EFEKTIFITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN GESTALT TERHADAP PENINGKATAN PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH, PURBALINGGA.

(1)

i

EFEKTIFITAS LAYANAN KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN GESTALT TERHADAP PENINGKATAN

PENYESUAIAN DIRI SISWA KELAS VII SMP NEGER1 1 KALIMANAH, PURBALINGGA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Kharisma Hilda Lidyartanti NIM 11104244058

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka

mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Q. S. [13] : 11)

Seseorang dapat diterima di lingkungan dimana dia tinggal, tergantung pada bagaimana dirinya bersikap dan bersopan santun kepada orang yang lebih tua

maupun teman sebayanya. (Kharisma Hilda Lidyartanti)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Persembahan karyaku sebagai tanda kasihku kepada

 Bapak dan Ibu tercinta atas segala kasih sayang, cinta, pengorbanan, dan doa yang selalu dipanjatkan, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat serta kebahagiaan untuk saya dan keluarga saya.

 Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta.  Agama, Nusa, dan Bangsa.


(7)

vii

EFEKTIFITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN GESTALT TERHADAP PENINGKATAN PENYESUAIAN DIRI SISWA

KELAS VII SMP NEGERI 1 KALIMANAH, PURBALINGGA

Oleh

Kharisma Hilda Lidyartanti NIM. 11104244058

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dalam meningkatkan penyesuaian diri siswa.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif berjenis quasi eksperimen dengan desain non-equivalent control group design. Populasi penelitian pada penelitian ini berjumlah 288 siswa. Sampel penelitian yang digunakan memiliki ketentuan berada pada tingkat kategori rendah (X < 56), sehingga diperoleh 10 siswa sebagai sampel penelitian. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa pedoman observasi dan skala penyesuaian diri. Teknik analisis pada penelitian ini menggunakan Uji Wilcoxon untuk menguji hipotesis. Uji non parametrik Wilcoxon ini dilakukan melalui program SPSS statistic 19.0.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien signifikansi sebesar 0,007 dan lebih kecil dari 0,05 dengan nilai Z=-2,964 yang menandakan bahwa H1 diterima. Pemberian treatment berpengaruh positif pada kelompok eksperimen dengan adanya peningkatan rata-rata (mean) skor, yaitu dari 56 menjadi 78,6.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankanlah peneliti mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk mengadakan penelitian, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah menerima dan menyetujui judul penelitian ini.

4. Ibu Dr. Budi Astuti, M.Si. Dosen pembimbing dan Pembimbing Akademik yang penuh dengan kesabaran dalam memberikan bimbingan, motivasi, dan dorongan yang tiada henti-hentinya.

5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama masa studi peneliti.

6. Kepala sekolah SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga beserta jajaran pendidik yang telah memberikan izin dan bantuan sehingga peneliti dapat melakukan penelitian di SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 11

C. Batasan Masalah ... 11

D. Rumusan Masalah ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Mengenai Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri ... 14

2. Macam-Macam Penyesuaian Diri ... 15

3. Ciri - Ciri Penyesuaian Diri ... 17

4. Aspek – Aspek Penyesuaian Diri ... 19

5. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri ... 21


(11)

xi

B. Kajian Tentang Layanan Konseling Kelompok

1. Pengertian Konseling Kelompok ... 29

2. Tujuan Konseling Kelompok Pendekatan Gestalt ... 31

3. Tipe Konseling Kelompok ... 34

4. Aspek yang Perlu Diperhatikan dalam Konseling Kelompok ... 36

5. Manfaat Konseling Kelompok ... 40

6. Tahapan Konseling Kelompok ... 41

7. Efektifitas Layanan Konseling Kelompok ... 43

C. Kajian Tentang Terapi Gestalt 1. Pengertian Konseling dengan Terapi Gestalt ... 45

2. Biografi Tokoh ... 48

3. Hakekat Manusia Konseling Gestalt ... 50

4. Tujuan Konseling Gestalt ... 52

5. Teknik Terapi Gestalt ... 54

6. Konselor Gestalt ... 56

7. Konseli Gestalt ... 58

8. Prinsip Kerja Konseling dengan Pendekatan Gestalt ... 60

9. Kelebihan dan Kekurangan Gestalt ... 62

D. Kajian Mengenai Remaja Awal ( Siswa SMP ) 1. Pengertian Remaja Awal ... 63

2. Perkembangan Pribadi-Sosial Remaja ... 66

3. Tugas Perkembangan Remaja Awal ... 69

4. Ciri – Ciri Remaja Awal ... 72

E. Kajian Peneliti Terdahulu ... 76

F. Kerangka Berpikir ... 78

G. Hipotesis Penelitian ... 81

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 83

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 84

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 86


(12)

xii

E. Desain Penelitian ... 88

F. Teknik Pengumpulan Data ... 94

G. Instrumen Penelitian ... 97

H. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 99

I. Teknik Analisis Data ... 102

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 105

2. Deskripsi Kuantitatif ... 107

3. Dinamika Psikologis ... 111

B. Pengujian Hipotesis ... 117

C. Pembahasan ... 118

D. Keterbatasan Penelitian ... 123

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 124

B. Saran ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 126


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Jumlah Populasi Penelitian ... 84

Tabel 2. Kategori Hasil Pres-test ... 85

Tabel 3. Daftar Sample Penelitian ... 86

Tabel 4. Skor Pre-test ... 91

Tabel 5. Skor Post-test ... 94

Tabel 6. Pedoman Observasi ... 96

Tabel 7. Skala Penyesuaian Diri ... 98

Tabel 8. Kisi-Kisi Skala Penyesuaian Diri Setelah Uji Coba ... 99

Tabel 9. Rangkuman Item Gugur dan Sahih ... 100

Tabel 10. Daftar Nilai Koefisien ... 101

Tabel 11. Penentuan Kategori Skor ... 103

Tabel 12. Distribusi Kategori Skor ... 105

Tabel 13. Kategori Skor Pre-test ... 106

Tabel 14. Sampel Penelitian ... 106

Tabel 15. Waktu Pelaksanaan Pre-test... 107

Tabel 16. Data Skor Pre-test Sample Penelitian ... 107

Tabel 17. Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen ... 108

Tabel 18. Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol ... 109

Tabel 19. Perbandingan Kategori Post-test Kelompok Eksperimen dengan Kelompok Kontrol ... 110


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Pengaruh Variabel ... 87 Gambar 2. Desain non-equivalent control group design ... 88 Gambar 3. Grafik Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok

Eksperimen ... 109 Gambar 4. Grafik Perbandingan Kategori Pre-test dan Post-test Kelompok

Kontrol ... 110 Gambar 5. Perbandingan Kategori Post-test Kelompok Eksperimen dengan


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Hasil Observasi ... 131

Lampiran 2. Pemberian Treatment ... 133

Lampiran 3. Instrumen Uji Coba Skala Penyesuaian Diri ... 135

Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Uji Coba Skala Penyesuaian ... 140

Lampiran 5. Skala Penyesuaian Diri ... 143

Lampiran 6. Daftar Skor Pre-test ... 147

Lampiran 7. Daftar Skor Post-test ... 167

Lampiran 8. Hasil Analisis Uji Wicoxon ... 168

Lampiran 9. Lembar Persetujuan Penelitian Skripsi ... 169


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan sebuah kata yang mengandung berbagai macam kesan. Ada sebagian orang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa saja, tidak berbeda dengan kelompok lain. Sementara ada juga yang mengatakan bahwa remaja adalah kelompok orang-orang yang sering menyusahkan orang-orang tua. Pada pihak lainnya lagi, ada yang mengatakan bahwa remaja sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan. Namun demikian, ketika remaja sendiri yang berbicara, remaja akan mengatakan hal lain. Remaja mungkin akan berbicara ketidak-acuhan, atau ketidak-pedulian orang-orang dewasa terhadap kelompok. Adapula remaja yang mengatakan bahwa kelompoknya berada pada tingkatan minoritas yang memiliki dunianya sendiri dan sukar dijamah oleh orang-orang dewasa. Perkembangan anak dibagi menjadi beberapa tahapan, tahap pubertas, remaja awal, dan remaja akhir, yang selanjutnya masa dewasa.

Masa pubertas dimulai sejak anak berusia 11/12-15/16 tahun. Selanjutnya masa remaja awal usia 13-17 tahun, dan remaja akhir usia 17-21 tahun. Masa pubertas berbeda dengan masa remaja, meskipun masa pubertas bertumpang tindih dengan masa remaja awal. Pada masa remaja awal, terjadi pertumbuhan dan perkembangan otak serta kemampuan pikir


(17)

2

remaja dalam menerima dan mengolah informasi abstrak dari lingkungannya. Hal ini mengandung arti bahwa remaja awal telah dapat menilai benar atau salahnya pendapat-pendapat orang tua atau pendapat orang dewasa lainnya.

Pengaruh dari kuatnya perasaan remaja yang ego-centris maka remaja sering tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain, membantah secara terang-terangan pendapat orang lain yang dipikirnya tidak masuk akal. Sikap remaja awal yang berkembang, terutama menonjol dalam sikap sosial, apalagi sikap sosial yang berhubungan dengan teman sebaya. Perasaan yang sangat ditakuti oleh remaja adalah bahwa remaja sangat takut terkucil atau terisolir dari kelompoknya.

Remaja memiliki emosi yang sangat peka misalnya terhadap ejekan yang dilontarkan kepada dirinya. Bentuk emosi yang sering nampak pada masa remaja awal antara lain adalah marah, malu, takut, cemas (anxienty), cemburu (jealoucy), iri hati (envy), sedih, gembira, kasih sayang dan ingin tahu. Perasaan yang sangat peka dari remaja membuat emosi yang dimiliki oleh remaja menjadi tidak stabil. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang berada diluar kemampuan menjadikan remaja sering kali hilang kendali.

Rita Eka Izzaty, dkk. (2008: 126) tugas perkembangan masa remaja yang harus dilalui dalam masa itu, menurut Havighurst, dalam Hurlock (1991: 10), adalah sebagai berikut: (1) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita; (2)


(18)

3

Mencapai peran sosial pria dan wanita; (3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif; (4) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab; (5) Mempersiapkan karier ekonomi; (6) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga; (7) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Untuk dapat mencapai tujuan dari tugas perkembangan tersebut, remaja diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan dan sekitar terlebih dahulu.

M. Ali dan M. Asrori (2005: 24) menyatakan bahwa penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri inividu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berbeda.

Penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk berada pada suatu lingkungan secara wajar. Dengan penyesuaian diri, individu diharapkan mampu dalam memenuhi ketegangan-ketegangan, kebutuhan-kebutuhan, frustrasi dan konflik-konflik yang dihadapinya. Selain itu diharapkan juga individu selalu berusaha untuk dapat diterima oleh lingkungan dan menjaga keharmonisan hubungan dengan lingkungan dimana dia berada.


(19)

4

Pada masa peralihan dari Sekolah Dasar (SD) menuju Sekolah Menengah Pertama (SMP), banyak siswa yang menganggap menyesuaikan diri dengan teman sebaya merupakan hal yang sulit dilakukan dan sering merasa adanya paksaan dalam menyesuaikan diri, dimana dalam lingkungan tersebut tidak ada teman yang di kenali dan cenderung mencari perhatian dengan melakukan hal yang berbeda dengan lingkungannya. Hal yang sering terjadi dikalangan siswa adalah berbagai hambatan dalam melakukan penyesuaian diri terutama dengan teman sebaya, baik itu dalam faktor dari dalam diri siswa itu sendiri maupun dari lingkungan sekitar siswa (faktor luar).

Dilihat dari sudut pandang lain, sudah banyak siswa yang mulai mengetahui hal yang harus dilakukan terhadap lingkungannya yang baru dengan menyesuaikan dirinya, dimulai dari menyapa, memahami karakter orang lain, menempatkan diri sesuai dengan kemampuan dan yang dimiliki, mematuhi ketentuan sekolah, dan hal lain yang dapat membantu mempermudah penyesuaian diri dengan lingkungannya, tetapi tetap remaja memiliki masalah dengan cara melakukan hal tersebut. Siswa yang memiliki masalah di sekolah pada umumnya mengatakan bahwa tidak ada minat pada pelajaran dan bersikap acuh tak acuh, merasa takut berada di sekolah, prestasi belajar menurun yang kemudian akan timbul sikap dan perilaku menyimpang seperti membolos, melanggar tata tertib sekolah, dan juga menentang guru.


(20)

5

Pada tanggal 22 Februari 2015, peneliti melakukan wawancara dengan seorang guru bidang kesiswaan di SMP N 1 Kalimanah. Guru bidang kesiswaan SMP N 1 Kalimanah mengungkapkan bahwa banyak siswa yang lebih memilih untuk membolos sekolah dari pada di sekolah tidak memiliki teman, bahkan ada yang sampai di sekolahpun orangtua siswa ikut menunggu anaknya sampai pulang sekolah, akibatnya sering diejek oleh temannya karena di sekolah masih didampingi oleh ibunya, ada juga siswa yang bertengkar karena merasa lebih unggul di kelas sedangkan yang lainnya tidak.

Beberapa siswa memilih untuk tetap berteman dengan temannya semasa masih duduk di Sekolah Dasar (SD) dan tidak mau berbaur dengan teman baru yang lainnya karena faktor lain yang mempengaruhi, seperti malu untuk memulai berkenalan, anak merasa lebih nyaman berada di dekat teman yang dikenalnya, dan lingkungan sekolah baru yang dirasa asing oleh anak. Ada juga siswa yang belum mau untuk bersosialisasi dengan guru karena masih merasa takut dan sama sekali belum mengenal kepribadian guru di sekolah barunya, serta belum terbiasa dengan guru mata pelajaran yang jumlahnya lebih banyak dari saat masih duduk di SD. Dari hal tersebut dapat dilihat, bahwa masih banyak siswa yang memiliki masalah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolahnya, baik menyesuaikan diri dengan teman, guru, maupun dengan peraturan yang berlaku di sekolah tersebut.


(21)

6

Selain melakukan wawancara dengan guru kesiswaan, peneliti juga melakukan wawancara dengan 2 orang siswa. Salah seorang dari siswa mengungkapkan bahwa dirinya menyadari tentang peraturan yang ada di sekolah dan ingin mematuhinya, tetapi tidak mau dikucilkan oleh temannya, sehingga cenderung lebih mendengarkan apa kata teman-temannya daripada kata hatinya sendiri. Siswa lainnya mengatakan bahwa tidak ada keinginan untuk menjalin hubungan dengan warga sekolah lainnya, siswa merasa takut dan tidak ingin dibilang cari muka, sok kenal, dan sebagainya. Oleh sebab itu siswa lebih memilih untuk tetap berteman dengan temannya yang dikenal sewaktu duduk dibangku Sekolah Dasar.

Dari wawancara pra-penelitian yang dilakukan peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat siswa-siswa yang sulit menyesuaikan diri dimasa peralihan dari SD ke SMP. Siswa mengalami kesulitan berkomunikasi dengan teman di kelas maupun di lingkungan sekolah. Siswa yang mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan warga sekolah lain lama-kelamaan akan mengalami kemunduran dalam pergaulan maupun prestasi belajar karena siswa merasa malas untuk bersekolah. Berdasarkan permasalahan tersebut, guru bimbingan dan konseling (guru BK) tentunya memiliki tugas untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa dengan cara dan proses yang tepat.

Layanan konseling individual dan kelompok sudah merupakan hal yang lazim dilakukan oleh guru BK. Hanya saja masih banyak siswa yang beranggapan jika berhadapan dengan guru BK berarti ada kesalahan yang


(22)

7

dilakukan oleh siswa. Padahal guru BK sebenarnya dapat dijadikan pendamping dalam perkembangan sosial, mental dan psikologi siswa. Guru BK juga dapat dijadikan sebagai teman siswa di sekolah.

Dalam layanan konseling kelompok interaksi antar individu anggota kelompok merupakan suatu khas, yang tidak mungkin terjadi dalam konseling perorangan. Dengan interaksi sosial yang intensif dan dinamis selama berlangsungnya layanan, diharapkan tujuan layanan (yang sejajar dengan kebutuhan-kebutuhan individu anggota kelompok) dapat tercapai secara lebih mantap (Prayitno dan Erman Anti, 1994: 315). Efektifitas layanan konseling kelompok adalah keberhasilan dalam memberikan bantuan yang dilakukan oleh konselor terhadap beberapa orang konseli (lebih dari satu orang) secara tatap muka dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan perilaku positif pada konseli sehingga dapat terselesaikan masalahnya, memiliki mental yang sehat, memiliki pandangan hidup yang baik dan mencapai kebahagiaan.

Dalam situasi kelompok siswa yang memiliki masalah dapat dibantu oleh anggota kelompok yang lain, karena dalam kelompok remaja diharapkan dapat saling membantu dan menerima satu sama lain. Selain itu, dalam kelompok juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan juga interaksi sosial dengan sesama anggota kelompok. Namun, guru BK memberikan hak penuh atas siswa untuk dapat menyelesaikan dan mengambil keputusan atas masalah yang dimiliki siswa. Guru BK hanya


(23)

8

memberikan arahan agar siswa mudah untuk memahami masalahnya dan juga jalan keluar dari masalah yang sedang dialami oleh siswa tersebut.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan Gestalt dalam layanan konseling kelompok. Peneliti memilih menggunakan teknik pendekatan Gestalt, karena pada pendektan Gestalt lebih menekankan pada individu untuk mampumenerima kenyataan dan mendorong individu untuk menemukan jalannya sendiri sehingga mampu mengintegrasikan dirinya ke pada kehidupan yang dialaminya. Selain itu Gestalt sendiri memandang manusia sebagai suatu keutuhan dan bukan bagian-bagian. Maksudnya adalah bahwa manusia itu sendiri mempunyai berbagai macam-macam ekspresi serta emosi yang terkumpul menjadi satu sebagai manusia itu sendiri. Konseling kelompok yang menekankan pada interaksi individu dan didukung dengan pendekatan Gestalt sendiri mampu menciptakan katalis bagi individu untuk mempercepat individu dalam mengintegrasikan diri pada kenyataannya.

Pendekatan Gestalt pada dasarnya mendorong individu untuk menyelenggarakan terapi sendiri, seperti introspeksi, mencari suatu kesalahan yang ada pada diri sendiri kemudian memperbaikinya. Dalam hal ini individu tersebut didorong untuk membuat penafsiran-penafsirannya sendiri, menciptakan pernyataan-pernyataannya sendiri, dan menemukan makna-maknanya sendiri. Akhirnya, individu tersebut seakan-akan langsung mengalami perjuangan di sini dan sekarang terhadap urusan yang tak selesai di masa lampau. Dengan mengalami konflik-konflik,


(24)

9

meskipun hanya membicarakannya, siswa lambat laun dapat memperluas kesadarannya (Corey, 2005: 117).

Pendekatan Gestalt yang dikembangkan oleh Federick Perls adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu-individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika individu berharap mencapai kematangan. Pendekatan Gestalt berfokus pada apa dan bagaimana-nya tingkah laku serta pengalaman di sini dan juga sekarang dengan memadukan (mengintegrasikan) bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tak diketahui, sebab pendekatan Gestalt bekerja terutama di atas prinsip kesadaran individu (Gerald Corey, 2010: 118).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lilik Yuni S tahun 2004 dengan judul “Efektifitas Layanan Konseling Kelompok Terhadap Peningkatan Penyesuaian Diri di Sekolah Tahun Pelajaran 2003/2004”, menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan dengan menggunakan konseling kelompok mengalami peningkatan dalam penyesuaian diri siswa. Dari 6 siswa, 5 siswa mengalami peningkatan dan 1 siswa masih belum mengalami peningkatan penyesuaian diri.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dinda Indah P tahun 2013 dengan judul “Pengembangan Buku Panduan Pelaksanaan Konseling dengan Pendekatan Gestalt bagi Guru BK SMA di Kota Yogyakarta”, menunjukkan bahwa buku mengenai konseling dengan pendekatan Gestalt


(25)

10

dalam proses konseling layak digunakan oleh Guru BK sebagai informasi dan pengetahuan.

Dari uraian di atas, peneliti perlu melakukan penelitian yaitu efektifitas konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Lilik Yuni S tahun 2004 tersebut menunjukkan keberhasilan pada peningkatan penyesuaian diri siswa dengan konseling kelompok. Hal ini dibuktikan dengan dari 6 siswa, 5 mengalami peningkatan penyesuaian diri dan 1 siswa masih belum mengalami peningkatan penyesuaian diri. Pengembangan buku panduan konseling dengan menggunakan pendekatan Gestalt yang cocok digunakan oleh Guru BK sebagai panduan dalam pelaksanaan konseling individu maupun kelompok.

Pada saat ini, di SMP Negeri 1 Kalimanah masih terdapat permasalahan penyesuaian diri siswa dan guru BK belum mengoptimalkan penggunaan layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai efektifitas konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt terhadap peningkatan penyesuaian diri siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga.


(26)

11 B. Identifikasi Masalah

Dalam latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, terdapat beberapa permasalahan yang muncul, yaitu :

1. Sebagian siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga mengalami masalah dalam penyesuaian diri di sekolah.

2. Rendahnya penyesuaian diri siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga terhadap lingkungan barunya.

3. Beberapa siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah, Purbalingga memiliki masalah dalam hubungan dengan warga sekolah (guru, karyawan, maupun teman).

4. Guru BK masih belum dapat berperan optimal bagi siswa dalam menghadapi masalah penyesuaian diri.

5. Belum optimalnya pelaksanaan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dalam upaya membantu permasalahan siswa, yang berkaitan dengan penyesuaian dirinya.

C. Batasan Masalah

Penelitian ini diarahkan pada permasalahan pokok sebagaimana yang telah diuraikan, serta memperjelas ruang lingkup masalahnya, peneliti membatasi masalah untuk lebih terfokus pada upaya peningkatan penyesuaian diri. Adapun upaya tersebut dilakukan melalui layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Penelitian ini dibatasi


(27)

12

dengan ruang lingkup siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga Tahun Pelajaran 2015/2016.

D. Rumusan Masalah

Penelitian ini diarahkan pada permasalahan pokok sebagaimana yang telah diuraikan, serta memperjelas ruang lingkup masalahnya, peneliti membatasi masalah untuk lebih terfokus pada upaya peningkatan penyesuaian diri. Adapun upaya tersebut dilakukan melalui layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt. Penelitian ini dibatasi dengan ruang lingkup siswa kelas VII SMP Negeri 1 Kalimanah, Purbalingga Tahun Pelajaran 2015/2016.

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt dalam meningkatkan penyesuaian diri siswa.

F. Manfaat penelitian

1. Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan pada bidang BK khususnya upaya-upaya meningkatkan pelayanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt di sekolah.


(28)

13

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a. Bagi guru BK

Penelitian ini membantu dalam pelaksanaan layanan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt yang dapat memudahkan siswa untuk lebih memahami lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial.

b. Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan dapat membantu masalah-masalah yang dialami para siswa khususnya dalam hal penyesuaian diri.

c. Bagi peneliti

Penelitian dapat meningkatkan kemampuan diri di bidang penelitian dan sebagai usaha untuk memperluas pengetahuan mengenai bimbingan dan konseling.


(29)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Mengenai Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri menurut M. Ali dan M. Ansori dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan atara tuntutan dari dalam individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.

Scheneiders (Syamsu Yusuf, 2004: 32) penyesuaian diri sebagai suatu proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik secara sukses serta menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana dirinya hidup.

Kartono (2000: 16) mendefinisikan penyesuaian diri merupakan usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Untuk itu, semua manusia harus mampu atau dapat untuk mencari kebahagiaan untuk dapat membuat dirinya bahagia.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan sebuah proses atau upaya individu dalam


(30)

15

memenuhi kebutuhan, mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik secara sukses. Untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri serta pada lingkungannya, agar dapat mencari kebahagiaan untuk dapat membuat hidupnya bahagia.

2. Macam-macam Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri yang terjadi pada individu terjadi pada berbagai kondisi dan situasi yang baru. Macam-macam penyesuaian diri menurut Sofyan S. Willis (Syamsu Yusuf, 2004: 36) dibedakan menjadi 3, antara lain :

a) Penyesuaian diri dalam keluarga

Penyesuaian diri dalam sebuah keluarga yang penting adalah terhadap orangtua maupun anggota keluarga yang lainnya. Sikap orangtua yang demokrasi memungkinkan terjadi penyesuian diri yang baik dan wajar pada diri setiap anak.

b) Penyesuaian diri di sekolah

Penyesuaian diri di sekolah yang utama adalah penyesuaian diri terhadap guru, terhadap teman sebaya, bagaimana individu dapat berinteraksi secara baik dengan teman sebayanya, mata pelajaran yang diajarkan dari sekolah dan lingkungan sosial di sekolah.

c) Penyesuaian diri di masyarakat

Dalam melakukan penyesuaian diri di masyarakat, seseorang harus taat terhadap nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dan menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat.


(31)

16

Menurut Woodworth (Soetarno, 1994) pada dasarnya manusia senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menyesuaikan diri ada dua macam, yaitu secara autoplastis dan alloplastis. Disebut dengan autoplastis, yaitu seseorang harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Penyesuaian diripun dapat dilakukan dengan cara alloplastis yaitu seseorang dapat merubah lingkungannya sesuai dengan keinginan dirinya (Abu Ahmadi, 2002: 54). Setiap perubahan dalam lingkungan kehidupan orang dalam arti luas itu menyebabkan individu harus menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, baik dalam arti pasif (autopllastis) maupun dalam arti aktif (alloplastis). Biasanya individu menggunakan kedua cara tersebut dalam penyesuaian dirinya (W.A. Gerungan. 2004: 60-61).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penyesuaian diri terdapat tiga macam penyesuaian diri yaitu penyesuaian diri di keluarga, penyesuaian diri di sekolah dan penyesuaian diri di masyarakat. Penyesuaian diri di masyarakat terbagi menjadi dua yaitu autoplastis yang bersifat pasif di mana individu harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan alloplastis yang bersifat aktif, yaitu individu yang menyesuaikan diri dengan merubah lingkungannya sesuai yang individu tersebut inginkan.


(32)

17 3. Ciri-ciri Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri berlangsung secara terus-menerus dalam diri individu dan lingkungan. Schneiders (1964: 73-88) memberikan kriteria individu dengan penyesuaian diri yang baik, yaitu sebagai berikut :

a. Pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya. b. Objektivitas diri dan penerimaan diri

c. Kontrol dan perkembangan diri d. Integrasi pribadi yang baik

e. Adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya f. Adanya perspektif, skala nilai, filsafat hidup yang kuat g. Mempunyai rasa humor

h. Mempunyai rasa tanggung jawab i. Menunjukkan kematangan respon

j. Adanya perkembangan kebiasaan yang baik k. Adanya adaptabilitas

l. Bebas dari respon-respon yang simtomatis atau cacat

m. Memiliki kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap orang lain

n. Memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain o. Adanya kepuasan dalam bekerja dan bermain


(33)

18

Lazarus (1961: 10-13) menyatakan bahwa penyesuaian diri yang baik mencakup empat kriteria sebagai berikut :

a. Kesehatan fisik yang baik

Kesehatan fisik yang baik berarti individu bebas dari gangguan kesehatan seperti sakit kepala, gangguan pencernaan dan masalah selera makan ataupun masalah fisik yang disebabkan faktor psikologis.

b. Kenyamanan psikologis

Individu yang merasakan kenyamanan psikologis berarti terbebas dari gejala psikologis seperti obsesif-kompulsif, kecemasan dan depresi. c. Efisiensi kerja

Efisiensi kerja dapat dicapai bila individu mampu memanfaatkan kapasitas kerja maupun sosialnya.

d. Penerimaan sosial

Penerimaan sosial terjadi bila individu diterima dan dapat berinteraksi dengan individu lain. Individu dapat diterima dan berinteraksi dengan individu lain jika individu mematuhi norma dan nilai yang berlaku.

Dari ciri-ciri yang dikemukakan para ahli tersebut, ciri-ciri penyesuaian diri yang diungkapkan Schneiders lebih lengkap dan memuat ciri-ciri yang diungkapkan oleh ahli lain. Dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri yang baik memiliki ciri-ciri pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya, objektivitas diri dan penerimaan diri, kontrol dan perkembangan diri integrasi pribadi yang baik, adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya, adanya perspektif, skala nilai,


(34)

19

filsafat hidup yang adekuat, mempunyai rasa humor, mempunyai rasa tanggung jawab, menunjukkan kematangan respon, adanya perkembangan kebiasaan yang baik, adanya kemampuan beradaptasi, bebas dari respon-respon yang simptomatis atau cacat, memiliki kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap orang lain, memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain, adanya kepuasan dalam bekerja dan bermain, memiliki orientasi yang kuat terhadap realitas.

4. Aspek-aspek Penyesuaian Diri

Menurut Fatimah (2006: 68), aspek-aspek penyesuaian diri adalah : a. Penyesuaian pribadi

Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang untuk menerima diri demi tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyatakan sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dalam mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.

b. Penyesuaian sosial

Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan sosial tersebut mencakup Hubungan-hubungan dengan anggota keluarga, masyarakat, sekolah, teman sebaya, atau anggota masyarakat luas secara umum. Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma


(35)

20

sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda. Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma yang berbeda-beda, lalu berusaha untuk mematuhinya sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya.

Novikarisma Wijaya, 2007: 20 (Runyon dan Haber, 1984: 10-19) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu memiliki lima aspek sebagai berikut :

a. Persepsi terhadap realitas

Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang realistik sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun pada perilaku yang sesuai.

b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan

Mempunyai kemampuan mengatasi stres dan kecemasan berarti individu mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup dan mampu menerima kegagalan yang dialami.

c. Gambaran diri yang positif

Gambaran diri yang positif berkaitan dengan penilaian individu tentang dirinya sendiri. Individu mempunyai gambaran diri yang positif baik melalui penilaian pribadi maupun melalui penilaian orang lain, sehingga individu dapat merasakan kenyamanan psikologis.


(36)

21

d. Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik

Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik berarti individu memiliki ekspresi emosi dan kontrol emosi yang baik.

e. Hubungan interpersonal yang baik

Memiliki hubungan interpersonal yang baik berkaitan dengan hakekat individu sebagai makhluk sosial, yang sejak lahir tergantung pada orang lain. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat.

Pada penelitian ini, aspek-aspek yang terkait, yaitu persepsi terhadap realitas, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, gambaran diri yang positif, kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri

Sawrey dan Telford, 1968: 16 (Novikarisma Wijaya, 2007: 21) mengemukakan bahwa penyesuaian bervariasi sifatnya, apakah sesuai atau tidak dengan keinginan sosial, sesuai atau tidak dengan keinginan personal, menunjukkan konformitas sosial atau tidak, dan atau kombinasi dari beberapa sifat di atas. Sawrey dan Telford lebih jauh lagi mengemukakan bahwa penyesuaian yang dilakukan tergantung pada sejumlah faktor yaitu pengalaman terdahulu, sumber frustrasi, kekuatan motivasi, dan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah.


(37)

22

Menurut Schneiders, 1964: 122 (Novikarisma Wijaya, 2007: 22), faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah :

a. Keadaan fisik

Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.

b. Perkembangan dan kematangan

Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.

c. Keadaan psikologis

Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel


(38)

23

yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.

d. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. Sekolah bukan hanya memberikan pendidikan bagi individu dalam segi intelektual, tetapi juga dalam aspek sosial dan moral yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah juga berpengaruh dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang menjadi dasar penyesuaian diri yang baik.

e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan

Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk


(39)

24

menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan, serta religiusitas dan kebudayaan.

6. Karakteristik penyesuaian diri

Menurut Sugeng Haryadi, dkk (2003: 67-69) terdapat beberapa karakteristik penyesuaian diri yang positif, diantaranya :

a. Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya. Karakteristik ini mengandung pengertian bahwa orang yang mempunyai penyesuaian diri yang positif adalah orang yang sanggup menerima kelemahan-kelemahan, kekurangan-kekurangan di samping kelebihan-kelebihannya. Individu tersebut mampu menghayati kepuasan terhadap keadaan dirinya sendiri, dan membenci apalagi merusak keadaan dirinya betapapun kurang memuaskan menurut penilaiannya. Hal ini bukan berarti bersikap pasif menerima keadaan yang demikian, melainkan ada usaha aktif disertai kesanggupan mengembangkan segenap bakat, potensi, serta kemampuannya secara maksimal. Dengan kata lain, individu menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam diri, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. (Sunarto & Hartono, 2006)


(40)

25

b. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif.

Sesuai dengan perkembangan rasional dan perasaan. Orang yang memiliki penyesuaian diri positif memiliki ketajaman dalam memandang realita, dan mampu memperlakukan realitas atau kenyataan secara wajar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dirinya dalam berperilaku selalu bersikap mau belajar dari orang lain, sehingga secara terbuka pula dirinya mau menerima feedback dari orang lain.

c. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi.

Kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif diluar dirinya. Karakteristik ini ditandai oleh kecenderungan seserng untuk tidak menyia-nyiakan kekuatan yang ada pada dirinya dan akan melakukan hal-hal yang jauh di luar jangkauan kemampuannya. Hal ini terjadi perimbangan yang rasional antara energi yang dikeluarkan dengan hasil yang diperolehnya, sehingga timbul kepercayaan terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.

d. Memiliki perasaan yang aman dan memadai.

Individu yang tidak lagi dihantui oleh rasa cemas ataupun ketakutan dalam hidupnya serta tidak mudah dikecewakan oleh keadaan sekitarnya. Perasaan aman mengandung arti pula bahwa orang tersebut mempunyai harga diri yang mantap, tidak lagi merasa terancam dirinya oleh lingkungan dimana ia berada, dapat menaruh kepercayaan terhadap


(41)

26

lingkungan dan dapat menerima kenyataan terhadap keterbatasan maupun kekurangan-kekurangan dan lingkungannya.

e. Rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran.

Karakteristik ini ditandai oleh adanya pengertian dan penerimaan keadaan di luar dirinya walaupun sebenarnya kurang sesuai dengan harapan atau keinginannya.

f. Terbuka dan sanggup menerima umpan balik.

Karakteristik ini ditandai oleh kemampuan bersikap dan berbicara atas dasar kenyataan sebenarnya, ada kemauan belajar dari keadaan sekitarnya, khususnya belajar mengenai reaksi orang lain terhadap perilakunya.

g. Memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi.

Hal ini tercermin dalam memelihara tata hubungan dengan orang lain, yakni tata hubungan yang hangat penuh perasaan, mempunyai pengertian yang dalam dan sikapnya yang wajar.

h. Mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.

Individu diharapkan selaras dengan hak dan kewajibannya, sehingga bertindak dengan norma yang berlaku.

i. Individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yang berlaku. Individu mematuhi dan melaksanakan norma tanpa adanya paksaan dalam setiap perilakunya. Sikap dan perilakunya selalu didasarkan atas kesadaran akan kebutuhan norma, dan atas keinsyafan sendiri.


(42)

27

Berdasarkan pendapat Sugeng Haryadi, dkk, karakteristik penyesuaian diri yang positif diantaranya adalah memiliki kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya, mempunyai kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif, memiliki kemampuan bertindak sesuai dengan potensi, individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yang berlaku, individu diharapkan selaras dengan hak dan kewajibannya, sehingga bertindak dengan norma yang berlaku, individu mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi, individu terbuka dan sanggup menerima umpan balik, memiliki rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran, memiliki perasaan yang aman dan memadai.

Penyesuaian diri ada pula yang bersifat negatif. Penyesuaian diri yang bersifat negatif terdiri atas bentuk reaksi bertahan, reaksi meyerang, dan reaksi melarikan diri dari kenyataan, dan penyesuaian yang potologis. Yusuf & Nurihsan (2012 :212) menjelaskan :

a. Reaksi bertahan diri (defence reaction)

Reaksi bertahan diri yaitu dimana individu berusaha untuk menutupi kegagalan dan kekecewaan walaupun sebenarnya individu tersebut mengalaminya. Bentuk raksi bertahan ini antara lain :

1) Konpensasi, yaitu menutupi kelemahan dalam suatu hal dengan cara mencari kepuasan dalam bidang lain.


(43)

28

2) Sublimasi, yaitu menutupi atau mengganti suatu kelemahan atau kegagalan dengan cara berkeinginan mendapatkan pengakuan dari masyarakat.

3) Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan individu kepada pihak lain.

b. Reaksi menyerang (aggressive reaction)

Yaitu usaha untuk menutupi kegagalan dan tidak mau menyadarinya dengan tingkah laku yang bersifat menyerang. Menurut H. Sunarto dan B. Agung Hartono (Rumini & Sundari, 2004:69), reaksi yang muncul antara lain, senang membenarkan diri sendiri, senang mengganggu orang lain, menggertak dengan ucapan atau perbuatan, menunjukan sikap permusuhan secara terbuka, keras kepala, balas dendam, dan marah secara sadis.

c. Reaksi melarikan diri (escape reaction)

Yaitu usaha untuk menjauh dari situasi yang menimbulkan kegagalan atau lari dari kenyataan. Bentuk dari reaksi melarikan diri yaitu, berfantasi atau melamun, banyak tidur atau tidur yang potologis yaitu kebiasaan tidur yang tidak terkontrol (narcolepcy), meminum minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu narkotika, dan regresi. d. Penyesuaian diri yang potologis

Yaitu penyesuaian diri yang mana individu mendapat perawatan khusus dan bersifat klinis bahkan perlu mendapat perwatan di rumah sakit (hospitalized). Yang termasuk ke dalam penyesuaian potologis


(44)

29

yaitu, “neurosis” dan “psikosis”, yaitu jika individu gagal dalam penyesuaian diri, individu tersebut akan sampai pada situasi salah usai. Gejala salah usai ini akan dimanifestasikan dalam bentuk tingkah laku yang kurang wajar atau kelainan dalam bertingkah laku.

B. Kajian Tentang Layanan Konseling Kelompok 1. Pengertian Konseling Kelompok

Pengertian konseling kelompok dalam penelitian ini di jelaskan sebagai berikut. Konseling kelompok (group counseling) menurut Latipun (2008: 178), merupakan salah satu bentuk konseling yang memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberikan umpan balik (feedback), dan pengalaman belajar. Konseling kelompok dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamika kelompok (group dynamic). Latipun juga memberikan definisi lain terkait dengan konseling kelompok yaitu proses dalam bentuk pengubahan pengetahuan, sikap dan perilaku termasuk dalam hal pemecahan masalah dapat terjadi melalui proses kelompok.

Dalam suatu kelompok anggotanya dapat memberi umpan balik yang diperlukan untuk membantu mengatasi masalah anggota yang lain, dan anggota satu dengan yang lainnya saling memberi dan menerima. Konseling kelompok merupakan proses konseling yang dilaksanakan dengan memanfaatkan kelompok untuk pemecahan masalah, pengubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku melalui dinamika kelompok.


(45)

30

Istilah konseling kelompok mengacu kepada penyesuaian rutin atau pengalaman perkembangan dalam lingkup kelompok. Konseling kelompok difokuskan untuk membantu klien mengatasi problem dan perkembangan keribadiannya (Gibson, 2011: 275).

Tohirin (2007: 179) menyatakan bahwa layanan konseling kelompok mengikutkan sejumlah peserta dalam bentuk kelompok dengan konselor sebagai pemimpin kegiatan kelompok. Layanan konseling kelompok mengaktifkan dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi pengembangan pribadi dan pemecahan masalah siswa yang menjadi peserta layanan. Konseling kelompok membahas masalah pribadi yang dialami masing-masing anggota kelompok. Masalah pribadi dibahas melalui suasana dinamika kelompok yang intens dan konstruktif, diikuti oleh semua anggota kelompok dengan bimbingan ketua kelompok (Guru Bimbingan dan Konseling/ Guru BK). Dinamika kelompok harus dapat dikembangkan secara baik sehingga mendukung pencapaian tujuan layanan secara efektif dalam layanan konseling kelompok.

Dari beberapa pengertian di atas, maka kesimpulan mengenai konseling kelompok adalah upaya memberikan bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang di dalam kelompok tersebut terdapat 4-8 anggota atau konseli yang berdiskusi dan memecahkan masalah. Pelaksanaannya dalam suatu tempat tertentu dengan didampingi seorang pembimbing atau lebih guna untuk membantu mengarahkan agar konseli


(46)

31

nantinya akan memperoleh kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhan.

2. Tujuan Konseling Kelompok Pendekatan Gestalt

Tujuan dari konseling kelompok pendekatan Gestalt adalah tujuan konseling kelompok yang berintegrasi dengan tujuan dari pendekatan Gestalt itu sendiri. Tujuan konseling kelompok dengan tujuan pendekatan Gestalt pada dasarnya adalah sama namun berbeda dalam aspeknya. Berikut merupakan tujuan dari konseling kelompok. Gibson dan Mitchell dalam (Latipun, 2008: 181) mengungkapkan, konseling kelompok berfokus pada usaha membantu konseli dalam melakukan perubahan dengan menaruh perhatian pada perkembangan dan penyesuaian sehari-hari, misalnya modifikasi tingkah laku, pengembangan keterampilan hubungan personal, nilai, sikap atau membuat keputusan karir.

Menurut Prayitno (2004: 2), tujuan konseling kelompok dibagi menjadi dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu:

a. Tujuan umum konseling kelompok adalah berkembangnya kemampun sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Dalam kaitan ini sering menjadi kenyataan bahwa kemampuan bersosialisasi/berkomunikasi seseorang terganggu oleh perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap yang tidak obyektif, sempit danter kungkung serta tidak efektif. Melalui layanan konseling kelompokhal-hal yang mengganggu atau menghimpit perasaan dapat


(47)

32

diungkapkan, dilonggarkan, diringankan melalui berbagai cara. Pikiran yang suntuk, buntu, atau beku dicairkan dan di dinamiskan melalui berbagai masukkan dan tanggapan baru. Persepsi dan wawasan yang menyimpang dan sempit diluruskan serta diperluas melalui pencairan pikiran, penyadaran dan penjelasan. Sikap yang tidak obyektif, terkungkung dan tidak terkendali, serta tidak efektif digugat dan didobrak, kalau perlu diganti dengan yang lebih efektif. Melalui kondisidan proses yang berperasaan, berpikir, berpersepsi, dan berwawasan yang terarah, luwes dan luas serta dinamis kemampuan berkomunikasi, bersosialisasi dan bersikap dapat dikembangkan. Dan juga bertujuan untuk mengentaskan masalah konseli dengan memanfaatkan dinamika kelompok.

b. Tujuan khusus konseling kelompok terfokus pada pembahasan masalah pribadi individu peserta kegiatan layanan. Melalui konseling kelompok yang intensif dalam upaya pemecahan masalah tersebut para peserta memperoleh dua tujuan, yaitu:

1) Terkembangnya perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap terarah pada tingkah laku khususnya dalam bersosialisasi/ komunikasi.

2) Terpecahkannya masalah individu yang bersangkutan dan diperolehnya pemecahan masalah tersebut bagi individu-individu lain peserta layanan konseling kelompok.


(48)

33

Dewa Ketut Sukardi (2008: 68) menjelaskan tujuan konseling kelompok yang lebih rinci adalah sebagai beikut :

a. Melatih anggota kelompok agar berani mengungkapkan pendapat didepan orang banyak.

b. Melatih anggota kelompok untuk saling menghormati dan saling menghargai terhadap teman sebayanya.

c. Membantu mengembangkan bakat dan minat dari masing-masing anggota kelompok.

d. Membantu menyesuaikan permasalahan-permasalahan dalam kelompok.

Pada dasarnya tujuan konseling kelompok tidak berbeda jauh dengan tujuan dari pendektan Gestalt itu sendiri. Namun dalam perbedaannya, konseling kelompok lebih bertujuan kepada aspek sosial individu. Hal ini dapat terlihat dari tujuan-tujuan konseling kelompok dari pendapat di atas. Seperti adanya sifat tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati, yang mana merupakan sifat dasar dari bersosialisasi. Berbeda dengan pendektan Gestalt yang mempunyai tujuan untuk mengembangkan potensi individu atau lebiih kepada masalah pribadi. Namun hal itu saling berkaitan antara satu sama lain, antara tujuan konseling kelompok dengan pendekatan Gestalt.

Sehingga dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan mengenai tujuan konseling kelompok pendekatan Gestalt yang lebih menekankan kepada aspek pribadi-sosial.


(49)

34 3. Tipe Konseling Kelompok

Menurut Myrick (Sciarra, 2007: 40-41), menjelaskan mengenai tipe konseling kelompok dalam lingkup sekolah ada 3 macam, yaitu:

a. Crisis-Centered Group, merupakan konseling kelompok yang dibentuk untuk menangani permasalahan- permasalahan yang bersifat urgent, sebagai contoh adalah trauma. Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera (Sjamsuhidajat, 1997). Trauma bagi siswa menjadi urgent karena jika tidak segera diselesaikan akan menimbulkan hambatan yang serius bagi siswa dalam pembelajarannya. Konseling tipe ini, anggota kelompok terdiri dari empat sampai dengan enam peserta agar konseling lebih efektif, sedangkan pertemuan tidak lebih dari lima sesi, namun dengan pendekatan yang sangat intensif.

b. Problem Centered Group, merupakan konseling kelompok yang dibentuk untuk menangani permasalahan-permasalahan yang bersifat umum dan sedikit kurang urgent atau dibawah standar masalah pada crisis centered group. Menurut Myrick konseling tipe crisis centered group dapat menjadi problem centered group jika permasalahan yang hendak diselesaikan lambat laun menuju kearah positif setelah melalui proses konseling yang intensif, begitu juga sebaliknya. Problem centered group digunakan sebagai alternatif penyelesaian masalah siswa yang sering ditemui disekolah, biasanya berkaitan dengan dengan masalah pribadi, sosial, karir dan akademis (Nurihsan, 2006).


(50)

35

c. Growth Centered Group, merupakan konseling kelompok yang dibentuk untuk meningkatkan pencapaian tahap perkembangan siswa. Dalam proses ini konselor akan mengelola dan mengimplementasikan program bimbingan yang berbasis tahap perkembangan. Growth centered group fokus pada tahap perkembangan siswa, konseling ini dilaksanakan untuk semua siswa, baik yang memiliki masalah maupun yang tidak terkait dengan tugas perkembangannya, sehingga semua siswa memiliki pengetahuan dan paham terhadap tugas perkembangannya. Selama konseling ini berlangsung konselor akan mengidentifikasi siswa-siswa yang membutuhkan konseling lanjutan yang lebih intensif, baik dengan crisis centered group maupun problem centered group.

Pendekatan dalam konseling kelompok meliputi tiga jenis tergantung dari jenis permalahan yang hendak diselesaikan. Konseling tersebut yakni crisis centered group, untuk menangani masalah yang bersifat urgent, problem centered group untuk menangani masalah terkait masalah pribadi, sosial, karir dan akademis, serta growth centered group untuk meningkatkan tahap perkembangan siswa. Penelitian mengenai penyesuaian diri siswa kelas VII SMP N 1 Kalimanah ini menggunakan teknik problem centered group, yakni permasalahan ini terkait dengan kepribadian dan juga kehidupan sosial yang membutuhkan penanganan intensif.


(51)

36

4. Aspek yang Perlu Diperhatikan dalam Konseling Kelompok

Konseling kelompok memiliki tujuan untuk membantu menyelesaikan masalah yang dialami oleh anggota kelompok. Pelaksanaan konseling kelompok perlu memperhatikan beberapa aspek agar hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan maksimal.

Menurut Prayitno (2004: 8), persiapan sebelum pelaksanaan konseling kelompok harus memperhatikan aspek, antara lain:

a. Besarnya kelompok

Kelompok yang ideal dalam pelaksanaan konseling kelompok yaitu tidak lebih dari 10 orang. Jika terlalu banyak maka akan tidak efektif. Partisipasi aktif idividu dalam dinamika kelompok kurang inensif, dan kesempatan berbicara kurang. Begitu juga jika anggota kelompok hanya 2-3 orang akan mengurangi kedalaman dan variasi pembahasan. b. Homogenitas/heterogenitas kelompok

Kelompok yang anggotanya heterogen akan menjadi sumber yang lebih kaya untuk pencapaian tujuan layanan. Pembahasan dapat ditinjau dari berbagai sesi, tidak monoton, dan terbuka. Heterogenitas dapat mendobrak dan memecahkan kebekuan yang terjadi akibat homogenitas anggota kelompok. Perlu diperhatikan bahwa heterogenitas yang dimaksud bukan asal beda.

c. Peranan anggota kelompok

1) Aktifitas mandiri, kegiatan yang perlu dilakukan setiap anggota kelompok, adalah:


(52)

37

a) Mendengarkan, memahami, dan merespon dengan tepat dan positif.

b) Berpikir dan berpendapat.

c) Menganalisis, mengkritisi, dan berargumentasi. d) Merasa, berempati, dan bersikap.

e) Berpartisipasi dalam kegiatan bersama.

2) Aktifitas mandiri masing-masing anggota kelompok yang diorientasikan pada kehidupan bersama dalam kelompok. Kebersamaan ini diwujudkan melalui:

a) Pembinaan keakraban dan keterlibatan secara emosional antar anggota kelompok.

b) Kepatuhan terhadap aturan kegiatan dalam kelompok.

c) Komunikasi jelas dan lugas dengan lembut dan bertatakrama. d) Saling memahami, memberi kesempatan dan membantu. e) Kesadaran bersama untuk menyukseskan kegiatan kelompok. Fokus perhatian Prayitno dalam penyelenggaraan konseling kelompok adalah jumlah anggota kelompok yang tidak lebih dari 10 orang. Heterogenitas yang dapat menciptakan konseling kelompok menjadi optimal dan peran serta aktif tiap anggota kelompok.

Pemikiran yang tertuang dalam psikologi konseling karya Latipun (2008: 185), terkait dengan hal yang perlu diperhatikan dalam konseling kelompok, adalah:


(53)

38 a. Struktur dalam konseling kelompok

Struktur kelompok yang dimaksud menyangkut orang yang terlibat dalam kelompok, jumlah orang yang menjadi partisipan, banyak waktu yang diperlukan bagi suatu terapi kelompok dan sifat kelompok.

b. Jumlah anggota kelompok

Jumlah anggota kelompok yang efsien dalam penyelenggaraan konseling kelompok berkisar antara 4-12 orang, berdasarkan penelitian jika anggota kelompok kurang dari 4 orang maka tidak efektif dan dinamika kelompok tidak akan hidup dan jika lebih dari 12 orang maka terlalu besar untuk proses konseling karena terlalu berat dalam mengelola kelompok.

c. Homogenitas kelompok

Dalam hal homogenitas maupun heterogenitas tidak ada ketentuan yang pasti mengenai homogenitas keanggotaan suatu konseling kelompok. Sebagian konseling ada yang dibuat homogen dari segi jenis kelamin, jenis masalah, dan gangguan, kelompok usia dan sebaginya. Namun sebagian juga homogenitas tidak diperhitungkan. Penentuan homogenitas keanggotaan disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan konselor dalam mengelola konseling kelompok (Kaplan & Sadock dalam Lubis ,2013: 211).


(54)

39 d. Sifat kelompok

Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika konseling kelompok dapat menenrima anggota baru selama konseling berlangsung dan tertutup jika tidak dapat menerima anggota baru selama konseling berlangsung. Penentuan terbuka maupun tertutup disesuaikan dengan kemampuan konselor dalam membentuk dan memelihara kohesivitas.

e. Waktu pelaksanaan

Lama waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat tergantung pada kompleksivitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum konseling kelompok yang bersifat jangka pendek (short term group counseling) membutuhkan waktu pertemuan antara 8-20 pertemuan, dengan frekuensi pertemuan antara satu sampai tiga kali seminggunya dan durasinya antara 60 sampai 90 menit setiap pertemuan. Durasi pertemuan konseling kelompok pada prinsipnya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi anggota kelompok.

Dari uraian tersebut, konselor perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Jumlah kelompok berkisar 4-12 orang, homogenitas/heterogenitas disesuikan dengan keperluan dan kemampuan konselor, sifat kelompok

disesuaikan kemampuan konselor menjaga kohesivitas dan waktu pelaks anaan yang tepat.

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas, dalam hal aspek yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan konseling kelompok adalah,


(55)

40

penyeleksian anggota kelompok, jumlah anggota kelompok, heterogenitas/homogenitas kelompok, waktu pelaksanaan, peran serta anggota kelompok, setting tempat, sifat kelompok terbuka atau tertutup, dan peran komunikasi dalam kelompok.

5. Manfaat Konseling Kelompok

Manfaat yang dapat diperoleh dengan menggunakan konseling kelompok sebagai teknik bimbingan dapat membantu siswa menyelesaikan masalahnya.

Wiener (Latipun, 2008: 183), mengatakan bahwa interaksi kelompok memiliki pengaruh positif untuk kehidupan individual karena kelompok dapat dijadikan sebagai media terapeutik. Menurutnya interaksi kelompok dapat meningkatkan pemahaman diri dan baik untuk pemahaman tingkah laku individual.

Unsur terapeutik dalam konseling kelompok menurut Winkel dan Sri Hastuti (2005: 590), adalah hal-hal yang melekat pada interaksi antar pribadi dalam kelompok dan membantu untuk memahami diri dengan lebih baik dan menemukan penyelesaian atas berbagai kesulitan yang dihadapi.

Manfaat konseling kelompok menurut Dewa Ketut Sukardi (2008: 67), yaitu kesempatan yang luas untuk berpendapat dan membicarakan berbagai hal yang terjadi disekitarnya, memiliki pemahaman yang obyektif, tepat, dan cukup luas tentang berbagai hal yang dibicarakan,


(56)

41

dapat menimbulkan sikap yang positif terhadap keadaan diri dan lingkungan mereka yang berhubungan dengan hal-hal yang dibicarakan dalam kelompok, mampu menyusun berbagai kegiatan untuk mewujudkan penolakan terhadap yang buruk dan dukungan terhadap yang baik, dan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan nyata dan langsung untuk membuahkan hasil sebagaimana yang direncanakankan semula.

Dari manfaat tersebut, jika diterapkan ke dalam konseling kelompok, seorang konselor dapat membantu lebih dari satu siswa, siswa dapat melatih kecerdasan interpersonalnya, mencoba kebiasaan baru, mendapat masukan dari anggota lain, mendapat motivasi dari anggota lain, meningkatkan keterampilan komunikasi, dan antar anggota kelompok dapat saling membantu. Peningkatan manfaat ini dapat dicapai jika konselor memiliki keahlian dalam ketepatan pemberian respon, kemampuan konselor mengelola kelompok, kesediaan konseli mengikuti proses konseling, kepercayaan konseli kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses.

6. Tahapan Konseling Kelompok

Tahapan dalam penyelenggaraan konseling kelompok, yang dikemukakan oleh Yalom dan Corey (Latipun, 2008: 158), sebagai berikut:


(57)

42

a. Tahap Pra-konseling: Pembentukan Kelompok

Dalam tahap pembentukan kelompok yang perlu diperhatikan adalah seleksi anggota, dan menawarkan program kepada calon peserta konseling kelompok, sekaligus membangun harapan kepada calon peserta. Dalam seleksi anggota perlu diperhatikan adalah adanya minat bersama (common interest), suka rela atau atas kesediaan sendiri, adanya kemauan untuk berpartisipasi di dalam proses kelompok, dan mampu untuk berpartisipasi di dalam proses konseling kelompok.

b. Tahap Permulaan (orientasi dan eksplorasi)

Pada tahap ini mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasi harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai menegaskan tujuan kelompok.

c. Tahap Transisi

Pada tahap ini diharapkan masalah yang dihadapi masing-masing konseli dirumuskan dan diketahui apa sebab-sebabnya.

d. Tahap Kerja-Kohesi dan Produktivitas

Tahap ini merupakan tahap penyusunan tindakan setelah mengetahui sebab permasalahan. Dalam tahap ini akan ditandai dengan: membuka diri lebih besar, menghilangkan defensifnya, terjadinya konfrontasi antar anggota kelompok, modeling, belajar perilaku baru, terjadinya transferensi dan dalam tahap ini kohesivitas mulai terbentuk.


(58)

43

e. Tahap Akhir (konsolidasi dan terminasi)

Dalam tahap ini anggota kelompok mulai mencoba melakukan perubahan-perubahan tingkah laku dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memberikan umpan balik terhadap yang dilakukan oleh anggota yang lain.

f. Tahap Tindak Lanjut dan Evaluasi

Dalam tahap ini pimpinan kelompok mengevaluasi sejauh mana tujuandari konseling kelompok sudah tercapai, dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi. Setelah itu pimpinan kelompok melakukan tindak lanjut dari konseling yang dilaksanakan.

Pendapat mengenai tahapan dalam penyelenggaraan konseling kelompok sebenarnya sama, hanya secara redaksionalnya yang berbeda. Inti dari tahapan pelaksanaan konseling kelompok adalah tahap pembentukan, peralihan menuju tahap kegiatan konseling kelompok yang intensif, tahap kegiatan yang telah disusun, tahap akhir dan tindak lanjut pelaksanaan konseling kelompok.

7. Efektifitas Layanan Konseling Kelompok

Efektifitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi (Susanto, 1975:156). Layanan konseling kelompok yaitu layanan Bimbingan dan Konseling yang memungkinkan sejumlah siswa memperoleh kesempatan dalam pembahasan dan pengentasan masalah mereka masing-masing


(59)

44

melalui suasana dinamika kelompok (Tri Marsiyanti, 2000:23). Pada dasarnya efektivitas layanan konseling kelompok merupakan tolok ukur yang menentukan berhasil atau tidaknya layanan konseling tersebut.

Apabila konseling perorangan menunjukkan layanan kepada individu atau konseli orang-perorang, maka konseling kelompok mengarahkan layanan kepada sekelompok individu. Dengan satu kali kegiatan, layanan kelompok memberikan manfaat atau jasa kepada sejumlah orang. Kemanfaatan yang lebih meluas inilah yang paling menjadi perhatian semua pihak berkenaan dengan layanan kelompok itu. Apalagi pada zaman yang menekankan perlunya efisiensi, perlunya perluasan pelayanan jasa yang mampu menjangkau lebih banyak konsumen secara tepat dan cepat, layanan kelompok menjadi semakin menarik (Prayitno dan Erman Anti, 1994: 315).

Keunggulan yang diberikan oleh layanan konseling kelompok ternyata bukan hanya menyangkut aspek ekonomi/efisiensi. Dinamika perubahan yang terjadi ketika layanan itu berlangsung juga menarik perhatian. Dalam layanan konseling kelompok interaksi antar individu anggota kelompok merupakan suatu khas, yang tidak mungkin terjadi dalam konseling perorangan. Dengan interaksi sosial yang intensif dan dinamis selama berlangsungnya layanan, diharapkan tujuan layanan (yang sejajar dengan kebutuhan-kebutuhan individu anggota kelompok) dapat tercapai secara lebih mantap. Selain itu, karena para anggota kelompok dalam interaksi mereka membawakan kondisi pribadinya sebagaimana


(60)

45

mereka masing-masing tampilkan dalam kehidupan sehari-hari, maka dinamika kelompok yang terjadi di dalam kelompok itu mencerminkan suasana kehidupan nyata yang dapat dijumpai di masyarakat secara luas. Hal itu akan lebih dapat terwujud lagi apabila kelompok terdiri dari individu-individu yang heterogen, terutama dari segi latar belakang dan pengalaman mereka masing-masing. Keadaan nyata yang dapat dihadirkan dalam kegiatan kelompok itu merupakan keunggulan ketiga dari layanan konseling kelompok (Prayitno dan Erman Anti, 1994: 315).

Dari pernyataan diatas tersebut, dapat disimpulkan bahwa efektifitas layanan konseling kelompok adalah keberhasilan dalam memberikan bantuan yang dilakukan oleh konselor terhadap beberapa orang konseli (lebih dari satu orang) secara tatap muka dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan perilaku positif pada konseli sehingga dapat terselesaikan masalahnya, memiliki mental yang sehat, memiliki pandangan hidup yang baik dan mencapai kebahagiaan.

C. Kajian Tentang Terapi Gestalt

1. Pengertian Konseling dengan Terapi Gestalt

Gestalt diperkenalkan oleh Frederick (Fritz) Salomon Perls (1983-1970). Dalam bahasa Jerman, Gestalt berarti bentuk, wujud, atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan (schultz, 1991:171). Simkin dalam (Gilliland, 1989: 92) menyatakan


(61)

46

bahwa kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan (whole) atau konfigurasi (configuration). Dengan demikian, Perls lebih mengutamakan adanya integrasi bagian- bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh.

Terapi Gestalt yang dikembangkan oleh Federick Perls adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu-individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi jika mereka berharap mencapai kematangan. Karena bekerja terutama di atas prinsip kesadaran, terapi Gestalt berfokus pada apa dan bagaimana-nya tingkah laku dan pengalaman di sini dan sekarang dengan memadukan (mengintegrasikan) bagian-bagian kepribadian yang terpecah dan tak diketahui. (Corey, 2010: 118).

Fokus utama konseling Gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan konseli sekarang serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong konseli untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta meu mencoba menghadapinya. Dalam hal ini perlu diarahkan agar konseli mau belajar menggunakan perasaanya secara penuh. Untuk itu konseli bisa diajak untuk memilih dua alternatif, konseli akan menolak kenyaataan yang ada pada dirinya atau membuka diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang.

Konseling Gestalt ini untuk membantu individu yang mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan diri dalam kehidupannya dan


(62)

47

lingkungannya, sedang individu tersebut memiliki gangguan psikologis dan potensi yang dimiliki itu tidak dapat berkembang secara wajar. Teori ini merupakan pendekatan dalam layanan konseling yang memandang manusia sebagai keseluruhan, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian kepribadian. Inti dari konseling ini adalah penyadaran individu yaitu penyadaran ini menunjuk kepada suatu jenis pengalaman saat ini dan perkembang karena hubungan individu dengan lingkungannya. Penyadaran ini mencakup pikiran dan perasaan berdasarkan persepsi individu pada saat sekarang terhadap situasi sekarang (Sayekti Pujosuwarno, 1993: 71).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa konseling dengan pendekatan Gestalt adalah bentuk terapi eksistensial yang berpijak pada premis bahwa individu-individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menerima tanggungjawab pribadi jika mereka berharap mencapai kematangan. Teori ini merupakan pendekatan dalam layanan konseling yang memandang manusia sebagai keseluruhan, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian kepribadian. Fokus utam konseling Gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan konseli sekarang serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong konseli untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta mau mencoba menghadapinya.


(63)

48 2. Biografi Tokoh

Triantono Safaria (2005: 1) menyebutkan bahwa terapi dan konseling Gestalt tidak bisa dilepaskan dari nama pendirinya yaitu Fritz Perls (1893-1970) yang dipandang sebagai pribadi penuh semangat, kharismatik, mempunyai antusiasme mengugah bagi orang-orang yang mendengarkannya. Kisah perjalanan hidup Federick S. (Fritz) Perls dimulai sebagai seorang psikiater berusia 43 tahun yang memiliki dan menguasai pendidikan pikoanalisis. Pada awal hidupnya sebagai pengungsi Jerman di Belanda, dia hidup sangat kekurangan. Kemudian keadaan ini berubah setelah dia pindah ke Afrika Selatan. Praktik Perls sangat berhasil dan dia memperoleh kehidupan penuh limpahan materi dan kemudahan, karena dia merupakan satu-satunya ahli psikoanalisa di sana.

Pada tahun 1936, Perls mempersiapkan segala idenya dengan penuh antusias, karena akan dipresentasikannya kepada pendiri psikoanalisa Sigmun Freud, pada pertemuan tahunan di Cekoslovakia. Dengan semangat yang tinggi dan tentu saja harapan yang besar, Perls meyakinkan dirinya bahwa ide-idenya akan merupakan sumbangan dan perbaikan terhadap psikoanalisa, sehingga tentu saja Freud akan senang atas hal itu.

Namun usaha itu berubah menjadi suatu malapetaka yang memalukan Perls. Makalahnya tidak diterima dengan antusias dan ide-idenya yang baru tidak diterima dengan baik oleh kelompok ortodoks. Bahkan ketika Perls bertemu dengan Freud sendiri dan mengutarakan


(64)

49

perjuangannya untuk datang jauh dari negeri Afrika hanya sekedar untuk hadir pada pertemuan tahunan tersebut, Freud hanya menjawab dengan sinis dan dingin.

Peristiwa inilah yang telah merubah seluruh orientasi hidupnya, pandangan-pandangannya, dan penilaiannya terhadap kehidupan. Kemarahannya membawa pencerahan bahwa dia harus mengambil seluruh tanggungjawab terhadap kehidupannya sendiri. Perls mengembangkan konsep-konsepnya dan mempratekannya dengan sungguh-sungguh, sehingga pada akhirnya mampu menginspirasikan beratus-ratus orang pengikut dan membentuk Terapi Gestalt yang mapan.

Menurut Perls, praktik terapi Gestalt dapat dijelaskan melalui empat karakteristiknya, yaitu :

a. Fokus pada pengalaman yang muncul disini dan kini (melalui kesadaran, fenomenologi, dan prinsip perubahan paradoks),

b. Menciptakan dan memberikan sebuah hubungan yang dialogis, c. Perspektif teori medan dan pendekatan holistis,

d. Kreativitas, sikap eksperimental untuk kehidupan dan proses terapi. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tokoh dalam pendekatan Gestalt adalah Federick S. (Fritz) Perls (1893-1970). Berbagai peristiwa dalam hidupnya mengubah seluruh orientasi hidupnya, pandangan-pandangannya, dan penilaian terhadap kehidupan. Lalu Perls mengembangkan konsep-konsepnya dan membentuk terapi Gestalt.


(65)

50

3. Hakekat Manusia dalam Konseling Gestalt

Menurut Gerald Corey (2010: 70), hakekat manusia yang terdapat di dalam pendekatan Gestalt adalah :

a. Terapi Gestalt adalah eksistensial- fenomenologikal yang berpijak pada premis bahwa individu harus paham dalam konteks hubungan dengan lingkungan.

b. Terapi ini memberikan perhatian khusus untuk eksistensi seperti pengalaman individu-individu dan menegaskan kapasitas manusia untuk tumbuh dan sembuh melalui hubungan interpersonal.

c. Para konselor yang menggunakan pendekatan Gestalt dalam konseling, menilai kehadiran dengan lengkap selama pertemuan terapeutik dan terjadi kontak antara konselor dengan konseli.

Parson (Sayekti Pujosuwarno, 1993: 72) mengemukakan beberapa asumsi pokok tentang manusia yang dipergunakan sebagai dasar dalam terapi Gestalt, yaitu :

a. Manusia merupakan keseluruhan yang terdiri dari badan, emosi, pikiran, sensasi dan persepsi yang semuanya mempunyai fungsi dan saling berhubungan.

b. Manusia adalah bagian dari lingkungan dan tidak dapat dipelajari dan dipahami diluar dari itu.

c. Manusia adalah proactive dari pada reactive. Dia menentukan responnya terhadap stimulus dari lingkungannya.


(66)

51

d. Manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi sadar akan sensasinya, pikirannya, emosinya dan persepsi-persepsinya.

e. Manusia melalui kesadaran diri mampu untuk memilih dan bertanggungjawab terhadap tindakan perilakunya.

f. Manusia mempunyai perlengkapan dan sumber-sumber untuk kehidupannya secara efektif dan untuk mengembangkan diri melalui kemampuan yang dimilikinya sendiri.

g. Manusia hanya dapat mengalami sendiri dalam masa sekarang. Masa lalu dan masa yang akan datang hanya dapat dialami dengan melalui mengingat-ingat.

Berdasarkan uraian pendapat-pendapat di atas, maka peneliti lebih cenderung mengikuti pendapat dari Parson mengenai hakekat manusia yang ada dalam pendekatan Gestalt. Pendapat ini mempunyai cakupan yang lebih luas mengenai pandangan terhadap manusia. Teori ini memandangan manusia merupakan keseluruhan yang terdiri dari emosi, badan, pikiran, sensasi dan persepsi yang semuanya mempunyai fungsi dan saling berhubungan. Selain itu manusia selalu berada dalam konteks hubungan dengan lingkungan dan memiliki kesadaran pribadi dalam memilih. Manusia hanya dapat mengalami sendiri di sini dalam masa sekarang karena masa lalu telah pergi dan masa yang akan datang belum terjadi.


(67)

52 4. Tujuan Konseling Gestalt

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai ketika proses konseling, baik tujuan dari pihak konseli maupun dari pihak konselor.

Sofyan S. Wilillis (2004: 66) menyatakan tujuan Gestalt adalah membantu klien menjadi individu yang merdeka dan berdiri sendiri. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan:

a. Usaha membantu penyadaran klien tentang apa yang dilakuinya, b. Membantu penyadaran tentang siapa dan hambatan dirinya,

c. Membantu klien untuk menghilangkan hambatan dalam pengembangan penyadaran diri.

Akhmad Sudrajad (2011: 52) menyebutkan tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu konseli agar berani menghadapi berbagai macam tantangan maupun kenyataan yang harus di hadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa konseli harus dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/ orang lain menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meningkatkan kebermaknaan hidupnya. Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensi secara penuh, melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya.

Melalui konseling, konselor membantu konseli agar potensi yang baru di manfaatkan sebagian ini dapat di manfaatkan dan di kembangkan secara optimal.


(68)

53

Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut :

a. Membantu konseli agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.

b. Membantu konseli menuju pencapaian integritas kepribadianya, c. Mengatasi masalah konseli dari kondisinya yang tergantung pada

pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself),

d. Meningkatkan kesadaran individual agar konseli dapat berperilaku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (all problematic situasion) yang muncul dan selalu akan muncul, dapat di atasi dengan baik.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan konseling agar konseli memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atas realitas, serta mendapatkan wawasan secara penuh. Seperti yang telah disebutkan pada konsep dasar pendekatan Gestalt, bahwa sasaran utama Gestalt adalah pencapaian kesadaran (Subandi, 2002). Peningkatan kesadaran ini bertujuan agar konseli dapat bertingkah laku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah yang muncul dan selalu akan muncul dapat di atasi dengan baik.


(69)

54 5. Teknik Terapi Gestalt

Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan dalam konseling kelompok. Seperti pendapat yang diungkapkan Rosjidan (1988: 140) mengenai teknik-teknik yang dapat digunakan dalam konseling Gestalt. Teknik-teknik tersebut antara lain:

a. The dialogue experiment

Konselor memberikan perhatian yang penuh pada perpecahan dalam fungsi kepribadian. Suatu pembagian pokok adalah antara “top dog” dan “underdog”. Konflik antara kedua kutub yang berlawanan dalam kepribadian adalah berakarkan dalam mekanisme introyeksi yang memasukkan aspek-aspek orang lain ke dalam system ego seseorang. Teknik kursi kosong merupakan satu cara untuk membuat konseli mengeksternalisasi introyeksi.

b. Making the rounds

Teknik ini digunakan dengan cara meminta seseorang dalam suatu kelompok untuk mendatangi anggota-anggota kelompok yang lain dalam kelompok itu dan berbicara atau melakukan sesuatu terhadap setiap anggota kelompok.

c. Bermain proyeksi

Dalam permainan proyeksi itu konselor meminta orang untuk “mencoba ukuran” pernyataan-pernyataan tertentu yang dia buat bagi orang-orang lain dalam kelompok.


(70)

55 d. Reversal technique

Konselor meminta kepada seseorang yang menuntut untuk menderita karena hambatan-hambatan berat dan ketakutan yang berlebihanuntuk memainkan peranan seorang yang suka menunjukkan kecapakan-kecakapannya dalam kelompok.

e. The rehearsal experiment

Konseli berlatih dalam fantasi untuk peranan yang dipikir itu yang diharapkan untuk memainkan dalam masyarakat.

f. The exaggeration experiment

Konseli diminta untuk melebih-lebihkan gerakan atau isyarat gerakan berulang-ulang yang biasanya dapat mengintensifkan perasaan yang melekat pada tingkah laku itu dan membuat makna batin lebih jelas. g. Staying with the feeling

Konselor meminta konseli untuk tetap tinggal dengan perasaan yangdialaminya pada waktu sekarang dan mendorong mereka untuk mengalami lebih dalam perasaan dan tingkah laku yang mereka ingin hindari.

Berdasarkan beberapa teknik yang dikemukakan di atas, pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik empty chair yang mana teknik tersebut berada di dalam the dialogue experiment. Teknik empty chair biasa digunakan untuk menyelesaikan sesuatu yang tidak selesai (unfinished business) dan merupakan teknik yang menekankan individu untuk berintrospeksi dan berintroyeksi pada diri individu tersebut. Empty


(1)

168

Lampiran 8. Hasil Analisis Uji Wicoxon

NPar Tests

[DataSet1]

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

Sesudah - Sebelum Negative Ranks 0a ,00 ,00

Positive Ranks 9b 5,00 45,00

Ties 1c

Total 10

a. Sesudah < Sebelum b. Sesudah > Sebelum c. Sesudah = Sebelum

Test Statisticsa

Sesudah - Sebelum

Z -2,694b

Asymp. Sig. (2-tailed) ,007

a. Wilcoxon Signed Ranks Test b. Based on negative ranks.

NEW FILE.


(2)

169


(3)

170


(4)

(5)

(6)