SIKAP HAKIM DAN ANALISIS SENSITIVITAS JENDER

56 DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN Namun, sedikit berbeda dengan para peser- ta Sumatera Barat, beberapa hakim Sulawe- si Selatan menunjukkan pandangan mereka yang lebih progresif untuk mencoba men- dobrak aturan klasik ini dengan mengijinkan perempuan menjadi wali dalam pernikahan anaknya. Meski begitu, mereka sangat me- nyadari kendala-kendala yang akan dihada- pi. Simaklah penuturan seorang peserta: ”...kalau dari segi logika, memang ka- lau wali maksudnya wali untuk kepe- ngurusan anak-anak dengan harta itu kan perempuan dan laki-laki kan sudah sama. Tetapi kemudian dalam perkawi- nan, itu memang dibedakan,...kenapa perempuan pada saat perwalian per- nikahan itu idak dibenarkan. Memang itu adanya semacam tanda tanya, ke- napa ada pembedaan, apakah karena memang dari sananya. Cuma dari peradilan kami belum bisa lari ke sana pada saat ini. Kita hanya mena-ngani kalau ada perkawinan yang idak ada walinya, walinya itu kan rata-rata ma- sih wali yang dari laki-laki. Jadi wali perkawinan itu cenderung masih laki- laki . Muhajir, Kepala KUA. Analisis Meskipun baru bersifat gagasan, pandangan peserta dari Sulawesi Selatan itu menunjuk- kan bahwa di luar isu doktrinal sesungguh- nya sangat memungkinkan bagi perempuan untuk menjadi wali. Dan hal itu juga dibuki- kan dari terbukanya akses pada perempuan menjadi wali untuk anak yaim dan pemeli- haraan harta. Syarat wali dengan demikian bisa bergeser dari yang bersifat biologis kepemilikan alat kelamin ke karakterisik jender bertanggung jawab, adil, amanah, dapat mengambil keputusan dan lain-lain. Jika digunakan analisis jender terhadap si- kap hakim terkait dengan isu wali nikah ini, seidaknya muncul dua pandangan. Pan- dangan pertama mengatakan bahwa aturan ini merupakan buki bahwa hukum bersikap diskriminaif terhadap perempuan karena perempuan dibatasi aksesnya untuk terlibat dalam pengambilan keputusan yang sangat pening yaitu perkawinan anaknya. Dan hal itu dikatakan diskriminaif karena basis pela- rangannya adalah prasangka bahwa perem- puan dianggap tak memiliki kecakapan untuk mengambil keputusan. Pandangan kedua mengatakan bahwa aturan itu tak dis- kriminaif karena idak ada unsur prasangka terhadap perempuan sebagai basis pela- rangannya. Aturan itu diterapkan semata- mata didasarkan pada doktrin keagamaan yang menuntut kepatuhan. Menurut cara pandang yang terakhir ini, untuk hal-hal yang terkait dengan ibadat, parameter ob- jekif seperi diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan idak dapat dijadikan ukuran. Namun, pandangan ini rentan atas kriikan. Salah satunya adalah karena cara pandang seperi itu mendasarkan diri pada doktrin pelarangan yang berasal dari pan- dangan tradisional ikih yang pada umum- nya menempatkan perempuan secara sub- ordinaif di bawah laki-laki. Analisis jender akan sangat membantu men- carikan jalan keluar atas situasi ini. Menyadari bahwa soal wali dalam ritual perkawinan itu dianggap sebagai aturan yang permanen, sementara dalam konsep kesetaraan dan keadilan jender, perempuan idak dapat diasingkan dari proses pengambilan kepu- tusan, maka jalan yang harus dicari adalah bagaimana akses perempuan tetap dibuka tanpa mencederai doktrin. Antara lain, mi- salnya, keika iba masa penentuan calon