PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI KEGIATAN DI LUAR KELAS DI KELOMPOK B TK MASYITHOH GREGES DONOTIRTO KRETEK BANTUL.
PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK
MELALUI KEGIATAN DI LUAR KELAS DI KELOMPOK B TK MASYITHOH GREGES DONOTIRTO KRETEK BANTUL
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Alfiana Rinawati NIM 11111244033
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
v
MOTTO
If teaching is to be effective with young children, it must to assist them to advance on the way to independence
(6)
vi
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Bapak dan Ibu tercinta, untuk setiap dukungan do‟a dan motivasi yang telah diberikan
2. Almamaterku, Universitas Negeri Yogyakarta 3. Agama, Nusa, dan Bangsa.
(7)
vii
PENINGKATAN KEMANDIRIAN ANAK
MELALUI KEGIATAN DI LUAR KELAS DI KELOMPOK B TK MASYITHOH GREGES DONOTIRTO KRETEK BANTUL
Oleh Alfiana Rinawati NIM 11111244033
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian melalui kegiatan di luar kelas di Taman Kanak-kanak. Kegiatan di luar kelas merupakan salah satu bentuk pembelajaran di luar kelas yang dapat mendukung anak bertindak aktif dan mengeksplorasi kemandiriannya.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan 2 Siklus mengacu pada model Kemmis dan Mc. Taggart. Masing-masing Siklus dalam tindakan dilaksanakan 3 kali pertemuan. Subyek penelitian ini adalah anak-anak kelompok usia 5-6 tahun di TK Masyithoh Greges yang berjumlah 24 anak-anak, terdiri dari 11 laki-laki dan 13 perempuan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian anak dapat meningkat melalui kegiatan di luar kelas. Kondisi awal kemandirian anak sebelum tindakan sebagian besar pada kriteria mulai berkembang. Setelah dilaksanakan tindakan Siklus ke I, kemandirian anak meningkat menjadi 50% pada kriteria berkembang sesuai harapan (BSH) dan setelah Siklus II mencapai 78,3% pada kriteria berkembang sesuai harapan (BSH) atau mencapai indiator keberhasilan. Kemandirian anak dalam penelitian ini meliputi indikator tidak bergantung pada orang lain, mempunyai rasa percaya diri, mampu menyelesaikan tugas dengan baik, memiliki inisiatif dan dapat memenuhi kebutuhan dirinya di sekolah. Kegiatan luar kelas yang dilakukan antara lain 1) penugasan di luar ruangan, 2) kegiatan eksplorasi lingkungan sekitar, dan 3) permainan. Guru harus memberi kesempatan kepada anak dengan mengoptimalkan kegiatan di luar kelas atau variasi kegiatan lain untuk meningkatkan kemandirian.
(8)
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum, wr. wb.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peningkatan Kemandirian Anak melalui Kegiatan di Luar Kelas di Kelompok B TK Masyithoh Greges, Donotirto, Kretek, Bantul”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) di Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan yang ada sehingga dalam menyelesaikan proposal skripsi ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin dalam pelaksanaan penelitian.
3. Dr. Suwarjo, M.Si., dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Ibu Muthmainnah, M.Pd., dosen pembimbing II yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu, Bapak dan Paman (Yanuar Amin, S.H.) tercinta yang selalu memberikan motivasi, doa serta dukungan moril dan materiil untuk terselesaikannya skripsi ini.
6. Kepala sekolah, guru, staf karyawan dan peserta didik di TK Masyithoh Greges Donotirto Kretek Bantul yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan dalam kegiatan penelitian.
(9)
ix 7.
(10)
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN SURAT PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah... 7
C. Batasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN TEORI A. Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini... 10
B. Kemandirian Anak Taman Kanak-kanak ... 12
1. Pengertian Kemandirian ... 12
2. Ciri-ciri Kemandirian Anak ... 14
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 18
(11)
xi
5. Pengembangan Kemandirian Anak... .... 23
C. Kegiatan di Luar Kelas ... 25
1. Pengertian Kegiatan di Luar Kelas ... 25
2. Manfaat Kegiatan di Luar Kelas dalam Peningkatan Kemandirian Anak ... 27
3. Bentuk Penerapan Kegiatan di Luar Kelas.. ... 28
D. Kerangka Pikir ... 32
E. Hipotesis Tindakan ... 34
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 35
B. Subyek dan Obyek Penelitian ... 36
C. Definisi Operasional ... 36
D. Setting Penelitian ... 37
E. Model Penelitian ... 37
F. Rencana Pelaksanaan ... 38
G. Metode Pengumpulan Data... 42
H. Instrumen Penelitian ... 43
I. Teknik Analisis Data ... 44
J. Indikator Keberhasilan... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 47
1. Lokasi Penelitian ... 47
2. Kondisi Sarana Prasarana ... 47
3. Deskripsi Subjek Penelitian ... 47
4. Data Pengajar ... 48
B. Deskripsi Kondisi Awal Sebelum Tindakan ... 49
C. Hasil Penelitian ... 51
1. Tindakan Siklus I ... 51
2. Tindakan Siklus II... 64
(12)
xii
E. Keterbatasan Penelitian ... 79
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 80
B. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 82
(13)
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Kisi-kisi Observasi Kemandirian Anak ... 44
Tabel 2. Hasil Observasi Kondisi Awal sebelum Tindakan ... 49
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Observasi sebelum Tindakan. ... 50
Tabel 4. Hasil Observasi Kemandirian Setelah Siklus I ... 61
Tabel 5. Rekapitulasi Hasil Observasi setelah Siklus I ... 61
Tabel 6. Hasil Observasi Kemandirian Setelah Siklus II ... 71
Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Observasi setelah Siklus II ... 71
Tabel 8. Rekapitulasi Data Kemandirian Anak Sebelum Tindakan, Setelah Siklus I dan Setelah Siklus II ... 72
Tabel 9. Hasil Observasi Peningkatan Kemandirian Setiap Anak Sebelum Tindakan, Setelah Siklus I dan Setelah Siklus II ... 75
(14)
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal Gambar 1. Kerangka Pikir... 34 Gambar 2. Desain Penelitian menurut Kemmis dan Mc. Taggart ... 38 Gambar 3. Grafik persentase peningkatan kemandirian anak ... 73
(15)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Kisi-kisi Observasi Kemandirian Anak 5-6 tahun ... 87
Lampiran 2. Instrumen Lembar Observasi... 89
Lampiran 3. Jadwal Kegiatan Penelitian ... 91
Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian ... 93
Lampiran 5. Rencana Kegiatan Harian ... 97
Lampiran 6. Hasil Observasi Pra Tindakan ... 116
Lampiran 7. Hasil Observasi Setelah Siklus I ... 120
Lampiran 8. Hasil Observasi Setelah Siklus II ... 127
Lampiran 9. Skenario Pembelajaran di Luar Kelas ... 134
Lampiran 10. Foto Kegiatan Penelitian ... 141
(16)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan sejak lahir sampai usia enam tahun dengan pemberian stimulus untuk membantu perkembangan, pertumbuhan baik jasmani maupun rohani. Pendidikan anak usia dini merupakan dasar dari pendidikan selanjutnya yang penuh dengan tantangan dan berbagai permasalahan yang dihadapi anak (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013: 3). Dengan kata lain bahwa pendidikan anak usia dini merupakan jendela pembuka dunia (window of opportunity) bagi anak.
Usia dini merupakan masa yang strategis untuk mengoptimalkan semua aspek perkembangan anak. Sebagaimana dikemukakan oleh Slamet Suyanto (2005: 6) bahwa anak usia dini merupakan masa emas atau golden age, dimana potensi yang dimiliki anak berkembang dengan pesat baik itu perkembangan fisik motorik, sosial, emosional, kognitif maupun bahasa. Seluruh aspek perkembangan tersebut harus diberikan stimulus agar dapat berkembang secara seimbang. Pembelajaran anak usia dini merupakan proses interaksi antara anak, orang tua dan orang dewasa lainnya dalam suatu lingkungan untuk mencapai tugas perkembangan. Interaksi yang dibangun mencerminkan suatu hubungan dimana anak akan memperoleh pengalaman bermakna sehingga proses belajar dapat berlangsung dengan lancar (Sofia Hartati, 2005: 28).
(17)
2
Salah satu aspek perkembangan yang penting untuk distimulasi yaitu perkembangan sosial emosional. Kemampuan sosial emosional anak usia dini ditandai oleh berkembangnya kemampuan anak dalam mengadakan hubungan interaksi sosial dengan lingkungannya, terbiasa untuk bersikap sopan santun, mematuhi peraturan yang ada di lingkungannya, disiplin dalam kehidupan sehari-hari serta dapat menunjukkan reaksi emosi yang wajar (Rosmala Dewi, 2005: 18). Anak yang dapat mencapai tugas-tugas perkembangan yang sesuai dengan usianya diharapkan dapat siap memasuki masa belajar selanjutnya.
Steinberg (Ahmad Susanto, 2011: 152) menjelaskan tentang karakteristik perkembangan sosial emosional anak usia 4-6 tahun adalah anak lebih suka bekerjasama dengan dua atau tiga teman yang dipilih sendiri atau berpasangan, mulai mengikuti dan mematuhi aturan, bertanggungjawab membereskan mainan, memiliki rasa ingintahu yang besar, mampu mengendalikan emosi serta mempunyai kemauan untuk berdiri sendiri dan berinisiatif. Departemen Pendidikan Nasional (2010) menjabarkan tingkat pencapaian perkembangan anak usia 4-5 tahun pada lingkup sosial emosional meliputi menunjukkan sikap mandiri dalam memilih kegiatan, menunjukkan rasa percaya diri, mau berbagi, menolong, dan membantu teman. Oleh karena itu, pihak sekolah dan orang tua harus bekerjasama mengembangkan aspek sosial emosional anak yang sangat penting untuk bekal anak hidup bermasyarakat.
Terdapat berbagai aspek yang perlu dikembangkan dalam kaitannya peningkatan kemampuan sosial emosional anak diantaranya adalah kemandirian. Kemandirian merupakan suatu sikap dari anak yang menunjukkan sebuah usaha
(18)
3
yang dilakukan secara mandiri tanpa harus disuruh. Anak yang belum mandiri biasanya rentan terhadap kecemasan, ketakutan saat sendirian, selalu ditunggu ibu saat sekolah, ingin bersama orang lain, kecemasan melakukan sesuatu tanpa bantuan oranglain, serta kecemasan ketika diberi tugas atau pertanyaan yang belum dikuasai anak (Kennedy, 2004:6). Kemandirian anak dapat dibangun melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Sentuhan-sentuhan nyata dari interaksi dengan lingkungan ini sangat berhubungan dengan emosi, kemauan untuk melakukan dan bertindak sesuai keinginan sendiri (Sutrisno dan Hary Sudarto, 2005). Hal tersebut dapat mengurangi ketergantungan anak pada orang tua dan memperkaya interaksi dan pengalaman dengan orang sekitarnya. Pada tahap ini anak membutuhkan hubungan emosional yang kuat agar anak merasa terlindungi. Oleh karena itu diharapkan guru dapat mengambil peran dan mengarahkan kegiatan anak secara positif terhadap lingkungan.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada tanggal 5-7 Agustus 2015, permasalahan yang paling menonjol di kelompok B TK Masyithoh Greges adalah masalah kemandirian anak yang belum tampak. Kondisi tersebut ditunjukkan pada saat pembelajaran berlangsung, sekitar 8 anak dari 24 anak di kelompok B TK Masyithoh Greges masih ditunggu orang tuanya, 2 diantaranya masih ditunggu di dalam kelas. Hal tersebut terlihat sangat mengganggu kegiatan belajar mengajar di kelas. Anak yang ditunggu di luar kelas juga sering menemui orang tuanya untuk membantunya mengerjakan tugas. Penyebab anak masih ditunggu orang tua di kelas maupun di luar kelas adalah anak masih bersikap manja dan tidak mau berpisah dengan orang tuanya. Penyebab lainnya yakni orang tua yang masih
(19)
4
belum dapat melepas anak untuk berinteraksi dengan anak lainnya karena khawatir terhadap anak.
Masalah lainnya yakni terdapat 5 anak dari 24 anak di kelompok B yang belum mau menunjukkan sikap mandiri dalam mengerjakan tugas yang diberikan. Sebagian anak sudah mampu mengerjakan tugas sampai selesai namun sebagian masih sering meminta bantuan guru atau cenderung mengandalkan temannya untuk ikut membantu mengerjakan. Anak yang masih ditunggu orang tuanya juga sering meminta bantuan untuk membantu mengerjakan tugas. Kemandirian anak dalam bekerjasama dengan teman lain juga belum tampak, belum mau berbagi, masih cenderung bersikap individual dan ketergantungan dengan orang lain masih tinggi. Ada juga anak yang belum menunjukkan sikap percaya diri dan belum berani mengungkapkan pendapatnya. Anak tersebut akan cenderung diam saja, tidak pernah mengobrol dengan teman dan gurunya, namun semua tugas yang diberikan selesai dikerjakan.
Hasil wawancara dengan guru kelas pada tanggal 6 Agustus 2015 mengungkapkan bahwa guru sudah mencoba untuk mengembangkan kemandirian anak di kelompok B melalui metode bercerita dan pemberian nasehat. Namun cara tersebut belum berhasil karena masih banyak anak yang belum menunjukkan sikap mandiri.Selain itu guru juga sudah memberikan semacam penghargaan bagi anak yang mau ditinggal orang tua jika sudah masuk kelas. Hal tersebut hanya bertahan sebentar karena beberapa anak akan mulai menangis dan mencari orang tuanya.
(20)
5
Terdapat berbagai upaya untuk meningkatkan kemandirian anak diantaranya penggunaan model pembelajaran dengan beragam jenis kegiatan serta pendekatan belajar sambil bermain yang dilakukan di luar kelas (kegiatan di luar kelas). Pembelajaran ini dapat menumbuhkan motivasi, keinginan, rasa percaya diri dan tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru secara mandiri. Pembelajaran yang menyenangkan diartikan sebagai pembelajaran yang sesuai dengan dengan karakteristik belajar anak usia dini. Periode anak usia dini adalah masa peka dalam menerima stimulus-stimulus dari lingkungan sekitarnya. Dengan demikian lingkungan merupakan unsur penting dalam menyediakan suplai pembelajaran yang bermakna bagi anak.
Penyediaan lingkungan outdoor (lingkungan di luar ruangan) sebagai salah satu sarana untuk pembelajaran anak usia dini dapat mendukung terciptanya suasana belajar yang natural untuk anak dan memungkinkan untuk mengeksplorasi inderanya, badannya dan berbuat sesuatu yang memang diinginkan (Dowling, 2010: 26). Kejenuhan rutinitas pembelajaran yang hanya terbatas pada empat dinding kelas memunculkan suatu ide dan gagasan baru dalam pendekatan pembelajaran kita yakni melalui kegiatan di luar kelas atau outdoor activity yang memadukan unsur bermain sambil belajar (andragogi). Pelaksanaan kegiatan di luar kelas menggunakan beberapa metode seperti metode tanya jawab, penugasan, observasi, dan bermain. Selain itu juga dapat dengan menggunakan permainan dan bernyanyi yang memungkinkan anak untuk merasa senang. Pembelajaran di luar ruangan dapat memberikan suasana yang nyaman, menantang anak dan membantu anak untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan
(21)
6
rasa tanggung jawab yang berguna untuk masa depannya. Pembelajaran di luar ruangan bukan semata-mata hanya untuk melampiaskan energi anak yang berlebih tetapi juga dapat dirancang agar anak dapat melakukan kegiatan yang bernilai untuk perkembangannya (Soemiarti Patmonodewo, 2003: 113).
Adelia Vera (2013: 38) menjelaskan tentang kelebihan pembelajaran di luar kelas yakni dapat mengembangkan kemandirian anak. Ketika anak belajar di luar kelas, sebenarnya anak sedang menghilangkan sikap ketergantungan pada orang lain karena pembelajaran luar kelas menuntut anak untuk bersikap aktif dan guru hanya bertindak sebagai fasilitator, teman dan pelatih dalam pembelajaran. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan anak di luar ruangan seperti berkebun, bermain dramatik, bermain pasir dan air serta bermain dengan aturan. Oleh karena itu pembelajaran luar kelas jika dirancang secara tepat dapat mengembangkan aspek perkembangan sosial emosional anak terutama kemandirian. Melalui kegiatan di luar kelas, anak akan bereksplorasi dengan kegiatan yang disediakan dan berusaha sendiri untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Berdasarkan uraian masalah yang timbul di kelompok B TK Masyithoh Greges, peneliti ingin meningkatkan kemandirian anak melalui kegiatan di luar kelas. Penggunaan model pembelajaran tersebut diharapkan dapat mengembangkan kemampuan sosial emosional anak terutama kemandirian.
(22)
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Sebagian anak (8 dari 24 anak) belum mampu berpisah dengan orang tua selama pembelajaran.
2. Anak masih mengandalkan orang lain ketika mengerjakan tugas.
3. Anak belum berani mengungkapkan pendapatnya dan belum berani tampil. 4. Pengembangan program yang menstimulasi kemandirian anak masih belum
optimal.
5. Guru dan orang tua cenderung membantu anak jika anak tidak menyelesaikan tugasnya.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka perlu diadakan batasan masalah yakni pada kemandirian anak yang masih kurang sehingga perlu ditingkatkan.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah, masalah yang akan diteliti dirumuskan yaitu: “Bagaimana upaya penerapan kegiatan di luar kelas dapat meningkatkan kemandirian anak di kelompok B TK Masyithoh Greges?”
(23)
8
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk meningkatkan kemandirian anak melalui kegiatan di luar kelas di kelompok B TK Masyithoh Greges.
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah referensi bahan pustaka tentang meningkatkan kemandirian anak melalui kegiatan di luar kelas dan bentuk penerapannya sehingga dapat dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi anak
Dapat meningkatkan kemandirian anak secara keseluruhan baik di dalam maupun di luar ruang kelas, mengurangi ketergantungan dengan orang lain, melatih kepercayaan terhadap diri sendiri serta menumbuhkan inisiatif dan tanggungjawab dalam menyelesaikan tugas.
b. Bagi guru
Dapat memberikan inovasi pembelajaran guru dalam rangka mengembangkan kemandirian anak dan menambah pengalaman guru dalam memberikan pembelajaran yang mampu mengembangkan kemandirian anak.
(24)
9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini
Perkembangan anak merupakan proses perubahan perilaku dari yang belum matang menjadi matang, dari yang sederhana menjadi kompleks, suatu evolusi manusia dari ketergantungan dengan orang lain hingga menjadi makhluk yang mandiri. Djais (Ahmad Susanto, 2011) mengungkapkan perkembangan anak adalah suatu proses perubahan dimana anak belajar menguasai tingkat yang lebih tinggi dari aspek-aspek motorik, berpikir, perasaan dan interaksi baik dengan sesama maupun dengan benda-benda di lingkungannya. Begitu pula dengan salah satu aspek perkembangan anak yaitu perkembangan sosial emosional akan berkembang jika diberikan stimulus yang sesuai.
Perkembangan sosial dan emosional merupakan dua aspek yang berlainan namun satu sama lain saling mempengaruhi. Perkembangan sosial dan emosional pada anak usia dini mengalami kemajuan yang pesat jika orang tua dan guru di sekolah memberikan pembinaan perilaku dan sikap yang baik. Para psikolog menjelaskan bahwa pada usia dini merupakan usia yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak (golden age) dan sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dalam setiap aspek perkembangan (Muhyidin, dkk., 2014). Pengembangan sosial emosional pada anak sebaiknya diarahkan pada pembentukan perilaku sosial emosional untuk membentuk pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat. Ahmad Susanto (2011: 134) mengungkapkan beberapa perilaku sosial emosional yang diharapkan dari anak
(25)
10
usia dini yakni perilaku-perilaku baik seperti kedisiplinan, kemandirian, tanggungjawab, percaya diri, jujur, adil, setia kawan, kasih sayang terhadap sesama dan memiliki toleransi yang tinggi.
Aspek perkembangan sosial emosional pada anak usia dini menurut Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 118) diharapkan memiliki kemampuan dan kompetensi dalam mengenal lingkungan sekitar, mengenal alam, mengenal lingkungan sosial, peranan masyarakat, dan menghargai keberagaman sosial budaya di lingkungan sekitar anak. Selain itu diharapkan anak mampu mengembangkan konsep diri, sikap positif terhadap belajar, memiliki kontrol diri yang baik dan memiliki rasa empati pada masalah orang lain.
Agoes Dariyo (2013: 63) mengemukakan perkembangan sosial emosional pada masa kanak-kanak awal masih terikat dan fokus pada hubungan dengan orang tua dan keluarga. Masa ini ditandai dengan meningkatnya kemandirian, kemampuan kontrol diri (self-control) dan keinginan memperluas pergaulan dengan teman sebaya yang diharapkan dapat mengurangi kelekatan emosi dengan orang tua, mengurangi sifat egosentris dan tidak rasionalnya. Namun, fase perkembangan setiap anak berbeda sehingga harus distimulasi dengan kegiatan-kegiatan yang menunjang perkembangan anak. Berdasarkan Permendiknas No. 58 Tahun 2009, tingkat pencapaian perkembangan anak usia 4-5 tahun pada aspek sosial emosional dibagi menjadi beberapa indikator yakni menunjukkan sikap mandiri dalam memilih kegiatan; mau berbagi, menolong dan membantu teman; menunjukkan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif; dapat mengendalikan perasaan; menaati aturan yang berlaku dalam suatu
(26)
11
permainan; menunjukkan rasa percaya diri; menjaga diri sendiri dari lingkungan sekitar dan menghargai orang lain. Pada anak kelompok B di rentang usia 5-6 tahun harus sudah mencapai indikator-indikator tersebut dan diharapkan akan tercapai melalui pembelajaran dan pendidikan anak usia dini di lembaga yang diikuti anak. Aspek perkembangan sosial emosional pada anak usia 5-6 tahun meliputi bersikap kooperatif dengan teman, menunjukkan sikap toleransi, mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada, mengenal tata krama dan sopan santun sesuai nilai budaya setempat, memahami peraturan dan disiplin, menunjukkan rasa empati, memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah), bangga terhadap hasil karya sendiri dan menghargai keunggulan orang lain.
Secara psikologis, tahap perkembangan sosial emosional anak usia 4-6 tahun menurut Erikson dalam Morrison (2012: 84) berada pada tahap initiative versus guilt yakni kemampuan anak untuk melakukan partisipasi dalam berbagai kegiatan fisik dan mengambil inisiatif untuk suatu tindakan yang dilakukan. Pada masa ini anak sedang ingin melakukan semua yang dilihatnya dari orang dewasa dan berusaha menirunya. Anak harus diberikan dukungan dan menumbuhkan inisiatif dalam diri mereka agar tidak terjadi perasaan bersalah dalam diri mereka. Namun pada masa sebelum ini anak usia dini juga melalui masa autonomy vs shame and doubt (1-3 tahun). Masa dimana anak sudah mampu mandiri dan percaya diri atau anak cenderung merasa malu-malu dan khawatir terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini anak menuju perkembangan kemandirian dan harus didukung oleh peran orang dewasa di sekitarnya terutama orang yang bertugas mendidik dan membimbing anak dalam kehidupannya (Martinis Yamin
(27)
12
dan Jamilah Sabri Sanan, 2013). Jika anak lebih banyak disalahkan dan tidak diberi penguatan positif terhadap apa yang coba dilakukannya, anak akan menjadi tidak percaya diri, ragu-ragu dan malu untuk melakukan sesuatu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial emosional pada anak usia dini terutama anak usia Taman Kanak-kanak harus diarahkan dan terus dikembangkan agar anak memiliki kompetensi dalam hal membangun hubungan dengan orang lain dan mengenal lingkungan sekitar. Anak akan terlatih mengembangkan perilaku disiplin, mandiri, bertanggung jawab, jujur, dan toleransi yang tinggi dengan arahan dari orang dewasa di sekitarnya.
B. Kemandirian pada Anak Taman Kanak-kanak 1. Pengertian Kemandirian
Pada usia 4-6 tahun perkembangan psikologis anak akan mulai muncul seperti keinginan untuk mengurus diri sendiri atau mandiri. Kemandirian ini merupakan salah satu komponen penting yang harus dimiliki anak agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Kemandirian tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari yang menjadi dasar tingkah laku anak. Gejala awal perkembangan kemandirian anak dari yang hanya memperhatikan keinginan diri sendiri dan ketergantungan kepada keluarga dan berproses hingga menunjukkan kemampuan mandiri yang lebih tinggi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menurut Arthur (dalam Suryati dan Rita Eka Izzaty, 2007: 17), hal tersebut terlihat ketika anak memperhatikan kebutuhan orang lain dan mulai dapat bekerjasama dengan orang lain.
(28)
13
Santrock (2007: 225-226) mengungkapkan bahwa di tahun kedua periodeperkembangan anak, mereka akan mengembangkan kemandirian diri yang penting dalam kehidupannya kelak. Anak akan mencoba untuk melakukan segala sesuatu yang ingin dilakukannnya sendiri seperti pergi ke toilet, membuka kemasan makanan dan mulai makan sendiri. Orang tua atau pengasuh harus memberi motivasi pada anak sesuai dengan kemampuannya sehingga anak dapat belajar mengontrol motoriknya sendiri untuk bergerak. Kemandirian berdasarkan Permendiknas No. 58 tahun 2009 adalah perkembangan sosial emosional yang menjadi wahana untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar sehingga dapat berinteraksi dengan sesamanya dengan baik. Kemandirian berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Pada anak, sejak kecil ia sudah biasa sehingga bebas dari ketergantungan pada orang lain.
Muhammad Fadlillah (2013: 195) mengungkapkan bahwa mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugasnya. Mandiri bagi anak sangat penting dan menjadi salah satu nilai-nilai pilar pendidikan karakter yang harus ditanamkan sejak dini. Hal senada diungkapkan oleh Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013) bahwa kemandirian adalah keadaan berdiri sendiri tanpa bergantung orang lain, mampu bersosialisasi, dapat melakukan aktivitasnya sendiri, dapat berempati, membuat keputusan sendiri dalam tindakannya dengan orang lain. Kemandirian secara umum tidak hanya dapat terlihat dari tingkah laku anak, namun juga dalam bentuk sosial dan emosionalnya. Anak yang mandiri secara sosial emosional terlihat dari
(29)
14
anak mampu berpisah dengan orang tua, masuk kelas dengan nyaman, tidak harus selalu berinteraksi dengan pengasuhnya dan menunjukkan sikap mandiri dalam kemampuan dasarnya (makan, BAK, memakai baju). Morrison (2012: 228) menyebutkan bahwa kemandirian merupakan kemampuan untuk mengerjakan tugas sendiri, menjaga diri sendiri, memulai proyek tanpa harus selalu diberitahu apa yang harus dilakukan serta mencakup penguasaan keterampilan diri.
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian merupakan kemampuan atau keterampilan yang dimiliki anak untuk melakukan aktivitasnya sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain. Anak yang mandiri akan cenderung membawa ide dan pengalaman mereka dalam pengambilan keputusan dan menentukan pilihannya. Dorongan dari orang sekitar anak untuk menumbuhkan kemandirian sangat penting karena karakter mandiri pada anak usia dini akan sangat bermanfaat dalam melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri dan untuk bergaul dengan orang lain.
2. Ciri-ciri Kemandirian Anak
Kemandirian pada anak usia dini sangat berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan karakter di Indonesia yang harus ditanamkan agar menjadi generasi muda yang mempunyai karakter positif untuk kemajuan bangsa. Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas yang diterimanya. Novan Ardy Wiyani (2013: 33) menjabarkan beberapa ciri-ciri kemandirian pada anak usia dini diantaranya adalah:
(30)
15 a. Memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri
Anak yang memiliki rasa percaya diri memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu dan menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya dan bertanggungjawab terhadap konsekuensi yang didapatnya.
b. Memiliki motivasi intrinsik yang tinggi
Motivasi dari dalam diri anak akan mengarahkan dan menggerakkan anak melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keinginan dalam diri anak biasanya akan mendorong anak bergerak aktif terutama jika anak dihadapkan dengan situasi yang menyenangkan.
c. Mampu dan berani menentukan pilihannya sendiri
Anak yang mandiri dapat menentukan apa yang ingin dilakukannya sendiri seperti anak dapat memilih makanan yang akan dimakan, memilih mainan yang akan digunakan, atau memilih baju yang akan digunakannya untuk jalan-jalan.
d. Bertindak kreatif dan inovatif
Anak yang kreatif akan melakukan sesuatu atas kehendak sendiri tanpa disuruh orang lain, tidak bergantung pada orang lain dalam melakukan sesuatu serta mencoba dan menyukai hal-hal yang baru.
e. Bertanggungjawab menerima konsekuensi atas pilihannya
Anak yang mandiri akan cenderung bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi. Jika pada anak usia dini ketika salah mengambil mainan, dia tidak akan menangis dan mengganti dengan mainan
(31)
16
lainnya. Anak tidak malu jika melakukan kesalahan dan berusaha memperbaikinya.
f. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya
Anak yang berkarakter mandiri akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan dapat belajar walaupun tidak ditunggui oleh orang tuanya.
g. Tidak bergantung kepada orang lain
Anak yang memiliki karakter mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam melakukan segala sesuatu, tidak mengandalkan oranglain dan tahu kapan minta bantuan orang lain. Anak akan berusaha melakukan sendiri, tetapi jika tidak mampu mendapatkannya, anak baru meminta bantuan orang lain.
Kepercayaan diri anak sangat berkaitan dengan kemandirian. Anak yang mandiri akan memiliki rasa percaya diri, berani melakukan sesuatu sendiri serta bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya. Anak juga mempunyai motivasi dalam diri dan berinisiatif untuk bergerak sesuai apa yang diinginkannya. Anak yang memiliki karakter mandiri akan cenderung mencoba melakukan segala sesuatu, tidak bergantung pada orang lain dan tahu kapan dia akan meminta bantuan.
Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 63) menjabarkan ukuran mandiri untuk anak usia dini dapat terlihat dari ciri-ciri sebagai berikut:
a. Anak dapat melakukan segala aktivitasnya secara sendiri meskipun dengan pengawasan orang tua.
b. Anak dapat membuat keputusan dan pilihan sesuai dengan pandangan yang diperolehnya dari melihat perilaku orang-orang di sekitarnya.
(32)
17
c. Anak dapat bersosialisasi dengan orang lain tanpa perlu ditemani orang tua. d. Anak dapat mengontrol emosi dan mampu berempati terhadap orang lain.
Anak yang mandiri dimulai dari kehidupan di keluarganya dan juga refleksi dari apa yang didapatnya dari lingkungan sekitar anak. Pemenuhan kebutuhan dasar anak yang dilakukan secara mandiri akan mendasari timbulnya keinginan dan motivasi untuk lebih mandiri. Anita Lie dan Sarah Prasasti (2004: 4-5) membagi karakteristik kemandirian anak usia dini yaitu:
a. Mampu mengurus diri sendiri, yang berarti anak mampu mengurus dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dengan demikian anak tidak bergantung pada orang tua dan bantuan dari orang lain. Anak mengetahui sejauh mana dia dapat mengerjakan sesuatu sendiri.
b. Mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi artinya anak mampu berpikir tentang cara untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan masalah dengan orang lain maupun masalah pemahaman akan sesuatu. Anak mandiri mampu bertindak tanpa harus diingatkan dan memiliki inisiatif yang tinggi.
c. Mampu bertanggungjawab atas barang-barang yang dimiliki yang berarti anak dapat mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkannya secara mandiri. Anak tahu apa saja perlengkapan sekolah yang dibutuhkannya dan bagaimana cara memperlakukan barang-barang miliknya.
Berdasarkan pada uraian diatas, anak yang memiliki karakter mandiri adalah anak yang tidak bergantung pada orang lain, mampu bertanggung jawab,
(33)
18
memiliki kepercayaan diri dan berani bertindak atau berinisiatif melakukan hal yang perlu dilakukan.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak
Pengembangan kemandirian dapat terwujud jika disertai peran orang tua dalam menyadari arti kemandirian bagi anak. Pengasuhan dan perawatan oleh orang tua serta peran guru ketika di sekolah sangat berpengaruh. Guru sebagai penanggung jawab kegiatan di sekolah harus terampil melatih dan membiasakan anak agar mandiri. Guru dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman, menyusun strategi pembelajaran, mengintegrasikan pembelajaran kemandirian dengan aktivitas anak baik di dalam maupun di luar kelas serta memberikan contoh yang baik kepada anak (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013: 79). Kemandirian pada anak usia dini tidak serta merta dapat terbangun dengan sendirinya. Anak perlu dilatih dan diberikan pembelajaran kemandirian sejak dini. Tanpa diajarkan, anak tidak akan tahu bagaimana mereka harus membantu dirinya sendiri. Orang tua dan guru harus mengetahui faktor-faktor kemandirian anak agar dapat membentuk karakter mandiri kepada anak.
Novan Ardy Wiyani (2013: 37) membagi beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya kemandirian anak yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang muncul dari diri sendiri meliputi kondisi fisiologis seperti jenis kelamin dan kesehatan jasmani anak dan kondisi psikologis berupa kecerdasan dan kemampuan kognitif yang dimiliki anak. Anak yang memiliki keterbatasan fisik dan psikologis belum tentu tidak dapat mandiri. Hanya saja kemandirian pada anak-anak tersebut harus didukung
(34)
19
dengan pelatihan dan pembelajaran ekstra dari semua pihak. Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian anak meliputi lingkungan sebagai sumber stimulus anak, rasa cinta dan kasih sayang yang diberikan orang tua, pola asuh orang tua dalam keluarga dan pengalaman dalam kehidupan seperti ketika perpindahan lingkungan rumah ke sekolah. Anak yang cenderung manja dan selalu bergantung pada orang lain mungkin menerima perlakuan berlebihan dari orang tua dan keluarganya. Anak terbiasa untuk memenuhi kebutuhan dirinya dengan bantuan dan orang tua juga cenderung tidak memberi kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk mengembangkan dirinya.
4. Aspek Kemandirian Anak
Kemandirian pada seorang anak pada hakikatnya tidak bersifat tunggal melainkan bersifat jamak, yakni anak dikatakan mandiri tidak hanya dilihat dari satu aspek saja. Menurut Havighurst, dalam Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 65) disebutkan beberapa aspek kemandirian yaitu kemandirian emosi, ekonomi dan intelektual. Kemandirian emosi pada anak ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk mengontrol emosi dan ketergantungan kebutuhan emosinya dengan orang tua. Kemandirian ekonomi ditandai dengan kemampuan anak mengatur ekonominya sendiri dan ketergantungan ekonominya dengan orang tua. Anak sudah terbiasa untuk menabung dan tidak membebani orang tua dengan permintaan yang berlebihan. Selanjutnya kemandirian intelektual ditunjukkan dengan kemampuan anak mengatasi berbagai masalah sosial yang
(35)
20
dihadapi, kemampuan berinteraksi dengan orang lain dan tidak tergantung dengan orang lain.
Anak yang matang dan menjadi dewasa bukan hanya anak yang sekedar tumbuh secara fisik tetapi juga secara emosional, mental dan moral, termasuk perkembangan kemandirian (Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan, 2013: 69). Anak yang mandiri secara fisik cenderung akan bekerja sendiri dan menggunakan fisiknya untuk mengerjakan aktivitas kehidupannya. Anak mandiri secara mental adalah anak yang dapat berpikir sendiri, menggunakan kreativitasnya, mampu mengekspresikan gagasannya dan tidak mengandalkan orang lain. Secara emosional, anak yang mandiri adalah anak yang mampu mengelola emosinya dan mandiri secara moral, anak memiliki sikap-sikap yang sesuai dengan perilaku yang ada di lingkungannya. Berikut ini pembagian aspek kemandirian yang ada pada anak usia dini menurut Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 80-85) yaitu:
a. Kemandirian sosial dan emosi
Bentuk kemandirian ini ditunjukkan oleh anak yang melalui fase pemisahan untuk lepas dari ketergantungannya dengan orang tua dan orang dewasa di sekitarnya, anak memiliki pengalaman transisi ke lingkungan yang berbeda serta bekerjasama dalam kelompok untuk membina hubungannya dengan orang lain. Anak yang mandiri akan mencoba untuk melakukan segala sesuatu yang ingin dilakukannya sendiri dan tahu kapan ia akan meminta bantuan. Anak cenderung menghilangkan sifat ketergantungan kepada orang lain dan dapat beradaptasi dengan lingkungan. Selain itu jika pada anak mulai bersekolah, anak
(36)
21
akan dapat berpisah dalam waktu singkat dengan orang tuanya. Anak dapat masuk kelas dengan nyaman dan tidak selalu berinteraksi dengan pengasuhnya. Anak juga mulai dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara independen.
b. Kemandirian fisik dan fungsi tubuh
Kemandirian ini ditandai dengan anak dapat memenuhi kebutuhan akan dirinya. Misalnya anak makan sendiri, memakai pakaian sendiri, membersihkan diri sendiri dan belajar sendiri. Pada anak usia Taman Kanak-kanak yang mandiri, anak terbiasa untuk pergi ke toilet sendiri tanpa bantuan dan mencuci tangan setelah kegiatan. Anak juga akan cenderung bertindak sendiri menyiapkan keperluannya dan membereskan peralatan sekolahnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Tugas melayani diri sendiri dilakukan anak atas inisiatif sendiri karena sadar bahwa itu adalah tanggungjawabnya. Pengoptimalan kemandirian ini sangat penting agar anak siap dalam menghadapi kehidupannya kelak.
c. Kemandirian intelektual
Kemandirian intelektual lebih mengacu pada bagaimana anak dapat mandiri belajar dan memperoleh pengetahuan. Kemandirian anak dapat dilihat dari bagaimana anak menyelesaikan tugasnya sendiri dan orang tua harus memberikan kesempatan untuk mengerjakan tugasnya sendiri. Anak juga dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi dengan caranya sendiri dan berinisiatif memilih sesuatu yang diminati. Anak yang mandiri mampu mengambil keputusan sederhana seperti mengambil tugas yang harus dilakukannya sendiri dan memilih mana yang harus dikerjakan. Anak mandiri akan mulai berkembang kreativitasnya
(37)
22
terutama dalam hal keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru serta berinisiatif menuangkan ide dan gagasannya.
Pada anak usia dini, aspek kemandirian yang perlu ditingkatkan agar anak memiliki karakter mandiri diantaranya mandiri secara sosial emosi yakni tidak bergantung pada orang lain, mandiri secara fisik dan fungsi tubuh yakni dapat memenuhi kebutuhan dirinya tanpa bantuan serta mandiri secara intelektual berupa mandiri dalam menyelesaikan tugas sederhana yang diberikan.
Di antara berbagai macam aspek kemandirian pada anak usia dini, beberapa ahli mengemukakan berbagai indikator kemandirian yang perlu ditingkatkan sejak dini. Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 77) mengemukakan beberapa indikator kemandirian anak usia dini dirangkum dari pendapat para ahli yakni serangkaian kegiatan yang mencerminkan kemampuan sesorang dalam kemampuan fisik, percaya diri, bertanggung jawab, disiplin, pandai bergaul, saling berbagi dan dapat mengendalikan emosi.
Hal berbeda dikemukakan oleh Novan Ardy Wiyani (2013: 29) yang membagi indikator kemandirian yang harus ditingkatkan pada anak usia dini yaitu kemampuan untuk menentukan pilihan, berani memutuskan sesuatu atas pilihannya sendiri, bertanggung jawab atas pilihannya, memiliki rasa percaya diri, mampu mengarahkan dan mengembangkan diri, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menunjukkan sikap berani. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru dan orang tua mendorong anak menuju kemandirian, maka perlu diberikan suatu pembelajaran yang merangsang anak membuat pilihan dan
(38)
23
menentukan sendiri apa yang diputuskannya. Upaya ini diharapkan agar anak memiliki rasa percaya diri dalam mengambil keputusan untuk dirinya.
Dari paparan pendapat diatas maka peneliti menyimpulkan beberapa indikator peningkatan kemandirian anak usia dini dari aspek kemandirian emosi sosial, intelektual dan fisik (tindakan) yakni tidak bergantung pada orang lain, memiliki rasa percaya diri, mempunyai inisiatif dalam bertindak, mampu memenuhi kebutuhan dirinya dan menyelesaikan tugas sendiri tanpa bantuan orang lain.
5. Pengembangan Kemandirian Anak
Suryati Sidharto dan Rita Eka Izzaty (2007) mengemukakan beberapa aplikasi kemampuan yang berkenaan dengan kemandirian yang dapat distimulasi melalui proses kegiatan belajar mengajar anak Taman Kanak-kanak yaitu membelajarkan demonstrasi mandi dan gosok gigi, memakai pakaian dan sepatu sendiri serta pemberian penghargaan kepada anak dengan memberi kebebasan untuk berkreasi. Selanjutnya anak juga diberikan kesempatan agar berani menyatakan apa yang dirasakannya dan memperlihatkan pada kejadian yang mengundang empati anak. Anak akan mendapat pembelajaran sikap peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya. Penanaman rasa percaya diri juga sebagian dari pengembangan kemandirian anak karena percaya diri menjadi modal seorang individu untuk berkembang mencapai kemampuan penyesuaian diri dengan baik. Anak yang memiliki rasa percaya diri, cenderung akan memiliki inisiatif dalam mengambil keputusan dan berani bertindak sesuai dengan kemampuannya.
(39)
24
Penanaman kemandirian pada anak sejak dini harus memperhatikan beberapa hal berikut yaitu:
a. Kepercayaan, rasa percaya diri dalam diri perlu ditanamkan pada anak-anak dengan memberikan kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang yang mampu dilakukannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan untuk mengenalkan suasana sekolah yang mungkin masih asing dan berat bagi anak.
b. Kebiasaan, pemberian kebiasaan yang baik kepada anak sesuai dengan usia dan tingkat perkembangannya dapat dilakukan dengan membuang sampah pada tempatnya, mencuci tangan serta meletakkan alat main pada tempatnya semula yang dapat menjadi awal anak bersikap mandiri di sekolah.
c. Komunikasi merupakan hal yang penting dalam menjelaskan tentang kemandirian dengan bahasa yang mudah dipahami atau melalui pembacaan cerita atau pemberian nasihat untuk anak.
d. Disiplin melalui proses pengawasan dan bimbingan guru dan orang tua yang konsisten.
Pendapat lain diungkapkan oleh Desmita (2011: 190) tentang beberapa upaya pengembangan kemandirian anak di sekolah diantaraya:
a. Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis dan memungkinkan anak untuk merasa dihargai
b. Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah.
c. Memberi kebebasan anak untuk mengeksplorasi lingkungan sehingga mendorong rasa ingin tahu mereka.
d. Penerimaan positif terhadap kelebihan maupun kekurangan anak, tidak membeda-bedakan satu sama lain.
(40)
25
Pengembangan atau peningkatan kemandirian untuk membentuk karakter mandiri pada diri anak usia dini terutama usia Taman Kanak-kanak memerlukan rangsangan dan dorongan untuk bereksplorasi secara berulang-ulang agar rasa tanggung jawab anak dapat terbentuk. Untuk itu peran orang tua dan guru sangat penting dengan memberikan kesempatan pada anak untuk berinisiatif serta menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga anak tahu bagaimana melaksanakan tugas yang diberikan dan mandiri dalam bertindak sehari-hari. Selain itu guru dan orang tua diharapkan dapat menyediakan berbagai bentuk pembelajaran yang dapat meningkatkan kemandirian anak sejak dini.Pembelajaran yang mendorong peningkatan kemandirian anak dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti pembiasaan, metode bercerita, bermain maupun kegiatan belajar yang mendorong eksplorasi anak.
C. Kegiatan di Luar Kelas
1. Pengertian Kegiatan di Luar Kelas
Kegiatan di luar kelas atau pembelajaran luar kelas merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang berlangsung di luar kelas. Tujuannya adalah untuk mengeksplorasi lingkungan sebagai sumber belajar bagi anak. Menurut Husamah (2013: 22), outdoor learning atau juga dikenal dengan kegiatan di luar kelas, outdoor study dan pembelajaran lapangan diartikan sebagai pendidikan yang berlangsung di luar kelas yang melibatkan pengalaman dan partisipasi siswa untuk mengikuti tantangan petualangan yang diberikan. Pembelajaran luar kelas tidak hanya sekadar memindahkan pembelajaran tetapi juga mengajak anak untuk menyatu dengan alam dan melakukan beberapa aktivitas yang meningkatkan
(41)
26
perubahan perilaku siswa agar lebih bertanggungjawab. Pendekatan outdoor ini menggunakan setting terbuka sebagai sarana utama serta dipergunakan untuk mengasah aktivitas fisik dan sosial anak dimana anak akan lebih banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang secara tidak langsung melibatkan kerjasama antar teman dan kemampuan berkreasi. Aktivitas ini memunculkan proses komunikasi, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, saling memahami dan menghargai perbedaan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Adelia Vera (2012: 17) bahwa kegiatan di luar kelas atau outing class diartikan sebagai suatu kegiatan menyampaikan pembelajaran di luar kelas, sehingga kegiatan atau aktivitas belajar mengajar berlangsung di alam bebas atau luar kelas dan melibatkan alam secara langsung sebagai sumber belajar bagi anak. Konsep yang melandasi pendekatan kegiatan di luar kelas menurut Hary Yuliarto (2010: 3) antara lain fenomena pendidikan yang ada selama ini tidak menempatkan anak sebagai subyek, setiap anak unik serta memiliki kelebihan dan kekurangan, dunia anak adalah dunia bermain serta usia anak merupakan usia yang paling kreatif dalam hidup manusia namun kurang memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkannya.
Kegiatan luar kelas bagi anak usia dini dapat mendukung terciptanya susasana belajar yang berbeda dengan yang ada di kelas sehingga pengalaman belajar anak menjadi lebih luas dan tidak membosankan. Dengan demikian anak dapat belajar aktif mengembangkan potensi dan perilaku yang dimilikinya.
(42)
27
2. Manfaat Kegiatan di Luar Kelas dalam Peningkatan Kemandirian Anak
Pelaksanaan kegiatan di luar kelas pada anak usia dini dapat memberikan manfaat yang luar biasa terutama dalam peningkatan kemandirian anak. Namun manfaat yang dirasakan tidak hanya sebatas pada hal tersebut. Kegiatan luar kelas memungkinkan anak untuk mendapatkan motivasi belajar yang tinggi, meaningful learning, mengasah aktivitas fisik dan kreativitas, merangsang penguasaan keterampilan sosial anak serta mendapatkan penbelajaran dengan suasana yang nyaman dan menyenangkan (Adelia Vera, 2012). Kegiatan luar kelas akan mendorong anak antusias dalam mengikuti kegiatan karena setting alam terbuka akan memberikan suasana yang menyenangkan bagi anak.
Kegiatan yang dilakukan di luar kelas menuntut anak untuk bersikap aktif dan inisiatif untuk mencapai tujuan belajar. Anak belajar dengan mengeksplorasi sumber belajar di luar ruangan dan sesuai dengan capaian perkembangan yang diharapkan. Dengan demikian anak sedikit demi sedikit menghilangkan ketergantungan dengan orang lain minimal ketergantungan terhadap guru. Dalam hal ini guru bertindak sebagai fasilitator dalam pembelajaran, mengarahkan dan tidak terlalu mengintervensi anak.
Hal serupa juga dikemukakan The Early Years Foundation Stage (2007) bahwa kegiatan di luar kelas pada anak akan mendukung kepercayaan diri siswa, penghargaan terhadap kemampuan dirinya dan mengembangkan kemandirian dalam mengambil keputusan dalam mengeksplorasi lingkungan sumber belajarnya. Anak yang belajar di lingkungan luar kelas mendapatkan kesempatan
(43)
28
untuk berkembang sesuai kodratnya sebagai anak dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi di lingkungan yang berbeda.
3. Bentuk Penerapan Kegiatan di Luar Kelas dalam Pembelajaran
Hary Yuliarto (2010) menjabarkan beberapa elemen yang perlu diperhatian diperhatikan dalam kegiatan di luar kelas yaitu : 1) Alam terbuka sebagai sarana kelas; 2) Berkunjung ke objek langsung; 3) Unsur bermain sebagai dasar pendekatan; 4) Guru harus mempunyai komitmen. Setting alam terbuka membutuhkan partisipasi aktif dari siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan dari sumber yang telah disediakan dan pengamatan langsung juga menjadi teknik yang dilakukan dalam pembelajaran di luar kelas. Hary Yuliarto menambahkan bahwa aktivitas luar kelas atau kegiatan di luar kelas bagi anak akan lebih tepat jika dilakukan dengan metode bermain karena bermain dapat menjadi wahana bagi anak untuk mengembangkan watak dan kepribadiannya. Oleh karena itu, guru dan orang tua harus lebih pandai dan bijak dalam memilih model atau jenis pembelajaran yang tepat sesuai situasi lingkungan. Guru juga harus memperhatikan faktor keamanan karena di alam bebas mempunyai tingkat keriskanan yang tinggi terhadap keselamatan siswa.
Kegiatan di luar kelas untuk anak usia dini atau anak usia Taman Kanak-kanak harus disajikan dengan memperhatikan karakteristik dan sesuai untuk anak. Kegiatan di luar kelas dapat dilaksanakan dengan berbagai metode yang sesuai. Bentuk kegiatan di luar kelas yang menggunakan metode-metode yang jelas dan
(44)
29
sesuai dengan kebutuhan anak menurut Adelia Vera (2012: 107) diantaranya adalah:
a. Metode Penugasan
Metode penugasan adalah suatu cara penyajian bahan pembelajaran dari seorang guru dengan memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Jika pembelajaran dilakukan di luar kelas, maka anak harus menyelesaikan tugasnya saat itu juga di luar kelas. Pemberian tugas pada anak usia dini harus jelas dan terperinci agar tidak membingungkan anak seperti bahan dan alat yang diperlukan, serta darimana anak memulai dan mengakhiri (Moeslichatoen, 2004: 182). Melalui metode ini dapat muncul kemandirian pada diri anak. Mereka tidak akan bergantung banyak pada orang lain dan muncul usaha untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Jika metode ini digunakan dalam kegiatan di luar kelas, anak akan lebih terdorong untuk belajar dengan berbagai variasi sehingga tidak bosan dan terasa menyenangkan.
Penugasan di luar kelas akan mendorong anak untuk mulai mempersiapkan berbagai keperluan yang akan dibawanya ke luar kelas dan memilih tempat yang disukainya. Hal tersebut dapat menumbuhkan kemandirian dirinya dalam meminimalkan ketergantungan kepada orang lain. Penugasan yang dilakukan di luar kelas bisa berupa kegiatan menggambar, melukis, dan menempel dengan bahan alam yang ada di lingkungan sekitar sekolah.
b. Metode Tanya Jawab
Metode ini menggunakan teknik tanya jawab seperti guru memberikan pertanyaan pada apa yang sedang diajarkan. Namun anak juga dapat memberikan
(45)
30
pertanyaan feedback kepada guru jika belum paham. Pada kegiatan belajar di luar kelas, metode ini memungkinkan terjadinya komunikasi aktif antara guru dan anak. Metode tanya jawab ini dapat dilakukan oleh guru ketika pembelajaran jelajah lingkungan atau jalan-jalan. Guru bertanya tentang segala hal yang sudah atau belum diketahui anak sepanjang perjalanan. Guru juga harus memberi kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapatnya atau bertanya sehingga pembelajaran akan menjadi lebih bermakna.
c. Metode Bermain
Metode bermain atau belajar dengan bermain dan permainan ini mengajak siswa untuk memperoleh pemahaman tentang konsep, nilai, moral dan norma sehingga menghasilkan pengalaman yang berharga. Moeslichatoen (2004: 33) menjelaskan bahwa dengan kegiatan bermain anak akan memperoleh kesempatan memilih kegiatan yang disukainya, bereksperimen dengan berbagai macam alat dan bahan, belajar memecahkan masalah, berperan dalam kelompok, meningkatkan kepekaan perasaannya dan memperoleh pengalaman yang menyenangkan. Permainan yang mengasah ketangkasan dan keberanian anak dapat dirancang oleh guru untuk membentuk kepribadian anak yang mandiri dan percaya diri. Contoh bermain yang dapat digunakan oleh guru pada pembelajaran luar kelas ini sangat banyak macamnya dan disesuaikan dengan kebutuhan. Jika dikaitkan dengan peningkatan kemandirian anak, bermain yang cocok untuk anak adalah permainan yang menantang keberanian anak untuk mencoba dan mengendalikan tubuhnya. Seperti permainan outbound, games dan permainan yang melibatkan fungsi tubuh anak.
(46)
31 d. Metode Observasi
Metode observasi pada kegiatan di luar kelas merupakan kegiatan atau cara belajar di luar kelas yang dilakukan dengan melihat atau mengamati sesuatu yang sedang dipelajari secara langsung di alam bebas. Anak diajak berkeliling di sekitar lingkungan sekolah misalnya di sawah, sungai, pasar atau tempat lain untuk melakukan pengamatan terhadap obyek yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dipelajari. Hasilnya anak dapat mencatat apa saja yang ditemui. Namun untuk anak usia dini, tidak memungkinkan anak melakukan pencatatan sehingga dapat dialihkan menjadi pengumpulan benda-benda untuk dikenalkan kepada teman lain atau dalam bentuk penggambaran tentang tempat yang dikunjungi. Metode observasi ini dapat dilakukan dengan cara jelajah lingkungan atau jelajah alam sekitar. Pembelajaran jelajah lingkungan ini mengajak anak untuk mengenal objek, gejala dan permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar anak serta menemukan konsep yang dapat dipelajarinya (Husamah, 2013: 39). Keuntungan penggunaan kegiatan jelajah lingkungan ini bagi anak adalah mendorong anak untuk menumbuhkan minat belajarnya dan belajar dengan pengamatan sendiri.
Aktivitas luar kelas yang digunakan pada pembelajaran anak dapat berupa permainan, cerita, olahraga, eksperimen, perlombaan, mengenal kasus-kasus lingkungan di sekitarnya, aksi lingkungan, dan jelajah lingkungan. Bentuk-bentuk aktivitas di luar kelas tersebut dapat dirancang dalam pembelajaran untuk mengembangkan kemandirian anak.
(47)
32
D. Kerangka Pikir
Anak-anak yang mandiri adalah anak yang percaya diri dan memiliki motivasi instrinsik yang tinggi. Karakter mandiri dalam diri anak merupakan modal dasar bagi anak untuk meraih masa depannya dan berhasil dalam kehidupan bermasyarakat. Peran orang tua dan orang dewasa di sekitar anak sangat penting untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian anak.
Kemandirian anak di kelompok B TK Masyithoh Greges masih kurang dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah. Anak masih bergantung pada orang lain dan belum menunjukkan sikap percaya diri dalam bertindak. Selain itu, anak juga masih belum mandiri dalam mengikuti kegiatan dan cenderung kurang bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas. Guru sudah menggunakan berbagai cara untuk meningkatkan kemandirian anak di sekolah namun belum tercapai. Oleh karena itu diperlukan kegiatan pembelajaran yang tepat untuk membantu meningkatkan kemandirian anak.
Bentuk pembelajaran yang disajikan yakni melalui kegiatan di luar kelas. Kegiatan ini memberikan kesempatan pada anak untuk belajar mengeksplorasi lingkungan luar kelasnya, bertindak aktif, mengikuti aturan, belajar menyelesaikan masalahnya sendiri dan berinisiatif (Adelia Vera, 2012).Jadi kegiatan di luar kelas ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kemandirian anak serta mendukung aspek kemampuan yang lain. Kegiatan yang dilakukan di luar kelas ini meliputi kegiatan eksplorasi lingkungan sekitar, penugasan di luar kelas, dan permainan.
(48)
33
Kegiatan-kegiatan yang disajikan ketika pelaksanaan kegiatan di luar kelas dapat meningkatkan kemandirian anak sesuai indikator yakni tidak bergantung pada orang lain, menyelesaikan tugas dengan baik, mempunyai rasa percaya diri, memiliki inisiatif dan dapat memenuhi kebutuhan dirinya di sekolah. Indikator kemandirian anak mengacu pada penjabaran aspek kemandirian yang dikemukakan Martinis Yamin dan Jamilah Sabri Sanan (2013: 80-85).
Pada kegiatan eksplorasi, anak didorong untuk mampu berinisiatif mengungkapkan pendapatnya, aktif bertanya dan membangun interaksi dengan anak lain sehingga meningkatkan kemandirian sesuai indikator memiliki rasa percaya diri. Guru mendorong anak untuk aktif berpendapat dengan mengajak anak mendiskusikan hal-hal yang mereka temukan dan dikaitkan dengan tema. Pada kegiatan penugasan di luar kelas, anak didorong untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan sehingga kemandirian emosi dan intelektualnya meningkat karena tidak bergantung pada orang lain dan berupaya menyelesaikan tugasnya sendiri. Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk menyiapkan keperluannya untuk mengerjakan tugas dan memberikan motivasi agar anak menyelesaikan tugasnya sendiri. Pada kegiatan permainan yang membutuhkan fungsi motorik, aspek kemandirian anak secara fisik juga akan berkembang karena anak mau mencoba bermain melalui permainan yang diberikan. Ketika anak dihadapkan dengan permainan, anak terlihat mau mencoba bermain mengikuti aturan. Hal tersebut mempengaruhi motivasi anak lain sehingga mereka mau mengikuti.
(49)
34
Gambar 1. Kerangka Pikir
E. Hipotesis Tindakan
Dari pemaparan kajian teori dapat diambil kesimpulan sementara bahwa kemandirian anak terutama tidak bergantung pada orang lain, mempunyai rasa percaya diri, mampu memenuhi kebutuhan dirinya dan menyelesaikan tugas tanpa bantuan orang lain dapat ditingkatkan melalui kegiatan di luar kelas yang terangkum dalam kegiatan penugasan di luar kelas, eksplorasi lingkungan sekitar, dan permainan.
Kemandirian anak kurang
Kegiatan di luar kelas -Penugasan
-Eksplorasi
lingkungan sekitar -Games/permainan
Kemandirian anak dalam hal tidak bergantung pada orang lain, menyelesaikan tugas dengan baik, memiliki inisiatif, percaya diri dan memenuhi kebutuhannya di sekolah dapat meningkat
(50)
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar-mengajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama (Suharsimi Arikunto, 2007: 3). Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki pelaksanaan pembelajaran dan mengembangkan keterampilan pendidik. Wina Sanjaya (2009: 26) mengemukakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan proses pengkajian masalah pembelajaran yang ada di kelas melalui refleksi diri dalam upaya memecahkan masalah menggunakan berbagai cara yang terencana serta menganalisis pengaruh dari perlakuan tersebut.
Dalam penelitian tindakan kelas ini peneliti bertindak sebagai observer dan guru sebagai kolaborator karena pola penelitian tindakan kelas ini adalah pola kolaboratif dimana guru berperan sebagai anggota tim peneliti dan melaksanakan tindakan sebagaimana yang telah direncanakan oleh peneliti (Wina Sanjaya, 2009: 59). Penelitian tindakan kelas berasal dari suatu masalah di dalam kelas yang ditemukan untuk dikembangkan menuju ke arah positif. Untuk mengembangkan kemandirian anak, peneliti melakukan tindakan perbaikan menggunakan kegiatan di luar kelas.
(51)
36
B. Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah anak berusia 5-6 tahun atau anak kelompok B di Taman Kanak-kanak. Pada usia ini, sikap mandiri dan rasa percaya diri anak diharapkan sudah muncul dan berkembang terutama pada sikap tidak bergantung pada orang lain dan memiliki kepercayaan diri dalam menyelesaikan tugasnya. Namun pada anak kelompok B TK Masyithoh Greges, yang berjumlah 24 anak terdiri dari 11 laki-laki dan 13 perempuan, belum terlihat kemandirian yang diharapkan muncul. Obyek penelitian ini adalah peningkatan kemandirian anak melalui kegiatan di luar kelas.
C. Definisi Operasional
Untuk menghindari kemungkinan meluasnya pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, maka perlu disampaikan definisi operasional yang digunakan yaitu sebagai berikut:
1. Kemandirian yang dimaksud adalah anak tidak bergantung pada orang lain, mempunyai rasa percaya diri, menyelesaikan tugas tanpa bantuan orang lain, memiliki inisiatif dan dapat memenuhi kebutuhan dirinya di sekolah. Kemandirian diukur dengan lembar observasi yang menunjukkan frekuensi dari perilaku yang muncul.
2. Penelitian ini difokuskan pada kegiatan di luar kelas (outdoor activities) yang merupakan salah satu pengembangan dari program outdoor learning. Kegiatan di luar kelas adalah kegiatan pembelajaran di luar kelas yang memungkinkan anak untuk belajar dengan nyaman, bebas, dapat
(52)
37
bereksplorasi dengan lingkungan serta menjalin interaksi dengan teman. Program kegiatan di luar kelas ini bertujuan mendorong anak bersikap aktif, inisiatif dan tidak bergantung pada orang lain ketika berpartisipasi dalam kegiatan yang disampaikan. Program kegiatan di luar kelas dibagi menjadi beberapa kegiatan yaitu eksplorasi atau jelajah lingkungan sekitar, penugasan di luar kelas dan permainan
D. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelompok B TK Masyithoh Greges dengan alamat Greges, Donotirto, Kretek, Bantul, Yogyakarta 55772. Lokasi sekolah yang berada di pinggiran desa dan memiliki halaman yang luas sangat memungkinkan anak untuk belajar di luar kelas dengan nyaman. Waktu pelaksanaan tindakan pada kelompok B di TK Masyithoh Greges adalah pada bulan Juli-September 2015.
E. Model Penelitian
Model penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah model penelitian yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc. Taggart lalu diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan peneliti. Metode ini menggunakan siklus sistem spiral dan masing-masing siklus terdiri dari empat komponen pokok yaitu perencanaan (plan), perlakuan/tindakan (act), pengamatan (observe) dan refleksi (reflect) (Rochiati Wiriaatmadja, 2006: 66). Komponen pokok tersebut dilaksanakan dalam beberapa
(53)
38
siklus di mana siklus kedua merupakan perbaikan dari siklus pertama dan seterusnya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Keempat komponen tersebut menunjukkan sebuah siklus atau kegiatan berkelanjutan dan berulang yang ditampilkan pada gambar berikut ini:
Keterangan: Siklus I:
1.Perencanaan I
2.Tindakan I dan Observasi I 3.Refleksi I
Siklus II:
1.Revisi Perencanaan I dan Perencanaan II 2.Tindakan II dan Observasi II
3.Refleksi II
Gambar 2. Desain penelitian menurut Kemmis dan Mc. Taggart (Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama, 2011: 21)
F. Rencana Pelaksanaaan
1. Perencanaan Tindakan Siklus I
Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti bekerjasama dengan guru kelas untuk merencanakan segala sesuatu yang akan dilakukan. Perencanaan itu adalah sebagai berikut:
a. Merencanakan kegiatan yang dilakukan di luar kelas (outdoor) dan menentukan tema dan sub tema yang sesuai. Tema dalam penelitian ini adalah “Diri Sendiri” dengan sub tema “Panca Indera dan Anggota Tubuhku”. Perencanaan ini dilakukan melalui diskusi dengan guru kelas.
(54)
39
b. Menyusun RKH (Rencana Kegiatan Harian) yang berkaitan dengan kegiatan yang sesuai dilaksanakan di luar kelas. RKH digunakan sebagai pedoman peneliti dalam pelaksanaan pembelajaran. Pembuatan RKH disesuaikan dengan Rencana Kegiatan Mingguan (RKM) yang ada di sekolah.
c. Mempersiapkan sumber dan media pembelajaran yang akan diperlukan. d. Mempersiapkan lembar observasi yang berisi tentang aspek dan indikator
kemampuan kemandirian anak usia 5-6 tahun.
e. Mempersiapkan lembar penilaian untuk menilai perkembangan kemandirian anak serta alat dokumentasi kegiatan anak.
Guru mempunyai tanggung jawab yang penting dalam mengarahkan kemandirian anak selama proses pelaksanaan tindakan maupun pada pembelajaran sehari-hari selama di sekolah. Guru menetapkan aturan dalam kelas dan memberi kesempatan kepada anak untuk bersikap mandiri dalam kegiatan. Selain itu guru juga menciptakan interaksi dalam kelas secara positif dan memberikan penghargaan tanpa terkecuali kepada anak. Perubahan tingkah laku anak tidak serta merta terjadi dan diperlukan kesabaran dan penggunaan metode pembelajaran yang menyenangkan sehingga akan diulang kembali.
2. Pelaksanaan Tindakan
Pada saat pelaksanaan tindakan, peneliti bertugas sebagai observer di lapangan bersama guru pendamping dan berkolaborasi dengan guru kelas yang melaksanakan tindakan. Dalam hal ini, tindakan dilaksanakan berpedoman pada rencana kegiatan harian (RKH) yang telah disusun dan disepakati antara peneliti dengan guru sebelumnya.
(55)
40 a. Kegiatan awal
Kegiatan awal pelaksanaan kegiatan pembelajaran dimulai dengan berbaris sebelum masuk kelas dan berdoa bersama. Guru juga mengajak anak untuk bernyanyi dan menghafal doa sehari-hari, hadist atau surat-surat pendek. Sebelum kegiatan inti, guru mengkomunikasikan atau menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan pada hari itu dan menyampaikan apersepsi sesuai dengan materi. Guru juga menjelaskan tentang pentingnya kemandirian ditanamkan sejak usia dini sehingga motivasi dalam diri anak dapat terbangun.
b. Kegiatan inti
Pada kegiatan inti, guru menyampaikan kegiatan sesuai dengan RKH yang telah dibuat.
1) Guru membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan tema pada minggu tersebut yaitu “Diri Sendiri”.
2) Guru memberikan pengarahan tentang kegiatan outdoor yang berupa penugasan di luar kelas, kegiatan permainan (games) dan eksplorasi lingkungan sekitar.
3) Pada pertemuan pertama, tindakan yang dilakukan adalah penugasan di luar kelas dengan arahan penugasan menggambar di luar ruangan.
4) Pertemuan kedua, tindakan yang dilakukan adalah permainan (games) yang dipandu oleh guru.
5) Pertemuan ketiga dilakukan kegiatan eksplorasi lingkungan sekitar sekolah dan guru mengajak anak untuk tanya jawab.
(56)
41
6) Anak distimulasi agar mandiri dalam melakukan kegiatan dan dapat berpindah ruangan dengan nyaman.
7) Sebagai penguatan, guru memberikan reward berupa pujian, jempol dan bintang.
c. Kegiatan penutup
Pada kegiatan penutup, guru mengajak anak untuk melakukan diskusi dan recalling berkaitan dengan kegiatan yang telah dilalui selama satu hari di sekolah. Kegiatan diskusi dilakukan dengan tanya jawab dan pemberian pesan untuk anak.
3. Observasi
Observasi dilaksanakan setelah proses tindakan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar observasi yang telah dibuat. Observasi dilakukan untuk melihat secara langsung bagaimana kemandirian anak selama proses pembelajaran dan hasil setelah kegiatan di luar kelas dilaksanakan. Pengamatan dilakukan selama 6 hari mulai dari anak masuk sekolah hingga pulang sekolah. Kegiatan observasi ini dilakukan oleh peneliti dan guru pendamping. Tujuan observasi ini adalah untuk mengetahui perkembangan kemandirian anak setelah diberikan tindakan selama 3 hari sebelumnya.
Adapun proses tindakan kegiatan di luar kelas yang dilakukan ditujukan untuk mengetahui proses pembelajaran yang dilakukan guru dan pengaruh pembelajaran untuk meningkatkan kemandirian anak. Penekanan proses pembelajaran untuk meningkatkan kemandirian anak akan dapat diketahui dengan
(57)
42
adanya hasil observasi setelah tindakan dilakukan. Berbagai kendala dan kesulitan yang didapat dari observasi kemudian direfleksikan untuk diberikan perbaikan.
4. Refleksi
Refleksi dilakukan oleh peneliti dengan guru maupun guru pendamping setelah melakukan tindakan dan berdiskusi mengevaluasi proses pembelajaran Diskusi tersebut bertujuan untuk mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan yaitu dengan cara melakukan penilaian terhadap masalah yang muncul dan segala hal yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan dan hasil yang diperoleh selama pengamtan setelah tindakan dilakukan. Selama proses refleksi, data-data yang telah dikumpulkan akan dikaji dan dianalisis ketercapaiannya. Pada tahap refleksi ini, peneliti dan guru mencari solusi untuk mengatasi kendala yang muncul dan meminimalkan kesulitan anak selama pembelajaran sehingga anak merasa nyaman dalam mengikuti kegiatandi luar kelas. Selain itu juga untuk memperbaiki cara penyampaian dan media yang digunakan. Hasil refleksi pelaksanaan Siklus I yang telah ditemukan solusi dan perbaikannya digunakan untuk pedoman pelaksanaan siklus berikutnya.
G. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya (Suharsimi Arikunto, 2006: 160). Variasi metode pengumpulan data adalah angket, wawancara, pengamatan atau observasi, tes dan dokumentasi. Dalam penelitian ini digunakan satu metode pengumpulan
(58)
43
data, yaitu observasi. Observasi yang digunakan mengacu pada pendapat Rochiati Wiriaatmadja (2006: 107) yaitu observasi partisipasi lengkap yang artinya dalam melakukan pengumpulan data, peneliti terlibat sepenuhnya dalam pembelajaran yang dilakukan sumber data. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Peneliti melakukan pengamatan terhadap peningkatan kemandirian anak kelompok B melalui kegiatan di luar kelas. Karena kemandirian pada anak muncul selama kegiatan dari awal masuk kelas sampai akhir, maka dilakukan pengamatan lanjutan untuk mengetahui sejauhmana peningkatan kemandirian anak dalam kegiatan rutin sehari-hari di sekolah. Sebagai bukti pelaksanaan kegiatan tindakan maka peneliti menambahkan foto-foto selama kegiatan berlangsung sebagai tambahan.
H. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian menurut Wina Sanjaya (2011: 84) adalah alat yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data penelitian sehingga data lebih mudah diolah. Variasi instrumen yang digunakan dalam penelitian peningkatan kemandirian anak melalui kegiatan di luar kelas adalah lembar observasi.
Lembar observasi merupakan catatan tentang perkembangan anak yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Pencatatan dan pengambilan data dilakukan pada saat proses pembelajaran berupa observasi dengan menggunakan checklist dengan deskripsi kemampuan yang diharapkan dicapai anak. Asesmen observasi dengan menggunakan check list akan membantu guru dalam memfokuskan pengamatannya pada anak usia dini dalam suatu program misalnya
(59)
44
minat anak, tingkah laku, konsep, dan keterampilan anak (Harun, Mansyur & Suratno, 2012: 151). Untuk mendukung hasil pengamatan, digunakan alat bantu observasi berupa foto.
Tabel 1. Kisi-kisi Lembar Observasi Kemandirian Anak Variabel Aspek Indikator Deskriptor Kemandirian
Anak
Kemandirian sosial emosi
Tidak
bergantung pada orang lain
Masuk kelas dengan nyaman Mudah ditinggal orang tua
Belajar dengan tenang dan tidak gelisah Mengerjakan tugas sendiri
Mempunyai rasa percaya diri
Tidak ragu-ragu dan takut ketika bermain atau tampil
Berani mengungkapkan pendapat Berani tampil di depan
Bersalaman dengan guru ketika datang Bersalaman dengan guru ketika pulang Kemandirian
intelektual (berpikir)
Menyelesaikan
tugas dengan
baik
Mengerjakan tugas yang dipilih sendiri Menyelesaikan tugas sendiri
Mengumpulkan tugas di tempat yang disediakan
Memiliki inisiatif
Mencoba kegiatan yang akan dilakukan Berani bertanya
Menjawab pertanyaan yang disampaikan Memutuskan membuang sampah pada tempatnya
Kemandirian
fisik dan
fungsi tubuh
Memenuhi kebutuhan sendiri
Mengambil alat tulis sendiri
Mengembalikan alat tulis setelah selesai digunakan
Meletakkan barang miliknya di tempatnya (tas, buku)
Mencuci tangan setelah kegiatan Memakai sepatu sendiri
I. Teknik Analisis Data
Data-data yang telah ditemukan dan dikumpulkan selama penelitian harus dianalisis sehingga menjadi data yang bermakna. Analisis data ini merupakan proses mengolah dan mengintrepretasi data dengan tujuan untuk menempatkan informasi yang diperoleh hingga memiliki makna yang jelas sesuai dengan tujuan
(60)
45
penelitian. Suharsimi Arikunto (2007: 131-132) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan tindakan kelas, terdapat dua jenis data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti, yaitu:
a. Data kualitatif
Data kualitatif merupakandata berupa informasi berbentuk kalimat (narasi) yang memberi gambaran tentang pemahaman, pandangan, sikap dan aktivias anak terhadap suatu pembelajaran baru yang dapat dianalisis secara kualitatif.
b. Data kuantitatif
Data kuantitatif adalah data yang dapat dianalisis secara deskriptif menggunakan analisis statistik deskriptif (mencari rerata atau persentase keberhasilan belajar).
Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan kenyataan yang ada dan dijabarkan dalam bentuk narasi dari lembar pengamatan yang diperoleh. Data juga dijelaskan dalam bentuk analisis data kuantitatif untuk mengetahui peningkatan hasil belajar anak sebagai akibat dari perlakuan yang diberikan guru. Tujuannya adalah untuk mengetahui peningkatan aspek kemandirian anak setelah melalui kegiatan di luar kelas.
Rumus yang digunakan dalam analisis data deskriptif kuantitatif secara sederhana untuk mencari persentase adalah sebagai berikut:
Keterangan:
P: Angka persentase
f: Frekuensi yang sedang dicari persentasenya N: Jumlah frekuensi/banyaknya individu/indikator (Anas Sudijono, 2006: 43).
(61)
46
Menurut Acep Yoni (2010: 175) kemudian data tersebut diinterpretasikan dalam 4 tingkatan yaitu:
1. Kriteria sangat baik, yaitu antara 76% - 100%. 2. Kriteria baik, yaitu antara 51% - 75%.
3. Kriteria sedang, yaitu antara 26% - 50%. 4. Kriteria kurang, yaitu antara 0% - 25%.
Dari data yang ada, lalu diintepretasikan ke dalam bentuk kriteria yang sesuai dengan penilaian untuk anak usia dini sebagai berikut:
Skor (persentase) Kriteria
76%-100% Berkembang sangat baik (BSB)
51%-75% Berkembang sesuai harapan (BSH)
26%-50% Mulai berkembang (MB)
0%-25% Belum berkembang (BB)
J. Indikator Keberhasilan
Peneliti perlu menentukan indikator (ukuran ketercapaian) tujuan penelitian sebagai rambu-rambu kapan penelitian tindakan kelas itu dapat diakhiri (Sa‟dun Akbar, 2010: 80). Patokan keberhasilan penelitian ditandai oleh peningkatan kemandirian lebih dari 75% dari jumlah siswa kelompok B TK Masyithoh Greges yang mencapai indikator kemandirian dengan kriteria berkembang sesuai harapan.
(62)
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di TK Masyithoh Greges yang berada di Dusun Greges, Donotirto, Kretek, Bantul. TK ini berada di bawah naungan yayasan Muslimat NU Kecamatan Kretek. Keseluruhan peserta didik berjumlah 46 anak
yang terdiri dari dua kelas yaitu kelompok A di rentang usia 4-5 tahun dan kelompok Busia 5-6 tahun. Peserta didik berasal dari lingkungan setempat dan sekitar wilayah dusun Greges.
2. Kondisi Sarana Prasarana
Kondisi sarana dan prasarana yang ada di TK Masyithoh Greges ini cukup baik. Sarana dan prasarana cukup lengkap meliputi 1 kantor guru, 1 ruang kelas A, 1 ruang kelas B, 1 dapur, 1 gudang, 2 toilet untuk anak dan guru serta 1 halaman bermain yang cukup luas. Sarana bermain luar ruangan di TK Masyithoh meliputi 2 buah jungkat-jungkit, 2 buah ayunan besi, 1 perosotan, 1 jaring laba-laba, 2 papan titian, 2 tangga pelangi, 1 kereta besi dan 1 mangkuk putar. Kondisi halaman sekolah yang cukup luas sangat memungkinkan anak untuk belajar di luar kelas dengan baik.
Alat pembelajaran yang ada di ruangan juga cukup banyak dan sudah ditempatkan di setiap sudut menggunakan meja dinding diantaranya balok-balok
(63)
48
kayu berbagai ukuran, puzzle, miniatur binatang, beberapa kotak merjan, dan miniatur keluarga.
3. Deskripsi Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada siswa kelompok B TK Masyithoh Greges dengan jumlah 24 anak yang terdiri dari 11 anak laki-laki dan 13 anak perempuan. Kriteria subyek pada anak usia 5-6 tahun seharusnya sudah memiliki tanggung jawab, tidak bergantung pada orang lain dan sudah mandiri dalam tugasnya di sekolah.
4. Data Pengajar
TK Masyithoh Greges memiliki 5 tenaga pengajar yang terdiri dari 1 kepala sekolah dan 4 guru. Masing-masing kelas diampu oleh dua guru yang berperan sebagai guru utama dan guru pendamping. Kegiatan pembelajaran di TK Masyithoh Greges dilaksanakan setiap hari dengan pembagian waktu setiap hari Senin-Kamis pukul 07.30-10.30 WIB dan hari Jum‟at-Sabtu pukul 07.30-10.00 WIB. Model pembelajaran untuk mengembangkan aspek perkembangan anak di TK Masyithoh Greges ini menggunakan model sudut (berdasarkan minat). Adapun sudutnya meliputi sudut Ketuhanan, sudut Alam Sekitar dan Pengetahuan, sudut Keluarga, sudut Pembangunan dan sudut Kebudayaan. Untuk menunjang minat belajar anak, TK Masyithoh Greges mempunyai program ekstrakurikuler menari dan drumband yang dilaksanakan pada hari Senin dan Sabtu.
(64)
49
B. Deskripsi Kondisi Awal Sebelum Tindakan
Pengamatan sebelum tindakan dilakukan pada tanggal 5-7 Agustus 2015 dengan tujuan mengamati perkembangan kemandirian anak kelompok B dari mulai datang ke sekolah sampai pulang sekolah. Dari observasi sebelum tindakan yang dilakukan di kelompok B TK Masyithoh Greges menunjukkan bahwa perkembangan kemandirian anak masih dalam kriteria kurang (mulai berkembang).
Tabel 2. Hasil Observasi Kondisi Awal sebelum Tindakan
No Nama
Anak
Kemunculan Indikator Kemandirian
Jumlah Peluang Persentase Kriteria
Pert 1 Pert 2 Pert 3
1. Hda 16 15 16 47 60 78,3% Berkembang sangat baik
2. Put 11 10 12 33 60 55 % Berkembang sesuai harapan
3. Pim 8 11 9 28 60 46,7% Mulai berkembang
4. Gal 8 8 9 25 60 41,7% Mulai berkembang
5. Dan 5 9 11 25 60 40 % Mulai berkembang
6. Riz 12 11 10 33 60 55 % Berkembang sesuai harapan
7. Iku 10 12 8 30 60 50 % Mulai berkembang
8. Fhr 10 - 6 16 40 40 % Mulai berkembang
9. Uzn 4 4 4 12 60 20 % Belum berkembang
10. Fhl 10 8 7 25 60 41,7 % Mulai berkembang
11. Fiz 3 5 4 12 60 20 % Belum berkembang
12. Isn 10 11 9 30 60 50 % Mulai berkembang
13. Ita 15 15 16 46 60 76,7 % Berkembang sangat baik
14. Nur 9 9 8 26 60 43,3 % Mulai berkembang
15. Lrs 6 4 4 14 60 23,3% Belum berkembang
16. Pep 5 4 7 16 60 35 % Mulai berkembang
17. Ayd 4 6 5 15 60 25 % Belum berkembang
18. Nis 6 5 7 18 60 26,7 % Mulai berkembang
19. Ris 12 10 14 36 60 60 % Berkembang sesuai harapan
20. Nov 11 10 13 34 60 40 % Mulai berkembang
21. Iis 8 4 6 18 60 30 % Mulai berkembang
22. Lia 12 8 - 20 40 50 % Mulai berkembang
23. Lin 9 10 14 33 60 55 % Berkembang sesuai harapan
24. Ach 7 8 6 21 60 35 % Mulai berkembang
Penghitungan dilakukan dengan menggunakan persentase frekuensi kemunculan indikator kemandirian anak karena peluang setiap anak terhadap indikator-indikator kemandirian tersebut pada setiap harinya relatif sama.
(65)
Anak-50
anak belajar dengan kesempatan yang sama, seperti mengerjakan LKA, menghafal, maju di depan kelas dan lain-lain. Ketika pengamatan sebelum tindakan dilakukan, terdapat 2 anak yang absen satu hari dari keseluruhan anak di kelompok B tersebut. Oleh karena itu penghitungan persentase dilakukan dengan jumlah indikator yang berbeda dengan yang lain agar tidak terjadi kesenjangan data dan keakurasian data. Penghitungan persentase skor kemandirian anak dihitung dari frekuensi kemunculan indikator kemandirian anak dibagi dengan jumlah indikator dan dikali 100. Berikut ini hasil rekapitulasi observasi kemandirian anak sebelum tindakan.
Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Observasi Kemandirian Sebelum Tindakan
No. Kriteria Jumlah Anak Persentase
1. Berkembang sangat baik 2 8,3 %
2. Berkembang sesuai harapan 4 16,7 %
3. Mulai berkembang 14 58,33 %
4. Belum berkembang 4 16,7 %
Dari data tersebut diatas dapat dikatakan bahwa anak masih belum berkembang secara baik karena kemandirian anak dalam satu kelas sebagian besar masih berada dalam kriteria mulai berkembang. Anak yang kurang mandiri berdasarkan hasil pengamatan sebagian besar karena anak masih bergantung pada orang lain dalam pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri di sekolah. Anak juga masih belum dapat bertanggung jawab menyelesaikan tugasnya dengan baik dan masih membutuhkan bantuan. Beberapa anak yang masih ditunggu orang tuanya sebagian sebenarnya sudah dapat mengerjakan tugas dengan baik, namun karena anak masih bersikap manja serta kekhawatiran orang tua yang berlebihan menyebabkan anak masih ditunggu.
(1)
143
Suasana saat kegiatan awal pembelajaran di kelas (duduk melingkar)
(2)
144
Kegiatan Penugasan Siklus I
Persiapan sebelum penugasan Ketika penugasan
Games Ambilkan Sepatuku
(3)
145
Kegiatan Siklus II
Penugasan luar kelas
(4)
146
Anak memakai sepatu sendiri
Mendengarkan dan aktif tanya jawab Mengerjakan tugas sendiri
Membuang sampah pada tempatnya
(5)
147
Lampiran 11
Surat Keterangan
Melakukan Penelitian
(6)