menyatakan dalam rangka memenuhi kebutuhannya membeli pakaian, mereka melancarkan cerita bohong kepada orangtuanya, semata-mata agar orangtuanya mau mengeluarkan uang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif yang dilakukan oleh individu atau dalam hal ini siswa mempunyai dampak negatif. Dampak negatif tersebut berpengaruh buruk dan merugikan, mengurangi kesempatan untuk melakukan kegiatan menabung, cenderung menjadikan seseorang melupakan kebutuhan yang akan datang, dan cenderung hidup berfoya-foya, dan menimbulkan kecemburuan sosial.

B. Perilaku Konsumtif Pada Remaja 1. Pengertian Remaja

Menurut Hurlock ( 1994: 200) usia rentang remaja adalah “usia remaja antara usia 13 sampai 21 tahun dengan pembagian remaja awal usia 13/ 14 tahun-17 tahun dan remaja akhir usia 17 tahun sampai 21 tahun”. Kartini Kartono (1995: 148) mengatakan bahwa masa remaja disebut


(42)

dengan masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pengertian remaja menurut Larson dan Others (Santrock, 2005: 21) adalah:

Alolescence as the period of transition between childhood and adulthood that involves biological, cognitive, and socioemational change. A key task of adolescence is preparation for adulthood. Indeed, the future of any culture hinges on how effective this preparation is.

Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa serta meliputi perubahan secra biologi, kognitif dan transisi sosial (sosial-emosional). Tugas utama masa remaja merupakan masa persiapan untuk memasuki masa dewasa.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa puncak pertumbuhan dan perkembangan yang ditandai dengan adanya proses perubahan fisik, kematangan seksual, perkembangan sosial, psikologis dan dapat bertindak dengan tujuan yang jelas.

Menurut Santrock (2005: 21) rentang usia remaja dapat berbeda-beda sesuai dengan budaya dan keadaan sejarah daerah tersebut. Usia remaja dimulai kira-kira pada umur 10 sampai 13 tahun dan berakhir pada umur 18 sampai 22 tahun. Secara biologi, kognitif dan sosial-emosi perubahan pada remaja terentang dari perkembangan fungsi seksual menuju proses berfikir secara abstrak dan mandiri. Santrock (2002: 15) menyatakan bahwa “awal usia remaja pada anak laki-laki terjadi kira-kira 2 tahun lebih telat daripada anak perempuan, yakni 12 ½ tahun usia awal rata-rata pada anak laki-laki, 10 ½ tahun usia awal rata-rata pada anak-anak perempuan”.


(43)

Berdasarkan pendapat mengenai usia remaja tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rentangan usia remaja berada dalam usia 10 ½ / 12 ½ -21/ 22 tahun, dengan pembagian remaja awal berada pada usia 10 ½ / 12 ½ -17/ 18 tahun dan remaja akhir 17/ 18–21/ 22 tahun.

Dari beberapa rumusan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Mengalami perkembangan semua fungsi, dan berlangsung dalam batasan usia 10 ½ sampai 21 tahun yang terjadi pada perempuan dan 12 ½ sampai 22 tahun yang terjadi pada laki-laki.

2. Ciri–Ciri Remaja Awal

Masa remaja merupakan masa dimana memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Menurut Hurlock (1991: 207-209) ciri-ciri remaja adalah masa periode yang penting, masa mencari identitas, masa yang tidak realistik, masa ambang dewasa, dan masa menimbulkan ketakutan. Lebih rinci, ciri-ciri masa remaja awal akan dipaparkan pada bagian di bawah ini:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Pertumbuhan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat. Terutama pada awal remaja semua perkembangan itu menimbulkan penyesuaian mental dan membentuk sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa transisi inilah masa yang


(44)

menentukan bagi mereka dalam berperilaku, memiliki sifat dan gaya hidup yang paling sesuai bagi dirinya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal remaja inilah perubahan fisik terjadi dengan pesat. Ada lima perubahan yang bersifat universal pada remaja yaitu 1) meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi, 2) perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial sehingga dapat menimbulkan masalah baru, 3) dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah, dan 4) adanya sikap ambivalen pada remaja.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalah sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Hal ini dikarenakan pada masa kanak-kanak mereka terbiasa diselesaikan oleh orangtua mereka, sedangkan pada masa remaja mereka menganggap sudah mandiri sehingga sudah tidak meminta bantuan pada orang lain.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pada masa remaja mereka mulai menarik perhatian pada diri sendiri agar dianggap sebagai individu dan pada saat yang sama mereka juga mencoba memberi identitas dirinya terhadap kelompok sebayanya.

f. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Masa ini dikatakan tidak realistik karena remaja melihat diri dan orang lain sebagaimana yang mereka inginkan bukan


(45)

sebagaimana adanya. Seiring bertambahnya pengalaman pribadi dan sosial serta meningkatnya kemampuan berfikir rasional maka remaja mulai lebih realistik.

g. Masa remaja diambang masa dewasa

Remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan memberikan kesan bahwa sudah hampir dewasa.

h. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak perilaku menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan masa remaja.

Pendapat lain mengenai ciri-ciri remaja awal menurut Andi Mapiare (1982: 32-35) yaitu ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi, sikap dan moral terutama menonjol menjelang akhir remaja awal, kecerdasan atau kemampuan mental, status remaja awal sangat sulit ditentukan, remaja awal banyak masalah yang dihadapi, remaja awal masa yang kritis.

Dari pandangan beberapa ahli maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri masa remaja merupakan masa peralihan masa yang sulit untuk mencari identitas diri sehingga akan menimbulkan banyak masalah.

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja

Remaja adalah kata lain dari adolescence yang berarti tumbuh, maka dalam tahapan ini remaja akan mengalami pertumbuhan dan


(46)

perkembangan. Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dikategorikan sebagai masa remaja awal. Dalam masa ini ada bayak perkembangan yang membawa perubahan pada remaja, perkembangan tersebut antara lain: a. Perkembangan Fisik

Hurlock (1980:210) mengungkapkan bahwa pertumbuhan fisik remaja tidak akan sepenuhnya sempurna bahkan sampai masa remaja akhir. Terdapat penurunan dalam laju pertumbuhan remaja dan perkembangan internal remaja lebih menonjol daripada perkembangan eksternal remaja. Perkembangan internal remaja berkaitan dengan tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, organ seks dan ciri-ciri seks sekunder. Kemudian perkembangan eksternal remaja yaitu meliputi sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh.

Perkembangan fisik yang terjadi pada remaja akan berbeda satu sama lain, ada yang cepat namun ada juga yang lambat. Tidak semua remaja dapat menerima perubahan fisik yang mereka alami, akibat dari hal ini kemudian dapat menimbulkan perasaan tidak percaya diri. Rasa tidak percaya diri yang muncul pada diri seorang remaja dapat memengaruhi kualitas hubungan sosial remaja tersebut. Hal ini sangat berlawanan dengan salah satu tugas perkembangan remaja yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

b. Perkembangan Kognitif

Ditinjau dari perkembangan kognitif menurut Piaget (dalam Ratna Yunita, 2014: 44) remaja terdorong untuk memahami dunianya karena


(47)

tindakannya tersebut merupakan bentuk penyesuaian diri biolgis. Remaja yang duduk di bangku SMP masuk pada tahapan remaja awal dan mereka mengalami perkembangan kognitif. Tahapan perkembangan kognitif pada usia remaja awal adalah pemikiran operasional formal atau tahapan operasional formal. Dalam tahap ini Santrock (2007:126) menjelaskan bahwa karakteristik yang paling menonjol adalah ada kecenderungan remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan pemikiran pada masa anak-anak. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang konkret dalam proses pemikirannya. Remaja mulai menciptakan situasi-situasi fantasi dan mencoba bernalar dengan logis untuk mengatasi fantasi-fantasinya tersebut.

Pemikiran yang merupakan sifat dasar abstrak dalam tahap pemikiran formal operasional adalah pemikiran yang mengandung banyak kemungkinan dan idealisme. Cara berpikir ini akan membawa remaja untuk membandingkan dirinya dengan orang lain menurut standar yang telah ia tetapkan.

Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud egosentrisme adalah ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain (Papalia dan Olds, 2011). Elkind (dalam Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fable.


(48)

Hurlock (dalam Papalia dan Olds, 2001) menjelaskan personal fable sebagai keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Personal fable memunculkan adanya anggapan kalau dirinya mempunyai kekebalan terhadap hal-hal yang bersifat negatif dan cenderung merugikan. Bahwa segala peristiwa, kejadian atau pengalaman buruk mungkin terjadi pada orang lain, tetapi hal itu tidak terjadi pada dirinya.

Adapun penyebab personal fableyaitu adanya kemampuan

imaginary audience yang dimiliki oleh remaja, yaitu semacam keyakinan bahwa dia mendapat perhatian yang besar dari orang lain. Dengan kemampuan inilah remaja ingin menghindari perilaku yang “salah” dimata orang lain, terutama teman-temannya. Sehingga membuat mereka berperilaku berlebihan agar diterima oleh teman-temannya baik cara perbicara, berpakaian, dan berperilaku.

c. Perkembangan Sosio-Emosional

Selain perekembangan fisik dan kognitif, remaja juga mengalami perkembangan sosio-emosional. Hurlock (1980: 212) menyatakan bahwa masa remaja sebagai periode “badai dan tekanan” suatu masa di mana ketegangan emosi meningkat sebagai akibat dari perubahan fisik dankelenjar. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar dan situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional dalam kehidupan sehari-harinya.

Remaja dengan kematangan emosi yang baik dapat membangun hubungan sosial yang baik dengan orang lain, dan hubungan sosial yang baik pada remaja menumbuhkan emosi positif dalam dirinya. Oleh


(49)

karena itu, perkembangan emosi dan sosial pada remaja menjadi hal yang penting setelah remaja tersebut mengalami perkembangan fisik dan kognitif.

d. Perkembangan Sosial

Pada usia remaja pergaulan dan interaksi sosial dengan teman sebayanya bertambah luas dan kompleks dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, termasuk pergaulan dengan lawan jenis. Di sini remaja ingin tampil beda dalam kelompoknya. Oleh karena itu setiap remaja akan selalu berusaha untuk diterima oleh kelompoknya.

e. Perkembangan Kepribadian

Syamsu Yusuf (2006: 200) mengemukakan bahwa sifat-sifat kepribadian mencerminkan perkembangan fisik, seksual, emosional, kognitif, dan nilai-nilai. Remaja merupakan saat berkembangnya jati diri atau identitas. Perkembangan identitas merupakan aspek utama bagi kepribadian sehat yang mampu merefleksikan diri, kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain, dan mempelajari tujuan-tujuan untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan.

f. Perkembangan Moral

Remaja memiliki tugas perkembangan lain selain membangun hubungan sosial yaitu mempelajari apa yang kelompok harapkan darinya dan kemudian membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam oleh hukuman seperti yang dialami pada masa kanak-kanak (Hurlock, 1980: 225).

Dari beberapa penjelasan mengenai aspek perkembangan remaja di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang remaja dalam tahapan


(50)

perkembangannya mengalami perkembangan fisik, kognitif, sosial, emosional dan moral.

4. Perilaku Konsumtif Remaja

Hurlock (1991) menyatakan salah satu ciri masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Pada masa ini, umumnya remaja memandang kehidupan sesuai dengan sudut pandangnya sendiri, dan pandangannya itu belum tentu sesuai dengan pandangan orang lain dan juga dengan kenyataan. Selain itu, remaja memandang segala sesuatunya bergantung pada emosinya dalam menentukan pandangannya terhadap suatu objek psikologis. Sulitnya, emosi remaja umumnya belum stabil. Secara psikososial terlihat perkembangan remaja dalam memandang dan menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan peran mereka sebagai konsumen.

Menurut Lina dan Rosyid (dalam Anindya Nurratri, 2012: 17-18) ada 3 aspek perilaku konsumtif, yaitu:

a. Aspek pembelian implusif

Merupakan pembelian yang didasarkan pada dorongan dalam diri individu yang muncul secara tiba-tiba.

b. Aspek pembelian tidak rasional

Merupakan pembelian yang dilakukan bukan karena kebutuhan, tetapi karena gengsi agar dapat terkesan sebagai orang yang modern dan mengikuti mode. Menurut Sofjan Assauri (2011: 127) yang termasuk ke dalam pembelian tidak rasional antara lain adalah:


(51)

1) Kebanggaan karena penampilan pribadinya. 2) Pencapaian status sosial.

3) Untuk terhindar dari keadaan bahaya atau ancaman. 4) Ingin mendapatkan pengakuan

5) Ingin menaikkan kedudukan

c. Aspek pembelian boros atau berlebihan

Merupakan pembelian suatu produk secara berlebihan yang dilakukan oleh konsumen. Barang yang dibeli biasanya memiliki harga yang mahal.

Seiring perkembangan biologis, psikologis, sosial tersebut, remaja memasuki tahap untuk sudah lebih bijaksana dan sudah lebih mampu membuat keputusan sendiri. Hal ini meningkatkan kemandirian remaja, termasuk juga posisinya sebagai konsumen. Remaja memiliki pilihan mandiri mengenai apa yang hendak dilakukan dengan uangnya dan menentukan sendiri produk apa yang ingin ia beli. Namun di lain pihak, remaja sebagai konsumen memiliki karakteristik mudah terpengaruh, mudah terbujuk iklan, tidak berpikir hemat, dan kurang realistis. Bahkan dapat dikatakan bahwa seseorang remaja akan mengupayakan sama dalam segala hal dengan harapan dapat dihargai dan diterima oleh kelompok sosial tersebut. Pernyataan di atas didukung karena di dalam diri remaja mengalami perkembangan kognitif bahwa egosentrisme pada diri remaja berbentuk imaginary audience (penonton khayalan) dan personal fable

(dongeng pribadi). Gejala dari imaginary audience adalah mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian seperti keinginan agar kehadirannya diperhatikan, semua aktivitasya disadari oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian.


(52)

Reynolds dan Wells (1977: 76) menyimpulkan perubahan fisik, psikologis, dan sosial yang terjadi pada remaja mempengaruhi remaja sebagai konsumen. Salah satunya adalah bentuk sikap dan ketertarikan remaja, misalnya minat yang sangat kuat terhadap penampilan. Saat masa remaja, minat pribadi dan sosial merupakan kelompok minat yang paling kuat dirasakan. Minat adalah suatu perangkat mental yang terdiri dari suatu campuran dari perasaan, harapan, pendirian, prasangka, rasa takut atau kecenderungan lain yang mengarahkan individu kepada suatu pilihan tertentu (Mappiare, 1982: 73).

Minat pribadi timbul karena remaja menyadari bahwa penerimaan sosial terutama peer groupnya sangat dipengaruhi oleh keseluruhan yang dinampakkan remaja. Kemampuan yang dimiliki remaja dapat meningkatkan atau menurunkan pandangan teman-teman sebaya terhadap dirinya. Sesuatu yang bersifat pribadi seperti tampang, bentuk tubuh, pakaian atau perhiasan, dan sebagainya, sangat diminati karena erat berkaitan dengan keberhasilannya dalam pergaulan. Remaja menjadi sangat memperhatikan penampilan dan menghabiskan banyak uang dan waktu serta usaha yang sungguh-sungguh untuk membuat penampilannya menjadi lebih baik (Ibrahim, 2002: 11).

Remaja berusaha membentuk citra atau image tentang dirinya dan upaya ini terlihat dalam suatu gambaran tentang cara setiap remaja mempersepsikan dirinya, termasuk didalamnya cara remaja menampilkan diri secara fisik sehingga mendorong remaja melakukan berbagai upaya agar tampilan fisiknya sesuai dengan tuntutan komunitas sosial mereka.


(53)

Menurut Wahana, dkk (1995: 20) mengatakan bahwa perilaku konsumtif dikategorikan menjadi tinggi, sedang dan rendah. Keterlibatan pembeli yang tinggi adalah pembeli berhubungan erat dengan kepentingan dan image konsumen itu sendiri. Kategori tinggi terdapat proses complex decision making yaitu terjadi apabila keterlibatan pembeli pada pengambilan keputusan. Contoh ketika remaja membeli handphone dan sepatu. Kasus tersebut remaja membeli dengan melihat merek yang ada dalam barang tersebut. Selain itu secara berturut-turut konsumen membeli barang, seperti barang koleksi.

Kategori sedang terdapat proses brand loyalty dimana ketika pilihan berulang konsumen belajar dari pengalaman masa lalu dan membeli merek yang memberikan kepuasan dengan sedikit atau tidak ada proses pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Contoh pembelian sepatu merek atau jam koleksi. Ketika proses tersebut menjadi kebutuhan bagi remaja tidak masalah, tetapi ketika menjadi keinginan maka menjadikan remaja untuk membeli. Sehingga remaja dapat berperilaku konsumtif.

Kategori rendah terdapat proses interia yaitu tingkat kepentingan dengan barang adalah rendah dan tidak ada pengambilan keputusan seketika. Ketika membeli suatu barang benar-benar karena membutuhkan barang tersebut. Contoh membeli sepatu ketika memang sepatu tersebut dibutuhkan, karena sepatu yang terdahulu sudah rusak. Selain itu dalam kategori rendah konsumen sangat memikirkan keputusan yang akan dilakukannya.


(54)

C. Kajian Layanan Konseling Kelompok

1. Pengertian Layanan Konseling Kelompok

Beberapa ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian konseling kelompok.“ Layanan konseling kelompok merupakan layanan konseling yang diselenggarakan dalam suasana kelompok” (Mugiarso, 2005: 69). Menurut Winkel (2005: 589) bahwa “konseling kelompok sebagai bentuk khusus dari layanan konseling, yaitu wawancara konseling antara konselor profesional dengan beberapa orang sekaligus yang tergabung dalam suatu kelompok kecil” sedangkan menurut Wibowo (2005: 19), “Konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu-individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan pengatasan masalah dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhannya”.

Menurut Prayitno (2001: 89) bahwa pengertian layanan konseling kelompok adalah:

Layanan konseling kelompok yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok, masalah yang dibahas itu adalah masalah-masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok.

Konseling kelompok lebih menekankan pada pengembangan pribadi, yaitu membantu individu-individu dengan cara mendorong pencapaaian tujuan perkembangan dan memfokuskan pada kebutuhan dan kegiatan belajarnya. Kelompok juga dapat dipakai untuk belajar


(55)

mengekspresikan perasaan, menunjukkan perhatian terhadap orang lain dan berbagai pengalaman.

Berdasarkan beberapa pengertian dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa layanan konseling kelompok adalah wawancara konseling antara konselor dengan sejumlah anggota kelompok yang dilakukan dalam suasana kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk membahas dan memecahkan masalah serta pengembangan pribadi.

2. Tujuan Konseling Kelompok

Pemberian layanan konseling kelompok tidak hanya sekedar memberikan layanan secara berkelompok, melainkan mempunyai suatu tujuan. Menurut Prayitno (2004: 311-312), tujuan konseling kelompok ialah terpecahkannya masalah-masalah yang dialami oleh para anggota kelompok. Sedangkan menurut Wibowo (2005: 20), tujuan yang ingin dicapai dalam konseling kelompok, yaitu pengembangan pribadi, pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok, agar terhindar dari masalah dan masalah terselesaikan dengan cepat melalui bantuan anggota kelompok yang lain.

Menurut Winkel (2005: 592-593, tujuan umum layanan konseling kelompok antara lain:

a. Masing-masing konseli memahami dirinya dengan lebih baik dan menemukan dirinya sendiri. (Konseli lebih rela menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek positif dalam kepribadiannya).


(56)

b. Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain, sehingga dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas untuk fase perkembangan mereka.

c. Para konseli memperoleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontak antarpribadi di dalam kelompok dan kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan kelompoknya.

d. Para konseli menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih mampu menghayati perasaan orang lain. Kepekaan dan penghayatan ini akan membuat mereka lebih sensitif juga terhadap kebutuhan psikologis dan alam perasaan sendiri.

e. Masing-masing konseli menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.

f. Para konseli lebih menyadari dan menghayati makna dari kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama, yang mengandung tuntutan menerima orang lain dan harapan akan diterima oleh orang lain.

g. Masing-masing konseli semakin menyadari bahwa hal-hal yang memprihatinkan bagi dirinya kerap juga menimbulkan rasa prihatin dalam hati orang lain. Dengan demikian, dia tidak akan merasa terisolir lagi, seolah-olah hanya dialah yang mengalami ini dan itu. h. Para konseli belajar berkomunikasi dengan seluruh anggota kelompok

secara terbuka, dengan saling menghargai dan saling menaruh perhatian. Pengalaman bahwa komunikasi yang demikian dimungkinkan, akan membawa dampak positif dalam kehidupan dengan orang lain yang dekat padanya.


(57)

Menurut Dewa Ketut Sukardi (2008: 68) tujuan konseling kelompok adalah:

a. Melatih anggota kelompok agar berani berbicara dengan orang banyak. b. Melatih anggota kelompok dapat bertenggang rasa terhadap teman

sebayanya.

c. Dapat mengembangkan bakat dan minat masing-masing anggota kelompok.

d. Mengentaskan permasalahan-permasalahan kelompok.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan tujuan konseling kelompok adalah para konseli melalui komunikasi dengan seluruh anggota kelompok membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan sesuai dengan fase perkembangan yang di dalamnya terdapat suasana saling menghargai dan menghormati sehingga para konseli dapat mengembangkan bakat, minat dan mengentaskan masalah-masalah yang ada dalam kelompok.

3. Komponen Konseling Kelompok

Di dalam layanan konseling kelompok terdapat beberapa komponen yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan layanan konseling kelompok. Menurut Prayitno (2004: 4) terdapat beberapa komponen dalam konseling kelompok antara lain :

a. Pemimpin Kelompok

Dalam memimpin suatu kelompok, seorang pemimpin kelompok tidak hanya sekedar menjadi seorang pemimpin kelompok, namun harus memiliki suatu karakteristik dan peran sebagai seorang pemimpin kelompok.


(58)

1) Karakteristik pemimpin kelompok

Menurut Prayitno (2004: 5) karakteristik pemimpin kelompok antara lain:

a) Mampu membentuk kelompok dan mengarahkan sehingga terjadi dinamika kelompok.

b) Berwawasan luas dan tajam sehingga mampu mengisi, menjembatani, meningkatkan, memperluas, dan mensinergikan konten bahasan yang tumbuh dalam aktifitas kelompok.

c) Memiliki kemampuan hubungan antar-personal yang nyaman dan hangat.

2) Peran pemimpin kelompok

Menurut Prayitno (2004: 6-8) dalam mengarahkan suasana kelompok melalui dinamika kelompok, pemimpin kelompok berperan dalam:

a) Pembentukan kelompok dari sekumpulan calon peserta sehingga terpenuhi syarat-syarat kelompok yang mampu secara aktif mengembangkan dinamika kelompok.

b) Penstrukturan, yaitu membahas bersama anggota kelompok apa, mengapa dan bagaimana layanan konseling kelompok dilaksanakan.

c) Pentahapan kegiatan konseling kelompok.

d) Penilaian segera (laiseg) hasil layanan konseling kelompok e) Tindak lanjut layanan

b. Anggota Kelompok

Selain pemimpin kelompok di dalam pelaksanaan layanan konseling kelompok harus terdapat anggota kelompok. Tidak semua kumpulan orang atau individu dapat dijadikan anggota dalam pelaksanaan layanan konseling kelompok. Besarnya anggota kelompok


(59)

dan heterogenitas ataupun homogenitas kelompok mempengaruhi kinerja kelompok.

1) Besarnya kelompok

Kelompok yang terlalu kecil akan mengurangi keefektifan konseling kelompok dan kelompok yang terlalu besar juga kurang efektif. Anggota kelompok dibatasi kurang lebih 8 sampai 10 anggota kelompok.

2) Homogenitas atau heterogenitas kelompok

Homogenitas kelompok mengacu pada kesamaan tingkat perkembangan, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan usia. Heterogenitas kelompok mengacu pada perbedaan permasalahan yang dimiliki dan perbedaan kepribadian.

3) Peran anggota kelompok

a) Aktifitas mandiri, meliputi mendengar, memahami merespon, berpikir, berpendapat, menganalisis, mengkritis, berargumentasi, merasa, berempati, dan bersikap.

b) Aktivitas anggota kelompok yang berorientasi pada kehidupan bersama dalam kelompok, meliputi pembinaan keakraban, kepatuhan, komunikasi yang jelas, saling memahami, member kesempatan, dan kesadaran bersama untuk keberhasilan kegiatan kelompok.

Menurut Ifdil (2008: 1) komponen konseling kelompok antara lain:

a. Konselor

1) Karakteristik konselor

Konselor sebagai pemimpin kelompok dengan kemampuan sebagai berikut:


(60)

a) Menciptakan suasana kelompok sehingga terciptanya dinamika kelompok

b) Berwawasan luas (ilmiah dan moral)

c) Mampu membina hubungan antarpersonal yang hangat, damai, berbagi, empatik, altruistic, jauh dari kesukaan untuk membuat kelompok

2) Peran konselor

a) Membentuk kelompok

Pembentukan kelompok dari sekumpulam calon peserta sehingga terpenuhi syarat-syarat konseling kelompok.

b) Melakukan penstrukturan

Membahas bersama dengana anggota kelompok apa yang akan dilakukan.

c) Mengembangkan dinamika kelompok

Mengembangkan dan memelihara hubungan antar anggota kelompok dan konselor.

d) Mengevaluasi proses dan hasil belajar

Mengevaluasi apa yang telah terlaksana dalam proses konseling kelompok.

b. Anggota Kelompok

Jumlah kelompok 8-10 orang dengan memperhatikan homogenitas dan heterogenitas kemampuan anggota kelompok. Kemampuan dengan perbandingan 2:1 antara yang pintar atau kurang pintar. Dari segi jenis pria atau wanita yaitu 1:1.

1) Peran anggota kelompok

a) Aktif, mandiri mealui aktivitas langsung melalui 3M (mendengar, memahami dengan positif dan merespon dengan tepat), sikap seperti seorang konselor

b) Berbagi pendapat, ide dan pengalaman c) Empati


(61)

d) Menganalisa

e) Aktif membina keakraban, membina keikatan emosinal f) Mematuhi etika kelompok

g) Menjaga kerahasiaan, perasaan dan membantu

h) Membina kelompok untuk menyukseskan kegiatan kelompok. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa komponen konseling kelompok terdiri dari pemimpin kelompok dan anggota kelompok. Pemimpin kelompok dan anggota kelompok memiliki suatu karakteristik dan peran masing-masing.

4. Asas dalam Konseling Kelompok

Di dalam layanan konseling kelompok juga terdapat asas yang dijadikan aturan dalam pelaksanaan layanan konseling kelompok. Menurut Prayitno (2004: 13-15) asas-asas yang digunakan dalam kegiatan konseling kelompok adalah sebagai berikut:

a. Kerahasiaan

Segala sesuatu yang dibahas dan muncul dalam kegiatan kelompok menjadi rahasia kelompok dan tidak boleh disebarluaskan keluar kelompok.

b. Kesukarelaan

Anggota kelompok mengikuti kegiatan konseling kelompok tidak dengan paksaan, tetapi dengan sukarela dari diri sendiri.

c. Asas-asas lain

Selain dua atas di atas, ada beberapa asas lain yang digunakan dalam kegiatan konseling kelompok yaitu:

1) Asas kegiatan

Usaha konseling kelompok tidak akan memberikan buah yang berarti bila klien tidak melakukan sendiri.

2) Asas keterbukaan

Asas keterbukaan ini diharapkan masing-masing anggota dan pemimpin kelompok bersedia membuka diri untuk kepentingan


(62)

pemecahan masalah dan mampu menerima saran-saran dari luar. Individu diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang dirinya.

3) Asas kekinian

Masalah individu yang ditanggulangi ialah masalah-masalah yang sedang dirasakan bukan maslaah yang sudah lampau, dan juga bukan masalah yang mungkin akan dialami di masa yang akan datang.

4) Asas kenormatifan

Usaha konseling kelompok yang tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum/negara, norma ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari.

5) Asas keahlian

Konselor mampu melaksanakan secara teratur dan sistematik dengan menggunakan prosedur, teknik dan alat (instrumentasi bimbingan dan konseling) yang memadai.

Menurut Ifdil (2008: 2) asas-asas dalam konseling kelompok adalah: a. Kerahasiaan

Segala sesuatu yang dibicarakan anggota kelompok maupun pemimpin kelompok tidak boleh disampaikan kepada orang lain. b. Kesukarelaan

Anggota kelompok mengikuti kegiatan konseling kelompok dengan sukarela dari dirinya.

c. Keterbukaan

Semua anggota kelompok terbuka terhadap anggota lain di dalam kelompok.


(63)

Asas ini menghendaki agar konselor dan anggota kelompok berpartisipasi aktif dalam rangkaian kegiatan konseling kelompok. e. Kenormatifan

Pelaksanaan konseling kelompok harus sesuai dengan norma-norma kelompok dan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas-asas konseling kelompok yaitu kerahasiaan, keterbukaan, kesukarelaan, kegiatan, dan kenormatifan.

5. Tahapan Konseling Kelompok

Istilah proses konseling kelompok menunjukkan pada tahapan-tahapan perkembangan yang dialami oleh kelompok selama menjalani konseling kelompok. Menurut Prayitno (1995: 40-58) layanan konseling kelompok diselenggarakan melalui empat tahap yaitu:

a. Tahap I Pembentukan

Terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:

1) Mengungkapkan pengertian, tujuan kegiatan kelompok dalam rangka konseling kelompok. Dapat dilakukan agar masing-masing anggota mengerti maksud dengan konseling kelompok dan kenapa konseling kelompok dilaksanakan, yang akhirnya membuat masing-masing anggota melaksanakan proses ini dengan serius. 2) Menjelaskan cara dan norma kegiatan kelompok. Dengan

memberikan penjelasan tentang hal ini, masing-masing anggota akan mengetahui aturan main yang akan diterapkan dalam bimbingan kelompok ini.

3) Saling memperkenalkan diri, mengungkapakan diri, saling mempercayai dan saling menerima, sehingga suasana kelompok


(64)

dapat terjalin menjadi lebih akrab. Sehingga tidak ada rasa canggung antara anggota kelompok yang satu dengan yang lainnya. Ditekankan juga dengan asas kerahasiaan.

4) Menentukan agenda kegiatan. Jika agenda kegiatan ditentukan atau disepakati bersama, semangat kebersamaan akan lebih terasa. b. Tahap II Peralihan

Tahap II terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu sebagai berikut:

1) Menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya. 2) Mengamati dan menawarkan apakah anggota kelompok sudah siap

memasuki tahap selanjutnya. 3) Membahas suasana yang terjadi.

4) Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota.

5) Bila perlu kembali kepada beberapa aspek tahap pertama. c. Tahap III Kegiatan

Tahap III terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:

1) Pemimpin kelompok mengemukakan suatu masalah atau topik. 2) Tanya jawab antara anggota kelompok dan pemipin kelompok

tentang hal-hal yang belum jelas yang menyangkut masalah atau topik yang dikemukakan oleh pemimpin kelompok.

3) Anggota kelompok membahas masalah atau topik tersebut secara mendalam sampai tuntas.

4) Kegiatan selingan. d. TahapIV Pengakhiran

Tahap IV terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:

1) Pemimpin kelompok mengemukakan bahwa kegiatan akan berakhir.

2) Pemimpin dan anggota kelompok mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan.

3) Merencanakan kegiatan selanjutnya. 4) Mengemukakan pesan dan harapan. 5) Menghentikan kegiatan.

Menurut Budi Astuti (2012: 13-14) konseling kelompok dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:


(65)

Proses utama selama tahap awal adalah orientasi dan eksplorasi. Pada awalnya tahap ini akan diwarnai keraguan dan kekhawatiran, namun juga harapan dari peserta. Namun apabila konselor mampu memfasilitasi kondisi tersebut, tahap ini akan memunculkan kepercayaan terhadap kelompok. Langkah-langkah pada tahap awal kelompok adalah :

1) Menerima secara terbuka dan mengucapkan terima kasih 2) Berdoa

3) Menjelaskan pengertian konseling kelompok 4) Menjelaskan tujuan konseling kelompok

5) Menjelaskan cara pelaksanaan konseling kelompok 6) Menjelaskan asas-asas konseling kelompok

7) Melaksanakan perkenalan dilanjutkan rangkaian nama b. Tahap Peralihan

Tujuan tahap ini adalah membangun iklim saling percaya yang mendorong anggota menghadapi rasa takut yang muncul pada tahap awal. Konselor perlu memahami karakterisik dan dinamika yang terjadi pada tahap transisi. Langkah-langkah pada tahap peralihan: 1) Menjelaskan kembali kegiatan konseling kelompok

2) Tanya jawab tentang kesiapan anggota untuk kegiatan lebih lanjut 3) Mengenali suasana apabila anggota secara keseluruhan atau

sebagian belum siap untuk memasuki tahap berikutnya dan mengatasi suasana tersebut

4) Memberi contoh masalah pribadi yang dikemukakan dan dibahas dalam kelompok


(66)

Pada tahap ini proses penggalian permasalahan yang mendalam. Menjelaskan masalah pribadi yang hendak dikemukakan oleh anggota kelompok. Langkah-langkah pada tahap kegiatan adalah : 1) Mempersilahkan anggota kelompok untuk mengemukakan masalah

pribadi masing-masing secara bergantian

2) Memillih/menetapkan masalah yang akan dibahas terlebih dahulu 3) Membahas masalah terpilih secara tuntas

4) Selingan

5) Menegaskan komitmen anggota yang masalahnya telah dibahas (apa yang akan dilakukan berkenaan dengan adanya pembahasan demi terentaskan masalahnya).

d. Tahap Pengakhiran

Pada tahap ini pelaksanaan konseling ditandai dengan anggota kelompok mulai melakukan perubahan tingkah laku di dalam kelompok. Langkah-langkah pada tahap pengakhiran adalah :

1) Menjelaskan bahwa kegiatan konseling kelompok akan diakhiri 2) Anggota kelompok mengemukakan kesan dan menilai kemajuan

yang dicapai masing-masing 3) Membahas kegiatan lanjutan

4) Pesan serta tanggapan anggota kelompok 5) Ucapan terima kasih

6) Berdoa 7) Perpisahan.

Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok dilaksanakan melalui bebrapa tahapan di antaranya tahap pembukaan, peralihan, kegiatan dan pengakhiran. Masing-masing tahapan ini mempunyai fungsi yang penting dan saling berkesinambungan. Melalui pelaksanaan tahapan-tahapan tersebut dengan baik maka konseling kelompok dapat di katakana berjalan efektif dalam menyelesaikan suatu permasalahan.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)