MENgELOLA RESISTENSI Fasilitator, Narasumber dan Peserta

23 SENSITIvITAS jENDER: SEBUAH PROSES PEMBELAjARAN 23 Untuk itu, baik PSW maupun Putroe Kan- dee menganggap pening untuk memberi prioritas pada terbangunnya pemahaman yang paling dasar terkait dengan konsep jen- der ini. Demikian halnya dengan isu agama yang pada kenyataannya berperan dalam mengkonstruksikan perbedaan fungsi sosial dan status lelaki dan perempuan dalam ma- syarakat. Meskipun konsep jender telah dijelaskan dan peserta memahami bahwa peran laki- laki dan perempuan adalah sebuah kon- struksi sosial dan karenanya sangat mungkin untuk berubah, namun perubahan itu bagi sebagian peserta dianggap dapat menggun- cangkan aturan dan sendi-sendi agama yang dianggap telah baku. Terkait dengan hal itu, Putroe Kandee menghadapinya dengan teknik tarik–ulur yang mengajak peserta untuk berpikir secara bertahap mengikui alur logika tentang perubahan-perubahan hukum ikih terkait dengan relasi jender baik akibat perbedaan penafsiran maupun akibat konteks sosial , ekonomi dan geograis yang berpengaruh pada konstruksi pembentukan hukum. Untuk itu, sebanyak mungkin mer- eka mengambil contoh-contoh yang berasal baik dari sejarah Islam maupun lokal. Se- mentara untuk kajian agama, Putroe Kandee menghadirkan narasumber yang menguasai ilmu ushul ikih yang menjelaskan perbedaan lelaki dan perempuan berdasarkan ketegori ushul ikih seperi konsep ushul prinsipuni- versal dan furu’ parikular. Selain menghadirkan narasumber handal dan menyediakan publikasi berdasarkan kajian ilmiah yang memadai, teknik untuk menghadapi resistensi yang dilakukan PSW UIN Yogyakarta adalah dengan mengajak peserta melihat pada kenyataan di lapa- ngan seperi membawa mereka ke RPK Ru- ang Penanganan Khusus di Polda Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, P2TP2A Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perem- puan dan Anak di Sumatera Barat dan Rumah Sakit Bhayangkari di Mappaodang, Makassar. Selain itu, teknik untuk mengha- dapi resistensi juga dilakukan dengan mem- bahas isu-isu yang secara nyata menunjuk- kan keterindasan perempuan seperi isu kesehatan reproduksi. Sebagaimana di Aceh, terkait dengan isu agama, PSW menghadir- kan narasumber handal dalam ilmu ikih dan tafsir, seperi Prof. Dr. Hamim Ilyas dan Prof. Dr. Amin Abdullah. Dari sisi substansi, strategi lain yang dilaku- kan adalah memposisikan analisis jender sebagai satu tarikan nafas dengan analisis sosial lain yang digunakan untuk membedah keimpangan relasi kuasa berbasis suku, ras, agama, ideologi yang membuahkan keidak- adilan. Bagi Putroe Kandee, pengalaman Aceh di masa konlik cukup memudahkan mereka untuk membawa peserta secara kogniif dan afekif masuk ke dalam wilayah sensiivitas jender itu. Dengan menduduk- kan pengalaman Aceh yang mengalami ke- kerasan dan diskriminasi di masa konlik, analisis jender digunakan Putroe Kandee untuk menjelaskan diskriminasi berbasis prasangka jender sebagaimana analisis so- sial-poliik lainnya yang digunakan untuk menjelaskan cara kerja diskriminasi berbasis prasangka ras, agama atau aliran poliik. [] 24 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN 3 Pelaksanaan Training Sensiivitas Jender bagi Hakim 26 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN Pelaksanaan Training Sensitivitas Jender bagi Hakim 3 P erubahan kesadaran, perilaku, dan sikap peserta training terhadap isu kesetaraan jender diharapkan terjadi pasca pelaihan. Harapan ini dicanangkan baik oleh para pelaksana kegiatan maupun pendu- kung programnya. Pendokumentasian ini mencatat bahwa apa yang dicanangkan itu membuahkan hasil yang idak sedikit. Ini bisa dilihat dari meningkatnya pengetahuan teoriis para hakim, meluasnya perbincangan tentang tema ini di kalangan mereka, serta-secara relaif-tumbuhnya minat un- tuk menerapkan kesadaran itu pada ingkat legal praksis dalam kapasitas sebagai aparat penegak hukum. Mereka tertantang untuk mencari jalan keluar atas keterbatasan produk hukum baik hukum posiif maupun ikih yang dapat dipakai untuk penyelesaian sengketa keluarga secara adil. Pada bab ini rekam jejak pergulatan pe- mikiran dan pemahaman peserta baik yang dilakukan Putroe Kandee maupuan PSW UIN dapat dibaca. Dalam pemaparan ini dapat dilihat bagaimana kedua lem- baga ini mengejawantahkan visi dan mis- inya ke dalam elemen-elemen pelaihan seperi kurikulum dan proses penyusu- nannya, peran fasilitator, narasumber dan teknik pengelolaan kegiatan seb- agaimana telah dielaborasi sekilas dalam 27 PELAKSANAAN TRAININg bab sebelumnya. Suatu hal yang secara khas menonjol se- bagai efek menyeluruh dari pelaihan ini adalah bahwa pelaihan ini, dalam rentang pemahaman yang beragam, telah berhasil memunculkan sikap terbuka sekaligus kri- is para pesertanya atas wacana pember- dayaan perempuan dan konsep kesetaraan jender. Apapun hasilnya, peserta pelaihan itu telah menangkap dan menyimpan pema- haman baru terkait dengan konsep jender dan elemen-elemennya. Konsep-konsep paling elementer tentang jender telah ber- hasil dijelaskan, dan pada gilirannya dapat menggeser kesalahpahaman konsep yang selama ini ada di benak banyak peserta. Rangsangan pemikiran seputar persoalan hukum keluarga dan upaya penyelesaiannya telah pula ditumbuhkan. Mereka tertantang untuk mencari jalan keluar atas keterbatasan produk hukum baik hukum posiif maupun ikih yang dapat dipakai untuk penyelesaian sengketa keluarga secara adil. Training ini telah pula membukakan mata dan pikiran peserta bahwa perubahan-perubah- an sosial dewasa ini berpengaruh besar pada perubahan relasi lelaki dan perempuan. Ke- nyataan atas perubahan sosial ini mereka akui membutuhkan alat analisis hukum yang lebih responsif terhadap realitas perubahan sosial itu. Mereka menyadari bahwa tanpa upaya serius dalam menyikapi perubahan- perubahan sosial yang berimplikasi pada pe- rubahan relasi jender ini, tak mustahil akan melahirkan sengketa-sengketa keluarga yang lebih besar yang disebabkan oleh tercede- ranya rasa keadilan. Bersama segenap kehai-haiannya yang ter- manifes dalam sikap yang beraneka, para peserta umumnya mengaku bahwa analisis jender yang diperkenalkan dalam pelaihan ini merupakan salah satu tawaran untuk mengatasi keterbatasan atau keidakpekaan hukum terkait dengan perubahan sosial tadi. Ini berari bahwa pelaihan-pelaihan itu, baik yang dilakukan Putroe Kandee maupun PSW UIN Yogyakarta telah berhasil menum- buhkan kesadaran kriis peserta tentang perlunya pembaharuan hukum atau cara pembacaan dan pemaknaan hukum yang lebih tepat guna. Terkandung dalam maksud itu adalah pembaharuan hukum yang dapat di- gunakan untuk penyelesaian persoalan sengke- ta keluarga dengan menimbang secara lebih seksama relasi lelaki dan perempuan yang pada kenyataannya tak lagi stais. Secara lebih spesiik, training Putroe Kan- dee di Aceh telah memberikan muatan lo- kal yang memberdayakan sekaligus muatan universal yang mencerahkan kepada para peserta tentang prinsip-prinsip keadilan yang bersumber dari agama. Misalnya, training ini diakui peserta telah memberi- kan “peringatan dini” agar dapat memak- nai relasi jender dalam konteks Aceh yang tengah menerapkan syariat Islam secara Analisis Jender menawarkan pembaharuan hukum yang dapat digunakan untuk penyelesaian persoalan sengketa keluarga dengan menimbang secara lebih seksama relasi lelaki dan perempuan yang pada kenyataannya tak lagi stais. 28 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN formal. Ini merupakan capaian yang sung- guh pening untuk menghindari munculnya benturan yang idak perlu antara berbagai elemen atau pandangan, semisal konsep jender di satu pihak dan posisi adat dan sta- tus syariat Islam yang juga mendeinisikan peran dan posisi perempuan di Aceh pada pihak lainnya. Lebih dari itu, banyak hakim peserta training ini mengakui bahwa mere- ka mendapatkan jusiikasi keagamaan yang kokoh yang dapat digunakan untuk mengam- bil posisi lebih tegas dalam membela pihak- pihak yang dilemahkan dengan memper- imbangkan analisis keadilan jender dalam iap-iap perkara yang mereka tangani. ”Dulunya sebelum training ini idak tergambar adanya perbedaan laki- laki dan perempuan. Keluarga saya 11 orang bersaudara, ayah saya ulama kecil-kecilan, kami 6 laki-laki dan 5 perempuan. Keluarga kami pas-pasan tapi dalam kesempatan pendidikan i- dak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, siapa yang mau seko- lah ya harus cari sendiri .... Tapi setelah ikut pelaihan ini, bertam- bah ilmu, rupanya nakah iddah idak hanya bisa didapatkan oleh istri kalau dalam perkara cerai talak saja, tapi bisa saja dengan wewenangnya hakim memberikan hak nakah iddah pada kasus gugat cerai. Jender ini salah satu ilmu luar biasa yang saya dapat dari training ini. Saya melihat secara analisa baik sekali sep- eri materi yang disampaikan Kyai Hu- sen dalam menganalisa ayat al-Quran dan hadits. Hal semacam ini belum saya dapai di bangku pendidikan. Saya memang membaca kitab-kitab yang beliau sebutkan, tapi pemahaman saya lain keika itu, dan sekarang lain lagi, begitu rupanya cara untuk mema- haminya. Saya sering teringat keputu- san saya di masa lalu, merinding saya, saya sering shalat tahajud memohon ampun kepada Allah, jangan-jangan saya telah berbuat zhalim karena saya idak mengeri ilmu seperi ini. Ahmad Zaini Dahlan Ketua Mahkamah Syar’iyah Calang. Pelaihan yang diselenggarakan di Sumatera Barat oleh PSW UIN Yogyakarta juga mem- bawa pengaruh serupa bagi para peser- tanya. Dengan nyata pendokumentasian ini melihat tumbuhnya pengetahuan dan kesa- daran peserta tentang isu-isu kontemporer terkait dengan pemberdayaan perempuan. Dengan sikap yang cukup kriis atas penya- jian materi-materi yang diberikan PSW UIN, pelaihan ini secara umum berhasil menum- buhkan kesadaran peserta akan peningnya memperimbangkan aspek kesetaraan le- laki dan perempuan dalam proses peradil- an. Dalam pandangan peserta, kesetaraan perempuan dan laki-laki merupakan wacana yang perlu disikapi secara terbuka meskipun tetap hai-hai. Mereka bersetuju, masalah- Terserapnya pemikiran tentang kesetaraan jender yang ditunjukkan dengan sikap yang idak mendikotomikan konsep jender dan Islam menunjukan keberhasilan program training PSW di Sulawesi Selatan. 29 PELAKSANAAN TRAININg masalah yang muncul terkait dengan peng- abaian hak-hak perempuan harus dihapus- kan atau seidaknya dikurangi. Pelaihan di Sulawesi Selatan yang dilaku- kan PSW UIN Sunan Kalijaga juga telah me- munculkan perubahan mindset para peserta tentang relasi jender. Perubahan itu dapat dilihat dari cara mereka memahami relasi jender yang semula dianggap sebagai sesu- atu yang alamiah dan permanen sebagai kehendak Tuhan, kini mereka pahami seba- gai suatu bentukan sosial yang berpenga- ruh dan dipengaruhi berbagai kepeningan. Sampai batas tertentu terlihat pula adanya perubahan sikap dalam menangani perkara yang semula tak sensiif, kini secara relaif menjadi lebih peka pada kemungkinan ada- nya sikap dan cara pandang yang diskrimi- naif yang dapat merugikan perempuan sebagai salah satu pihak berperkara. Hakim Basyir dari PA Sungguminasa, misalnya, ber- pendapat bahwa Islam datang justru den- gan pemahaman yang sangat sensiif jender. Meskipun pandangan itu menyederhanakan kenyataan lebarnya celah antara pan- dangan ideal dan prakik umat Islam terha- dap perempuan, namun seidaknya hal ini menunjukkan bahwa ada sikap yang sangat terbuka terhadap gagasan-gagasan baru seputar isu jender yang ditawarkan PSW UIN Yogyakarta. “…kebetulan saya mempunyai anak perempuan satu dan anak laki-laki satu, setelah mengikui pelaihan jen- der saya bersama istri mencoba per- lahan-lahan meninggalkan kekerasan dalam mendidik anak, mungkin itu dari segi perlakuan terhadap anak. Jadi ada perubahan secara drasis. Hakim Basir. Terserapnya pemikiran tentang kesetaraan jender yang ditunjukkan dengan sikap yang idak mendikotomikan konsep jender dan Islam menunjukan keberhasilan program training PSW di Sulawesi Selatan. Seorang hakim perempuan, Walha, yang bertugas di Pengadilan Agama Takalar, misalnya, meni- lai bahwa apa yang dibawa oleh PSW seba- gaimana disampaikan oleh para narasum- bernya merupakan nilai-nilai yang dibawa oleh Islam. Pandangan hakim Walha ini juga didukung oleh peserta lain seperi hakim Majidah dan hakim Nahiruddin. Menurut Nahiruddin, selama ini ada pandangan yang keliru seolah-olah Islam idak sensiif jen- der. Secara umum pendokumentasian ini juga mencatat bahwa pelaksanaan training telah memberikan dampak yang relaif sama ter- hadap para pesertanya yaitu adanya pe- rubahan mindset tentang relasi lelaki dan perempuan. Dengan cara pandang ini hakim diharapkan dapat melihat bahwa impang- nya relasi itu akan berpengaruh pada penca- paian keadilan. Sensiivitas jender yang dikembangkan baik oleh PSW maupun Putroe Kandee pada dasarnya diakui para peserta sangat ber- guna untuk menimbang dan meletakkan hukum secara adil. Dalam maksud ini, hu- kum diletakkan bukan pada ruang hampa melainkan pada kenyataan relasi lelaki dan perempuan yang tak selalu seimbang. Seba- gai sarana penyegaran, pelaihan PSW juga mampu menggugah kembali kesadaran para pesertanya baik yang terkait dengan prilaku personalnya di dalam keluarga maupun sebagai hakim yang tanggung jawabnya melampaui tugas-tugas ruin administraif. 30 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN Analisis jender yang dikembangkan kedua lembaga ini membantu para hakim untuk melihat bagaimana cara kerja budaya, poli- ik dan sosial yang dapat melemahkan po- sisi perempuan, dan situasi semacam itu sa- ngat pening untuk diperimbangkan keika perempuan berperkara di pengadilan. De- ngan kemampuan membaca realitas serupa itu, pembelaan hakim bagi perempuan tak sekadar menggunakan perimbangan belas kasihan sebagai kewajiban moral, melain- kan karena benar-benar didasarkan pada argumentasi yang dapat diuji secara obyek- if dan netral, antara lain dengan menggu- nakan cara pembacaan hukum yang sensiif pada realitas keimpangan struktur relasi dan posisi sosial perempuan diperhadapkan dengan stuktur dan posisi sosial lelaki pada umumnya. Sejauh yang terdokumentasikan, kesadaran kriis para peserta baik di Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan itu cenderung masih dalam kerangka wacana. Di Aceh se- bagian kecil peserta telah dapat melampaui arus wacana menuju indakan yang lebih nyata, namun sangatlah jelas bahwa upaya itu bersifat sangat individual dan tak selalu sebagai buah dari program pelaihan itu. Kenyataan ini sungguh dapat dipahami, bu- kan saja karena proses pergulatan pemikiran tentang kesetaraan dan keadilan jender itu masih terus berlangsung, tetapi juga karena desain kurikulum yang dikembangkan baik oleh Putroe Kandee maupun PSW UIN Yog- yakarta tak mencakup pada pembekalan prakis bagaimana tools of gender analysis digunakan di pengadilan. Persoalan lain, para hakim merasa bahwa mereka sangat terikat dengan aturan baku yang telah ada dan merasakan kekhawairan bila harus menabrak koridor hukum yang ada. Seorang peserta dari Sumatera Barat menyatakan: ”Kami rasa kita perlu sepakai dulu sam- pai dimana kajian ini akan diterapkan, sebab, bila kajian kesetaraan jender ini ingin kita terapkan dalam peradilan maka kendala utama kita adalah bah- wa kita akan menyimpang aturan tertu- lisaturan hukum posiif. Sistem hukum kita adalah Koninental, yang mengacu pada tekstual peraturan perundang- undangan. Hakim idak dibenarkan keluar dari aturan tersebut. Kami juga harus menyikapinya sedemikian rupa karena kalau itu diterapkan, bagi kami di SumbarMinangkabau akan menim- bulkan persoalan, dalam kata lain ke- setaraan jender malah lebih dari yang kita inginkan”. Hakim Pelmizar. Sementara, hakim lain dari Aceh mengung- kapkan pernyataan serupa: “Kalau dilihat dari segi ilmunya, pela- ihan Putroe Kandee ini sangat ber- manfaat bagi kita. Tapi kalau harus kami prakikkan di pengadilan belum tentu semuanya bisa kami prakikkan, karena dalam pengadilan ini tergan- tung pada kasusnya, dan majelis ha- kim idak boleh berpihak pada siapa- pun, baik laki-laki maupun perempuan. Hakim Yusniai. Tanggapan ini sangat fundamental, bukan saja menunjukkan bahwa pelaihan ini telah berhasil membangun wacana, namun juga menyangkut bagaimana indak lanjut dari program ini mau dikembangkan. Umumnya 31 PELAKSANAAN TRAININg peserta mengatakan bahwa upaya ini idak bisa berheni pada ingkat pembangunan wacana tanpa memperhaikan bagaimana pemahaman baru ini dapat diimplementasi- kan. Hal lain yang dapat digarisbawahi adalah bahwa penerapan hukum yang sensiif jender tak mungkin dipercayakan kepada lembaga- lembaga di luar stuktur lembaga peradilan, seperi PSW dan Putroe Kandee, melainkan harus menjadi kebijakan yang menyeluruh. Ini juga berari program penyadaran serupa ini seharusnya terjadi di semua lapisan ele- men-elemen penegak hukum dari hulu ke hilir, tak terbatas pada perubahan mindset melainkan juga pada produk hukumnya. Pendokumentasian ini juga mencatat bahwa yang mereka butuhkan di masa depan adalah peningkatan kemampuan dalam metodologi pembacaan hukum yang sensiif jender serta implementasinya. Cara ini dapat memandu mereka mengintegrasikan sensiivitas itu ke dalam sistem hukum yang ada.

A. PELAKSANAAN TRAININg YAYASAN PUTROE KANDEE

ACEH

1. Materi dan Metodologi Pembelajaran

Pendokumentasian ini mencatat bahwa Pu- troe Kandee mendesain kurikulum dengan sedekat mungkin memenuhi kebutuhan pesertanya. Jauh sebelum training berlang- sung sejumlah persoalan terkait dengan kepasian hukum bagi perempuan telah mengemuka pasca tsunami dan setelah ter- capainya perdamaian. Sejumlah pertanyaan yang dikumpulkan Putroe Kandee keika itu misalnya; dapatkah perempuan menjadi wali atas harta peninggalan suami atau anak laki-laki dan dapatkah perkawinan yang tak tercatat akibat konlik memperoleh penge- sahan melalui isbat nikah meskipun penye- babnya tak sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam KHI. Pertanyaan-pertanyaan ini dan sejumlah persoalan lain yang dikumpulkan melalui kegiatan need assessment, yang diadakan beberapa bulan sebelum training, dibahas dalam workshop rancangan dasar kurikulum dan silabi. Selain tenaga ahli dalam bidang kajian jender dan dalam metode pembe- lajaran orang dewasa adult educaion, workshop itu dihadiri para pakar di bidang hukum dari Fakultas Hukum dan Fakultas Syariah, akivis Perempuan, perwakilan calon peserta dari Mahkamah Syar`iyah, dan pejabat dari lingkungan Departemen Agama dan Mahkamah Syar`iyah. gambar 5 Workshop Pembahasan Kurikulum Training bersama Direktur Badilag MA dan Ketua Mahkamah Syar’iyah yang diselenggarakan oleh Putroe Kandee di Aceh Kurikulum Putroe Kandee melipui sensiivi- tas jender, jender dan Islam, kekerasan ber- basis jender, perangkat-perangkat hukum posiif yang terkait dengan relasi jender, KHI, CEDAW, dan analisis tentang Qanun Ji- nayah Aceh. Seluruh subjek materi itu diba- 32 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN has dalam kerangka untuk memecahkan se- jumlah persoalan yang dihadapi hakim. Berangkat dari kebutuhan spesiik seperi itu, kurikulum yang dirancang Putroe Kan- dee sangat terbatas. Mereka menekankan pada metodologi penggalian hukum uta- manya ikih yang pada kenyataannya masih digunakan sebagai sumber hukum di ma- syarakat. Dr. Moqsith Ghazali yang kerap berperan sebagai narasumber dan fasilitator merumuskan rancangan kurikulum Putroe Kandee itu sebagai berikut: Kurikulum Putroe Kandee ini ditujukan agar hakim dapat memahami nalar hukum baik yang bersumber dari ikih maupun hukum posiif yang dibaca dengan perspekif jender. Desain kuri- kulumnya sedemikian rupa dimaksud- kan agar hakim secara lebih mandiri berani melakukan “ijihad” baru baik dalam ijihad isinbathi metode peng- galian hukum maupun tathbiqi pene- rapan hukum. Diharapkan setelah me- lalui pelaihan ini hakim tak ragu lagi untuk menggunakan berbagai sumber hukum seperi surat edaran atau yuris- prudensi Mahkamah Agung yang pada kenyataannya sudah banyak mengako- modir rasa keadilan bagi perempuan namun oleh sebagian hakim dianggap berseberangan dengan ikih klasik dan karenanya ragu-ragu untuk diguna- kan sebagai sumber hukum Moqsith Ghazali. Putroe Kandee tampaknya berusaha mengo- lah kurikulum itu dalam alur pelaihan yang dinamik. Agar pelaihan tak menjemukan, kegiatan belajar diatur dengan mengkombi- nasikan antara model ceramah dan diskusi. Fasilitator juga menggunakan media bela- jar yang cukup kreaif seperi kartu warna, gambar, pemutaran ilm dan alat peraga yang memudahkan peserta memahami kon- sep-konsep yang hendak dipaparkan. Dalam pengelolaan kelas, Putroe Kandee mengedepankan prinsip-prinsip acive learn- ing . Namun karena sebagian peserta Putroe Kandee adalah hakim-hakim senior bah- kan tak sedikit di antara mereka berperan rangkap sebagai teungku pimpinan dayah, Putroe Kandee jarang menggunakan akivi- tas gerak berupa game atau role play dan sejenisnya. Paling jauh mereka melibatkan peserta dalam diskusi berpasangan, diskusi kelompok atau diskusi pleno. Pelibatan secara akif dan memperhaikan semua peserta dengan idak membedakan laki-laki dan perempuan serta mengede- pankan pendekatan acive learning menjadi- kan training Putroe Kandee sangat dihargai. Seorang hakim perempuan yang menjadi peserta dalam training Putroe Kandee me- nyampaikan pendapatnya; Diharapkan setelah melalui pelaihan ini hakim tak ragu lagi untuk menggunakan berbagai sumber hukum seperi surat edaran atau yurisprudensi Mahkamah Agung yang sudah banyak mengakomodir rasa keadilan bagi perempuan 33 PELAKSANAAN TRAININg ”Di pelaihan ini saya senang karena hakim-hakim perempuan diberi kesem- patan untuk mengemukakan pendapat- nya. Memang mereka tak selalu ak- if bicara dalam forum besar seperi peserta laki-laki, tapi mereka mengikui debat-debat yang berlangsung selama pelaihan. Dalam diskusi kecil mereka akif mengemukakan pendapat, bisa mendengar pendapat orang lain ten- tang persoalan persoalan yang sehari harinya juga mereka hadapi”. Hakim Rita Nurini. Rancangan kurikulum yang dibangun Putroe Kandee tampaknya cukup disukai peserta. Hal itu antara lain karena kurikulum terse- but dianggap sistemais dengan mendahu- lukan aspek penyamaan pemahaman dan persepsi seperi penyamaan konsep jender atau kekerasan berbasis jender. ”....termasuk pengerian yang selama ini belum dipahami yaitu soal jender. Dengan datangnya ibu Lies, semua su- dah angguk-angguk. Oh itu rupanya jender. Selama ini jender kami pahami, seperinya perempuan mau sama rata dengan pria, naik pohon sama-sama, begitulah jender. Tapi setelah ada pela- ihan itu perubahan persepsi itu sangat nampak. Cara yang diberikan oleh ibu Lies dengan alat peraganya sangat mengena buat kami.” Hakim Zakian. Setelah konsep jender terjelaskan, Putroe Kandee mengajak peserta melakukan iden- iikasi persoalan yang dihadapi oleh hakim dalam pekerjaan mereka sehari hari yang mereka asumsikan bersinggungan dengan keimpangan jender. Pembatasan persoalan hanya pada wilayah kerja mereka dimak- sudkan agar isu yang diangkat idak melebar pada persoalan-persoalan yang meskipun pening namun tak akan cukup waktu untuk dibahas dalam pelaihan dengan waktu yang sangat terbatas ini. ”Pelaihan seperi ini sangat memban- tu kami dalam upaya pencerahan men- terjemahkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an ke dalam masyarakat sesuai dengan kondisi se- karang. Dari segi pematerinya kami ni- lai sangat bagus. Narasumber ahli dan narasumber dari Mahkamah Agung sangat membantu kami bagaimana seharusnya seorang hakim memutus- kan perkara, ini terus terang sangat membantu kami untuk memprakik- kannya di lapangan.” Hakim Yuniar A. Hanaiah. Pendokumentasian ini juga mencatat bahwa salah satu faktor yang menentukan keber- hasilan training ini adalah karena ranca- ngan kurikulum dan metodenya dibangun sedemikian rupa mendekai kebutuhan peserta sehingga pelaihan dinilai sangat bermanfaat untuk seidaknya menambah wawasan. “Saya mengambil program S2, saya harus akui sampai beberapa semester belum tentu kami mendapatkan materi selengkap dan sejelas ini. Saya sangat senang dengan cara fasilitator menga- tur materi yang mengkombinasikan antara pengalaman kami di lapangan dengan teori-teori. Meskipun teori- teori itu sebetulnya cukup berat tapi kami tetap semangat karena narasum- ber dan fasilitatornya telah menguasai baik isi maupun teknis penyampaian-